Rabu, 04 April 2018

Membaca Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia

: Membaca Subyektivitas (Nurel) atas Subyektivitas (Ignas Kleden dan Sutardji Calzoum Bachri)
Siwi Dwi Saputro *

Telah hadir buku Esai (mungkin kritik juga) yg berjudul Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia yang ditulis oleh Nurel Javissyarqi. Buku setebal 500 halaman ini semakin mengukuhkan pandangan bahwa kritik sastra itu merupakan karya kreatif juga.
Sastrawan menafsirkan hidup dan lalu menuliskan ke dalam karya sastra. Kritikus sastra menafsirkan karya sastra dan lalu menuliskannya dalam bentuk kritik sastra.
Jadilah kritik sastra sebagai karya re-kreasi. Kreasi atas kreasi, tafsir atas tafsir.
Nah, dalam buku ini Nurel dirangsang oleh tafsir Ignas Kleden atas puisi Sutardji Calzoum Bachri. Sebagai tafsir sangat mungkin subjektivitas Ignas Kleden muncul. Subjektivitas inilah yang mendorong subjektivitas Nurel membedahnya kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Buku ini merupakan kritik atas kritik. Subjektivitas atas subjektivitas. Sangat menarik untuk dibaca. Siapa tahu nanti juga akan lahir kritik atas buku ini. Anda harus membacanya. (Tengsoe Tjahjono).

Semelah mbah buyut...(mantra diajarkan oleh embah putri dan emak saya).
Saya meniru Sabrank Suparno dengan mengucapkan mantra juga untuk mengawali bahasan tentang buku MMKI ini, walaupun mantra Sabrank terkait dengan penjualan buku.

Sebelum masuk ke buku, ijinkan saya cerita sedikit ketika saya bertandang ke FIB UI. Saya langsung jatuh cinta dan simpatik kepada M. Yoesoef, Kepala Departemen Susastra. Ketika kami bertemu, saya utarakan maksud saya dan ringkasan tentang buku ini. Respon yang saya dapat langsung menukik pada persoalan: ada esainya Ignas Kleden di buku ini? Kredo Sutardji juga ada? Begitu tanyanya. Langsung saya mendapatkan beberapa point yang ingin saya punguti.

Kembali ke buku.
Pertama-tama ketika melihat judul bukunya saja dan membaca nama Nurel tertera sebagai penulisnya, saya langsung pusing. Walau hanya mengenal Nurel lewat tulisan-tulisan yang di posting di facebook, saya sudah dapat merasakan kepusingan itu sejak membaca embrio buku ini yang di posting di status facebook Nurel, dan kemudian diberinya komentar sendiri. Komentarnya itu berupa lanjutan paragraf yang ditulis pada status yang di posting.  Karena cukup mengikuti apa yang menjadi kelakuan dan kebiasaan Nurel, maka tak mengherankan bagi saya, kalau kemudian status dan komennya itu disembunyikan atau malah dihapus sekalian untuk kemudian di file dan disimpan rapi untuk dikompilasi menjadi satu paragraf.

Secara keseluruhan buku MMKI memang memusingkan. Barangkali kalau ditulis dengan gaya bahasa yang lugas dan tidak berbelit-belit akan lebih dapat diterima oleh semua kalangan. Juga pemilihan beberapa kosa kata yang tidak lazim dipakai menjadikan buku ini semakin terkesan mbulet (berbelit-belit) dan nggladrah (tidak fokus, tersebar kemana-mana). Perlu diperhatikan bahwa kita menulis adalah untuk dibaca oleh orang lain. Agar tidak terjebak pada apa yang dikritiknya seharusnya penulis menghindarkan diri dari cuci tangan dan ikut bertanggungjawab dengan apa yang ditulisnya.

Sejauh yang saya ketahui, buku MMKI ini memang lama sekali penyusunannya. Jika dilihat dari tanggal awal yang tertera di bagian pertama disana tertulis 15 Juni 2011/23 malam Juni 2015 dan 26 Oktober 2015. Saya tak tahu pasti penanda apakah ini, tapi mungkin Nurel ingin mengatakan bahwa bagian pertama ini diawali penulisannya pada tanggal 15 Juni 2011, dan dibaca ulang dan diedit lagi pada tanggal-tanggal yang tertera belakangan. Bagian akhir buku ini ditulis pada Agustus 2017. Enam tahun adalah waktu yang panjang, maka tak mengherankan kalau buku ini penuh dengan kajian mendalam yang dilakukan penulisnya selama kurun waktu tersebut. Suatu kurun waktu yang berdarah-darah.  Nurel mengatakan bahwa penulisan buku ini 80 persen dikerjakannya pada kurun waktu 15 juni 2011 dari bagian I sd 26 Oktober 2012 bagian XXIII. Otomatis dalam kurun waktu satu tahun lebih ini, sudah 80 persen dari buku ini digarap. Sedangkan sisanya diselesaikan pada tahun 2013 sd 2017.

Syukurlah. Nurel sendiri menyadari kalau membaca bukunya pasti membuat pembaca pusing. Kalau boleh dianalogikan dengan salah satu slogan You scratcth my back I scratch yours. Ini salah satu kata-kata ampuh yang dapat menggambarkan bagaimana digdayanya Soeharto pada zamannya. The Smiling General, Raja Jawa dan banyak sebutan lain yang melekat. Kesemuanya itu terpaut dengan istilah diatas. Istilah yang menggambarkan bagaimana suatu keterkaitan yang akibatnya bisa baik ataupun buruk.

Kepusingan yang dibuat Nurel untuk para pembacanya juga banyak sekali. Ada beberapa hal yang saya catat disini:

1. Penggunaan kata-kata bahasa daerah yang tidak ada keterangan dalam bahasa Indonesia. Dijamin para pembaca yang tidak punya bahasa ibu bahasa Jawa akan pusing lebih dari tujuh keliling.

2. Cara penulisan catatan kaki yang langsung tempel pada tulisan, membuat buku ini terkesan ruwet dan tidak luwes. Juga buku-buku yang jadi bahan bacaan tidak ditulis dalam bagian tersendiri dalam Daftar Pustaka. Walaupun Nurel berdalih itu pilihannya, namun sebaiknya untuk edisi revisi atau buku-buku selanjutnya tidak dilakukan.

3. Banyak kata-kata yang salah ketik atau typho dan suara bakti. Seharusnya suara bakti muncul kalau kata itu dibunyikan atau disuarakan bukan dalam teks. Contoh suara bakti terlampir pada kata-kata yang dicetak tebal.

4. Banyak pemilihan kata-kata yang tidak baku, sehingga sebagai pembaca dan  saya kesulitan mengkonsultasikannya pada KBBI ataupun PUEBI. Semisal Nurel lebih suka memilih kata dinaya daripada daya. Apabila salah ketik dinaya dengan huruf kapital D, maka akan berbeda maknanya dan maksud tujuannya. (daftar terlampir)

5. Penulisan yang tidak lazim misal dll ditulis &ll. Atau saya yang kurang update. Disini Nurel juga tidak konsisten menuliskannya. Ada sebagian menggunakan dll dan sebagian lain memakai &ll.

Membaca MMKI memang memerlukan ekstra tenaga, demikian juga apabila ingin membedahnya. Memberikan komentar. Tak kurang seorang Tarmuzie, yang notabene guru Nurel berucap : "Kejam”. Kekejaman itu pula rupanya yang mungkin menyurutkan langkah Binhad dan juga yang lain urung membedah buku ini. Kalau boleh menyitir kata-kata Nurel di bukunya “Kritik itu semacam saudara tidak mukrim, sudah menikah masih boleh digugat balik untuk membatalkan wudhunya”. Mungkin juga karena alasan ini atau juga mungkin karena alasan lain buku ini terlahir dari subyektivitas Nurel, seperti yang ditulis oleh Tengsoe Tjahjono (diatas).

Namun demikian demi menjawab atas subyektivitas yang dilekatkan kepadanya, saya menemukan juga obyektivitas yang dilakukan Nurel tentang kajiannya.
Saya menangkap 6 hal yang esensi dari buku ini secara keseluruhan:

A. Kritik Nurel akan Esai Ignas Kleden
Nurel menganggap posisi Ignas Kleden yang abu-abu, antara mau mengkritik atau memujanya. Disisi lain IK mau mengkritik, namun disisi lain tak ada atau kurang keberanian atau malas dan enggan untuk mengkritik SCB. Jadilah esai IK ini menjadi kurang ketajamannya dan yang ada adalah upaya membelokkan atau mencarikan Alibi kalau dalam istilah SCB untuk karya SCB. Hal ini dikupas tuntas oleh Nurel di setiap paragrafnya. Dari upaya memaknai kata semisal perbedaan antara menerobos dan membebaskan, antara upaya dan usaha. Selanjutnya dapat dilihat di buku pada bagian awal. Disini Nurel lengkap menuturkan tentang makna, jenis kata, bentuk kata dan tata bahasa dari Menerobos.

Lebih lanjut Nurel memberontak, bahwa seharusnyalah sesuatu yang menjadi mitos itu telah melalui kurun waktu yang lama, setidaknya satu abad, sehingga gagasannya sudah teruji. Sekarang yang terjadi, kebanyakan orang, mahasiswa ataupun  juga para pengkritik enggan membaca, lebih senang mendengar cerita dan kurang memupuk daya nalar sehingga boleh dikatakan banyak para perilaku sastra terpukau pada kupasan-kupasan yang dinalarkan, dialog yang diandaikan memperkuat bangunan yang hendak dicanangkan, ketakutan tidak sesuai. Atau lebih singkatnya semacam ketakutan pada nama besar.

Hal itu juga terlihat pada esai Ignas Kleden yang mengesankan Ignas Kleden tidak berani terang-terangan berseberangan dengan SCB. Tidak hanya Ignas Kleden yang berlaku demikian, pun juga Sapardi Djoko Damono yang menyatakan “Jadikan Sastra sebagai seni Bukan Ilmu Sekolah”. Demikian juga dengan Abdul Hadi W.M.,Dami N. Toda.

 B. Alibi
Kritik kedua adalah tentang Alibi dalam puisi adalah alibi kata-kata. Nurel sangat tidak berpendapat dengan istilah ini, karena alibi itu berkonotasi buruk dan mengesankan tidak bertanggungjawab. Dalam hal ini, SCB tidak bertanggungjawab atas karyanya. Sebagai perbandingan Nurel mengutip kata Pablo Picasso “Seni adalah kebohongan yang memungkinkan  kita untuk menyadari kebenaran”.

C.  Kredo Puisi
Saya kutipkan kata-kata SCB dari halaman 167 buku MMKI “Sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggungjawabannya atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya”. Salah satu kata yang juga ditentang Nurel, karena disini SCB menempatkan Tuhan sebagai sosok yang tak bertanggungjawab. Nurel memberikan pembandingnya dengan cerita Nabi Musa. Bayangkan bila Tuhan menyuruh Musa untuk melempar tongkatnya, tapi tak membuat mukjizat dengan mengeluarkan ular dari tongkat Musa. Apa yang terjadi? Pun demikian dengan hasil puisi dan karya sastra lainnya. Penulisnya tak bisa lepas tanggungjawab.

Pembahasan tentang kata terdapat ini dapat dilihat di Kredo Puisi SCB hal 425. Sejalan hal ini ada satu keberatan Nurel tentang apa yang dikatakan Taufiq Ismail tentang kuasa kata  yaitu tentang penyair adalah penguasa kata-kata. Menurut Nurel ini merupakan hal yang sangat gegabah. Lebih tragisnya lagi, di banyak kehidupan sehari-hari, kata-kata seorang penyair kalah ampuh dengan kata-kata yang diungkapkan politisi.

D. Kun Fayakun
Tentang Kun Fayakun, Nurel menolak keras apa yang dikatakan oleh SCB yang mengartikan Kun Fayakun sebagai Jadi maka jadilah dan Jadi lantas jadilah. Bahkan Nurel menyebutnya sebagai sangat ugal-ugalan (hal 492) dengan bertingkah “melupa dan mengingat”. Kata-kata ini yang mengingatkan saya pada salah satu baris syair lagu Hotel California dari Eagles “Some dance to remember, some dance to forget”. Kun Fayakun seharusnya diterjemahkan dengan Jadilah maka Jadilah. SCB telah dengan berani mengubah kata perintah menjadi kata benda. Nurel membandingkannya dengan kalimat dari Rene Descartes “Cogito Ergo Sum” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada”, bagaimana kalau diubah menjadi “Aku pikir maka aku ada.” Mungkin disini lebih jelas maksudnya.

Istilah ini mengingatkan saya pada salah satu ayat Kitab Suci yaitu Kitab Kejadian 1:3  yang menyebutkan Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi. Mungkin ini dapat sedikit menjelaskannya. Dengan mengacu pada Jadilah adalah kata perintah, maka di bagian ini saya mau tidak mau harus memihak Nurel. Allah berfirman: Jadilah terang, lalu terang itu jadi. Pembahasan panjang lebar tentang hal ini terdapat mulai halaman 136.

E. Hari Sastra
Hari Sastra Indonesia diperingati setiap tanggal 3 Juli yang disamakan dengan lahirnya sastrawan Abdul Muis. Maklumat ini atas gagasan Taufiq Ismail. Lagi menurut Nurel, para senior ini telah kehabisan akal dalam penciptaan karya yang lebih ampuh dari sebelumnya dan lebih banyak mencari jalan agar tetap dianggap eksistensinya.

F. Sumpah Pemuda dan hari Puisi Indonesia
Tentang Sumpah Pemuda ini, SCB dkk juga menafikan peran tokoh-tokoh dibalik Sumpah Pemuda. Hal itu terlihat dalam kata-kata SCB yang menganggap bahwa kesadaran masyarakat banyak pada waktu itu dengan berbangsa satu, bertanah air satu dan juga berbahasa satu itu belum ada, masih in absentia. Keberadaannya masih di depan sadar. Hal ini bisa terjadi karena SCB malas untuk  dan kurang rendah hati untuk membaca karya-karya tokoh Sumpah Pemuda yaitu M. Yamin.

Demikian pula dengan deklarasi hari Puisi Indonesia yang mengambil hari lahir Chairil Anwar, 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. Lagi disini Nurel berteriak keras, pertama dalam mukadimah pendeklarasian hari Puisi, SCB dan kawan-kawan berpegang pada teks Sumpah Pemuda yang dianggap sebagai puisi pendek dan lalu memakai hari lahir Chairil Anwar sebagai hari Puisi Indonesia, sementara disisi lain, terlontar kabar dari HB. Jassin bahwa Chairil Anwar tak lebih seorang penyadur.
Fakta ini semakin menunjukkan kalau SCB kurang rendah hati untuk membaca karya-karya terdahulu, karya-karya M. Yamin.

LAIN-LAIN
Dari nggladrahnya buku ini, sebenarnya dapat ditemukan beberapa pengetahuan tentang tasawuf, tentang tata bahasa Indonesia, tentang filsafat, tentang sejarah dan juga kajian sosiologis dan seni. Kalau Nurel membayangkan para mahasiswa sastra harus belajar filsafat juga mungkin harus menulis sesuatu yang lebih menukik tajam ke persoalan inti. Mengingat di UI, di FIB ada departemen Filsafat. Dan mengingat Filsafat adalah cabang dari semua ilmu, maka pastinya sudah ada pengantar ilmu filsafat diberikan kepada para mahasiswa. Mungkin kalau Nurel menulis dan berdasar pada rambu-rambu atau tatanan penulisan ilmiah semacam thesis atau disertasi, maka tidaklah mustahil kalau impian untuk tampil atau memberikan kuliah umum di Brunell University dapat kesampaian.

     Ada beberapa Pengetahuan Umum yang terdapat di dalam buku ini semisal tanggal lahir raja Louis, tanggal lahir Chairil Anwar dan juga Abdul Muis. Juga pengetahuan tentang Kayu besi. Juga ada petikan syair lagu, semisal dari Eagle, Hotel California (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia), tentang Aesop Fable “cerita tentang Rubah yang tak bisa memetik buah anggur, lalu menggerutu barangkali buahnya masam”. Yang tak kalah menarik adalah perjalanan spiritualnya ke bumi Nuca Nepa atau Pulau Ular. Tentang Nuca Nepa atau Pulau Ular sebaiknya dibuat satu buku tersendiri. Perjalanan imajiner yang sungguh sayang jika dilewatkan tetapi terlalu membuat bosan apabila diikutsertakan di buku ini. Boleh diambil beberapa paragraf sebagai pengantar tentang lingkungan atau alam tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Lingkungan, adat istiadat, kebiasaan dan budaya sangat berpengaruh pada seseorang termasuk dalam proses pembentukan mindset atau cara berpikir. Bukan rahasia karakteristik orang kota, orang desa, orang gunung, orang pantai atau orang pedalaman dapat terbaca dari tingkah laku sehari-hari. Tak kurang di salah satu novelnya Romo Mangun mengungkapkan hal ini, tentang perempuan gunung dan perempuan dusun. Tentang perempuan pantai dan perempuan kota. Kalau tidak salah ada di novel Lusi Lindri, salah satu dari novel triloginya.

Karena Nurel berpijak memakai tanah kelahiran Ignas Kleden dalam menelaah karya-karyanya, maka akan lebih memudahkan bagi kita untuk juga mengetahui latar belakang Nurel. Bisa dilihat di halaman biografi. Mungkin imajinasi tentang Bengawan Solo dapat membantu.

Juga beberapa catatan atau kutipan dari Wikipedia, biarkan para pembaca mencari dan membacanya sendiri. Seperti kata-kata dalam dialog imajiner dengan M. Yamin. Tak usah beralasan biar menambah beberapa halaman.

Agar tulisan ini mampu melewati zaman dan berbagai kepentingan aturan yang kemungkinan akan menderanya, apabila dimungkinkan akan ada edisi revisi, hendaknya Nurel mencoba menulis ulang dalam bentuk thesis yang tertata rapi dan ikut aturan baku, semisal penggunaan catatan kaki, daftar literatur yang dibaca, alangkah elok kalau ditulis dalam bab tersendiri. Hal ini diperlukan untuk memudahkan pembaca dan mungkin peneliti untuk melalukan pengecekan dan counter attack. Saya rasa para penulis yang bukunya dijadikan bahan bacaan akan merasa senang dan bangga bila karyanya tercantum dalam daftar pustaka. Dan bagi penulis sendiri, boleh berbangga akan banyaknya literatur yang dibaca, sehingga studi literatur yang dilakukannya dapat terdokumentasi dengan baik dan tak menutup kemungkinan akan jadi bahan kajian di kelak kemudian hari. Juga alangkah lebih classy lagi kalau di dalam buku diberikan indeks, sehingga memudahkan pembaca atau peneliti mencari kata-kata kunci di halaman-halaman yang bertebaran di buku ini.

Satu lagi yang ingin saya sampaikan, di buku ini Nurel mengkritik akan sebutan Presiden Penyair dan beberapa sebutan lain. Tapi Nurel sendiri terjebak pada satu predikat atau julukan yang dipilihnya, yang dikiranya aman tanpa ada protes yaitu : pengelana. Pengelana bisa di sama artikan dengan pengembara. Kata dasar kelana, kata benda yang artinya mengadakan perjalanan ke mana-mana tanpa tujuan tertentu; kembara. Nah disini letak persolannya. Kalau menyebut diri sebagai pengelana berarti tak mempunyai tujuan tertentu. Sehingga buku yang ditulis ini menjadi tak ada maknanya, kalau ditulis tanpa ada tujuan. Sebaiknya pilihlah sebutan lain dan itu bukan pengelana. Nanti bisa juga terjebak bahwa buku ini hanya semacam klangenan, penggembira yang tak ada isi pengetahuan yang dapat diserap.

Akhirnya, sampai ketemu di bedah buku 9 April dan 3 Mei. Syalom.
eof
Sds. 31.3.2018

Daftar terlampir:
1. 38 intah intan, 2. 69 hasana khasanah, 3. 75 Webset Website, 4. 78 &st dst, 5. 78 Krakalau Krakatau, 6. 79 jatung : jantung, 7. 81 memangfaatkan memanfaatkan, 8. 85 dinaya?, 9. 86 mana perlu penjelasan, 10. 86 diasmak?, 11. 93 bermain jaratan bermain jaranan?, 12. 97 pelahan perlahan, 13. 97 sedaya bantul 97/98 :sedaya pantul, 14. 100 Howking?, 15. 104 awalkali : awal kali?, 16. 104 pelitian penelitian, 17. 106 hiasa : hiasan?, 18. 113 rabahan : rabaan? Atau rebahan?, 19. 113 dipunggah perlu penjabaran, 20. 114 rating ranting, 21. 114 kerkataan : perkataan?, 22. 121 Bejawa Bajawa, 23. 123 betebaran bertebaran, 24. 127 ternging :terngiang, 25. 134 halil?, 26. 134 deladapan 238 ??, 27. 134 cekeremes?, 28. 134 memunjeri?, 29. 149 dipatenkendipatenkan, 30. 153 perkembaangan perkembangan, 31. 165 khasana?, 32. 166 akli?, 33. 166 Aesop fox :pindah ke halaman utama, 34. 167 menyuruny menyuruhnya, 35. 167 Renuangan renangan, 36. 170 Sinahui :sianui?, 37. 175 kemengslean mengsle?, 38. 175 asatir : harusnya huruf besar Asatir, 39. 179 ritua?, 40. 206mugil mungil, 41. 207 kintir : dikasih penjelasan, 42. 226 Jleguran di blumbang dikasih penjelasan, 43. 232daya bukan dinaya?, 44. 239 Sim sala bim sim salabim?, 45. 240 Grubyag-grubyug : dikasih penjelasan, 46. 244 mederai menderai, 47. 245 banter bahasa Indonesia, 48. 253 fitna?, 49. 253 Pergeserak pergerseran?, 50. 253 wedar Indonesia?, 51. 254 pangling?, 52. 257 Noted halaman, 53. 269 dikator diktator, 54. 269 ngelokro :bahasa Indonesia, 55. 270 terlunta-lunda terlunta-lunta, 56. 270 mempuni mumpuni, 57. 301 pemengaruh :pengaruh, 58. 305 lansung langsung, 59. 323 Howking Hawking?, 60. 377 uang ketas uang kertas? 61. 383 fabebook facebook, 62. 405 yepyur mengepyurkan?, 63. 450 melubagi melubangi, 64. 454 ketagikan :ketagihan, 65. 454 kemuliaanya kemuliaannya, 66. 455 dikjaya digjaya atau digdaya?, 67. 468 lowak?, 68. 490sinahu?, 69. 494 diprekes Indonesia?, 70. hilaf?, 71. ilangkah?, 72. Dll?, 73. Penuwaan?, 74. Pegapesane (titikkelemahan) pengapesane?, 75. hianat?, 76. akli? 77. ijtihat?, 78. festifal?, 79. ksatri?, 80. pelahan? 81. didedah?,82. vi digelilingi?, 83. pebukitan?, 84. menjelmah? 85. 380 musah : mudah?

*) Penulis yang bergabung di Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah