Raudal Tanjung Banua *
Kompas, 22 Des 2018
Pelepasan burung merpati
membuka flasmob kampanye cinta budaya "Tunjukkan IndonesiaMu" yang
diikuti oleh 2000 penari dengan mengenakan kain tradisional Indonesia di jalan
protokol Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta saat hari bebas kendaraan bermotor,
Minggu (12/8/2018). Kegiatan yang digagas oleh Yayasan Belantara Budaya
Indonesia ini dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia
ke-73 serta menyambut pesta olahraga Asian Games 2018 Jakarta-Palembang.
Puisi merupakan cahaya
hati, kata Xiang Yang, mengawali ceramahnya tentang sastra post-kolonial
Taiwan. Penyair 70 tahun itu kemudian dengan penuh gairah menceritakan masa
kecilnya di Nanto, Taiwan tengah. Waktu itu ia tinggal di kebun teh dekat
kantor sebuah penerbit lokal.
Ia, sebagaimana orang
Taiwan lainnya, sangat suka minum teh apalagi saat membaca. Keduanya didapatkan
Xiang: teh terbaik dan buku-buku dari penerbit dekat rumah. "Jadi, saya
hidup dengan buku dan teh sejak dulu, dari mana saya mulai menulis puisi lokal
Taiwan."
Pernyataan dan kenangan
itu bagi sebagian pihak mungkin kelewat datar dan romantik di tengah gencarnya
wacana yang dianggap lebih progresif. Namun, pada Asian Poetry Festival 2018
yang diselenggarakan Qi Dong Poetry Salon, Taipei, 28 September-1 Oktober,
hal-hal nostalgia dapat tempat—layak dicatat—baik dari kuliah umum, diskusi,
maupun pembacaan puisi. Penyair Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Thailand,
Indonesia, China, Hong Kong, Makau, dan Taiwan bersama melihat Asia yang
berubah sambil menimbang nilai-nilai tradisinya.
Oleh karena itu, saat
Xiang menceritakan proses kepenyairannya, hakikatnya ia membongkar tradisi
kesusastraan Taiwan yang sempat retak. Bagaimana tidak. Ketika ia mulai kuliah di
Taipei, kegemarannya menulis puisi tradisional terpaksa dihentikan.
Pemerintah Jepang yang
kala itu menguasai Taiwan melarang penggunaan bahasa Taiwan. Seiring dengan
itu, sastra klasik China mulai ditinggalkan dan orang lebih tertarik pada
sastra Eropa.
Namun, Xiang mengambil
napas sastra China klasik. Ia menulis pantun 10 baris yang merupakan
karakteristik pantun China klasik. Padahal, ia menulis dalam bahasa Taiwan,
tepatnya bahasa lokal yang dekat dengan bahasa Hokkian.
Karyanya dipublikasikan di
surat kabar dan ia mulai menerjemahkan karya sastrawan Taiwan yang dipaksa
menulis dalam bahasa dan aksara Jepang. Uniknya, ia menerjemahkan dengan
pelafalan bahasa Taiwan— sebuah penyusupan!
Pelarangan dan
pergulatan
Saat Jepang kalah,
giliran bahasa dan aksara Jepang yang dilarang Kuomintang! Muncul masa vakum
mengguncang jagat nilai dan orientasi sastrawan Taiwan; mau ke mana kita, mau
apa kita? Saat itulah datang sastrawan China Daratan yang menulis dalam bahasa
Taiwan dialek Hokkian.
Kini sastra
Taiwan-Hokkian mulai diapresiasi, tetapi sudah banyak yang tak bisa membaca dan
menulisnya lagi, apalagi bahasa "pribumi" dialek lokal. Jadi,
semuanya akhirnya menulis dalam bahasa Mandarin.
"Saya kembali
menulis dalam bahasa Taiwan meski tak lagi dimuat koran," kata Xiang. Ia
mengubah strategi dengan mendatangi publik sastra. Dari situ ia dapat masukan
berharga, misalnya, karyanya periode 1975-1985 memuat versi Taiwanis dan
Mandarin.
Kalau dibaca terpisah,
seperti tak ada maknanya. Namun, jika disatukan, akan saling menjelaskan. Ia
banyak memakai tanda kotak untuk menggambarkan keadaan kacau dan kosong—situasi
post-kolonial!
Selain Xiang Yang,
penyair Korea Selatan, Park Hyu-soo, juga bicara hal-hal romantik dan
konvensional. Guru Besar Kyungpook National University itu membahas puisi dari
kehidupan keluarga dan situasi rumah tangganya. Tema lecture-nya mengarah pada
yang lampau tetapi akrab: puisi modern Korea dari perspektif tradisional!
Pembicaraan semacam ini
tak terelakkan di tengah bangsa-bangsa Asia Raya menghadapi
globalitas-lokalitas, Timur-Barat, dan soal-soal lain identitas.
Bayangkanlah Makau dan
Hong Kong yang megapolis, ternyata juga berurusan dengan identitas dan nilai
tradisional. Lu Ao Lei, penyair Makau, menceritakan betapa sengitnya proses
penyatuan tanah kelahirannya dengan Republik Rakyat China—setelah begitu lama
di bawah Portugis. Waktu itu banyak lahir puisi yang mempertanyakan identitas.
Ia ikut menulis tema mainstream tersebut.
"Aneka budaya
berbaur di Makau, tetapi kami ingin melihat budaya sendiri. Maka, setelah
bersatu dengan China, kami juga menyatu dengan tradisi kami," kata Lei.
Hal sama diceritakan
penyair Hong Kong, Chen Mie. Menurut dia, kosmopolitanisme Hong Kong mendorong
hasrat warga menggali nilai tradisional. Puncaknya pada masa transisi saat
Inggris menyerahkan Hong Kong kepada China.
Waktu itu, puisi penyair
Hong Kong sangat laris karena mewakili pertanyaan tentang identitas. Sayangnya,
puisi-puisi yang laku keras itu tak boleh lagi dicetak ulang oleh pemerintahan
yang baru. "Waktu itu saya menggunakan setting dan pola bursa saham yang
penuh ironi dalam puisi. Itu menggambarkan dinamika Hong Kong yang
sebenarnya," kata Chen Mie.
Nilai tradisional juga
kuat di Jepang, tetapi, menurut Wago Ryoichi, modernitas juga menguat.
"Kami berjuang menyeimbangkannya," kata penyair peraih Chuya Nakahara
Prize ini.
Tema kecil, tradisi
kecil
Di sisi lain, China
muncul sebagai kekuatan dunia sembari "mengakuisisi" wilayahnya yang
"hilang": Makau, Hong Kong, serta tarik ulur dengan Taiwan. Upaya itu
menimbulkan guncangan identitas.
Beijing berkepentingan
menanamkan nilai-nilai mereka yang dianggap lebih patriotik, heroik, dan
revolusioner. Tetapi bukannya tanpa perlawanan.
Para penyair Taiwan
kembali mempelajari bahasa dan sastra lokal, menggubah syair klasik, serta
menyanyikan lagu-lagu rakyat, terutama di kalangan etnik Amis yang bertalenta
musikal (semacam Batak dan Ambon di sini). Makau dan Hong Kong, seperti
disinggung di atas, merasa punya tradisi sendiri yang berkorelasi langsung
dengan jiwa Asia.
Sementara di China
sendiri penyairnya malah meresapi tema- tema kecil tanpa pretensi menguasai
dunia. Yu Xiu Hua, penyair perempuan China yang bukunya paling laris dewasa
ini, memutuskan tinggal di desa. Ia menjaga asa pada "oksigen dan air yang
lebih baik serta bunga-bunga otentik".
Xiu yang menderita
gangguan saraf motorik—membuatnya sulit bicara—mendapat ketenangan menulis
tentang kesepian, upaya mengatasi kesulitan, cinta dan harapan dalam setidaknya
lima buku puisi yang terjual 200.000- 400.000 eksemplar.
"Cinta adalah
keinginan memiliki, sedangkan perasaan upaya mengidentifikasi diri," ia
mengomentari ketegangan kultural China secara simbolik; cinta kami pada
sesuatu, membuat kami lupa menimbang perasaan! Artinya, keinginan China
memiliki sesuatu (katakanlah dalam politik kebudayaan) kadang tanpa upaya
mengidentifikasi diri secara obyektif.
Zakariya Amataya asal
Patani memilih menulis puisi dalam bahasa Thai. Ia melawan arus sejawatnya yang
menulis dalam bahasa Melayu. "Saya realistis. Bahasa Thai adalah bahasa
nasional kami, tetapi tradisi bahasa ibu ikut mewarnai puisi-puisi saya,"
katanya.
Indonesia juga punya
bahasa ibu berbeda-beda, tetapi para penyair memilih bahasa nasionalnya untuk
berkiprah. "Bagaimana Anda memosisikan bahasa ibu di antara bahasa
nasional dalam penciptaan?" kata Chu Kuo- chen, moderator diskusi, kepada
saya.
Maka, saya bercerita
perihal bahasa lingua-franca, eksistensi bahasa daerah, tradisi rantau
Minangkabau, proses kreatif saya di Sanggar Minum Kopi Bali, serta cara saya
menghikmati tradisi silaturahmi di Yogyakarta.
"Upaya merengkuh
tradisi besar warisan leluhur penting, tetapi mencipta tradisi-tradisi kecil
juga penting. Itu adil buat menyikapi perubahan," kata saya yakin.
Penyair Vietnam, Tran Le
Son Y, hidup dalam penyatuan dua kutub, Utara dan Selatan, negerinya yang dulu
berbeda ideologi. Namun, lebih dari itu ia berhadapan dengan tradisi
masyarakatnya yang menempatkan perempuan sebagai subordinasi.
"Saya melihat
sendiri seorang perempuan memayungi suaminya yang mabuk dalam hujan di tengah
jalan sebab ia tak kuat mengangkatnya. Ia menunggu sampai si suami
siuman," katanya seolah adegan film.
Maklum Tran mantan
jurnalis yang telah berkeliling Vietnam. "Apakah nilai agung Asia hanya
sebuah keniscayaan?" ia melempar sebuah pertanyaan.
Pertanyaan Tran Le Son
ataupun pernyataan Xiang Yang merepresentasikan jiwa Asia yang sebenarnya:
ketenangan paradoksal. Ketika nilai-nilai luhur dianggap muncul dari Timur, di
situ ada gunung es menutup realitas menyedihkan seperti di Vietnam, juga
Indonesia.
Ada jejak-jejak buram
pelarangan seperti di Taiwan. Ada kekuatan politik China yang membuat Makau,
Hong Kong, dan terutama Taiwan harus menangkisnya dengan indah.
Barangkali untuk
mencairkan hal-hal paradoksal inilah Asian Poetry Festival digelar dengan
dukungan Departemen Kebudayaan Taiwan. Ian Lan, salah seorang penggagas
festival, hanya tersenyum waktu saya tanya.
Agaknya ia sadar, dalam
empat kali penyelenggaraan, baru Asia Timur dan Asia Tenggara yang
terakomodasi. "Kami berusaha menyempurnakannya," kata Ian optimistis.
*) Penyair Tinggal di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar