Sabtu, 26 Juli 2014

Mengembangkan Seni Tradisi di Sekolah

Indira Permanasari
Kompas, 15 Des 2006

Ni Randa Dadapan sedang sedih. Hujan lama tidak turun. Makanan menjadi sulit karena kekeringan melanda. Kemudian, diambilnya irus (semacam sendok sayur) yang didandaninya seperti bidadari. Tembang indah yang ibaratnya mantra lalu dilantunkan Ni Randa dengan harapan bidadari sudi menurunkan hujan.

Lakon Ngudang Widadari Nurunnaken Udan itu dibawakan dengan tradisi Dalang Jemblung oleh empat siswa SMA Negeri 5 Purwokerto, Jawa Tengah, dalam Festival Tradisi Lisan beberapa waktu lalu.

“Sampai sekarang, di beberapa daerah yang kurang air di daerah Banyumasan masih menjalankan ritual cowongan atau meminta hujan,” ujar Amalia Rahayuni, guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 5 Purwokerto yang membina kelompok teater tersebut. Cowongan biasanya dibuat dari irus, kukusan, kayu, dan bambu hingga menyerupai boneka manusia.

Dalang Jemblung sendiri merupakan kesenian khas daerah Banyumas. Dalang Jemblung yang dibawakan para remaja dengan gaya berteater itu sederhana, tetapi jenaka.

Tidak ada alat musik sehingga bebunyian keluar dari bibir pedalang, pelakon atau sinden. Si pemeran tokoh, sinden, dan dalang dalam satu panggung saling berceletuk sehingga menimbulkan kelucuan. Kostum juga sederhana, seperti pakaian petani di pedesaan. Properti yang dibawa hanya sebuah boneka dari serabut dan semacam piring perak.

Dalang Jemblung cukup dimainkan 4-6 orang. Seni tradisi ini konon di daerah asalnya bisa saja dimainkan di dalam rumah lantaran tidak membutuhkan banyak perlengkapan.

Para pemain Dalang Jemblung muda tersebut tergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler teater di sekolah mereka. “Kami memainkan Dalang Jemblung pertama kalinya ketika diundang Festival Tradisi Lisan di Yogyakarta baru-baru ini. Kami mencari naskah cerita rakyat ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas dan berlatih lakon tersebut. Setelah itu, baru diundang ke Jakarta,” ujar Amalia.

Sebelum itu, teater tersebut belum pernah membawakan seni tradisi. “Anak-anak ternyata menyukainya, barangkali benar kata pepatah, tak kenal maka tak sayang,” kata Amalia.

Selain lakon Dalang Jemblung itu, dua murid SMP Negeri 1 Taliwang, Nusa Tenggara Barat (NTB), Basuk dan Mizar, membawakan seni tradisi Lawas-Sakeco dari Sumbawa. Lawas-Sakeco dibawakan dengan menembang lawas sambil menabuh rebana.

Kesenian itu dimainkan dua orang dan biasanya pria. Mereka bersyair dimulai dari satu orang dan disahuti oleh yang lainnya. Isi syairnya bermacam-macam, mulai dari kritik sosial, lingkungan, dan sebagainya.

Siang itu Basuk dan Mizar membawakan syair-syair yang terkadang kocak. “Biar tidak punya motor Honda, yang penting bisa bersekolah duk… duk… duk,” dendang Basuk kemudian menabuh rebananya. Kali lain dia bernyanyi.

Kedua bocah tersebut sudah belajar Lawas-Sakeco sejak kelas empat SD. “Waktu di sekolah dasar, mereka sering mewakili sekolah untuk pertunjukan Lawas-Sakeco,” ujar Jaya dari Sanggar Seni Lepas yang mendampingi kedua bocah tersebut.

Selepas SD, mereka lebih banyak belajar dari lingkungannya dan tergabung dalam sanggar. Di SMP tempat mereka belajar tidak ada ekstrakurikuler seni tradisi tersebut.

Wahana pewarisan

Kalau empat remaja SMA Negeri 5 Purwokerto, juga dua remaja dari SMP Negeri 1 Taliwang, Basuk dan Mizar, mengenal seni tradisi di sekolah, itu menunjukkan bahwa sekolah justru dapat menjadi pemutus mata rantai tradisi.

Umumnya, sekolah bisa dibilang kian steril dari nilai dan seni tradisi lokal, terutama di perkotaan. Sekolah yang sistemnya cenderung seragam semakin terfokus untuk kompetitif di era globalisasi. Era yang antara lain ditandai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

Akibatnya, kearifan lokal dan tradisi semakin tidak mendapat tempat. Sayangnya, seperti pernah diungkapkan Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pudentia, terkadang dengan adanya sistem persekolahan, orangtua cenderung menyerahkan tugas pendidikan dan pengajaran kepada sekolah.

AM Muchtar, salah satu peserta dalam pertunjukan Massureq dari Sulawesi Selatan, mengamini hal tersebut. Massureq merupakan seni pembacaan karya sastra tulis orang Bugis, termasuk di dalamnya I La Galigo. Kata Muchtar, di zaman sekolah rakyat, dirinya masih diajarkan menulis dengan aksara Bugis dan membacanya.

“Anak dan cucu saya sekarang tidak lagi mengalami hal serupa dengan model sekolah seperti sekarang ini. Tradisi tidak lagi diajarkan. Padahal, di lingkungan sehari-harinya, anak juga diserbu oleh berbagai budaya luar,” katanya.

Amalia juga mengakui, di dalam kurikulum sendiri jarang mencakup pengenalan kearifan lokal dan seni tradisi. “Untuk itu, salah satu cara yang dapat dikembangkan ialah mengenalkan berbagai kearifan lokal dan seni tradisi melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolah,” ujarnya.

Selain itu, pihak sekolah dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga lain yang peduli terhadap tradisi. “Mahasiswa sastra dari Universitas Jenderal Soedirman, misalnya, menawarkan untuk menampilkan teater Banyumasan di sekolah kami. Kami setuju, tetapi dengan catatan para siswa kami juga mendapatkan peran sehingga mereka dapat ikut merasakan dan mengenal tradisi,” ujarnya.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2006/12/mengembangkan-seni-tradisi-di-sekolah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah