Indira Permanasari
Kompas, 15 Des 2006
Ni Randa Dadapan sedang sedih. Hujan lama tidak turun. Makanan menjadi sulit karena kekeringan melanda. Kemudian, diambilnya irus (semacam sendok sayur) yang didandaninya seperti bidadari. Tembang indah yang ibaratnya mantra lalu dilantunkan Ni Randa dengan harapan bidadari sudi menurunkan hujan.
Lakon Ngudang Widadari Nurunnaken Udan itu dibawakan dengan tradisi Dalang Jemblung oleh empat siswa SMA Negeri 5 Purwokerto, Jawa Tengah, dalam Festival Tradisi Lisan beberapa waktu lalu.
“Sampai sekarang, di beberapa daerah yang kurang air di daerah Banyumasan masih menjalankan ritual cowongan atau meminta hujan,” ujar Amalia Rahayuni, guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 5 Purwokerto yang membina kelompok teater tersebut. Cowongan biasanya dibuat dari irus, kukusan, kayu, dan bambu hingga menyerupai boneka manusia.
Dalang Jemblung sendiri merupakan kesenian khas daerah Banyumas. Dalang Jemblung yang dibawakan para remaja dengan gaya berteater itu sederhana, tetapi jenaka.
Tidak ada alat musik sehingga bebunyian keluar dari bibir pedalang, pelakon atau sinden. Si pemeran tokoh, sinden, dan dalang dalam satu panggung saling berceletuk sehingga menimbulkan kelucuan. Kostum juga sederhana, seperti pakaian petani di pedesaan. Properti yang dibawa hanya sebuah boneka dari serabut dan semacam piring perak.
Dalang Jemblung cukup dimainkan 4-6 orang. Seni tradisi ini konon di daerah asalnya bisa saja dimainkan di dalam rumah lantaran tidak membutuhkan banyak perlengkapan.
Para pemain Dalang Jemblung muda tersebut tergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler teater di sekolah mereka. “Kami memainkan Dalang Jemblung pertama kalinya ketika diundang Festival Tradisi Lisan di Yogyakarta baru-baru ini. Kami mencari naskah cerita rakyat ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas dan berlatih lakon tersebut. Setelah itu, baru diundang ke Jakarta,” ujar Amalia.
Sebelum itu, teater tersebut belum pernah membawakan seni tradisi. “Anak-anak ternyata menyukainya, barangkali benar kata pepatah, tak kenal maka tak sayang,” kata Amalia.
Selain lakon Dalang Jemblung itu, dua murid SMP Negeri 1 Taliwang, Nusa Tenggara Barat (NTB), Basuk dan Mizar, membawakan seni tradisi Lawas-Sakeco dari Sumbawa. Lawas-Sakeco dibawakan dengan menembang lawas sambil menabuh rebana.
Kesenian itu dimainkan dua orang dan biasanya pria. Mereka bersyair dimulai dari satu orang dan disahuti oleh yang lainnya. Isi syairnya bermacam-macam, mulai dari kritik sosial, lingkungan, dan sebagainya.
Siang itu Basuk dan Mizar membawakan syair-syair yang terkadang kocak. “Biar tidak punya motor Honda, yang penting bisa bersekolah duk… duk… duk,” dendang Basuk kemudian menabuh rebananya. Kali lain dia bernyanyi.
Kedua bocah tersebut sudah belajar Lawas-Sakeco sejak kelas empat SD. “Waktu di sekolah dasar, mereka sering mewakili sekolah untuk pertunjukan Lawas-Sakeco,” ujar Jaya dari Sanggar Seni Lepas yang mendampingi kedua bocah tersebut.
Selepas SD, mereka lebih banyak belajar dari lingkungannya dan tergabung dalam sanggar. Di SMP tempat mereka belajar tidak ada ekstrakurikuler seni tradisi tersebut.
Wahana pewarisan
Kalau empat remaja SMA Negeri 5 Purwokerto, juga dua remaja dari SMP Negeri 1 Taliwang, Basuk dan Mizar, mengenal seni tradisi di sekolah, itu menunjukkan bahwa sekolah justru dapat menjadi pemutus mata rantai tradisi.
Umumnya, sekolah bisa dibilang kian steril dari nilai dan seni tradisi lokal, terutama di perkotaan. Sekolah yang sistemnya cenderung seragam semakin terfokus untuk kompetitif di era globalisasi. Era yang antara lain ditandai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
Akibatnya, kearifan lokal dan tradisi semakin tidak mendapat tempat. Sayangnya, seperti pernah diungkapkan Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pudentia, terkadang dengan adanya sistem persekolahan, orangtua cenderung menyerahkan tugas pendidikan dan pengajaran kepada sekolah.
AM Muchtar, salah satu peserta dalam pertunjukan Massureq dari Sulawesi Selatan, mengamini hal tersebut. Massureq merupakan seni pembacaan karya sastra tulis orang Bugis, termasuk di dalamnya I La Galigo. Kata Muchtar, di zaman sekolah rakyat, dirinya masih diajarkan menulis dengan aksara Bugis dan membacanya.
“Anak dan cucu saya sekarang tidak lagi mengalami hal serupa dengan model sekolah seperti sekarang ini. Tradisi tidak lagi diajarkan. Padahal, di lingkungan sehari-harinya, anak juga diserbu oleh berbagai budaya luar,” katanya.
Amalia juga mengakui, di dalam kurikulum sendiri jarang mencakup pengenalan kearifan lokal dan seni tradisi. “Untuk itu, salah satu cara yang dapat dikembangkan ialah mengenalkan berbagai kearifan lokal dan seni tradisi melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolah,” ujarnya.
Selain itu, pihak sekolah dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga lain yang peduli terhadap tradisi. “Mahasiswa sastra dari Universitas Jenderal Soedirman, misalnya, menawarkan untuk menampilkan teater Banyumasan di sekolah kami. Kami setuju, tetapi dengan catatan para siswa kami juga mendapatkan peran sehingga mereka dapat ikut merasakan dan mengenal tradisi,” ujarnya.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2006/12/mengembangkan-seni-tradisi-di-sekolah.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar