Kamis, 12 September 2019

FENOMENOLOGI KEMATIAN


Malkan Junaidi

BAGIAN PERTAMA: ISI

Kematian selalu universal. Seperti tidur
Coca-Cola, bahasa Inggris dan bercinta.
(Kuburan Imperium, Abu Mayat John Lennon)

Tiada tempat bagi keabadian di bumi. 
Mimpi tiba dan pergi sebelum terjaga.
(Kuburan Imperium, Masa Depan Semua Orang)

Pernyataan-pernyataan di atas kiranya mewakili mayoritas puisi dalam buku yang akan kita bicarakan. Bukan pemikiran yang sama sekali baru tentu. 14 abad  silam di jazirah Arab seorang lelaki dari suku Quraisy berseru, “Kullu nafsin dzaiqatul maut” (setiap yang bernyawa akan mencecap kematian), juga, “Kullu syaiin halikun illa wajhah” (segala sesuatu rusak kecuali zat-Nya). Yang berbeda kali ini, tanpa menafikan kemungkinan kesimpulan berbeda, adalah signifikasinya? penandaan atau pemaknaannya. Binhad Nurrohmat, dalam antologi puisi kelimanya, melakukan signifikasi fenomenologis, hal yang tak seringkita temukan dalam khazanah puisi kontemporer.

Adalah Edmund Husserl, filsuf Jerman kelahiran Ceko, yang di awal abad ke-20 memantik gerakan pemikiran bernama Fenomenologi, yang dapat didefinisikan sebagai telaah filosofis (dari sudut pandang orang pertama) mengenai struktur pengalaman dan kesadaran (berikut kondisi yang relevan dengannya). Fenomenologi, meminjam penjabaran Terry Eagleton dalam Teori Sastra-nya, meneliti bukan saja apa yang kebetulan saya persepsikan saat saya melihat seekor kelinci, melainkan esensi universal dari semua kelinci dan esensi universal dari tindakan memersepsi mereka.

Terdapat 38 puisi di buku Kuburan Imperium, 21 di antaranya berhasil meyakinkan saya bahwa Binhad, melalui tema dan pola pencitraan yang berulang-ulang, adalah seorang fenomenologis. Binhad memborbardir kesadaran saya dengan data-data sensorik, dalam wujud kalimat-kalimat datar tanpa pretensi menyulut emosi apa pun? marah, sedih, gembira.

Simak misalnya baris-baris dari Abu Mayat John Lennon berikut.

John ditembak mati penggemarnya.
(….)
Setelah ditembak mati, tubuh John dibakar.
(….)
Seguci abu mayat John disimpan Yoko di apartemen.

Tepat seperti pandangan Husserl, saya tak perlu melakukan kerja penafsiran atas rangkaian fenomena ini. Saya tinggal menerimanya sebagai suatu fakta yang validitasnya bisa dikonfirmasi melalui Wikipedia dan buku-buku biografi John Lennon. Yang perlu saya lakukan hanyalah mengikutinya dengan penuh kewaspadaan sembari merenungkan monumen-monumen kesadaran intensional yang aktif membangun atau memaksudkan dunia yang dihadapinya, sebab dalam wacana Fenomenologi, dunia ini di satu sisi entah bagaimana selalu menyediakan pintu masuk bagi manusia untuk menyelaminya, sementara di sisi lain manusia selalu merupakan pusat keberadaan? sumber dan asal makna.

Abu mayat John di dalam guci 
Adalah sungkawa bayangan lagu
Yang tak pergi
Dan tak lenyap

Dari Central Park

Akhirnya saya ikut meresapi juga: ada yang hilang, yaitu sosok biologis suami Yoko, juga ada yang mengekal, yaitu lagu-lagu John berikut pesan-pesan yang disampaikan melaluinya.

Melakukan signifikasi fenomenologis atas kematian berarti mempelajari segala yang bisa dikaitkan dengannya. Macam-macam pengalaman (antara lain melihat, mendengar, membayangkan, memikirkan, merasakan, menginginkan, melakukan), pun objek-objek yang relevan (kuburan, nisan, inskripsi, surat wasiat, situs, petilasan, candi, prasasti, reruntuhan bangunan) semua dilibatkan. Adapun segala yang tak bisa dipastikan tentangnya, noumena Kantian, dipinggirkan, tak dibicarakan sama sekali atau diajukan dalam bentuk pertanyaan yang tak ngotot menuntut jawaban.

Kematian, sekali lagi, adalah hal universal. Nyaris semua orang pernah menyaksikan orang meninggal, paling tidak mengikuti prosesi pengurusan jenazah, dari dimandikan hingga dikubur atau dikremasi. Demikian familiarnya hingga kesadaran mereka tentangnya umumnya terbatas hanya pada bahwa ia penanda akhir sejarah kehidupan seseorang, bahwa kita tak bisa lagi bicara dengannya atau dibikin sebal oleh sikap tengilnya.

Binhad berusaha merengkuh esensi kematian. Untuk tujuan itu ia menanggalkan sikap otomatisnya, menaruh dalam tanda kurung (bracketing) makna dan asumsi umum dari dan terhadap kematian,dan memperluas cakrawala telaahnya. Jika kehidupan bisa ditandai misalnya dengan gerak, maka bukan saja makhluk bernyawa yang bergerak, traktor dengan cara tertentu juga bergerak. Demikian pula kematian, terdapat berbagai atribut atau penanda universalnya. Studi Binhad pada gilirannya terentang dari kematian manusia? khususnya sosok historis yang berpotensi besar untuk dimitoskan? hingga kematian lembu, bahasa, dan kekuasaan..

Kita kemudian melihat keserupaan tema dan pola pencitraan yang digunakan Binhad di tiap puisinya. Puisi-puisi di Kuburan Imperium bergerak secara tak linear dari qualia (objek sebagaimana yang tampak) ke noema (objek sebagaimana dimaksudkan oleh kesadaran) dan atau dari noema ke qualia. Pada level tertentu ini mirip proses defamiliarisasi atau deotomisasi melalui teknik foregrounding, tindakan membuat suatu citraan lebih menonjol dibanding citraan di sekitarnya. Menemukan dan mengajukan noema, singkatnya, adalah tujuan esensial dari suatu signifikasi fenomenologis.

Perhatikan beberapa noema dari fenomena kematian yang saya tampilkan dalam format daftar kutipan di bawah ini.

Ayah dan Ibu bertahan dalam diri anak sejauh apa pun langkahnya dan sebelum tubuhnya mati diresap bumi. (hal. 15)
Puisi tak sungguh pergi dari bumi dan hanya berlari ke perbatasan. (hal. 25)
Maut bukan jalan muram kehancuran sia-sia. seusai lembu mati merayap di kerongkong, lambung dan usus halus, kehidupan yang lain lekas bertumbuh seusai pemangsaan. (hal. 36)
Permulaan dan penghabisan seperti bulatan cincin melingkupi seluruh ruang dan waktu. (hal. 43)
Cerita adalah peristiwa yang telah tidur yang terjaga lagi di masa kemudian. (hal. 53)
Tegak nisan-nisan kelabu menjadi riwayat yang teguh bertahan dari perih reruntuhan. (hal. 70)
Nama-nama gang dan jalan dibuat dari sisa kematian. (hal. 82)
Bayangan kemarin telah pergi dan bergiliran bayang lainnya datang kemudian di cerah hari. (hal. 96)

BAGIAN KEDUA : BENTUK

Hasil telaah bentuk, oleh sebab keterbatasan waktu yang saya miliki, saya sampaikan tidak dalam elaborasi komprehensif, melainkan dalam komentar-komentar singkat.

Pertama, ihwal tampilan rata kanan. Saya tak tahu kapan tepatnya Binhad mulai memakai tipografi ini. Yang jelas trademark ini sudah lebih dari 10 tahun terakhir. Mungkin terdapat penjelasan filosofis mengenainya, namun biarlah Binhad sendiri yang mendedahkan. Saya pribadi cenderung melihat pilihan ini sebagai bagian dari politik identitas, upaya menjadi berbeda agar mudah diidentifikasi. Makna kata kurang lebih tetap dengan penyajian rata apapun. Ditambah lagi efek visualnya tak bisa dirasakan saat puisi dipresentasikan dalam bentuk deklamasi atau nyanyian.

Kedua, ihwal konsistensi menjaga ketertiban tanda baca dan kapitalisasi huruf. Binhad agaknya enggan bereksperimen dengan keduanya, enggan menyiksa pembaca dengan pekerjaan tambahan menemukan di mana jeda sebuah ujaran atau di mana awal suatu kalimat. Ada banyak aspek yang lebih penting untuk dipikirkan dan bonus kerumitan malah bisa membuat mereka terbengkalai. Bagaimanapun di dua puisi, Macapat Asmaragama dan Selusin Kwatrin, tanda titik absen. Ini mungkin karena titik dianggap tak diperlukan. Masing-masing baris selesai sempurna entah sebagai kalimat, anak kalimat, atau induk kalimat. Dengan kata lain, akhir baris selalu merupakan koma atau titik gaib.

Ketiga, ihwal pengelompokan konten buku ke dalam 5 subjudul. Pengelompokan ini tentu bukan tanpa maksud.
  • Subjudul Situs Pertama berisi 9 puisi yang disatukan oleh lingkup kreatif. John Lennon, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Soebagio Sastrowardoyo, WS Rendra, dan Wiji Thukul adalah beberapa tokoh yang agaknya memberi pengaruh signifikan terhadap proses kreatif Binhad Nurrohmat dan karenanya mereka tak saja diberi tempat khusus, tetapi bahkan hasil signifikasi fenomenologis atas riwayat dan karya mereka dijelmakan kerangka untuk memaknai kematian itu sendiri. Nama-nama penyair ini tak dimunculkan secara eksplisit dalam puisi Petilasan Kecil Para Penyair, namun Binhad memberikan idiom dan informasi tertentu yang bisa pembaca gunakan untuk mengidentifikasi siapa sesungguhnya yang dibicarakan. Sosok orang tua, juga entitas waktu dan bahasa tak ketinggalan, ketiganya punya andil yang mustahil dinafikan, sebab tanpa ketiganya tak mungkin ada dan dikenal. Ketiganya ditelaah secara cukup memadai.
  • Subjudul Situs Kedua memuat 6 puisi yang diikat oleh lingkup geografis dan kultural. Esensi kematian ditelisik dalam fenomena kikil Jombang, topeng Jatiduwur, pertunjukan ludruk, dan jalan layang Peterongan. Ungkapan wajah-wajah di balik cekungan topeng tak sama dan telah sekian kali berganti (hal. 39) mengisyaratkan bahwa selalu ada yang berjuang melawan kefanaan.
  • Subjudul Situs Ketiga berisi 9 puisi yang diketengahkan dalam lingkup spiritual. Sejak kecil Binhad Nurrohmat dekat dengan dunia pesantren. Bahkan sekarang dia tinggal di sebuah lingkungan pesantren dan ikut mengasuh para santri. Fenomena-fenomena kepesantrenan dengan demikian tak elok jika sampai luput dari telaahnya. Beberapa nama kiai menjadi judul puisi; Budaya ziarah makam wali yang lestari di kalangan nahdliyin tak luput dari perhatian; acara haul dan kitab pegon ikut menjadi jembatan menuju pemahaman mengenai kematian.
  • Subjudul Situs Keempat memuat 5 puisi ber-lingkup historis. Imperium Majapahit di Trowulan dan sekitarnya menjadi sentral telaah. Kemegahannya di masa lalu yang bisa dibayangkan melalui pembacaan Negarakertagama karya mpu Prapanca dikontraskan dengan kondisi jejak peninggalan dan reruntuhan di masa kini. Hasilnya adalah berbagai ironi di balik denotasi kefanaan: Kekuasaan adalah jerami yang mudah terbakar dan Raja-raja menjelma plang nama gang dan jalan.
  • Subjudul Situs Kelima memuat 9 puisi dalam lingkup kehidupan privat dan lingkungan sehari-hari. Perjalanan telaah Binhad dalam usaha menyigi realitas kematian akhirnya tiba dari Central Park New York ke ruang tamu, meja makan, dan persetubuhan. Dengan demikian bisa dikatakan Binhad tak hanya sibuk mengamati berbagai fenomena di kejauhan sana. Yang berlangsung di sekitarnya, bahkan yang dialami langsung tubuhnya sendiri di ruang privat dijadikannya objek pengamatan juga, dengan tak kurang sungguh-sungguh.
Keempat, ihwal nama-nama tokoh dan tahun pembuatan. Peniadaan pencantuman informasi waktu penciptaan kiranya, seperti juga right alignment teks, merupakan salah satu ciri khas puisi Binhad. Bisa dirunut ke belakang hingga ke bukunya yang lain, Kuda Ranjang (2004). Peniadaan ini berikut penghindaran penyebutan nama tokoh bisa dipandang sebagai gejala anti-historis, yang notabene selaras dengan sifat Fenomenologi.

Kelima, ihwal jumlah kata dan suku kata. Mayoritas puisi di Kuburan Imperium per baris terdiri dari 5 hingga 7 kata dan per kata terdiri dari 2 hingga 3 suku kata. Ini tak saja membuat tipografi puisi menjadi tampak sangat teratur, tetapi juga membawa kesan tradisional, semangat kembali ke bentuk konvensional puisi, di samping pada level tertentu menghadirkan suasana kaku. Pilihan bentuk demikian dan hubungannya dengan dengan nadzaman yang identik dengan sastra pesantren perlu penelitian lebih lanjut.

Keenam, ihwal peniadaan aku lirik. Ini tampaknya paradoks dalam wacana fenomenologis. Bagaimanapun menurut saya tindakan ini sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip sentralitas subjek pengamat dalam fenomenologi, sebaliknya justru menunjukkan keintensifan proses resepsi terhadap objek. Proses inilah yang sesungguhnya esensial, bukan penonjolan aku.

BAGIAN KETIGA: PENUTUP

Ulasan sangat singkat dan tak memadai ini saya batasi pada wacana Fenomenologi Edmund Husserl. Tidak tertutup kemungkinan Kuburan Imperium dibaca menurut prinsip-prinsip Fenomenologi Martin Heidegger. Haidegger adalah murid Husserl yang menggeser pusat tindakan mengamati fenomena dari kesadaran manusia menuju Dasein? Ada atau Keberadaan. Husserl berusaha keluar dari sikap skeptis Emmanuel Kant, yang percaya bahwa ada realitas objek yang mustahil dijangkau pemahaman, yang disebutnya noumena. Sebagai ganti Haidegger menawarkan reduksi fenomenologis dan kesadaran intensional, suatu cara untuk merengkuh hakikat fenomena, mungkin tidak seutuhnya, namun cukup untuk dijadikan kebenaran universal, kebenaran yang diterima semua orang. Heidegger pada giliranya membuat subjek lebih pasif, membiarkan objek membuka jati dirinya. Bahwa pada kenyataannya bukan hanya subjek pengamat yang punya potensi menentukan esensi objek. Objek pun memiliki kemampuan untuk mengubah kesadaran subjek pengamat. Keberadaan atau eksistensi, singkatnya, adalah keberadaan subjek dan objek secara serentak, yang satu tak mendominasi yang lain. Menimbang Fenomenologi Heideggerian ini relevan dengan konsep NUMiring yang pernah digagas Binhad Nurrohmat, saya pikir akan relevan pula untuk menelaah Kuburan Imperium. Semoga ada kesempatan lain.

Blitar, 11 September 2019


http://sastra-indonesia.com/2019/09/fenomenologi-kematian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah