(Refleksi Nilai sekitar Proklamasi dan Peringatan Tahunan)
Ahmad Syauqi Sumbawi
Jauh sebelum “Hari Kemerdekaan ke-74” diperingati tahun 2019 ini, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, hanya dihadiri oleh para pemimpin nasional dan rakyat yang berada di Jakarta. Pukul 10.00 waktu Indonesia bagian Jl. Pegangsaan Timur No.56, Soekarno-Hatta dengan mengatasnamakan Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dari segala bentuk penjajahan.
Tak ada kembang api dan petasan yang dinyalakan, sebagaimana yang kita lihat pada hampir semua panggung peringatan malam tujuhbelasan beberapa tahun ini. Kecuali spirit kemerdekaan yang terus berkobar. Tak ada upacara bendera formasi lengkap seperti yang kerap kita saksikan melalui siaran televisi, serta yang pernah kita ikuti di lapangan kecamatan, alun-alun kota, dan sebagainya. Hanya upacara pengibaran bendera sederhana diiringi lagu Indonesia Raya. Tetapi khidmat dan sakral, menggetarkan jiwa. Bersama sumpah setia untuk terus mengibarkan Sang Merah Putih di tanah air sendiri. Terus berkibar, meskipun darah tumpah di tumpah darah Indonesia.
Tak ada televisi yang menyiarkan peristiwa itu secara langsung. Tidak juga Radio Republik Indonesia (RRI), yang baru merekam suara teks proklamasi tersebut pada tahun 1951, dengan suara pembaca aslinya, yaitu Soekarno. Hanya foto hitam-putih yang menjadi bukti peristiwa, sebagaimana yang dapat kita lihat ketika membaca buku-buku Sejarah Indonesia. Juga layar televisi yang meng-slide-nya sebagai ilustrasi terkait Proklamasi hingga sekarang ini. Hanya suara-suara anak bangsa yang sambung-menyambung menyebarkan berita itu ke seluruh penjuru negeri bersama teriakan “Indonesia Merdeka! Merdeka!” Karenanya, maklum jika kabar Proklamasi itu terlambat menyebar di daerah-daerah yang jauh dari Jakarta, terutama di luar pulau Jawa.
Kendati demikian, Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan pengumuman biasa, tetapi pernyataan kemerdekaan yang dinamis, yang menghimpun seluruh potensi bangsa serta menggerakkannya untuk mencapai cita-cita dan tujuannya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Meyakini bahwa kemerdekaan merupakan atas berkat Allah atau Tuhan yang Maha Kuasa, maka sangat serasi dengan sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa, yang mendasari seluruh sila yang lain. Hal ini membuktikan adanya rasa syukur di kalangan seluruh bangsa Indonesia atas kemerdekaannya yang diperjuangkan bersama secara gotong-royong.
Yah, demikian Eka Sila yang menjadi opsi selain Tri Sila—yaitu socio-nationalisme yang diperas dari kebangsaan-internasionalisme dan kebangsaan-perikemanusiaan, socio-democratie yang merupakan gabungan dari demokrasi dan kesejahteraan sosial, serta Ketuhanan, yang menghormati satu sama lain, sebagaimana yang pernah ditawarkan oleh Bung Karno pada Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, terkait dasar negara, yaitu Pancasila. Melalui opsi terakhir itu, tampaknya Bung Karno ingin menegaskan bahwa “nyawa” dari Pancasila adalah spirit gotong-royong, yang sifatnya lebih dinamis daripada kekeluargaan dan persatuan. Dalam hal ini, gotong-royong merupakan sebuah gambaran atas kesatuan upaya bersama yang diarahkan untuk mencapai tujuan dan cita-cita seluruh bangsa Indonesia.
Kini, “Hari Kemerdekaan” Republik Indonesia akan mencapai usianya yang ke-74 tahun. Sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya, kita pun memperingati dan merayakannya. Pada tingkat RT atau RW yang ada di desa-desa, rakyat berkumpul dalam tasyakuran dan memanjatkan doa bersama pada malam 17 Agustus untuk keberkahan bangsa dan negara Indonesia, dilanjutkan dengan menyanyikan “Indonesia Raya” dan lagu-lagu nasional lainnya. Juga makan bersama dengan tetangga—kaya miskin, tua muda, laki-laki perempuan, dan sebagainya—, yang merupakan bagian terkecil dari Indonesia itu sendiri.
Kemudian dalam koordinasi pengurus RT/RW berbagai lomba-lomba tradisional pun diselenggarakan oleh organisasi pemuda atau karang taruna, seperti panjat pinang, makan kerupuk, lari kelereng, balap karung, memasukkan paku ke dalam botol, balap bakiak, tarik tambang, perang bantal, balap tempeh, memecahkan balon, mengambil koin dalam terigu, sepakbola joget, dan sebagainya. Begitu pula dengan kemeriahan acara “panggung Agustus-an” yang menutup rangkaian peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Seluruh rangkaian peringatan dan perayaan yang ada tersebut, biasanya diselenggarakan secara mandiri, terutama melalui partisipasi dan gotong royong di antara seluruh warga kampung, baik RT/RW, dusun, maupun desa.
Yah, tentu saja berbeda, antara episode peristiwa sekitar Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 dengan peringatan dan perayaan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada tahun-tahun berikutnya. Meskipun demikian, di antara keduanya terdapat nilai-nilai yang menjadi titik persamaan, sekaligus mengikat simpul ke-Indonesia-an dalam dimensi ruang dan waktu, yaitu rasa syukur kepada Tuhan dan gotong-royong antar sesama anak bangsa.
[*] http://sastra-indonesia.com/2019/08/merayakan-rasa-syukur-dan-jiwa-indonesia/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar