Denny Mizhar
Bila kita menyebut nama kota Lamongan maka kita akan teringat dengan Soto Ayam Kampung Lamongan, Tahu Campur, Sego Boranan, Wisata Bahari Lamongan, Wisata Relegi Sunan Drajat, Tanjung Kodok, Goa Maharani, Wingko Babat, Makam Ibu Gajah Mada, Tempat Pelelangan Ikan Brondong dan lainnya sebagainya. Masyarakat Lamongan memiliki kebiasaan merantau untuk mengaduh nasib ke luar kota dan itu tersebar di berbagai daerah misalnya saja Bali, Banyuwangi, Surabaya, Malang, Jakarta, Kalimantan. Kebanyakan mereka menjual makanan dan sebagainnya kerja kantoran atau melanjutkan studi.
Ada perkembangan yang menarik di Lamongan pada tahun 2000-an, yakni banyak bertumbuhnya penerbitan buku: ada pustaka pujangga, pustaka ilalang, sastranesia, LA Rose dan juga produksi karya terutama sastra. Hal tersebut pengaruh dari kepulangan mahasiswa-mahasiswi yang tuntas studinya di Jogja, Surabaya, Jember dan Malang dan disumbang berdirinya kampus UNISDA Lamongan, serta kampus-kampus lainnya dan belakangan ini beberapa datang dari kota lain untuk studi Lamongan yakni di STIKES Muhammadiyah Lamongan. Selain itu lamongan juga penyumbang hasil pertanian dan perikanan.
Saya tak hendak mendedah Lamongan secara luas akan tetapi hendak menulis tentang desa kelahiran yakni desa Kesambi kecamatan Pucuk kabupaten Lamongan. Desa saya tidak banyak menjadi pembicaraan ketika berbicara tentang wisata dan kuliner tetapi kalau ditelisik lebih detail akan menemukan makanan khas Lamongan ada di desa yang bertempat antara kecamatan Sukodadi dan Kecamatan Babat di kabupaten Lamongan. Di antaranya ada Depot Soto Ayam Kampung Pak Di yang terkletak bersebelahan dengan kantor kecamatan Pucuk dan di depan Stasiun Pucuk Lamongang. Dulu sebelum adanya pelebaran jalan berada di samping stasiun Pucuk Lamongan. Entah sejak tahun berapa berdiri. Saya lahir tahun 80-an dan depot Soto Ayam Kampung Pak Di sudah ada. Saya tahu karena Pak Di adalah mbah saya dari Ibu. Semasa kecil laris sekali bahkan dulu masih umur belasan peludruk Kartolo CS sempat makan di Depot Soto Pak Di sehabis tanggapan. Waktu itu Mbah saya yang memberitahu saya. Ibu saya yang kerap membantu mbah memasak soto dan bapak saya pada awalnya adalah penjahit. Ketika mbah meninggal dunia, akhirnya ibu saya yang menggantikan sampai sekarang meski beberapa saat saudara ibu sempat menggantikan tetapi tidak bertahan lama. Saya masih kecil, kira-kira kelas 2 SMP, Depot Soto Ayam Kampung Pak Di pindah ke samping kantor kecamatan. Beberapa teman saya, suka sekali dengan soto bikinan Ibu saya. Kerap ketika saya berkunjung ke rumah teman membawakan bungkusan soto untuknya sampai sekarang pun demikian ketika kembali ke Malang tempat saya merantau dan mengaktualisasikan diri kerap membawa soto dari rumah untuk teman-teman. Kalau tidak percaya, silakan mencoba bila lewat jalur utara dan singgalah menikmati soto ayam kampung masakan ibu saya. Cukup mudah dicari, samping kantor kecamtan Pucuk dan depan Stasiun Kereta Api Pucuk. Ini adalah salah satu kuliner di desa saya.
Soto Lamongan saya utarakan untuk memberi simbol Desa Kesambi sebagai desa kuliner, kebetulan penjualnya adalah keluarga saya. Dan sebelum nanti saya akan bicara Arbanat. Desa Kesambi dulu terkenal dengan Mindek. Beberapa tetangga desa kerap mengolok-olok dengan sebutan 'kakean mangan mindek' (kebanyakan makan mindek). Kenapa itu menjadi bahan olokan sebab kalau kebanyakan makan mindek akan mengakibatkan bau kentut tak sedap. Mindek adalah makanan yang diolah dari buah (soloben atau selebese) nama kerennya trembesi yang dikeringkan lalu diambil bijinya dan digoreng dengan pasir. Tetapi saat ini sudah tidak berkembang, karena pohon-pohon trembesi sudah banyak ditebang. Ada lagi yang khas menurut saya, mungkin belum ada di desa lain yakni Gandolio, makanan yang dibuat dari tepung trigu yang digoreng.
Baiklah, saya akan memulai mebahas Arbanat dan kehidupan masyarakat desa Kesambi. Pekerjaan masyarakat desa Kesambi kebanyakan adalah petani dan pedagang sebagian kantoran. Kalau melihat akhir-akhir ini pertanian di desa Kesambi agak susah diandalkan kerena sistem irigasi yang tidak mendukung. Hal tersebut menjadikan merantau adalah pilihan. Pada tiga tahun terakhir ini desa Kesambi ada perubahan yang luar biasa terutama bulan puasa, menjelang lebaran. Biasanya kalau ramadhan, menjelan Ramadhan sebagian pemuda pergi merantau untuk menyiapkan lebaran. Tetapi tiga tahun belakangan ini sebagain pemuda menggali peruntungan dari mebuat Arbanat. Terakhir menurut data serampangan saya, ada 30 pembuat Arbanat. Padahal sejak dahulu sebelum zaman kemerdekaan pembuat Arbanat sudah ada di desa Kesambi, cerita Kak Yet salah satu pembuat Arbanat yang sudah cukup lama. Dahulu pembuat Arbanat tidak sebanyak sekarang, tidak lebih dari 10 orang di antaranya ada Gus Darman, Mbah Garisam, Gus Tohir, Gus Sahlan, Mbah Kur, Pak Tandu, Kak Yet dan beberapa lainnya. Sebagian ada yang mencoba mencari peruntungkan dengan menjual Arbanat ke Jakarta.
Hal yang menggembirakan bagi saya yang dulunya sempat pesimis akan ada penerus dari mereka. Tetapi rasa pesimis saya keliru. Saat ini pemuda-pemudanya mulai tertarik untuk menggeluti pembuatan Arbanat meski ini masih jadi musiman menjelang puasa dan lebaran Idul Fitri. Kalau saya menghitung dari hasil obrolan warung kopi bersama teman-teman saya yang membuat arbanat sekitar 30 Ton lebih gula pasir masuk desa Kesambi untuk produksi Arbanat, itupun masih ada penolakan pesanan karena masih kurangnya tenaga. Kira-kira perputaran uang sebulan menjelang lebaran Idul Fitri sampai Rp. 35.000.000 dari gula pasir, belum tepung trigu dan minyak goreng. Sebuah awal yang mengembirakan bila nantinya dikelola dengan baik dan tidak hanya menjelang lebaran Idul Fitri saja produksi dengan jumlah yang banyak.
Beberapa hal yang perlu dilakukan agar Desa Arbanat Kesambi menjadi salah satu daerah di Lamongan yang wajib dikunjungi untuk melihat bagaimana produksi Arbanat dilakukan atau bisa disebut sentra home industri jajanan rakyat. Sering kali banyak yang tanya bagaimana pembuatan Arbanat, dari gula, tepung dan minyak goreng menjadi seperti rambut. Upaya dari produsen Arbanat adalah membuat paguyupan pembetot Arbanat (istilah pembetot ini saya gunakan karena pembuatan Arbanat dengan cara dibetot-betot pakek tangan) sehingga terus terjalin komunikasi dan saling membantu bila ada persoalan, terutama bagaiman melahirkan generasi pembetot yang handal. Karena tidak semua bisa membetot, diperlukaan pengalaman dan ketrampilan. Bila tidak, maka hasil dari Arbanat tidak bisa halus dan akan kasar serabut-serabutnya. Tak hanya itu, bagaimana nantinya juga dapat menyumbangkan perubahan ekonomi bagi masyarakat kampung. Berkurangnya masyarakat yang merantau, karena cukup di rumah bisa menghidupi ekonomi keluarga. Desa pun tidak pernah sepi karena pemudanya bertahan di desa. Kegiatan sosial, gotong royong pun bisa dipulihkan kembali di era kapitalisme yang serba individual.
Selain peran para produsen juga diperlukan peran pemerintah, memberikan pelatihan dalam pengemasan dan juga membatu dalam bidang pemasaran yang modern. Bila hal tesebut dilakukan makan Desa Arbanat Kesambi akan tercipta. Selain itu yang tidak bisa dilupakan dari simbol jajanan Arbanat adalah alat musik yang biasa digunakan penjual keliling. Diperlukan juga daya kreatif masyarakat Desa Kesambi untuk mebuat alat musik yang menyerupai Erghu, Rebab. Saya membayangkan, di sela-sela membetot Arbanat ada iringan musik yang dikomposisikan dengan ciamik dari alat musik yang dipakek penjual Arbanat. Semoga dikemudian hari terjadi dan harapan saya akan ada Festival Arbanat desa Kesambi yang disponsori oleh pabrilk-pabrik gula, tepung terigu, minyak goreng dan pemerintah akan tambah merdu gesekan alat musik “ngik-ngok” (sebutan orang-orang akan alat musik yang digunakan penjual arbanat) bila dihadirkan rekor muri untuk membuat Arbanat sepanjang jalan desa dan menjadi jujukan wisatawan bila sehabis dari WBL. Dari melihat perkembangannya, harpan saya melangit, agar desa Kesambi mampu menjadi desa Arbanat, meski sebenarnya di beberapa daerah ada juga pembuat Arbanat.
Saya pun kembali ke Kota Malang dengan tidak tinggal diam. Saya berupaya menawarkan pada teman-teman saya bila ingin menikmati, saya bisa mefasilitasi dengan meminta bantuan orang tua saya di desa mengirimkan beberapa kg Arbanat untuk saya jual ke teman-teman dan mencoba mengemas di sela-sela aktivitas saya. Hal tersebut sebagai upaya saya mengingat dan turut andil akan perkembangan desa kelahiran. Majulah desa Kesambi Kecamatan Pucuk Lamongan.
Begitulah sekelumit tentang desa saya, bila pembaca ingin juga menikmati Arbanat Desa Kesambi saya bisa membantu. Ada beragam rasa dan warna. Salam Kuliner Nusantara.
Malang, 24 Juli 2015
https://www.kompasiana.com/dens.smart/55b289eaca23bd220ceb1811/desa-arbanat-kesambi-pucuk-lamongan
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar