Dwi Pranoto *
Pertama-tama,
tentu, tumbuh campuran perasaan gentar dan antusias saat berhadapan dengan
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra; Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
(MMKI); Buku Pertama: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan
Indonesia, karya Nurel Javissyarqi. Bagaimana tak tumbuh adukan perasaan gentar
dan antusias, MMKI punya ketebalan xii + 570 halaman. Sangat tebal! Setidaknya
bagi saya. Ketebalan buku yang luar biasa itu ditambah lagi dengan judul yang
sangat panjang; 5 kata untuk judul “atas” atau “pengantar” + 4 kata untuk judul
“tengah” atau “utama” + 8 kata untuk judul “bawah” atau “penutup”, total 17
kata untuk judul. Bukan saja panjangnya, judul itu, seperti juga diterangkan
dalam 11 saf kata-kata – terdiri dari 3 kalimat – di bawah judul, punya
pretensi heroik. Ketebalan dan judul buku itu baru kesan pada pandangan
pertama, nah, begitu saya membaca paragraf pembuka yang tercetak miring pada
Bagian I, saya disergap oleh struktur kalimat dan pilihan diksi yang yang tak
biasa. Saya juga terperangah oleh argumentasi yang disusun secara analogis
(justifikasi metaforal) yang memparalelkan norma pernikahan dengan etika
kritik. Lalu, semakin saya memasuki halaman-halaman berikutnya dengan tertatih
dan sempoyongan, saya seperti dilemparkan ke dalam tumpukan sekam yang tebal
untuk mencari sebuah jarum. Menyasar Sutardji Calzoum Bachri melalui esai
pidato Ignas Kleden, MMKI disesaki argumentasi-argumentasi analogistis yang
membentuk bingkai-bingkai pemapaparan yang bersifat paralel dari pemikiran para
cerdik pandai dari Nusantara, Eropa, Asia, dan Timur Tengah – baik masa klasik,
modern, pun post-modern.
Nurel
menilai SCB gagal sebagai sastrawan, sementara para kritikus sastra tidak ada
yang menilaianya sebagai kegagalan. Para kritikus justru menilai SCB,
puisi-puisi SCB, sebagai suatu pencapaian estetik yang tinggi. Lantas, atas
dasar apa Nurel menilai SCB gagal sebagai sastrawan? Kegagalan SCB bagi Nurel
tidak berasal dari tak mewujudnya atau tak terlaksananya janji-janji puitik,
yang dimaklumatkan dalam konsepsi-konsepsi puitik SCB, seperti dalam Kredo
Puisi – yang dianggap Ignas sebagai rencana kerja seorang penyair – dan
esai-esai SCB yang terkait, di dalam puisi-puisi SCB. Nurel juga tak mengukur
kegagalan SCB sebagai sastrawan dengan memeriksa puisi-puisi SCB melalui
ukuran-ukuran artistik tertentu. Namun, Nurel menilai kegagalan SCB sebagai
sastrawan melalui konsep bahasa atau kata-kata sebagai representasi. Dalam ulasan-ulasannya,
Nurel selanjutnya mengadili SCB secara etik daripada mengadilinya secara estetik;
seperti misalnya menganggap SCB sembrono atau serampangan menafsir dan
menggunakan istilah “Kun Fayakun” yang ilahiah untuk melandasi pandangan
puitiknya.
Hal
pertama yang segera tampak dari penilaian bahwa SCB gagal sebagai sastrawan
adalah alat ukur yang tak sesuai dan menjadi problem yang tak terselesaikan –
karena telah sejak mula telah selesai dalam dirinya sendiri –. Nurel
menggunakan konsep bahasa atau kata-kata sebagai representasi untuk mengevaluasi
kerja kesusastraan SCB. Bagaimana mungkin Nurel akan menghasilkan penilaian
yang sebaliknya: berhasil, bila ia menggunakan alat ukur yang secara gamblang
ditolak oleh SCB sebagai konsep yang melandasi kerja puitiknya? Ini seperti
hendak menjahit baju bayi dengan menggunakan ukuran baju orang dewasa atau
sebaliknya. Ini seharusnya sudah selesai di sini; Nurel tidak membuktikan
apa-apa, tidak membongkar apa-apa. Namun, baiklah, kita akan memeriksa landasan
pengukuran Nurel: bahasa/kata-kata sebagai representasi.
Kita
akan kesulitan untuk menemukan definisi yang jelas berkait bahasa/kata-kata
sebagai representasi di MMKI. Namun demikian kita dapat berupaya memahaminya dari
pernyataan-pernyataan Nurel dalam MMKI:
“Dalam
beberapa hal, memang bahasa pun kata-kata itu ‘bebas’ dipergunakan demi satu
nilai tertentu tafsirannya di bidang masing-masing, kalau berpatokan dasar
standarisasi karya atas bentuknya. Tapi usaha ini menerobos inti dari partikel
terkecil untuk mengetahui sejauh mana kata-kata sebagai wakil suara terdalam
atas sikap, watak penulisnya di dalam menentukan nilai yang disuguhkan, demi
menjawab perihal apa saja kemungkinan di balik yang terucap , terkatakan (teks)”.
– MMKI hal. 10.
“Pena
yang terlihat bengkok sebagaimana teks yang hadir melambung, mengendap pun
jatuh tergantung daya penulisnya menyatakan kenyataan . . .”.
– MMKI hal. 27.
“Saya
kira lebih tepatnya bahwa penyair menggunakan kata-kata dalam kerja kepenyairannya.
Mereka meraciknya tidak saja indah juga menyembulkan makna di kedalaman
syair-syairnya dan bukan sosok penguasa kata-kata”.
– MMKI hal. 50.
“Kata
(sebutan, titel, namanya) beserta bendanya; apakah pisau, kursi, batu, tidak
berpengertian, jika tidak punya kenangan pada benda itu bersama namanya”.
– MMKI hal. 57.
Apa yang konsisten
terus ada dalam empat kutipan yang menyatakan teks/kata-kata/bahasa mempunyai
makna, dengan demikian representasional, adalah kehadiran subyek pembicara: penulisnya dalam kutipan pertama, penulisnya dalam kutipan kedua, dan mereka (para penyair) dalam kutipan
ketiga. Dalam kutipan keempat subyek terkandung dalam kenangan, kenangan tidak mungkin menjadi yang dikenang tanpa subyek
yang mengenang, yakni subyek empunya kenangan. Pada konteks bahasa sebagai
representasi, yang mempunyai makna atau medium bagi makna, kehadiran subyek
pembicara menjadi penting untuk menjamin kehadiran makna. Subyek pembicara itu
disebut Logos, pusat dari teks. Jika Logos terguling dari pusatnya, teks
kehilangan jangkar untuk pemaknaannya. Dalam tulisan (sebenarnya, menurut
Derrida, ini juga mencakup lisan), subyek atau Logos tidak hadir secara fisik,
tapi ia residu kehadiran subyek dalam komunikasi lisan yang mengendap dalam
tulisan. Logos bisa dikatakan sebentuk kenangan atau hantu yang mempunyai
fungsi menjamin kehadiran makna. Agar lebih mudah kita ambil saja contoh
perkataan Tuhan “Kun Fayakun”, pada saat ini Tuhan tidak lagi berkata atau
menulis “Kun Fayakun”, tapi saya yang menuliskannya. Saya bukan Tuhan, ucapan
“Kun Fayakun” hanya mungkin dimaknai sebagai perintah penciptaan dunia bila
Tuhan dianggap tetap semayam dalam ucapan/tulisan saya itu.
Lantas,
apa maksudnya Nurel memanggil Derrida yang menggulingkan Logos dari pusat teks
untuk proyek representasinya? Di sini, saya kira, Nurel memanggil Derrida untuk
mengadili SCB secara etik. “ . . . tetapi
tepat bagi Derrida dalam membongkar Marx lewat ini (apa yang Nurel sebut
sebagai pembalikan ‘Kun Fayakun’ dalam drama Hamlet), yang condong tidak mempercayai tuhan, atau imajinasi mengenai tuhan
adalah bikinan manusia. . . . Dan ketidakmasuk-akalan Sutardji dikarena juga
tidak ilahiah, . . .”. Bagaimanapun, kita dapat membayangan dua pasang
penjajaran simetris yang saling berhadapan: Derrida dan Nurel berhadapan dengan
Marx dan Sutardji; Derrida membongkar Marx, Nurel membongkar Sutardji. Terus
terang, saya kesulitan memahami apa yang Nurel pahami dari pemikiran Derrida,
khususnya Specters of Marx yang ia
sebut dan kutip bagiannya. Namun dari kutipan perihal pembongkaran Marx yang
‘kafir’ oleh Derrida di atas, saya menduga pemikiran Derrida dianggap
merepresentasikan spirit ketuhanan oleh Nurel. Dalam Specters of Marx, Derrida berbicara tentang hantu-hantu Marx,
menyingkap elemen metafisik karya-karya Marx. Spectres of Marx barangkali semirip S/Z, pembacaan novel Sarrasine
karya Balzac oleh Roland Barthes. Sebagaimana S/Z yang menolak status novel realistis yang dilekatkan pada Sarrasine dengan menyingkapkan
kekaburan-kekaburan dan misteri untuk membuyarkan kesatuan penggambaran yang
utuh, begitu juga dengan Specters of Marx
yang menolak status rasional-empiris yang dilekatkan pada karya-karya Marx
dengan menyingkapkan elemen-elemen metafisik di dalamnya. Sebagai misal, Derrida
menyingkapkan elemen metafisik karya Marx dengan mengutip benda/komoditas yang
berbicara dalam Capital, Vol.I, “Bila
komoditas-komoditas dapat berbicara, mereka akan mengatakan begini: ‘Nilai-guna
kita bisa jadi menarik bagi manusia, tapi itu bukan kepunyaan kita sebagai
obyek. Apa yang menjadi milik kita sebagai obyek, bagaimanapun, adalah nilai
kita. Persetubuhan antara kami sendiri
sebagai komoditas membuktikannya. Kami saling berhubungan sebagai nilai-tukar”’.
(Specters of Marx, hal 197). Secara
ringkas Derrida menyatakan melalui kutipan itu bahwa apa yang berlaku dalam
perdagangan (interaksi komunikatif) adalah nilai-tukar. Komoditas saling tukar
ucapan “Aku komoditas yang berbicara”. Tapi, kita tak akan membahas lebih
lanjut tentang ‘karakter metafisik’ dari komoditas yang merupakan hantu dari
ruang dan waktu kerja yang semayam dalam benda.
Baiklah,
sekarang kita membahas gagasan representasi sebagai mimesis. Nurel
membandingkan ‘alibi’ SCB (“Puisi adalah alibi kata-kata”) dengan mimesis. Pada
halaman 42 Nurel menulis, “Alibi, bukan
sosok gagasan atau bayangannya pun bukan anak kembaran, tapi duplikat, palsu,
plagiat”. Lalu pada halaman 43 Nurel menulis, “Saya cari padanan sesuai untuk mengetahui seluk-beluk maksud SCB yang
dilontarkan Dr. Ignas Kleden lewat menyusuri jejekan lama. Setelah menampilkan
kata “imitasi” melalui rerongga lain, guna membuka kemungkinan penghampiran
kata duplikat, palsu, plastik”. Terus terang, saya sulit mengerti kenapa
Nurel membandingkan kata ‘alibi’ dengan ‘mimesis’. Ada jurang lebar yang
membentang antara ‘alibi’ ( tempat lain) dan ‘mimesis’ (imitasi, tiruan,
representasi). Kita abaikan saja jurang itu, kita akan menggunakan jembatan
yang sudah disediakan Nurel yang menyatakan alibi adalah duplikat. Namun kita
tak akan menggunakan jembatan yang sudah dibangun Nurel untuk menghubungkan
‘alibi’ dengan ‘mimesis’. Kita menggunakan jembatan itu untuk memahami untuk
apa Nurel membangun jembatan yang menghubungkan ‘alibi’ dengan ‘mimesis’. Saya
kira Nurel menjembatani ‘alibi’ dengan ‘mimesis’ itu guna menghubungkan antara
SCB dengan Plato dan Aristoteles. Melalui terhubungnya Plato dengan SCB, Nurel
dapat mengadili SCB secara etik. Mari kita baca tulisan Nurel pada halaman 44 –
45, “Umpama bercermin pada terbunuhnya
Socrates yang menenggak racun abadi, serta dihadapkan pada paham Plato dalam
kitabnya Republic . . . Lalu berbalik pada suguhan tahapan mimesis Aristoteles,
maka terlihat SCB ingin lepas (melepas) dari kebenaran Socrates. Atau tidak
menenggak racun kebajikan, tapi dengan membuat alibi sebagai dasar
kepenyairannya, sebentuk melarikan diri dalam berpuisi (berproses kreatif)”.
SCB distigma ‘tidak menenggak racun kebajikan’ dan ‘melarikan diri’, atau
‘tidak bertanggungjawab’ (baca halaman 44, paragaraf 1) karena alibi dalam
“puisi adalah alibi kata-kata” bertentangan dengan mimesis, dengan kata lain
anti-representatif.
Masalahnya
adalah apakah Plato (Aristoteles nggak ikut-ikutan) mengutuk para penyair
karena mereka dianggap Plato sebagai anti-representatif atau tidak melandaskan
kerja artistiknya pada mimesis? Sebaliknya, Plato mengutuk dan mengusir para
penyair dari proyek negaranya karena para penyair melandaskan kerja artistiknya
pada mimesis.”Maka haruskah kita tak
menyimpulkan individu-individu puitis tersebut, semulai dengan Homer, adalah
belaka para peniru; mereka menyalin citraan kebajikan dan sejenisnya, tapi
kebenaran tak pernah mereka raih? Penyair seperti pelukis yang, sebagaimana
kita telah amati, akan menyerupa seorang tukang sepatu meski ia tak tahu apapun
tentang memperbaiki sepatu . . .” (Republic; Book X). Plato memang memilah dua produk imitasi atau
tiruan; mimesis yang didasarkan pada pengetahuan yang meniru suatu model dengan
tepat dan yang didasarkan pada simulakra artistik yang meniru kenampakan
belaka. Lebih mudahnya, pemilahan ini seperti memilah penyair dan tukang sepatu
berdasarkan hasil akhirnya atau kegunaannya; penyair menghasilkan deskripsi
sepatu sedangkan tukang sepatu menghasilkan sepatu. Jadi tidak ada urusan
dengan ‘alibi’.
“Pengusiran platonik terhadap
penyair didasarkan pada ketakmungkinan melakukan dua hal sekaligus yang
didasarkan pada isi immoral fabel. Masalah fiksi yang utama adalah masalah yang
berkaitan dengan distribusi ruang. Dari sudut pandang platonik, panggung, yang
secara simultan adalah lokus kegiatan publik dan ruang-pamer untuk
‘fantasi-fantasi’, mengganggu sekat tegas identitas-identitas,
kegiatan-kegiatan, dan ruang-ruang. Sama halnya dengan tulisan. Dengan
menyelinap keluyuran tanpa mengetahui siapa yang yang berbicara dan siapa yang
tak berbicara, menulis menghancurkan setiap pondasi legitimasi untuk sirkulasi
kata-kata, untuk hubungan antara efek-efek bahasa dan tubuh-tubuh di ruang umum”.
(Distribution of the Sensible; hal.
13, Jacques Ranciere).
Penyair
dalam negara platonik bukanlah jenis okupasi, penyair tidak memiliki ruang dan
waktu tertentu berdasarkan cara melakukan dan membuat dalam praktik artistik.
Penyair bukan sebagaimana pengrajin atau tukang yang karena jenis okupasinya
tidak bertanggungjawab terhadap elemen-elemen umum dari komunitas karena tidak
punya waktu untuk membaktikan dirinya untuk hal lain selain kerja dan tidak
dapat berada di ruang lain sebab kerja tidak dapat menunggu. Dengan demikian
pengusiran penyair adalah masalah struktur sosial yang di dalamnya peran dan
fungsi tiap individu serta hubungan antar individu ditentukan secara politis.
Sampai
sejauh ini kita bisa mengetahui, Nurel bukan saja keliru memilih ukuran untuk
mengevaluasi SCB, Nurel bahkan tak memahami ukuran yang digunakannya itu. Tentu
saja, dalam buku setebal xii + 570 halaman itu ada beberapa kasus di mana
evaluasi terhadap SCB, sebagai misal, berkait dengan gugatan terhadap
ketidakkonsistenan SCB untuk memegang prinsip artistik yang dinyatakan dalam
Kredo Puisinya. Namun kasus semacam itu dalam tulisan ini kita sisihkan, bukan
tidak penting, semata-mata karena ketersediaan waktu dan kesanggupan tubuh yang
terbatas.
Bila
Derrida menutup bahasan tentang ideologi dalam Specters of Marx dengan mengutip ucapan Marcellus kepada Horatio
pada malam penampakan hantu semirip raja yang sudah mati dalam drama Hamlet: “Kau seorang sarjana; bicaralah padanya,
Horatio”. Saya menutup tulisan ini juga dengan mengutip dari drama Hamlet,
dialog Polonius dan Hamlet.
Polonius:
Apa yang Anda baca, Tuanku?
Hamlet:
Kata-kata, kata-kata, kata-kata
*****
*) Dwi Pranoto, sastrawan dan penerjemah. Tinggal di Jember, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar