Apakah
arti media bagi sastra. Sepintas lalu, media bukan penentu signifikan. Nur St.
Iskandar menyebutkan, pendirian Balai Pustaka atau Volkslektuur (1908) yang
menghadirkan majalah kebudayaan dengan rubrik sastra memunculkan tradisi sastra
modern di tanah air. Majalah Pujangga Baru diterbitkan, sastra Indonesia pun
memasuki estetika yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Dua tulisan Armin
Pane, berjudul “Kesusastraan Baru” (1933), merupakan pembuktian otentik.
Yang
lebih kini, koran telah mencipta tradisi sastra pada prosa dan puisi. Batasan
sastra dalam koran mampu memberi identitas terhadap sastra umum. Novel, genre
ini dipahami sebagai cerita bersambung terbitan saban hari. Cerpen, dipahami
sebagai cerita tujuh halaman kwarto bertopik aktual. Puisi dikesankan sebagai
larik-larik pendek berjumlah tidak lebih satu lembar kuarto.
Kesemuanya
ada dan berumah tangga pada media. Lantas, apakah arti internet bagi cerita
besar kesusastraan Indonesia. Pertanyaan demikian membutuhkan pemilahan
kapasitas dan karakter media-media sastra. Pengaruh karakter media terhadap
rupa-bau sastra.
Pada
internet, semisal Situs Cybersastra: sastrawan dapat mempublikasikan teks apa
saja, kapan saja, tentang apa saja, latar apa saja, tawaran estetik apa saja,
dan sebagainya apa saja. Nanang Suryadi, penyair berpuitika kurang bagus pun,
puluhan puisinya ditampilkan di internet. Peminat sastra, yang baru belajar
menulis karya sastra, boleh saja berpartisipasi.
Tulisan
sastra tersebut, pasti dimuat. Tinggal menunggu giliran. Bagi yang berminat
terhadap kritik sastra, sang kritikus boleh memilih karya sembarangan,
pendekatan sembarangan, teori sembarangan, komentar sembarangan, polemik
sembarangan. Pasti ditampilkan. Tinggal menunggu giliran.
Di
dalam media internet sastrawan dapat memperkenalkan diri dan dapat memaknai
arti kata kebebasan. Hanya saja, seperti bentuk kebebasan yang lain; internet
tidak terlepas dari keramahan, kegamangan, dan resiko omong kosong.
Koran terbit setiap hari, sama, internet juga juga
berakses tiap hari. Sedikit yang berbeda, koran memuat tulisan sastra seminggu
sekali. Internet menyediakan ruang bagi tulisan sastra setiap hari, setiap saat.
Kondisi
ramah yang terasa bagus bila dibanding majalah, jurnal, dan buku.
Jurnal—mendasar pada tulisan Nirwan Dewanto Perihal Watak Jurnal—menghormati
tulisan yang eksploratif, non aktual, mendalam, meskipun berlarat-larat
kepanjangan. Sama. Internet rela menghabiskan ruang—yang seakan berbatas—bagi
tulisan sastra: seeksploratif apapun dan sepanjang apapun, lebih hijau dari
seruling dan lebih riuh dari kegilaan. Bahkan internet mau memuat berbagai
novel secara serentak. Utuh.
Tetapi,
apakah kondisi kesusastraan internet terkini sebagus kapasitas tawaran
mediasinya. Banyak kondisional masih patut disayangkan dalam sastra internet.
Permasalahan intern internet, sastrawan, kritikus sastra, dan publik sastra
belum menemukan format tepat.
Keniscayaan
pemuatan tulisan sastra membuat banyak karya sastra tidak bermutu. Telah lahir
sastrawan tanpa penguasaan sejarah sastra. Persyaratan menjadi sastrawan yang
ditandaskan Goenawan Mohamad terasa jauh dari kenyataan, seorang sastrawan
minimal menguasai tiga disiplin ilmu, yaitu: psikologi, filsafat, dan sosiologi.
Di
internet, ketiadaan kurator atau redaktur penyeleksi kualitas karya berpengaruh
terhadap penciptaan karya sastra serampangan. Entah, satu perseratus berapa,
karya sastra bermutu dibandingkan karya serampangan. Cerpenis akan menimbang
ulang untuk berkirim karya ke koran bila ciptaannya buruk. Ada seleksi di
antara sekian banyak tulisan.
Karya
sastra diinternet terlihat tidak mengikuti kriterium standar penciptaan karya
sastra. Bahwa, kegiatan “menolak” berbeda dengan “mengabaikan” perangkat dan
standar estetik. Setiap tradisi sastra memang ditandai dengan penolakan tradisi
sastra sebelumnya. Pertanyaan patut disodorkan kepada para sastrawan internet.
Apakah menolak atau mengabaikan tradisi sastra?
Novelis
Prancis awal abad 19, Gustav Fleubert menolak aliran novel Romantik. Wujud
penolakan tersebut adalah terbitnya novel Madame Bovary, sebuah novel tebal
yang ditulis dalam rentang waktu 5 tahun. Pada novel tersebut, Fleubert
menghilangkan penggambaran alam secara berlebihan dan ungkapan rasa dayu mendayu.
Fleubert juga menajamkan penggambaran kenyataan dalam kondisi mirip kenyataan
keseharian. Ungkapan yang seadanya, tidak dilakukan dramatisasi dan analogi
berlebihan. Keindahan dunia dalam novel Madame Bovary tidaklah melebihi
keindahan kenyataan hidup. Dunia novel yang mendekati dunia keseharian
tersebutlah justru sasaran keindahan. Orang-orang lalu menyebutnya aliran
Realis. Pemunculan aliran realis ini tidak akan berhasil tanpa pembacaan dan
pengenalan aliran Romantik. Artinya, Gustav Fleubert telah mengetahui kebocoran
dan kelebihan aliran Romantik. Dari situ, dimunculkan aliran baru yang lebih
representatif atas kenyataan.
Berbagai
karya yang dimuat di internet mengindikasi pengarangnya mengabaikan—mungkinkah,
sama sekali tidak tahu—terhadap aliran-aliran sastra. Juga mengabaikan
karya-karya sastrawan terdahulu. Kenyataan bahwa sastra Indonesia telah
mencatatkan pencapaian-pencapaian artistik. Karya-karya tersebut mencipta
kriterium standar melihat karya terkini. Karya-karya terdahulu memberi aras penciptaan
karya terkini. Tahun sekarang bukanlah awal tradisi sastra.
Kondisi
sastra internet diperparah oleh minimalitas kiriman dari para sastrawan
berrbobot. Alangkah indah bila internet menjadi ruang temu antara gagasan
sastrawan handal dengan sastrawan pemula. Akan dapat dilihat lebih obyektif;
manakah lebih estetis, antara keduanya, bila diberi ruang dan kesempatan
seimbang.
Mungkin,
hal ihwal paling riskan dalam sastra internet adalah ketiadaan honorarium bagi
tulisan yang dimuat. Selain bermuatan penghargaan kerja intelektual, honor
menunjukkan penjagaan kesejahteraan sastrawan. Juga penghargaan atas gagasan
penciptaan manusia. Personalitas.
Dalam
internet, hak cipta sastrawan dinilai sangat rendah. Seseorang dapat saja
dengan mudah mengkopi tulisan sastrawan lain lalu mengirimkan kembali atas nama
dirinya. Pasti dimuat. Berarti, diakui. Ini sebuah dilema ganda.
Kegiatan
mengkopi tulisan dapat meruntuhkan personalitas. Sekaligus dapat dipakai untuk
pembelajaran yang positif. Pembacaan dan reproduksi karya sastra bermutu, pada
saatnya nanti, memunculkan penciptaan karya bermutu pula.
Ilustrasi
proses kreatif Jorge Luis Borges terhadap karya Cervantes merupakan contoh
ideal. Chairil pun melakukan pencurian gagasan dari pengarang lain. Mungkin, tradisi
sastra internet memang bukan untuk saat ini. Internet menyediakan ilusi
kecermelangan tradisi kesusastraan di masa depan.
Ideal
Estetika Sastra Internet
Kehadiran
media internet yang mau memuat tulisan sastra akan sia-sia tanpa hasil estetika
sastra. Karya sastra yang mencirikan karakter media internet. Kini memang belum
terealisasi, tetapi tetap bukan tanda kemustahilan. Ada beberapa peluang untuk
penciptaan estetika.
Pertama,
karya estetik internet mengandaikan kebebasan berpikir dan berbahasa. Internet
merupakan ruang bebas yang melampaui kebebasan demokrasi. Segala informasi
bersilangan dan saling berebut ingin dimiliki. Hanya dengan durasi beberapa
menit, seseorang sudah dapat mengakses buku-buku di perpustakaan kampus negara
maju.
Aplikasinya
dalam sastra, karya mampu merepresentasikan adanya kebebasan dari batasan
aliran sastra. Sastrawan dapat mencampuradukkan aliran-aliran sastra. Menepis
batasan-batasan genre. Semisal campuran genre puisi, drama, dan prosa.
Diciptakan karya yang tidak dapat secara mutlak mewakili puisi atau drama.
Bahkan mencampurkan sastra dengan musik, atau dunia seni rupa. Konvergensi
sastra tersebut dimungkinkan sebab media internet secara serentak menampilkan
kata, gambar, dan suara.
Kebahasaan
dalam internet adalah hal yang penting. Pengunjung atau pemakai media internet
terdiri dari orang-orang dari segala macam latar bahasa. Mungkin sekali, bahasa
dominan adalah bahasa Inggris, Prancis, dan Arab. Oleh sebab itu persilangan
bahasa mutlak diperhatikan dalam karya sastra. Bisa juga bahasa asing tidak
diambil dalam kerangka diksi tetapi sistem atau gramatika.
Kedua,
karya estetik internet mengandaikan adanya peleburan bahasa, geografi,
nasinalitas, dan ras. Internet memungkinkan adanya.penghilangan batas-batas
keruangan. Jarak semakin kurang berarti dalam dunia digital. Misalnya e-mail,
penerimaan dan pengiriman e-mail dari jarak dekat dan jauh sampainya sama saja.
Pendirian komunitas yang dipicu dari batas keruangan—nasionalisme, demografi,
dan ras—menjadi tidak bermakna dalam internet.
Kondisi
peleburan internet tersebut bila diadopsi dalam karya sastra akan menghasilkan
sebuah estetika tanpa identitas. Estetik demikian dapat belajar dari prestasi
karya simultanisme (simultanismo). Suatu cara yang dipakai untuk meringkus
pluralitas persepsi dan makna-makna ke dalam satu kehadiran.
Gagasan
estetik peleburan segala hal bukan berarti berangkat dari kekosongan dan
berakhir dari kekosongan. Justru estetik demikian berangkat dari latar keluasan
dan menuju latar keluasan yang lain. Pilihan ini menjadikan sastra internet
dapat mewujudkan gagasan “kebudayaan post-Filosofi” (post-Philosophical
culture) dari Richard Rorty. Sebuah karya sastra cerdas: “Dia yang bergerak
dengan cepat dari Hemingway ke Proust ke Hitler ke Marx ke Foucault ke Mary
Douglas ke situasi Asia Tenggara mutakhir ke Gandhi ke Sophocles. Seorang penetas
nama-nama, ia yang memakai nama-nama semacam ini untuk mengacu kepada kepada
perangkat-perangkat deskripsi, sistem simbol, cara pandang”.
Ketiga,
karya estetik internet mengandaikan perubahan persepsi terhadap kemanusiaan.
Kedirian dalam internet merupakan suatu hal yang misteri. Misalnya, Anda
membikin e-mail, membuatnya menjadi alamat. Di situ, Anda bisa menghubungi
kerabat, mengikuti kuis, mendaftarkan karya ke penerbit, dan siapa pun akan
dapat menghubungi Anda tanpa takut salah alamat.
Dengan
e-mail, manusia sudah menjadi pribadi digital. Manusia lebih berpijak dalam
waktu daripada ruang. E-mail memberikan mobilitas yang luar biasa tanpa seorang
pun harus tahu tempat berada. Bahkan rupa, ada ungkapan menarik tentang
kerahasiaan pengguna internet, “di internet, tidak ada yang tahu kalau Anda
berwujud anjing”.
Spesialitas
kepribadian inilah yang patut menjadi sorotan dalam sastra internet. Bahwa
telah terjadi perubahan konsepsi kemanusiaan. Di dalam sastra, perubahan ini
tentu berpengaruh terhadap cara manusia berbicara, memandang, menjalani
kehidupan, memilih peran, standar obsesi, dan perubahan utopia. Sebuah
perubahan yang juga akan terasa dalam penokohan karya sastra. Sebuah pribadi
ataau tokoh yang mengandaikan kenyataan virtual (‘virtual reality’ istilah yang
ditemukan oleh Jaron Lanier pada tahun 1086 untuk menggambarkan lingkungan
interaktif yang disiptakan komputer).
Penciptaan
tradisi estetik sastra internet tentu tidak dapat diharapkan terjadi dengan
sendirinya. Langkah-langkah progresif pantas untuk dipertimbangkan. Idealitas
bukanlah sosok yang datang dengan gampang, ia mesti disongsong, mesti
diperjalankan.
Pertama,
para sastrawan dan masyarakat perlu berperan dalam mengikuti dan mengembangkan
sastra internet. Tanpa sertaan sastrawan dan publik, sastra internet hanyalah
ruang kondusif yang kesepian. Hingga saat sekarang, sastrawan berbobot yang
melibatkan diri sangatlah minim.
Kedua, perlu keterlibatan secara aktif dari pihak
kritikus sastra. Karya yang termuat dalam internet perlu mendapatkan apresiasi
setimpal. Ada kelebihan dalam tampilan internet, karya yang sudah habis masa
tampil dapat dipanggil kembali. Kondisi tersebut memudahkan kritikus
menunjukkan sampel karya.
Ketiga,
perlu diusahakan sebuah situs yang getol mencari sponsor. Pendapatan dari
sponsor dapat digunakan membiayai operasional situs dan dipakai memberi honor
penulis. Situs-situs tertentu dalam internet sudah mampu memberi hadiah kepada
pelanggan, bukan mustahil, situs sastra dengan manajerial terpadu mampu menyediakan
honor bagi tulisan yang dimuat.
Keempat, kegiatan mailing list atau komunitas diskusi dalam internet perlu dipadatkan. Beberapa orang telah mengajukan pertanyaan dan apresiasi terhadap tema diskusi novel “Saman”, hanya saja masih terkesan asal-asalan dan tanpa ditunjang teori sastra yang berbobot.
______, Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar