Minggu, 25 Agustus 2019

Desa “Arbanat” Kesambi – Pucuk - Lamongan

Denny Mizhar

Bila kita menyebut nama kota Lamongan maka kita akan teringat dengan Soto Ayam Kampung Lamongan, Tahu Campur, Sego Boranan, Wisata Bahari Lamongan, Wisata Relegi Sunan Drajat, Tanjung Kodok, Goa Maharani, Wingko Babat, Makam Ibu Gajah Mada, Tempat Pelelangan Ikan Brondong dan lainnya sebagainya. Masyarakat Lamongan memiliki kebiasaan merantau untuk mengaduh nasib ke luar kota dan itu tersebar di berbagai daerah misalnya saja Bali, Banyuwangi, Surabaya, Malang, Jakarta, Kalimantan. Kebanyakan mereka menjual makanan dan sebagainnya kerja kantoran atau melanjutkan studi.

Ada perkembangan yang menarik di Lamongan pada tahun 2000-an, yakni banyak bertumbuhnya penerbitan buku: ada pustaka pujangga, pustaka ilalang, sastranesia, LA Rose dan juga produksi karya terutama sastra. Hal tersebut pengaruh dari kepulangan mahasiswa-mahasiswi yang tuntas studinya di Jogja, Surabaya, Jember dan Malang dan disumbang berdirinya kampus UNISDA Lamongan, serta kampus-kampus lainnya dan belakangan ini beberapa datang dari kota lain untuk studi Lamongan yakni di STIKES Muhammadiyah Lamongan. Selain itu lamongan juga penyumbang hasil pertanian dan perikanan.

Saya tak hendak mendedah Lamongan secara luas akan tetapi hendak menulis tentang desa kelahiran yakni desa Kesambi kecamatan Pucuk kabupaten Lamongan. Desa saya tidak banyak menjadi pembicaraan ketika berbicara tentang wisata dan kuliner tetapi kalau ditelisik lebih detail akan menemukan makanan khas Lamongan ada di desa yang bertempat antara kecamatan Sukodadi dan Kecamatan Babat di kabupaten Lamongan. Di antaranya ada Depot Soto Ayam Kampung Pak Di yang terkletak bersebelahan dengan kantor kecamatan Pucuk dan di depan Stasiun Pucuk Lamongang. Dulu sebelum adanya pelebaran jalan berada di samping stasiun Pucuk Lamongan. Entah sejak tahun berapa berdiri. Saya lahir tahun 80-an dan depot Soto Ayam Kampung Pak Di sudah ada. Saya tahu karena Pak Di adalah mbah saya dari Ibu. Semasa kecil laris sekali bahkan dulu masih umur belasan peludruk Kartolo CS sempat makan di Depot Soto Pak Di sehabis tanggapan. Waktu itu Mbah saya yang memberitahu saya. Ibu saya yang kerap membantu mbah memasak soto dan bapak saya pada awalnya adalah penjahit. Ketika mbah meninggal dunia, akhirnya ibu saya yang menggantikan sampai sekarang meski beberapa saat saudara ibu sempat menggantikan tetapi tidak bertahan lama. Saya masih kecil, kira-kira kelas 2 SMP, Depot Soto Ayam Kampung Pak Di pindah ke samping kantor kecamatan. Beberapa teman saya, suka sekali dengan soto bikinan Ibu saya. Kerap ketika saya berkunjung ke rumah teman membawakan bungkusan soto untuknya sampai sekarang pun demikian ketika kembali ke Malang tempat saya merantau dan mengaktualisasikan diri kerap membawa soto dari rumah untuk teman-teman. Kalau tidak percaya, silakan mencoba bila lewat jalur utara dan singgalah menikmati soto ayam kampung masakan ibu saya. Cukup mudah dicari, samping kantor kecamtan Pucuk dan depan Stasiun Kereta Api Pucuk. Ini adalah salah satu kuliner di desa saya.

Soto Lamongan saya utarakan untuk memberi simbol Desa Kesambi sebagai desa kuliner, kebetulan penjualnya adalah keluarga saya. Dan sebelum nanti saya akan bicara Arbanat. Desa Kesambi dulu terkenal dengan Mindek. Beberapa tetangga desa kerap mengolok-olok dengan sebutan 'kakean mangan mindek' (kebanyakan makan mindek). Kenapa itu menjadi bahan olokan sebab kalau kebanyakan makan mindek akan mengakibatkan bau kentut tak sedap. Mindek adalah makanan yang diolah dari buah (soloben atau selebese) nama kerennya trembesi yang dikeringkan lalu diambil bijinya dan digoreng dengan pasir. Tetapi saat ini sudah tidak berkembang, karena pohon-pohon trembesi sudah banyak ditebang. Ada lagi yang khas menurut saya, mungkin belum ada di desa lain yakni Gandolio, makanan yang dibuat dari tepung trigu yang digoreng.

Baiklah, saya akan memulai mebahas Arbanat dan kehidupan masyarakat desa Kesambi. Pekerjaan masyarakat desa Kesambi kebanyakan adalah petani dan pedagang sebagian kantoran. Kalau melihat akhir-akhir ini pertanian di desa Kesambi agak susah diandalkan kerena sistem irigasi yang tidak mendukung. Hal tersebut menjadikan merantau adalah pilihan. Pada tiga tahun terakhir ini desa Kesambi ada perubahan yang luar biasa terutama bulan puasa, menjelang lebaran. Biasanya kalau ramadhan, menjelan Ramadhan sebagian pemuda pergi merantau untuk menyiapkan lebaran. Tetapi tiga tahun belakangan ini sebagain pemuda menggali peruntungan dari mebuat Arbanat. Terakhir menurut data serampangan saya, ada 30 pembuat Arbanat. Padahal sejak dahulu sebelum zaman kemerdekaan pembuat Arbanat sudah ada di desa Kesambi, cerita Kak Yet salah satu pembuat Arbanat yang sudah cukup lama. Dahulu pembuat Arbanat tidak sebanyak sekarang, tidak lebih dari 10 orang di antaranya ada Gus Darman, Mbah Garisam, Gus Tohir, Gus Sahlan, Mbah Kur, Pak Tandu, Kak Yet dan beberapa lainnya. Sebagian ada yang mencoba mencari peruntungkan dengan menjual Arbanat ke Jakarta.

Hal yang menggembirakan bagi saya yang dulunya sempat pesimis akan ada penerus dari mereka. Tetapi rasa pesimis saya keliru. Saat ini pemuda-pemudanya mulai tertarik untuk menggeluti pembuatan Arbanat meski ini masih jadi musiman menjelang puasa dan lebaran Idul Fitri. Kalau saya menghitung dari hasil obrolan warung kopi bersama teman-teman saya yang membuat arbanat sekitar 30 Ton lebih gula pasir masuk desa Kesambi untuk produksi Arbanat, itupun masih ada penolakan pesanan karena masih kurangnya tenaga. Kira-kira perputaran uang sebulan menjelang lebaran Idul Fitri sampai Rp. 35.000.000 dari gula pasir, belum tepung trigu dan minyak goreng. Sebuah awal yang mengembirakan bila nantinya dikelola dengan baik dan tidak hanya menjelang lebaran Idul Fitri saja produksi dengan jumlah yang banyak.

Beberapa hal yang perlu dilakukan agar Desa Arbanat Kesambi menjadi salah satu daerah di Lamongan yang wajib dikunjungi untuk melihat bagaimana produksi Arbanat dilakukan atau bisa disebut sentra home industri jajanan rakyat. Sering kali banyak yang tanya bagaimana pembuatan Arbanat, dari gula, tepung dan minyak goreng menjadi seperti rambut. Upaya dari produsen Arbanat adalah membuat paguyupan pembetot Arbanat (istilah pembetot ini saya gunakan karena pembuatan Arbanat dengan cara dibetot-betot pakek tangan) sehingga terus terjalin komunikasi dan saling membantu bila ada persoalan, terutama bagaiman melahirkan generasi pembetot yang handal. Karena tidak semua bisa membetot, diperlukaan pengalaman dan ketrampilan. Bila tidak, maka hasil dari Arbanat tidak bisa halus dan akan kasar serabut-serabutnya. Tak hanya itu, bagaimana nantinya juga dapat menyumbangkan perubahan ekonomi bagi masyarakat kampung. Berkurangnya masyarakat yang merantau, karena cukup di rumah bisa menghidupi ekonomi keluarga. Desa pun tidak pernah sepi karena pemudanya bertahan di desa. Kegiatan sosial, gotong royong pun bisa dipulihkan kembali di era kapitalisme yang serba individual.

Selain peran para produsen juga diperlukan peran pemerintah, memberikan pelatihan dalam pengemasan dan juga membatu dalam bidang pemasaran yang modern. Bila hal tesebut dilakukan makan Desa Arbanat Kesambi akan tercipta. Selain itu yang tidak bisa dilupakan dari simbol jajanan Arbanat adalah alat musik yang biasa digunakan penjual keliling. Diperlukan juga daya kreatif masyarakat Desa Kesambi untuk mebuat alat musik yang menyerupai Erghu, Rebab. Saya membayangkan, di sela-sela membetot Arbanat ada iringan musik yang dikomposisikan dengan ciamik dari alat musik yang dipakek penjual Arbanat. Semoga dikemudian hari terjadi dan harapan saya akan ada Festival Arbanat desa Kesambi yang disponsori oleh pabrilk-pabrik gula, tepung terigu, minyak goreng dan pemerintah akan tambah merdu gesekan alat musik “ngik-ngok” (sebutan orang-orang akan alat musik yang digunakan penjual arbanat) bila dihadirkan rekor muri untuk membuat Arbanat sepanjang jalan desa dan menjadi jujukan wisatawan bila sehabis dari WBL. Dari melihat perkembangannya, harpan saya melangit, agar desa Kesambi mampu menjadi desa Arbanat, meski sebenarnya di beberapa daerah ada juga pembuat Arbanat.

Saya pun kembali ke Kota Malang dengan tidak tinggal diam. Saya berupaya menawarkan pada teman-teman saya bila ingin menikmati, saya bisa mefasilitasi dengan meminta bantuan orang tua saya di desa mengirimkan beberapa kg Arbanat untuk saya jual ke teman-teman dan mencoba mengemas di sela-sela aktivitas saya. Hal tersebut sebagai upaya saya mengingat dan turut andil akan perkembangan desa kelahiran. Majulah desa Kesambi Kecamatan Pucuk Lamongan.

Begitulah sekelumit tentang desa saya, bila pembaca ingin juga menikmati Arbanat Desa Kesambi saya bisa membantu. Ada beragam rasa dan warna. Salam Kuliner Nusantara.

Malang, 24 Juli 2015
https://www.kompasiana.com/dens.smart/55b289eaca23bd220ceb1811/desa-arbanat-kesambi-pucuk-lamongan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah