Hantam Kromo Bikin Keqi
F. Rahardi
Majalah Horison, Mei 1984
Seandainya saya hanya menulis yang wajar-wajar saja dalam Cacat Latar yang Fatal (Horison 1/1984) tanpa adanya embel-embel hantam kromo segala macam, maka Ahmad Tohari konon tidak akan begitu keqi. Begitulah kira-kira yang dapat saya tangkap dari tulisannya Kecongkakan Akademik dalam Kritik Sastra (Horison 3/1984). Syukur alhamdulillah, sebab pertanyaan saya yang konon meskipun bersahaja tapi sangat tidak simpatik tersebut saya tulis bukannya tanpa dasar.
Selain keqi terhadap istilah hantam kromo, Ahmad Tohari barangkali pula menyebut bahwasanya dia adalah orang dusun yang akrab dengan lingkungannya, sementara saya adalah seorang akademikus, guru biologi, kutu buku, jalan pikiran linier, berada di atas menara gading dan sebagainya. Itu salah besar.
Dalam tulisannya tersebut, Ahmad Tohari juga menyebut-nyebut bahwa saya tidak konsisten lantaran mencabut surat pembaca saya untuk Kompas. Justru dengan mencabut tulisan saya yang belum terlanjur dimuat tersebut, saya telah mengikuti aturan main yang baik dalam dunia tulis-menulis. Ceritanya begini. Seusai kirim surat pembaca tersebut, saya banyak bercerita kepada kawan-kawan perihal cacat latar dalam Ronggeng Dukuh Paruk, umumnya mereka menyuruh saya membeberkannya di Horison. Hilangnya soal ular hijau dalam artikel saya di Horison, bukannya lantaran saya tak berhasil menemukan referensinya di buku-buku. Saya tahu bahwa ular hijau memang tidak pernah makan burung dewasa yang sehat-walafiat sehabis kawin. Biasanya dia memang hanya makan anak burung, kodok atau kalau toh makan burung dewasa paling burung yang lagi sakit-sakitan. Kenapa? Karena burung dewasa yang sehat, sulit ditangkap.
Saya berkesimpulan bahwa tanggapan Ahmad Tohari terhadap tulisan saya, pada hakikatnya hanya lebih mempertegas bahwa dia sebenarnya sama sekali tidak akrab dengan permasalahan yang tengah dibicarakan. Saya sadar bahwa bila tanggapan tersebut saya uraikan lebih lanjut, maka yang ada kemudian bukannya ngomong-ngomong soal sastra tapi debat kusir tentang masalah biologi. Tapi apa boleh buat. Ronggeng Dukuh Paruk sudah terlanjur mengorbit dengan cap dagang Punya Latar Lingkungan Pedesaan yang memikat, ironisnya justru disitulah letak cacatnya.
Soal lampu Ahmad Tohari bilang, kan ini lagi coba-coba. Jadi lampunya juga seadanya. Saya tahu. Tapi masalahnya bukan itu. Lampu minyak dengan cincin penerang seperti yang dikemukakan Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk, kalanya ditaruh di luar ruangan untuk penerangan ronggeng itu kurang terang dan akan mati-mati melulu kena angin. Kalau saja Ahmad Tohari mengusai masalah ini karena mengaku sebagai anak dusun, tentu akan dijelaskan bahwa dalam acara tersebut lampu akan mati-mati terus kena angin atau untung tidak ada angin hingga lampunya selamat.
Ahmad Tohari juga menyebut saya tidak tahu soal capung, padahal justru sebaliknya. Capung itu tidak mau hinggap di tanah, karena binatang itu nalurinya tajam. Kalau dia hinggap di tanah, jarak pandangnya ke alam jadi sangat sempit. Akibatnya musuh-musuhnya akan lebih mudah mendekatinya untuk menyegap. Itulah sebabnya dia lebih senang hinggap di tempat yang agak ketinggian.
Masalah alap-alap yang saya sebutkan tidak pernah menangkap mangsanya dengan cakar juga dibantah oleh Ahmad Tohari. Katanya alap-alap sekaligus menangkap dengan cakar lalu mematuk. Begitu mau hinggap, mangsa yang masih ada di cakar tersebut buru-buru dipindahkan ke paruh sebab kalau tidak bagaimana elang mau hinggap? Begitulah pernyataan Ahmad Tohari. Waktu kecil dulu saya pernah mengejar elang yang menangkap anak ayam saya. Yang saya saksikan ya dengan cakar menerkamnya. Begitu hinggap di dahan, elang tersebut ya langsung hinggap begitu saja dengan cakar yang masih mencengkeram mangsanya. Dan sekarang, dalam acara tivi yang sering saya saksikan, burung elang yang menangkap mangsanya ya persis seperti yang pernah saya sebutkan tadi. Begitu pula dalam film-film, buku serta gambar-gambar yang saya saksikan kemudian. Jadi kalau elang di Dukuh Paruk menangkap pipit dengan paruh, ini memang istimewa demi efek dramatis. Boleh saja.
Ahmad Tohari telah keliru menafsirkan bahwasanya saya ini akademikus, mungkin tamatan IPB. Anggapan demikian timbul barangkali lantaran dia tahu bahwa saya kerja di majalah pertanian. Itulah sebabnya dia menganggap bahwa saya tidak tahu menahu soal singkong dan gaplek lantaran yang saya hadapi adalah singkong yang disimpan di laboratorium. Keliru mas. Saya pernah mengecap yang namanya leye, gogik, tiwul, gatot dan lain-lain dan tahu bagaimana proses pembuatannya. Leye itu singkong yang sengaha dibusukkan sampai hancur. Baunya jelas bukan main, rasanya juga tidak seenak beras Cianjur. Gatot itu singkong yang juga dibusukkan sampai hitam berjamur. Tapi semua tadi nilai kalorinya tetap tinggi. Kita ngomong soal kalori lo, bukannya gizi. Tapi Ahmad Tohari mengatakan bahwa singkong-singkong tersebut kalorinya rusak. Itu salah besar. Pertama, orang desa itu justru pintar menyimpan bahan makanan. Mereka biasa menaruh singkong kering mereka di para-para di atas tungku. Asap dan suhu panas dari tungku punya daya pengawet yang tinggi. Ini diketahui oleh orang desa. Jadi jangan anggap orang desa itu bodoh hingga membiarkan begitu saja singkong mereka hingga jadi rusak. Lagi pula, singkong yang rusak, baik oleh bakteri (leye, tapai), oleh jamur (gatot), atau serangga (gaplek), kalorinya tidak pernah rusak. Justru dengan rusaknya fisik singkong tersebut oleh bakteri, hamcur atau serangga, bahan makanan tersebut malah lebih mudah dicerna oleh perut manusia. Saya tahu bahwa sebenarnya Ahmad Tohari agak kebingungan dengan istilah karbohidrat, kalori dan gizi. Kenapa istilah-istilah itu disebut? Kan lebih enak dan lebih sederhana bilang bahwa orang-orang Dukuh Paruk itu kurang makan begitu saja?
Debat kusir soal biologi ini masih akan saya teruskan. Dadap srep dan dadap duri itu jumlahnya sama banyak. Malah di kampung-kampung tertentu, terutama yang berhawa panas, jumlah dadap duri jauh lebih banyak dibandingkan dengan dadap srep. Jadi membandingkan dadap dengan kerbau jelas keliru. Kerbau bulai (albino) atau belang (di Sulteng) itu memang sangat jarang. Jadi kalau ada orang menyebut kerbau, asosiasi kita warna bulunya pasti hitam tak pernah terlintas ke benak kita danya kerbau bulai meskipun di pembicara tak menyebutkannya. Tapi kalau disebut dadap, orang jawa pasti akan tanya : dadap apa? Dadap srep atau dadap duri? Pun membandingkan bianglala di langit dengan pelangi yang dibikin oleh anak-anak dengan cara menyemprotkan air melawan sinar matahari jelas tidak masuk akal. Pengetahuan Ahmad Tohari di bidang perpelangian ternyata juga masih rendah. Orang Jawa itu kenal 3 macam pelangi atau bianglala. Pertama kluwung yang merupakan tangganya para bidadari dan bentuknya melengkung setengah lingkaran. Kedua tejo yang merupakan pertanda turunnya semacam berkah atau keberuntungan, bentuknya cuma sepotong dan bisa berada di langit mana saja. Ketiga kalangan yang bentuknya melingkar 360 derajat dan mengelilingi matahari yang sedikit disaput awan pada waktu sekitar tengah hari. Itu semua dalam bahasa Indonesia disebut pelangi atau bianglala.
Ahmad Tohari mengakui bahwa burangrang dan kamitua adalah istilah di kampungnya atau istilah Dukuh Paruk. Mungkin pada waktu menulis Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari tidak pernah memikirkan bahwa novel tersebut bakal dibaca oleh bangsa Indonesia yang bahasa daerahnya macam-macam hingga tidak akan tahu istilah-istilah Khas Dukuh Paruk.
Soal bunga sedap malam Ahmad Tohari toh masih juga berkelit. Bukankah rombongan ronggeng sebelum srintil ada kemungkinan dipanggil sampai ke Baturaden lalu pulangnya bawa oleh-oleh bunga sedap malam itu tergolong bunga yang sulit perawatannya meskipun tak serumit gladiol atau krisan. Katanya Dukuh Paruk itu sudah lama tak punya ronggreng. Jadi datangnya bunga sedap malam ke Dukuh Paruk jelas sudah lama juga. Apakah orang-orang desa yang miskin seperti orang Dukuh Paruk itu masih sempat merawat bunga sedap malam hingga tetap dapat hidup lestari berbunga setelah sekian lama. Mungkin saja kalau orang Dukuh Paruk jauh lebih mementingkan keindahan bunga daripada perut. Mengenai soal kodok, Ahmad Tohari masih juga meragukan pengetahuan saya. Ketahuilah, bahwa waktu kecil saya paling gemar mencari kodok hijau di sawah. Waktu jadi guru SD saya juga sering tidur di hutan bersama para mandor serta pak polisi hutan yang saya tempati. Jadi saya hafal suara kodok hijau dan katak pohon. Lebih-lebih setelah di Jakarta saya banyak belajar soal perkodokan gara-gara ada order untuk menulis buku mengenai beternak kodok. Untuk itu saya bukan hanya nongkrong di perpustakaan seperti yang diduga Ahmad Tohari, tapi keluyuran ke tempat-tempat orang beternak kodok, ke rawa-rawa, sungai yang banyak kodok batunya, ke Lembaga Biologi Nasional/LIPI, ke Museum Zoologi dan sebagainya. Dan alhamdulillah, buku saya soal kodok yang sudah cetakan ke empat itu toh belum juga dibantah orang.
Sebenarnya masalahnya sangat sederhana. Ronggeng Dukuh Paruk tetap saya anggap sebagai novel yang cukup baik dan menarik. Ada tiga masalah sentral yang menonjol dalam novel tersebut. Ronggeng, Permasalahan di Dukuh Paruk dan Lingkungan pedesaan berikut flora serta faunanya. Sebagai seorang pemula, Ahmad Tohari sudah cukup menguasi teknik-teknik dasar menulis prosa, baik penokohan, alur, maupun latar. Sayangnya, keterampilan tersebut tidak diimbangi dengan ketelitian atau kejelian untuk mengamati lingkungan. Saya memang tahu bahwa latar novel tersebut memang ada di kawasan desa kelahiran serta tempat tinggal sang penulis setelah “mudik” dari Jakarta. Tapi hanya itu saja belumlah cukup untuk bekal melukiskan sebuah latar yang dapat dipertanggungjawabkan secara akal sehat. Seorang sastrawan selalu dituntut untuk peka terhadap lingkungan tempat tinggalnya.
Dalam hal ini sebenarnya yang bersikap sok ilmiah bukannya saya dengan tulisan saya terdahulu, tapi justru Ahmad Tohari sendiri. Novelis yang baik justru hanya akan menceritakan apa yang dilihat, didengar dan dihayati di sekitarnya sesuai dengan persepsinya sebagai seorang pengarang.
Tentang kritik Ahmad Tohari terhadap cerpan saya Kucing dan Burung yang pernah dimuat di Horison tahun lalu, saya tak perlu mengomentari atau membela diri. Silahkan!***
https://frahardi.wordpress.com/2010/10/29/polemik-f-rahardi-dan-ahmad-tohari/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar