Tasybih (metafora) adalah salah satu godaan 'setan' yang paling sulit dihindari, terutama dalam menulis teks yang sejak awal diniatkan agar tampak puitis. Setan selalu menyesatkan, bahkan walaupun ajarannya mengandung kebaikan. Jangan heran bila muncul Gereja Setan untuk menandingi gereja yang sudah mapan.
Seorang penyair menulis sebuah puisi berjudul Romansa Biadab, dengan harapan mampu menggambarkan tokoh kau di mata penyair sebagai sosok yang biadab. Kebiadaban tersebut ditandai dengan satu indikator berupa bujuk rayunya yang manis. Rasa manis itu, yang mestinya hanya dapat diukur oleh indera perasa, diibaratkan dengan kicauan seekor burung dan semerbak bunga, yang hanya mampu dinikmati oleh indera pendengaran dan penciuman.
Perhatikan bait berikut:
Harum semerbak kicau rayuan
Berdengung kencang terngingang melayang
Sekejap saja sabit mengembang
Di bujuk lidah yang pintar bersilat.
Namun, nyatanya, penyair kecewa. Kekecewaan tersebut digambarkan dengan lidah orang yang tajam seperti sabit. Kekecewaan itu pula yang menjadikan penyair cukup yakin menulis kisah romansa yang penuh kebiadaban.
Kebiadaban tokoh kau kembali disamakan dengan abjad, atau mungkin perilaku personal yang pandai berkata-kata tetapi hampa bukti. Banyak janji manis, disertai rupa yang menjanjikan awalnya, namun berakhir ketidakpastian. Perhatikan bait berikut:
Abjad telanjang memeluk remang
Meringkuk gurau di pucuk tenang
Rupa meramu senyap tersirat
Diam sejenak tanpa kalimat.
Namun, sekali lagi, tasybih/metafora itu setan. Terlalu lama mengikuti perilaku setan maka sesat tampak di mata. Jangan heran bila upaya memahami karakteristik yang penulis sematkan untuk menjelaskan dan memberi sifat pada abjad dan rupa menuntut pembaca mengerutkan kening. Padahal tujuan bait di atas sama dengan bait sebelumnya, sekedar mau memastikan pembaca tentang indikator-indikator kebiadaban tokoh kau yang mau dibahas dalam romansa ini.
Pengulangan demi pengulangan terus dilakukan, misalnya:
Kekasihku yang ada di titian angan
Mesra mengawan di dalam delusi
Menyenangkan bermain sakit
Sengaja kamu masih kusimpan
Bait di atas tentang tokoh kau yang notabene adalah kekasih tokoh aku (penyair). Kemesraan hanya delusi; suka menyakiti; dan aku suka untuk terus disakiti; rasa sakit yang dipelihara. Cara memelihara rasa sakit itu antara lain, menyimpan dalam kenangan, yang mana kenangan itu sendiri bagaikan buku yang mampu mencatat semua kisah. Bait-bait berikutnya hanya berkisah tentang cara-cara tokoh aku memelihara rasa sakit yang ditimbulkan oleh kebiadaban.
Perhatikan semua bait berikut:
Dengan lembut kuletakkan pelan
Di lembar hitam buku kenangan
Selagi manis pernah ku kecap
Sebelum hati mati saat kasmaran
Rasa berada di ambang batas
Berbalik arah secara bebas
Menyusun lagi sejenak kisah
Berharap masa meninggal sisa
Tarikan napas terakhir pada kamu yang masih bahagia
Puas aku menganiaya renjana yang terbengkalai
Kamu ... sudah mengikat milikku dan menjadikannya tak berpemilik
Lagi ...
Bagi saya, puisi berjudul romansa biadab ini cukup menggambarkan perilaku biadan seseorang yang diamini dan diterima secara naif oleh orang lain yang sedang mabuk cinta. Tetapi, apa guna/manfaat bagi saya mendengarkan kegelisahan orang lain? Sampai detik ini, tulisan dibuat, tak muncul inspirasi lain selain bahwa ini kisah cinta yang naif. Kenaifan tersebut salah satunya karena mengajarkan kebiadaban diterima tanpa perlawanan. Ini tentu saja bukan keindahan nilai yang dimau para moralis.
Kedua, puisi yang selalu mengulang-ulang teknik penulisan dengan metode metafora/tasybih, cukup positif jika diniatkan sebagai upaya menciptakan teknik baru dan menyediakan bahan material untuk membangun teknis metaforis yang baru. Jika tidak maka apa pentingnya bagi upaya pengayaan teknik metafor atau teori tasybih?
Saran saya, penyair bukan adalah kreator, bukan eksekutor. Penyair menciptakan kebaruan, bukan mengulang-ulang yang sudah lumrah. Wallahu a'lam bishawab.
***
http://sastra-indonesia.com/2021/08/terlena-di-taman-tasybih-sampai-kapan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar