: Diklat Teater Havara MA ASSA'ADAH Bungah Gresik 2019
Rakai Lukman
Manusia adalah mahluk kebudayaan yang melahirkan peradapan. Melalui sense of beauty manusia memiliki potensi untuk melahirkan dan menorehkan keindahan. Sebagai mahluk kebudayaan ia mengejahwahtah dalam ranah budaya aktif dan pasif. Dalam budaya aktif ia berproses dari ide gagasan, melakukan tindak kreativitas dan melahirkan karya. Demikian juga sebagai homo ludens, ia suka dan gemar bermain-main dan bersenda gurau, dalam hal ini manusia bisa memiliki bahasa sebagai ajang permainan kata untuk mengekpresikan perasaan dan emosional dirinya. Terkadang mewujud dalam komedia terkadang tragedia. Ia juga seorang homo sapiens (manusia bijaksana), yang mana kebijaksanaanya mampu mengolah daya, karsa, nalar dan nalurinya dalam mencipta bahasa yang indah, yang melahirkan homo scriptor, lebih spesifiknya homo poetics.
Manusia memiliki kecerdasan yang kompleks, dari mulai kecerdasan visual dan spasial (mengenali dan melihat secara akurat, kecerdasan naturalis (memahami lingkungan dengan baik), dan kecerdasan musical (memahami dan membedakan bunyi/suara). Demikian juga memiliki kecerdasan logika (kemampuan matematis dan logis), kecerdasan eksistensial (mengetahui dan memahami berbagai hal dalam kehidupan dan kecerdasan interpersonal (memahami berbagai kebutuhan dan perasaan orang lain di sekitanya). Begitu juga manusia memiliki kecerdasan kinestetis (keselarasan yang baik antara kinerja otak dan tubuh), kecerdasan linguistic (kemampuan komunikasi, memilih dan menata kata untuk berkomunikasi), serta kecerdasan intrapersonal (memahami kebutuhan yang diinginkan dirinya dan orang lain). Sembilan kecerdasan ini bisa dicapai dengan pemahaman akan estetika dan etika yang dilakukan secara intens, sebagai dasarnya manusia mencintai keindahan.
Keindahan bisa terwujud dalam keindahan alami dan keindahan yang dibuat dan dicipta manusia. Keindahan bisa hadir melalui visual dan akustik atau auditif. Untuk sampai pada keindahan abadi, sepatutnya menggabungkan etika dan estetika, estetika lahir dari unsur-unsur pembentuknya, yakni wujud, bobot (isi), penampilan/penyajian. Wujud adalah unsur pembentuk dan strukturnya. Bobot terdapat dalam tiga aspek (suasana/mood, gagasan/idea, dan pesan/massage). Penampilan dalam tiga peran dalam bentuk bakat (talent), keterampilan (skill), dan sarana/media. Adapun struktruk estetika hadir dalam keutuhan (unity), penekanan (dominance) dan keseimbangan (balance) serta komplesitas, intensitas dan ritme. Adapun bobot terdapat dalam deskriptif, liris dan imperative, demikian yang nampak dalam sastra, khususnya puisi.
Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat dan diberi irama dengan bahasa yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata betul-betul terpilih agar memiliki penguatan pengucapan. Walau singkat atau padat namun berkekuatan. Kata-kata itu mewakili makna yang lebih luas dan lebih banyak. Karena itu kata-kata dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat dengan bahasa figuratif. Puisi dibuat oleh orang yang berkesadaran bahwa anugerah dan hikmah kehidupannya bukan untuk dirinya sendiri. Kesadaran personalnya berangkat dari penghayatan sosial, sehingga orang itu melakukan transpersonalisasi kehidupan.
Puisi menemukan arti bagi kehidupan apabila bersumber dari sesuatu yang menemukan gema dalam kehidupan dan penyair berperan sebagai instrument yang melahirkan puisi. Penyair adalah kata hati zamannya, manusia yang karena kecendikiawannya dapat menangkap berbagai macam fibrasi yang kemudian dikomunikasikan kepada kalayak sebagai perwujudan moralitasnya. Penyair mengikuti perilaku dan nilai-nilai kemasyarakatan, hidup dan mencipta dalam keterlibatannya yang suntuk dengan kehidupan dan manusia dalam keseluruhannya. Ia hidup dalam dua dunia, dunia individualnya dan dunia tempat ia menambatkan diri sebagai kolektivitas tertentu. Sebab puisi yang baik meniscayakan adanya komitmen terhadap kehidupan.
Ekspresi puitik adalah perwujudan dari ekspresi penyair, dunia dalam kata, refleksi kenyataan, dan mencapai tujuan tertentu dalam diri audien. Bahasa dan makna sebagai pengikat antara penyair, obyek dengan realitas dan audiens. Bahasa puisi seolah memiliki tata bahasa khusus, karya estetis yang memanfaatkan bahasa sebagai sarana. Puisi berfungsi komunikasi, terutama yang bersifat emotif, referensial, puitik dan konatif. Ekspresi puitik membutuhkan proses konsentrasi dan intensifikasi, juga m. memiliki lisensi puitika (kebebasan penyair berekspresi).
Puisi adalah pencatat yang baik, sesuatu yang berharga di masyarakat dan zamannya yang kemudian meneruskan kepada angkatan yang akan datang. Puisi merupakan luapan perasaan imajinasi penyair, yang beroperasi pada presepsinya. Dalam puisi aspek emosional lebih dikedepankan daripada aspek intelektual dengan bahasa perasaan. Puisi untuk menggambarkan bentuk, mengekspresikan gagasan, pandangan dan sikap penulisnya. Ia mengutamakan intuitif, imajinatif dan sintetis. Ekpresi intensif dan terkosentrasi sangat penting, yakni tiap frase, kata, bunyi dan peraturan barisnya pun penting bagi ekspresi penyairnya.
Momentum estetik melalui perasaan-perasaan yang dikontemplasikan menjadi konsentrasi, puncak konsentrasi yang intensif akan membangunkan momen penciptaan. Di saat itu, kata-kata-frase, bunyi, ungkapan serta pengaturan bait-bait dapat muncul secara spontan dan berbarengan. Factor kesadaran penyair merupakan kendali penciptaan, dipengaruhi oleh dorongan inspirasi kreatif dan disiplin yang kuat.
Puisi juga bersifat otonom sebagai dunia dalam kata, bahasa puitik menggambarkan makna dalam lambang kebahasaan itu sendiri. Sebagai refleksi realitas puisi berhubungan dengan kenyataan, yakni imitasi, refleksi, refleksi dunia dan kehidupan manusia. Kemudian ada yang bersifat referensial, yakni menggambarkan obyek, peristiwa, benda atau realitas tertentu yang sejalan dengan gagasan, pandangan, perasaan atau sikap yang ingin disampaikan. Puisi merupakan suatu yang disusun untuk mencapai tujuan efek-efek tertentu pada audiens. Ia juga berfungsi konatif, yakni menimbulkan efek himbauan atau dorongan pada pembacanya.
Pengalaman jiwa penyair memiliki lima lapis: pertama, lapis kebendaan yang merupakan lapis terendah, bersifat benda mati, memiliki ukuran (panjang lebar, tinggi rendah, dapat didengar dan diraba. Jika lapis ini terekspresikan wujudnya berupa pola-pola persajakan, irama, baris, bait sajak, citraan, bentuk kiasan dan sarana retorik, yang semua menjadi bentuk formal puisi. Kedua, lapis tetumbuhan yang merupakan lapis jiwa seperti kehidupan tumbuh-tumbuhan. Ia mengalami pengalaman serupa pergantian musim yang memberikan suasana tertentu. Musim Bunga memberi suasana romantic, kegembiraan, sedang musim gugur memberikan gersang dan kesedihan. Pengalaman lapis ini memberi efek suasana tertentu yang sesuai dengan puisi itu pun dapat dirasakan.
Ketiga, lapis kehewanan, yang merupakan lapisan jiwa pada kehidupan binatang. Sudah ada hasrat hidup, ada gerakan, kemauan istingtif dan naluriyah (makan, minum, seksual). Jika lapis ini terekpresikan menjadikan efek keinderaan dan rangsangan sehingga menimbulkan tanggapan pun terbangun di dalamnya. Keempat, lapis kemanusiaan, yang lapisan jiwa yang dapat dicapai manusia, seperti perasaan simpati dan solider. Jika lapisan ini terekspresikan maka puisi mengedepankan perasaan cinta kasih dan simpati, termasuk berkenaan dengan renungan batin. Sehingga memberi efek kehalusan dan memperkaya jiwa manusia dengan renungan tentang peradapan yang mampu mempertinggi taraf kehidupan.
Kelima, lapis kefalsafahan, yang merupakan lapisan tertinggi, hanya bisa dicapaikan dengan meluangkan waktu untuk itu, seperti, sembahyang, berdoa atau merenung hakekat kehidupan. Jika diekspresikan, puisi akan mengedepankan hubungan manusia dengan Tuhan, renungan filosofis, mistik dan hahekat hidup. Efeknya adalah perenungan tentang hakekat hidup dan dunia serta keilahian. Lapis ini yang membuat puisi sangat kontemplatif.
Teknik ekspresi adalah proses sintesis yang mensejajarkan posisi intuisi dan imajinasi. Sebuah fase masuk pengalaman estetik yang mengolah pengalaman secara imajinatif yang kemudian disintesiskan, prosesnya melalui intuisi yang menangkap gerak kehidupan, yang tergetar atau tersentuh sesuatu, yang membangun pengalaman, yang menjadi sesuatu yang akan dikomunikasikan, menjadi dasar ekpresi. Dengan teknik yang matang mensintesiskan dengan cara membangun dan memunculkan imaji-imaji yang berjalan dalam ruang pikiran, yakni sesuatu yang berasal dari pikiran yang beragam, sebagai wujud emosional dalam rasa yang sulit dihindari.
Bahasa puisi cenderung ekspresif, sugestif, asosiatif, simbolik, bahkan terkadang magis. Ini terjadi karena bahasanya diresapi emosi, mood, perasaan pribadi dan kehendak serta kekaguman penyair yang difokuskan dalam rangka komunikasi dengan audien (pembacanya). Oleh karena itu, bahasa puisi mencakup: 1. aspek grafologis (penulisan), 2. Fonologis (bunyi dan irama), 3 morfologis .(bentuk), 4. Sintaktis (satuan kalimat), 5. Semantic (makna). Sebelum mengenali makna harus tahu aspek-aspek yang meliputi bunyi, dan aspek puitiknya, bahasa kiasan, citraan, sarana retorik dan wujud visualnya.
Norma puisi terkandung dalam lapisan bunyi (sound siratum), yakni rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang dan panjang. Suaranya sesuai dengan konvensi bahasa disusun sedemian rupa hingga menimbulkan arti. Yang kedua lapis arti (units of meaning) yang berupa rangkain fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Lapis ketiga berupa latar, pelaku, obyek-obyek yang dikemukakakn dan dunia pengarangb yang berupa cerita. Demikian juga terdapat lapis yang lain, yaitu lapis dunia dan metafisis. Lapis dunia merupakan titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya (implied). Yang selanjutnya lapis metafisis berupa sifat-sifat metafisis (sublime, tragiss, menakutkan dan perenungan/ kontemplasi).
Untuk sampai pada puisi, kita membutuhkan kata dan efek yang ditimbulkannya. Diantaranya arti denotative dan konotatif. Pembendaharaan kata (kosakata), oemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, citraan, sarana retorika, factor ketatabahasaan dan yang berhubungan dengan struktur kata-kata atau kalimat puisi. Medium menyampaikan perasaan melalui melalui bahasa membutuhkan kosakata yang berkait dengan kecakapan penyair mempergunakan kata-kata, baik kata-kata kuno maupun bahasa daerah. Penggunaan kata-kata bahasa sehari-hari dapat memberi efek gaya yang realistis. Sedang penggunaan bahasa nan indah dapat menimbulkan suasana romantis.
Dalam mengekspresikan kejiwaan melalui bahasa, penyair harus memilih kata yang tepat. Bila kata-kata yang dipilih dan disusun, hingga menimbilkan imajinasi estetik. Itu disebut diksi puitis. Diksi dihadirkan untuk mendapatkan kepuitisan dan nilai estetik. Dalam diksi butuh akan denotasi dan konotasi. Denotasi adalah yang menunjuk, benda yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan tau diceritakan. Juga sebagai bahasa yang menujuj kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan hal yang ditunjuk. Adapaun konotas adalah kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari setting yang dilukiskan. Konotasi menambah denotasi dengan menunjukjansikap-sikap dan nilai-nilai, dengan memberi daging (menyempurnakan) tulang-tulang arti yang telanjang dengan perasaan atau akal (Altenbernd, 1970:10).
Dalam unsur puisi juga ada bahasa kiasan (figurative language). Bahasa kiasan merupakan pertalian sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain. Kiasan sebagai daya tarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup dan menimbulkan kejelasan gambaran angan. Jenis-jenis bahasa kiasan adalah. 1. Perbandingan (smile), yang menyamakan satu hal dengan hal lain, mempergunakan kata pembanding, misalnya laksana, umpama, bak dan sebagainya. 2. Metafora, melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain. Metafora terdiri dari dua bagian, term pokok (principal term) dan term kedua (secondary term). Pertama disebut tenor, kedua disebut vehicle. Term pokok adalah hal yang dibandingkan dan vehicle adalah hal yang untuk membandingkan. Misalnya bumi adalah perempuan jalang.
Selanjutnya kiasan dalam bentuk, 3. Perumpamaan epos, perbandingan yang dilanjutkan, dilanjutkan dengan sifat-sifat pembandingnya dalam kalimat atau frase-frase yang berturut-turut. 4. Allegori, cerita kiasan. Kiasan ini mengisahkan hal lain atau kejadian lain. 5. Personifikasi, kiasan mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat bergerak, berpikir dan sebagainya. 6. Metonimia, kiasan pengganti nama, yakni penggunaan sebuah atribut obyek atau penggunaan sesuatu yang amat dekat hubungannya dengannya untuk menggantikan obyek tersebut. Penggunaanya memberi efek membuat lebih hidup dengan menunjukan hal konkret, sehingga menghasilkan imajinasi-imajinasi yang nyata, misal lonceng yang beradu melambangkan keriuhan partai. Kiasan berikutnya, 7. Sinekdoki, kiasan yang menyebutkan suatu bagian, yang penting suatu benda, untuk benda atau hal itu sendiri. Ada dua, pars pro toto (sebagian untuk keseluruhan), totum pro parte (keseleruhan untuk sebagian).
Dalam puisi juga harus menghadirkan citraan, yang merupakan gambaran jelas, menimbulkan suasana khusus yang mebuat lebih hidup gambaran dalam pikiran, pengindraan dan menarik perhatian. Citraan lebih mengingatkan kembali dari pada membuat kesan baru dalam pikiran, sehingga pembaca terlibat dalam kreasi puitis. Gambaran angan bisa bermacam-macam, bisa berupa penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan dan penciuman. Bisa juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan. Sederhananya ada yang bersifat visual imagery (penglihatan), dan bersifat pendengaran (auditory imagery).
Berpuisi juga membutuhkan gaya bahasa. Ia merupakan susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan perasaan tertentu dalam hati pembaca. Ia menghidupkan kalimat dan meberi gerak kalimat, yang menimbulkan reaksi dan tanggapan pikiran pembaca. Juga membutuhkan sarana retorik, yang merupakan muslihat pikiran.untuk menarik perhatian, pikiran sehingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair.
Selanjutkan sampai pada proses penciptaan karya puisi. Dalam proses penciptaan, kita kenali yang namanya cipta (pemusatan pikiran, angan-angan), daya cipta (kesanggupan batin mengadakan sesuatu), mencipta memusatkan pikiran untuk mengadakan, dan menciptakan membuat sesuatu dengan kekuatan batin, yang mana Sesutu itu belum pernah ada. Penciptaan adalah peristiwa yang merupakan proses bertahap, diawali dengan timbulnya suatu dorongan yang dialami oleh seniman/penyair. Motivasi (luar diri) maupun inpuls (dalam diri) mengawali penciptaan karya dengan menanam benih, bibit karyanya, baik yang disadari (incept), maupun yang tidak disadari (impuls). Menurut Graham Wallas dalam the Art of Thought, Tahapannya melalui preparation (preparasi, persiapan), incubation (inkubasi, penentasasn bibit), inspiration (ilham, inspirasi) dan elaboration (elaborasi, perluasan dan pemantapan).
Proses penciptaan karya puisi, dengan mengenal puisi dan pembentuknya, serta keyakinan akan bahasa sebagai media menyampaikan perasaan, gagasan dan ekspresi kejiwaan. Sebagai perwujudan akan menghadirkan keindahan (estetika), diperlukan keuletan dan intensitas berproses dengan banyak membaca buku, membaca realitas dan apapun itu. Juga membiasakan diri untuk merenung, membaca, menulis, mengevaluasi, merenung, membaca lagi dan menulis lagi sampai dianggap cukup bahwa karya itu sudah pantas dan berkualitas. Sebagai mana tingkatan seorang pembaca yang baik adalah secara bertahap, mengawali dengan informative reading (membaca sekedar mendapat informasi), lalu naik level ke interpretative reading (membaca untuk memahami dan menafsirkan), dan level berikutnya sampai pada kreatif reading (membaca untuk menghasilkan kreativitas dan karya).
Beberapa tips menulis puisi, ala Sapardi Djoko Damono. Dengan membuat jeda, caranya mengambil jarak dengan apa yang ditulis dan tidak terlibat secara semosional. Tahu bahwasannya sajak ada di sekitar kita, tidak harus mengawang-awang. Diajurkan tidak meniru karya sendiri. Adapun tips Joko Pinurbo, yaitu Memiliki buku catatan ide, catatan yang menyimpan kenangan akan segala obyek atau peristiwa yang dialami. Memperluas sudut pandang, jangan berceramah dalam puisi, dan banyak membaca puisi karya orang lain. Serta jadilah orang yang moderat, yang bersahaja. Tips menurut Ayu Utami, Jangan takut untuk mencoba, Jangan membawa dirimu terlalu tegang, menulis diiringi dengan data-data. serta berani mengisahkan sisi rentan diri sendiri dan tidak menjelek-jelekan orang lain. 5. Membeberkan pola pikir yang terbuka.
Proses berikutnya adalah memanggungkan puisi. Dalam penampilan karya seni (performing arts) membutuhkan komponen pendukung, berupa bakat (bisa alami, bisa juga dilatih setekun-tekunya), ketrampilan (kemahiran melaksanakan sesuatu dengan latihan intens) dan sarana atau media. Puisi bisa dihadirkan dalam alih wahana, bentuk seni yang lain melalui pembacaan puisi, musikalisasi puisi, teatrikalisasi puisi, mime poet (puisi pantomime), film puisi dan sebagainya.
Kita mulai dengan pembacaan puisi merupakan penyajian puisi tetapi bukan puisi itu sendiri. Meski ada teori pita suara kita bergetar ketika membaca dalam hati. Puisi ada dalam pembacaan puisi, puisi tak ada kalau tidak dibacakan dan puisi selalu diciptakan kembali setiap dibacakan. Tetapi yang terpenting adalah selalu ada setiap pembacaan puisi memunculkan unsur-unsur yang melebihi puisi itu sendiri. Nampak pada gaya pengucapan, penekanan, tempo dan ting-rendahnya suara ditentukan oleh kepribadian pembaca serta menunjukan interprestasi pembaca terhadap puisi.
Dalam musikalisasi puisi diwarnai oleh kepribadian pemusik dan musikalitas yang dihasilkan sesuai dengan interpretasi dan perenungan terhadap puisi yang dialih wahanakan. Penyajiannya ditambai dengan nada-nada, irama, tempo dan seterusnya. Meskipun dalam puisi lirik ada unsur-unsur matra, urutan vocal, konsonan, aliterasi, persajakan dan lain-lain. Tetapi puisi tetap mejadi dirinya, unsur diluar dirinya menjadi varian kreativitas yang memperkaya corak berkesenian. Yang mana Puisi menjadi pengalaman estetis penggubah dan pembacanya serta penikmat pertunjukannya (audiens).
Teaterikalisasi puisi, menjadikan puisi sebagai naskah acuan, yang mana diolah sesuai dengan aturan pertunjukan teater. Dalam teater tentukan memiliki unsur tema yang disajikan melalui puisi, setting lokasi dan waktu, plot dan alur kisah, penokohan, tangga dramatic dan penyelesaian. Juga pelengkap dalam pertunjukan seperti menghadirkan tata artistic, make up, costume, music pengiring pertunjukan, tata cahaya, dan sebagainya. Butuh juga melakukan konsep pemanggungan dan penyutradaran sekaligus latihan yang intens.
Demikian yang bisa kami haturkan, masih baru perkenalan, masih panjang perjalanan. Selamat atas terselenggaranya Diklat teater HAVARA MA Assa'adah Bungah Gresik, yang dinamai Orienta Art "orientasi dan penyambutan anggota baru teater". Yang dilaksanakan pada hari kamis-jumat, 14-15 November 2019. Semoga semakin aktif dan kreatif, karya-karyanya semakin berkualitas dan jayalah selalu. Salam seni dan budaya.
***
12.50 WIB, 13 November 2019, Gresik.
http://sastra-indonesia.com/2019/11/mengenal-estetika-cipta-dan-pertunjukan-puisi/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar