Rahmat HM
kompasiana.com/rahmathm
Sastra sangat terkait erat dalam kehidupan manusia. Ia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan budaya dan peradaban karya cipta manusia itu sendiri. Sastra seperti pisau tajam, bahkan jauh lebih tajam, yang mampu merobek-robek dada dan menembus ulu hati, bahkan jiwa dan pemikiran. Pisau tajam ini juga mampu menjadi alat paling efektif untuk membuat ukiran patung karya kehidupan yang paling indah. Sastra juga bisa lebih halus daripada sutra yang paling halus hingga mampu menelusup ke dalam relung jiwa hingga tunduk dan pasrah pada kekuatannya.
Sastra dan manusia serta kehidupannya adalah sebuah persoalan yang penting dan menarik untuk dibahas secara komprehensif. Sastra berisi manusia dan kehidupannya. Manusia dan kehidupannya mempunyai hubungan yang rapat dengan kehidupan sastra. Manusia menghidupi sastra dan kehidupan sastra adalah kehidupan manusia.
Kekuatan sastra yang dahsyat mampu mengubah moralitas dan karakter manusia ke dalam persepsi kehidupan yang berbeda. Sejarah menuliskan bagaiman sosok seorang Umar bin Khotob yang punya kepribadian keras akhirnya luluh dalam basuhan sejuknya kekuatan sastra ayat-ayat Al-Qur’an. Goresan luka dari tajamnya pedang takkan bisa membuatnya menangis. Hantaman pukulan dan tendangan dari algojo terkuat dan terkejam sekalipun takkan sanggup menggoyahkan ketegarannya. Ancaman pembunuhan dan kematian tidak sedikit pun membuatnya merinding ketakutan.
“Syair macam apa yang kau baca itu?” Begitu tanya Umar saat pertama kali mendengar ayat-ayat suci dari Tuhan Penguasa semesta. “Betapa indah dan agungnya kalimat di dalam syair ini,” takjub Umar setelah membacanya. Ucapan Umar menunjukan bahwa hal pertama yang membuatnyat tertarik pada Islam adalah keterpesonaannya terhadap untaian tata bahasa Al-Qur’an yang begitu indah. Hanya syair dari Illahi inilah yang mampu membuat air matanya mengalir deras. Hanya untaian kalimat indah di dalam Al-Qur’an-lah yang sanggup membuatnya takluk dan tunduk serta merinding ketakutan.
Kekuatan Sastra Dalam Mendidik Bangsa
Sebelum Al-Qur’an turun, masyarakat jahiliyah negeri Arab memang sudah dikenal sebagai masyarakat yang mengagungkan para penyair dengan untaian sastra puisinya. Seperti yang dituliskan oleh Ibnu Rasyik dalam bukunya yang berjudul “Umdah” bahwa para penyair memiliki pengaruh dan kedudukan yang tinggi bagi bangsa Arab waktu itu. Bagi mereka seorang penyair merupakan penyambung lidah yang dapat mengungkapkan kebanggaan dan kemuliaan mereka.
Bangsa Arab telah menganggap betapa pentingnya peranan seorang penyair. Sehingga sering kali mereka mengiming-imingi seorang penyair yang dapat memberikan semangat dalam perjuangan dengan bayaran dan jabatan yang tinggi. Ada pula yang menggunakan penyair sebagai perantara untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi antara kabilah, bahkan ada juga yang menggunakan penyair untuk memintakan maaf dari seorang penguasa.
Sebuah karya puisi, pada bangsa Arab dahulu, sanggup mempengaruhi kondisi masyarakat, bahkan mengubah sikap dan posisi seseorang atau sekelompok orang terhadap sikap atau posisi orang dan kelompok lainnya. Para penyair, dengan demikian juga berfungsi sebagai agen perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Kehebatan sastra para penyair waktu itu hanya bisa ditandingi oleh keindahan bahasa dari ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan Rabbul izzati kepada Muhammad SAW.
Betapa pentingnya sastra hingga Umar bin Khotob pun pernah mengingatkan, “Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, maka kau sedang mengajarkan keberanian pada mereka!” Betapa tinggi nilai essensial dari sastra hingga Anis Matta dalam bukunya yang berjudul “Mencari Pahlawan Indonesia” mengajak pembacanya untuk mempelajari dan mengajarkan sastra. Sastra mengajarkan keberanian, sastra mengajarkan kelembutan, sastra mengajarkan keindahan, sastra mengajarkan kepedulian.
Sungguh sangat beralasan jika negara-negara maju sudah menjadikan sastra sebagai alat untuk membendung moralitas anak-anak muda. Para pendidik di negara-negara maju sudah menyadari bahwa sastra punya kekuatan besar yang sanggup merasuk ke hati pelajar, sehingga moralitas mereka juga bisa tertata.
Hal itu terbukti di negara-negara seperti Inggris, Amerika, Perancis, Jerman, dan negara-negara maju lainnya, bahwa pendidikan sastra banyak mempengarui moralitas para siswa di sekolah. Ada perbedaan yang signifikan antara siswa yang diajarkan sastra dengan yang tidak. Siswa yang diajarkan sastra hampir tidak pernah berperilaku negatif seperti terlibat perkelahian, nge-drug, dan melakukan tindak kejahatan kriminal. Sastra ternyata mampu menata etika mereka dengan budi pekerti yang baik. Padahal remaja yang hidup di negara maju tersebut merupakan remaja yang hidup di tengah masyarakat yang memiliki kebebasan yang tinggi.
Bicara tentang sastra, ada penelitian yang menarik. Bahwa, berdasarkan hasil dari beberapa penelitian di luar negeri, menunjukan ternyata berpuisi—sebagai salah satu bagian dari sastra—selain mampu memanajemen stress, yang notabene pemicu dari lahirnya tindak kekerasan, juga memberikan efek relaksasi serta mencegah penyakit jantung dan gangguan pernafasan. Sastra memang luar biasa!
Pendidikan Sastra Kita
Lantas bagaimana dengan pendidikan sastra di negara kita? Sayangnya, sastra di negara kita belum maksimal benar masuk ke ranah pendidikan. Terutama sastra untuk pendidikan pelajar tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. Pendidikan sastra masih seperti untaian berlian yang belum terasah. Berlian yang masih dianggap terlalu mahal, kalau tidak boleh disebut terpinggirkan, untuk dinikmati keindahannya. Berlian itu terus tersimpan di etalase toko perhiasan yang hanya bisa dilihat tanpa boleh menyentuhnya. Bahkan mungkin masih tersimpan di dasar lautan yang hanya bisa ditemukan oleh orang-orang yang mau berjuang menyelami samudera.
Sastra di negara kita masih seperti dianaktirikan oleh dunia pendidikan. Pendidikan sastra secara formal masih menjadi salah satu materi yang diajarkan di dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Pendidikan sastra seolah hanya menjadi pelengkap dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Sastra dianggap sebagai hafalan belaka. Siswa mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara Membawa Nikmat karya Sutan Sati atau Tenggelamnya Vanderwijk karya Buya Hamka, dan sebagainya karena mereka terpaksa atau bisa jadi dipaksa menghafal. Sebatas tahu judul buku dan penulisnya, serta membaca sebagian kutipan yang ada di salah satu halaman buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk sekedar berjaga-jaga kalau keluar dalam soal ujian.
Ujungnya, sastra hanya berlabuh dalam aktivitas menghafal, mencatat, ujian dan selesai. Metodenya hampir sama dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Sehingga minat terhadap dunia sastra benar-benar tak terlintas dalam benak para pelajar. Pendidikan formal relatif sangat kecil dalam perannya melahirkan sastrawan. Bisa dibilang, sastrawan, penyair, dan penulis-penulis hebat besar di jalanan, bukan karena pendidikan sastra dari lingkungan formal.
Padahal kalau mau melihat lebih luas, ternyata karya-karya anak bangsa justru banyak diapresiasi di luar negeri. Contohnya karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka telah menjadi bacaan wajib di negara seperti Malaysia, Cina, dan Belanda. Karya-karya mereka menjadi rujukan penting dalam memahami dunia sastra. Jadi tidak sekedar menghafal penulis dan judul karyanya saja, tapi mereka juga mengadakan kajian mendalam sehingga pelajar bisa benar-benar menyelami nikmatnya sastra.
Kini sudah saatnya dunia pendidikan tidak melihat sastra sebelah mata. Sastra bukan barang langka yang hanya tersimpan di museum. Sastra bukan mahluk asing yang hanya diperlakukan sebatas pengenalan dan penghafalan identitas. Dunia pendidikan di negara kita harus sudah memisahkan sastra dari pelajaran Bahasa Indonesia, mendalami sastra secara lebih luas, melahirkan sastrawan-sastrawan besar dari pendidikan formal dan memfungsikan dengan maksimal kekuatan sastra untuk mendidik generasi dan kehidupan berbangsa.
Sejatinya sastra merupakan unsur yang amat penting yang mampu memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, harmoni, irama, proporsi, dan sumbilmasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan peradaban. Jika sastra tercerabut dari akar kehidupan manusia, maka manusia tak lebih dari sekedar hewan berakal. Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan.
Kembali mengutip bukunya Anis Matta, “Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar mereka berani mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar mereka berani melawan ketidakadilan. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar mereka berani menegakan kebenaran. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar jiwa-jiwa mereka hidup. Ajarkan sastra yang mengajarkan keberanian.”
__________25 October 2011
*) Penulis, Sastrawan, Wartawan, Dosen Jurnalistik UNPAK Bogor, Pengurus Forum Lingkar Pena, Pendiri Forum Diskusi Lingkar Study Mindset Revolution (LISMIR)
Dijumput dari: http://bahasa.kompasiana.com/2011/10/25/peran-sastra-dalam-kancah-pendidikan-bangsa/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar