Rabu, 20 Januari 2021

Sastra Amerika Latin: Tak Sekadar Macondo vs. McOndo

Tanggapan untuk Artikel Imam Muhtarom
 
Ronny Agustinus *
Kompas, 23 April 2006
 
Untuk membahas khazanah sastra Amerika Latin yang demikian luas, beragam, dan vital dalam percaturan sastra dunia, sungguh penting bagi si pembahas untuk mengenali tema bahasannya dari sumber primer (artinya membaca betul-betul setiap penulis dan buku yang dirujuknya), agar terhindar dari generalisasi dan penyederhanaan berlebihan yang berpotensi menyesatkan.
 
Saya khawatir Imam Muhtarom terjebak dalam penyederhanaan ini ketika ia membuat dikotomi “McOndo vs Macondo” dalam sastra Amerika Latin (Kompas, 9/4). Dan, penyederhaan ini saya rasa terjadi akibat pengutipan dari beberapa artikel sekunder tanpa pembacaan langsung atas karya-karya dimaksud.
 
Pertama, artikel Imam dibuka dengan satu alinea soal genre “realis magis”. Namun sayang, nama-nama yang dikategorikannya sebagai “ boom realis-magis” lebih cocok bila disebut “boom sastra Amerika Latin 1960-an”. Sungguh tidak mungkin memasukkan Mario Vargas Llosa atau Carlos Fuentes dalam jajaran penulis realisme-magis.
 
Salah kaprah ini memang telanjur akut. Gara-gara kedahsyatan Seratus Tahun Kesunyian dan kebesaran sosok García Márquez, sastra Amerika Latin jadi identik dengan realisme magis. Padahal, tak semua orang menulis soal hujan yang turun 100 tahun atau diktator sepuh dengan buah zakar sebesar ginjal sapi. Bila kita telisik lebih jauh sastra Amerika Latin tahun 1960-an hingga 1990-an, realisme magis sesungguhnya hanya diwakili oleh beberapa penulis saja, yang paling tersohor tentunya García Márquez dan Isabel Allende.
 
Di luarnya kita dapati aneka macam suara. Ada Julio Cortázar yang fantastis namun bukan magis, Guillermo Cabrera Infante yang kocak dan penuh permainan kata, Carlos Fuentes yang subtil dan “berat”, Paco Ignacio Taibo II yang menghibur lewat genre cerita detektif, serta Mario Vargas Llosa yang sangat realis (“hiperrealis” menurut beberapa pengamat). Bila semua penulis yang disebutkan tadi sangat politis dengan caranya masing-masing, di lain pihak ada José Lezama Lima yang justru ogah akan komitmen politik dalam sastra. Dari deretan penulis perempuan ada Laura Restrepo, Ángeles Mastretta, dan Luisa Valenzuela yang politis sekaligus erotis, ada juga Mayra Montero yang super-erotis meski kadang tak politis.
 
Menggolongkan keberagaman ini ke dalam satu terma tunggal “Macondo” (kata lain “realisme-magis”) bisa turut membuahkan salah paham dalam menilai gerakan literer tandingan yang menamakan diri “McOndo”. Untuk menilai gerakan ini, saya kira kita harus terlebih dulu memilah-milah antara karya dengan kredo penciptaan para eksponennya, lalu membandingkan keduanya.
 
Neoliberalisme magis
 
Istilah McOndo (gabungan dari “McDOnald’s, Macintosh, dan Condominium”, untuk menyebut Amerika Latin abad ke-21) dicetuskan tahun 1996 oleh penulis Cile Alberto Fuguet dalam antologi cerpen 18 penulis muda dengan judul yang sama. Antologi ini sengaja diluncurkan di salah satu cabang McDonald’s di kota Santiago, Cile. “Saya Bukan Seorang Realis-Magis”, pengantar Fuguet dalam McOndo, dimuat oleh salon.com pada 1997, sementara esainya yang berjudul “Neoliberalisme Magis” terbit di Foreign Policy edisi Juli-Agustus 2001. Newsweek dan The Observer lantas menurunkan laporan utama tentang lahirnya generasi baru sastra Amerika Latin dan memproklamirkan berakhirnya realisme-magis.
 
Artikel Newsweek dan Foreign Policy inilah yang dikutip oleh Imam Muhtarom tanpa mempertimbangkan konteks ekonomi-politiknya. Bagi saya, ingar-bingar McOndo tak lebih dari ingar-bingar khas peralihan abad lalu, masa-masa yang dipenuhi eforia “kapitalisme sebagai akhir sejarah”, ledakan teknologi informasi, janji-janji globalisasi dan Ekonomi Baru yang diusung oleh Amerika Serikat. Dalam esainya di Foreign Policy, Fuguet merayakan globalisasi dan reformasi pasar tanpa hirau sama sekali akan dampak sosial-ekonominya bagi Amerika Latin. Fuguet lebih peduli pada dampak estetiknya: bagaimana Zona Perdagangan Bebas Benua Amerika melahirkan “revolusi budaya abad ke-21” serta “terapi kejut bagi jiwa”. Fuguet menulis: “Reformasi pasar di seantero Amerika Latin telah mereformasi kami juga. Bagaimana tidak? Bila tujuan liberalisasi adalah membuka pintu, maka banjir kultural dan sosial pun masuk… Ya, perekonomian tumbuh memang (untuk sesaat), namun kreativitas tumbuh lebih dahsyat lagi.”
 
Tak heran bila media mainstream AS memberi porsi yang berita tentang lahirnya generasi McOndo. Perayaan atas apa yang disebut oleh Fuguet sebagai “fusi kreatif baru” ini bisa menutupi borok-borok kebijakan politik luar negeri AS terhadap Amerika Latin. Dengan kata lain, Fuguet hendak melupakan sejarah sosial-politik kawasan itu dan berbalik memusatkan penulisannya pada tema-tema privat.
 
Tapi di wilayah seperti Amerika Latin, di mana “abad ke-19 berbaur dengan abad ke-21” seperti ditulis oleh Fuguet sendiri, mungkinkah sejarah dilupakan? Pablo Neruda sering berkata bahwa setiap penulis Amerika Latin berjalan sambil menyeret raga yang berat: raga masyarakatnya, raga masa lalunya. Dan Carlos Fuentes mempertegasnya demikian: “Kita harus mengasimilasi beban berat masa lalu kita agar tidak lupa apa yang telah memberi kita hidup. Bila kau lupakan masa lalumu, matilah kau.”
 
Masa lalu tak pernah mati di Amerika Latin, dan tegangan sejarah itulah —antara masa lalu yang bergelimang penindasan dan masa depan yang dirundung kemiskinan—yang memberi penulis Amerika Latin daya hidupnya. Mario Vargas Llosa pernah menuliskan tegangan ini secara memukau dalam satu paragraf di Historia de Mayta (1984). Sang narator dalam novel itu melangkah keluar dari Museum Inkuisisi sambil merenung:
 
En la puerta del Museo de la Inquisición, a la familia de andrajosos hambrientos se ha unido por lo menos otra docena de viejos, hombres, mujeres, niños. [...] Al verme aparecer estiran inmediatamente unas manos de uñas negras, pidiendo. La violencia detrás mío y delante el hambre. Aquí, en estas gradas, resumido mi país. Aquí, tocándose, las dos caras de la historia peruana.
 
(“Di pintu masuk Museum Inkuisisi ada sekurangnya selusin orang-orang jompo, lelaki, perempuan, anak-anak, sama gembelnya seperti keluarga yang kulihat tadi [...] Mereka langsung mengulurkan tangan begitu melihatku, kukunya hitam-hitam, mereka mengemis. Kekerasan bersemayam di belakangku dan kemiskinan terhampar di depanku. Di sini, di anak tangga inilah kisah negeriku dirangkum. Di sini, dari ujung tangga yang satu ke ujung tangga yang lain, terdapat dua sisi sejarah Peru.”)
 
Antara klaim dan karya
 
Gerakan McOndo mengklaim bahwa kaidah literer yang dipakai oleh angkatan García Márquez sudah tidak memadai lagi untuk menggambarkan kompleksitas Amerika Latin. “Realisme magis mereduksi situasi yang kelewat kompleks dan membuatnya jadi imut. Amerika Latin tidaklah imut,” tulis Fuguet. Dalam satu hal mereka benar. Tapi, adakah hal baru yang disajikan oleh gerakan ini untuk memampang wajah Amerika Latin yang sesungguhnya?
 
Para penulis muda ini berpaling dari Macondo yang udik dan magis menuju McOndo yang dipenuhi mal-mal belanja, perumahan suburban, budaya massa, internet, dan polusi. Tapi mereka sepertinya lupa bahwa jauh-jauh hari sebelumnya generasi Macondo telah membedah lingkungan urban Amerika Latin sampai sedetail-detailnya. La región más transparente (1958), novel pertama Carlos Fuentes, belum ada taranya dalam menyibak seluk beluk Mexico City, kota terbesar di muka bumi. Dan Fuentes kembali menelisik Mexico City kontemporer yang kini disebutnya sebagai “el basurero más grande del mundo” atau “tempat pembuangan sampah terbesar di dunia”, dalam karya terbarunya La Silla del Águila (2003).
 
Apa boleh buat, segala gembar-gembor gerakan McOndo tentang urbanisme sama sekali belum bisa menandingi pencapaian dua mahakarya Fuentes ini. Bahkan, bila benar generasi ini hendak menjejakkan penulisan sastranya sepenuhnya pada kota yang riil tanpa eksotisme, lalu mengapa tokoh McOndo dari Bolivia, Edmundo Paz Soldán, mencipta sebuah kota fiktif bernama Río Fugitivo dalam novelnya, La materia del deseo (2001)? Lalu apa bedanya Río Fugitivo dengan Macondo?
 
Macondo atau McOndo: bukan itu yang penting dalam membaca sastra Amerika Latin, melainkan seberapa detail tiap-tiap karya bisa menyuguhkan realitas subbenua itu bagi pembacanya. Sudahkah para penulis generasi yang lebih muda mencapai taraf literer sedemikian rupa untuk bisa meyakinkan pembacanya bahwa Amerika Latin ala merekalah yang lebih realistis dan benar? Sebelum terbukti dalam karya kita masih sulit percaya. Isabel Allende menutup novelnya, El Bosque de los Pigmeos (2004), dengan wejangan demikian: ... no tienes ojo para los detalles. Tal vez eso no sea un impedimento para la medicina, ya ves que el mundo está lleno de médicos chambones, pero para la literatura es fatal (“... kau tidak punya perhatian pada detail. Mungkin itu bukan kekurangan kalau kau mengambil kedokteran, dunia ini dipenuhi dokter-dokter yang tak cakap jadi dokter, tapi dalam sastra hal itu fatal.”)
***
 
*) Ronny Agustinus, penerjemah dari bahasa Inggris dan Spanyol. Mendirikan penerbit Marjin Kiri pada tahun 2005. Menekuni sastra Amerika Latin. Blognya tentang itu, bisa dibaca di sastraalibi.blogspot.com, meski sudah beberapa tahun tidak aktif, dan lebih aktif posting di Instagram (sastra.alibi). Sedang menyiapkan buku tentang Amerika Latin dan perpustakaan kajian Amerika Latin di Serpong. http://sastra-indonesia.com/2021/01/sastra-amerika-latin-tak-sekadar-macondo-vs-mcondo/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah