Selasa, 26 Januari 2021

Tonggak Revolusi Berfikir

Sabrank Suparno *
 
1. Tonggak Peradaban
Padanan diksiologi mengenai kata ’tonggak’ berjuktaposisi dengan patok, panjer, tenger, atau suatu sejenis yang bermuatan makna pondasi tunggal. Tonggak bisa berposisi tinggi menjulang atau rebah memanjang. Namun dari kedua posisi tersebut tetap berfungsi sama secara esensial, yakni sebagai titik pandang untuk menarik ribuan anak tonggak yang lain dalam satu garis diagonal (vertikal-horizontal). Kelurusan garis yang meskipun mengarah ke pelbagai penjuru, hanya akan tepat penilaian akurasinya jika ditarik titik fokusnya berdasarkan tonggak tunggal. Dalam skala keilmuan yang lebih luas, tonggak lebih nyaman diartikan “mata watak pandang” atau jujugan. Semisal rumah terdapat satu ruang yang disebut “tempat rembugan atau balai” kerajaan dan negara ada istana, umat islam sebumi ada ka’bah, dan jasat/tubuh, ada hati (qolbu).
 
2. Sektor Lenceng
Secara ilustratif sebut saja tonggak kehidupan itu suatu jenis pohon. Pohon itu sendiri sudah bersyarat sebagai substansi makna primer meskipun tanpa dahan, daun dan ranting. Karena dalam ulasan ini melibatkan “pemikiran”, makna arah “tonggak” yang kita maksud adalah ‘hidup’yang merupakan inheren (bakat tersendiri dari alam). Karena’hidup’itu dimensinya sangatlah universal, maka diperlukan metodologi khusus untuk menemukan pilahan lajur keilmuan yang tepat. Metode hidup yang sederhana pernah diungkapkan Cak Nun di pertemuan ke tiga awal pengajian padhang mbulan. Urip, urap, urup. Urip (hidup), urap(berbaur), urup (nyala berdasarkan dialektika sosial).
 
Hidup itu sendiri ibarat satu kota ‘live space’ yang untuk memasukinya terbentang berbagai penjuru jalan. Didalam memasuki kota ini, dengan sendirinya merupakan putaran aksi dari terbentuknya karakter kota. Bentuk karakter inilah yang membedakan satu kota dengan kota lainnya. Ketika motifasi hidup berlangsung, manusia sebagai kholifah Alloh di bumi merealisasikan dalam berbagai bentuk wujud perilaku: politik, sosial, budaya. Dari tiga aspek ini kemudian bercecabang melahirkan ribuan segmen sistem yang berafiliasi dengan hidup-kehidupan.
 
Tiga aspek politik, sosial, budaya ini kemudian menjadi manufaktur yang memproduksi berbagai socity frame. Berawal dari tiga anak tonggak inilah muncul indikasi bermacam-macam yang berupa warna hidup. Warna hidup ini kemudian menempati jarak ruang dalam kadar, corak, dan luas tertentu. Warna hidup dalam ruang yang sempit disebut ‘trend’ atau mode yang kemudian meningkat ke skala berikutnya yang di sebut ‘dekade’. Beratus produktifitas trend mode dan berpuluh dekaden kemudian dimuat dalam zaman, sebuah ruang yang lebih longgar dari ‘trend’ dan lebih sempit dari sejarah. Sedang corak/warna yang lebih, dapat ditemukan pada seluas peradaban, milenia bertingkat.
 
Sejak adanya sejarah yang mampu digali dunia pendidikan sebagai acuan wacana, belum kita temukan suatu keadaan yang disebut puncak kejayaan zaman. Renesiensi, Auf klarung yang dibangga-banggakan sebagai awal bangkitnya peradaban mulai bergeser tahta dengan ditemukannya ciri-ciri/tanda yang lebih rasional dari syarat terjadinya peradaban tertinggi. Aufklarung justru merupakan ‘tonggak kegagalan zaman’ dalam mempersiapkan milinia. Ini terbukti dari apa dan bagaimana pada akhirnya yang dihasilkan abad pencerahan tersebut’.
 
Pagelaran peradaban yang sudah menyentuh milinia telah kita saksikan dan perankan. Tentu dibarengi ‘ruh’ yang bernama ‘ide’ pemikiran. Segmuend Frued justru meletakkan ‘ide’ sebagai bahan dasar kehidupan yang setara dengan ‘ilham’. Demi ‘ide’ Socrites justru memilih minum racun dari pada menghianati ekspresisnya. Hal yang sama juga dilakukan Giodano Bruno yang memintas hidupnya dengan membakar diri.
 
Seolah mememang gelora ide yang digulirkan para rausyan fikir (ulul albab) yang disebut 16 kali dalam Al-qur’an, tandang memocerkan warna peradaban. Sejumlah nama yang diorbit dari barat semisal Copernicus, Rene Descartes, Galileo Galilei, Plato, Aristoteles nyaris menjadi berhala sesembahan kaum skolastis. Sedangkan Ibnu Taufail, Muhammad Iqbal, Al-Ghozali, Al-Hallaj-Ibnu Arabi, Ibnu Sina diusung dari wilayah Timur Tengah. Barisan nama-nama ini terus bergantayangan meskipun aliran baru postmodernisme-post strukturalisme semacam Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Derrida, KH Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Afrizal Malna, telah datang dengan konvesi baru.
 
Menurut Cak Nun ide itu di cletukkan oleh akal, sedangkan akal adalah hasil sinergi (embat-embatan) antara otak kanan dan otak kiri neurologi. Letupan dan pendaran sinergi otak inilah kemudian menghasilkan akal yang pasti benar kinerjanya. Maka rancu jika kemudian tidak berdasarkan filsafat mengatakan istilah ‘akal sehat’, sebab akal pasti sehat.
 
Apa yang kurang dari hidup dan peradabannya jika idealis para pemikir sudah menjadi perangkat ruh dari peradaban itu sendiri? Apa yang kurang, kalau pada akhirnya kehancuran dan kebobrokan selalu menjadi ending cerita?
 
Ide atas ego merupakan ‘kebenaran tinggi’. Dalam pandangan sufisme diletakkan sebagai strata ma’rifat (sikap arif). Sedangkan ma’rifat itu sendiri hanyalah susunan ‘nilai’ yang dihasilkan dari transformasi kontinuitas selama ‘lelaku’ hidup.
 
Idealnya para pemikir barat ini mampu menyelamatkan bentangan peradaban sesudah masa kejayaannya. Sains dan teknologi yang mereka giatkan hanya berfungsi memoles kemenoran peradaban, tapi bukan kekokohan. Dalam permainan semacam ini tentu nilai kartu mudah ditebak arahnya, yakni kekroposan dan kejugrukan ambruknya peradaban.
 
Dalam skala nasional juga terjadi padatan gelombang yang sama. Dimana para tokoh dan intelektual yang lulus paspalnya dengan mencucup sperma barat, terbukti gagal membentuk Indonesia. Sain dan teknologi barat hanya mampu membentuk pelaku sejarah yang menghancurkan peradaban. Gejala inferioritas para tokoh ‘cangkokan’ luar negeri semakin menebalkan ketidak yakinan generasi muda Indonesia, bahwa mereka tidak mampu dijadikan ‘kiblat’ new socity space Indonesia kedepan.
 
Perangkat komponen penting negara mulai dari pemerintah, partai, aparat, media massa, seniman, sastrawan, budayawan, ulama’ karbitan, hanya berlaku, hangat tai ayam dalam mewarnai Indonesia. Demikian juga ulah yang ditampilkan ribuan perguruan tinggi, universitas dan beberapa fakultasinya terbukti mandul dengan sifat stagnasinya sebagai satu-satunya tumpahan masyarakat.
 
Dari sinilah Emha Ainun Nadjib dengan jama’ah ma’iyah sedikit berbeda dengan cara berfikir kelangan apapun di Indonesia dan Dunia. Kejeniusan ide Cak Nun sebagai pakar, dan kema’rifatan: posisi sebagai hamba, mampu melengkapi dirinya dengan tiga hal penting sebagai rumus kebenaran. Tiga hal itu adil di dalam ma’rifat ilmunya, ikhlas dan ikhsan. Kelebihan rahmat Alloh semacam inilah yang tidak diberikan pada para pemikir terdahulu.
 
Satu hari kholifah Ali bin Abi Tholib berkunjung ke masjid agung di Basrah (Iraq). Di dalam masjid yang luas itu sedang berlangsung berpuluh-puluh gerombol team diskusi. Spontan Ali bin Abi Tholib membubarkan mereka semua. Akhirnya tinggallah satu kelompok diskusi yag dimoderatori kalangan muda Hasan al Basry. Seraya Ali bertanya kepada pemuda itu “Hai anak muda, kalau kau bisa menjawab pertanyaanku, teruskanlah berdiskusi, tetapi kalau tidak tepat menjawab, maka bubarlah. Apa yang menyelamatkan agama dan dunia, apa pula yang menghancurkan agama dan dunia?” Hasan Basry menjawab “Yang merusak adalah ‘keserakahan’ sedangkan yang menyelamatkan adalah ‘zuhud (anti kepentingan)”. Tampaklah bahwa ketidakadilan terhadap nafsu membuat para pelaku sejarah bersikap serakah dan pada akhirnya memperlebar sektor lenceng dari cita-cita ketertataan dunia.
 
3. Tonggak Pandang Emha Ainun Nadjib (Ma’iyah)
Awal dari kegagalan peradaban selama ini adalah kerakusan. Awal dari kerakusan ter bentuk dari ketidak sanggupan kaum skolastik menarik nilai-nilai yang diaspirasikan oleh Tuhan. Aspirasi nilai ketuhanan berbeda dengan agama atau institusinya. Mengutip tulisan DR. Ali Syari’ati bahwa Islam berbeda dengan Sufisme. Kaum sufi hidup dan mati karena Alloh, tetapi Islam hidup bergerak menghampiri Alloh dan bersama Alloh bergerak menghampiri umat manusia. Seluruh kebobrokan sistem nilai peradaban selama ini dianalisa Emha Ainun Nadjib pada pengajian padhang mbulan 27 Pebruari 2010. Cak Nun mensinyalir bahwa awal kegagalan peradaban global bermula dari cara berfikir dunia pendidikan. Dunia pendidikan yang berlangsung, tidak menyematkan ‘aspirasi Tuhan’ dalam pengambilan setiap keputusan. Gejala semacam ini hanyalah ekses kausalis dari buntut panjang dangkalnya pemahaman ‘tauhid’ yang mendasari wacana seseorang. Krisis tauhid dimasa pendidikan dasar menusia akan menyebabkan kekroposan kadar nilai saat berperan menjadi tokoh atau pakar.
 
Program pendidikan dasar ilmu tauhid adalah wahana seseorang untuk mengenal, memahami, berakrab, serta bergantung terhadap Tuhannya. Cara yang paling efektif untuk mengenal Tuhan adalah dengan mengamati ciptaan-Nya. Maka ada 3 pokok dasar bidang keilmuan yang ketika seseorang berpredikat sebagai pembelajar jagat sekaligus bersapaan langsung dengan Tuhan. Ilmu Biologi, Fisika, Kimia. Ada dua hal yang menyebabkan kemerosotan dasar tauhid. 1. Program pendidikan yang mengurangi jatah bidang studi ke-alaman. 2. Tidak mampunya para pendidik menarik garis hubung program materi dengan peran Tuhan dalam tata kosmos kehidupan. Program penyempitan terhadap 3 dasar ilmu eksat tersebut hanyalah bertingkah de-edukasi. Proses de edukasi terbukti sebagai sebab awal terjadiya gejala kegagalan peradaban, sebab dalam proses penyelenggaraannya bersifat pembodohan dengan cara sekolah.
 
Dalam pengajian padhang mbulan yang hampir mendekati 100 hari wafatnya Gus Dur itu, Cak Nun menyingkap contoh-contoh yang dirasa luput dari paradigma barat-modern. Awal dari keserakahan dunia yang berpuncak pada perang-perang besar dunia adalah dari penguasaan negara-negara penghasil minyak. Kemiskinan Amerika-Eropa terhadap kekayaan minyak mentah menyebabkan Amerika menguasi geopolitik Timur Tengah dan Asia. Selama ini ilmuwan Barat berpendapat bahwa bahan dasar minyak berasal dari endapan fosil dan bebatuan berjuta tahun lalu. Kelemahan ilmuwan barat yang dianut sebagai guru keilmuan se-Indonesia itu diluruskan Cak Nun dengan pendapat barunya, yakni kadar minyak mentah sesungguhnya berasal dari ‘mayat manusia’. Timur Tengah dan Asia adalah sebagai sampel hipotesa kebenaran ini. Sepanjang sejarah peradaban di dua dataran inilah kerap terjadi pemusnahan massal jasat manusia. Di Timur Tengah, mayat disebabkan oleh kerapnya peperangan, sedangkan di Asia lebih disebabkan karena bencana alam.
 
Dua gejala alam yang berbeda antara Timur Tengah dan Asia nyaris menyumbat kecerdikan ilmuwan barat. Pusat penelitian Mesopotamia, peradaban Yunani kuno, aufklarung prancis yang dipajang sebagai acuan kebudayaan tertinggi diam-diam tidak mereka sadari, kalau keberadaan minyak mentah di benua ini seolah mencolok mata dan menjungkir kebenaran. Minyak mentah adalah hasil endapan sel-sel cair makhluk hidup berjuta-juta tahun lalu. Dari sini dapat kita analisa, apakah benar peradaban tertua itu Eropa? Setelah pengendapan sekian juta tahun lalu, kemana bahan minyak mentah di Eropa? Dan bukankah peradaban tertua itu ada di Indonesia (Jawa).
 
Lebih dalam Cak Nun memikirkan saat Nabi Muhammad mendapat wahyu pertama “iqro’” itu malaikat Jibril tidak sedang membwa lembaran/suhuf. Lantas apa yang diperintahkan Jibril untuk dibaca? Tidak lain adalah gejala alam semesta (biologi, fisika, kimia). Hal yang sama juga dialami Nabi Ibrahim as. Beliau menemukan eksistensi Alloh justru dari mengenali rotasi dan revolusi planet. Dalam contoh lain Cak Nun menafsirkan bahwa secara susunan komposisi pertikel salju yang berada puncak Himalaya, tentu berbeda kadarnya dengan salju yang berada dikutub utara dan selatan. Hipotesa mengenai reaksi kimia salju ini harus tepat, sebab menyangkut bencana peradaban saat pemanasan global (global warming) terjadi. Dan saat itulah puncak salju mencair dan air laut pasang.
 
Tentu ini sangat luas cakupannya, semisal RUU tata ruang kota, perizinan proyek industri dan lain-lain yang menyangkut keselamatan lingkungan. Dari sinilah ma’iyah tampil beda membuka wacana yang merevolusi cara berfikir masyarakat sebagai penghuni peradaban.
***

*) Sabrank Suparno, petani, pencetak bata, cerpenis, kolomnis dan pemerhati budaya. Aktif di Komunitas Padhang mBulan dan bergiat di Lincak Sastra Dowong. Beralamat di Dowong, Desa Plosokerep, Sumobito, Jombang, Jawa Timur. http://sastra-indonesia.com/2010/07/tonggak-revolusi-berfikir/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah