Minggu, 01 Desember 2019

Eksistensialisme Kepenyairan W.S. Rendra

(Catatan HUT WS. Rendra, 7 November)
Muhammad Muhibbuddin *

“Mana itu seniman Islam? Islam ‘kan tak punya Beethoven, tak punya Mozart, Picasso?’, begitulah ledekan Rendra terhadap seniman Muslim, Syu’bah Asa, sekitar 1970-an. Mendengar ledekan penyair Si Burung Merak itu, Syu’bah Asa, yang saat itu menjadi mahasiswa IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, hanya diam saja. Selama bergaul dengan Syu’bah, Rendra mengaku sendiri sering meledek, mencandai dan mem-bully seniman Muslim itu, namun orang yang di-bully itu nampak tidak merespon; cuek; tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Sikap Syu’bah yang pasif dan cuek itulah yang membuat Rendra justru penasaran.

Namun siapa sangka Rendra masuk Islam justru terinspirasi oleh karya Syu’bah Asa. Saat itu, Syu’bah Asa sedang menerjemahkan kitab al-Barzanji, Syaroful Anam—sebuah kitab yang berisi tentang sejarah dan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad Saw. Hasil terjemahan Syu’bah  ini lalu menarik perhatian Rendra; dibacanya kitab itu dan tertariklah Rendra dengan sosok Nabi Muhammad Saw. Kecintaannya pada sosok Rasulullah Saw.yang terlukiskan dalam al-Barzanji yang diterjemahkan Syu’bah itu menginspirasi Rendra untuk masuk Islam.

 “Ketertarikan saya pada Islam bermula pada syair-syair Syaraful ‘Anam dan Al-Barzanji yang diterjemahkan Syu’bah. Syair-syair ini adalah kasidah puji-pujian terhadap Nabi Muhammad. Di situ, Nabi Muhammad digambarkan menambal gamisnya sendiri; jika berjalan dengan sahabat-sahabatnya beliau berjalan paling belakang; beliau juga amat menyukai anak-anak. Dan, jika tangan seorang sahabat berbau wangi, orang akan berkata, ‘Tangan ini pasti baru disentuh Nabi.’ Bukankah ini berarti Nabi suka bergaul? Saya amat terharu membaca syair-syair itu, dan saya berpikir, ‘Boleh, kan, bila saya ikut terharu? Dan ikut numpang kagum pada Muhammad?”begitulah pengakuan Rendra saat diwawancarai oleh Majalah Ummat No.1, 1994.

Kitab al-Barzanji yang berisi tentang sosok mulia Rasulullah Saw. dan yang telah diterjemahkan Syu’bah itu kemudian dipentaskan Rendra ke dalam pertunjukan teaternya dengan judul “Kasidah Barzanji”. Pada saat itu Rendra sudah menjadi dramawan terkenal di seantero Indonesia melalui Bengkel Teater yang dipimpinnya. Pementasan Kasidah Barzanji ini menjadi salah satu karya Rendra yang sangat melegenda hingga saat ini. Karya ini dipentaskan berulang kali, termasuk pada 2014, ketika Rendra sudah enam tahun meninggalkan dunia ini.

Saat masih suka meledek Syu’bah itu, Rendra secara formal masih beragama Katolik. Rendra sejak kecil memang lahir dari keluarga Katolik dan dididik dalam lembaga pendidikan Katolik. Sejak TK hingga SMU, penyair yang kelahiran Solo, 7 November 1935 itu menempuh pendidikannya di yayasan Katolik. Semasa masih Katolik ini, Rendra mengaku agak sinis dengan Islam.

Dalam pandangan Rendra saat itu, umat Islam itu kasar, tidak ramah dan tidak begitu kreatif. Karenanya, meski telah terpesona dengan Rasulullah Saw. dan telah mementaskan al-Barzanji, Rendra mengaku tidak langsung tertarik masuk Islam. “…bahkan ketika itu saya masih belum tertarik untuk masuk Islam: saya takut jika daya cipta saya lalu mati!, begitulah alasan Rendra untuk tidak segera masuk Islam setelah berhasil mementaskan al-Barzanji. Dari pernyataannya itu, bisa dibayangkan bahwa Rendra saat itu memandang umat Islam sebagai komunitas yang jumud dan tidak memberikan peluang bagi tumbuh-kembangnya kreativitas seseorang.

Penyair Pemberontak

Rendra, yang nama lengkapnya Willibrordus Surendra Broto (disingkat W.S.Rendra), seperti dikatakan oleh Syu’bah Asa adalah seniman pemberontak. Jiwa pemberontakan Rendra dalam kesenimanan dan kepenyairannya ini jika dirunut dari sejarah kehidupannya merupakan bagian dari eksistensinya yang sejak remaja memang sering mengalami pergolakan.

Tentang pergolakan eksistensinya yang sudah dialaminya sejak remaja itu dikisahkan sendiri dalam video dokumenternya yang berjudul, “Rendra: Si Burung Merak” produksi Lontar Foundation. Di bagian awal video itu, Rendra mengisahkan, bahwa ketika masih di SMA, dirinya mengalami semacam absurditas dan disorientasi; goncangan eksistensial; yang membuat ia dilanda kebingungan akut. Ia pun mengkonsultasikan persoalan ini ke sejumlah orang termasuk pada guru-gurunya. Namun, gurunya justru menilai, apa yang dialaminya itu bagus dan sangat cocok dengan bakat dirinya di jurusan bahasa. Jawaban gurunya ini tetap tidak memuaskan dirinya.

Dalam kondisi dirundung absurditas itu, Rendra merasa buntu. Blong. Tidak tahu apa yang hendak dikerjakan. Ia merasa tidak bisa berdamai dengan kelahirannya ke dunia. Karenanya, ketika perasaan absurditas ini semakin mengoyak jiwanya, Rendra saat itu mulai ada kecenderungan untuk berprilaku brutal. Namun, daripada ia menunjukkan prilaku buruk terhadap orangtua, guru-guru dan teman-temannya, ia lebih memilih “minggat” dari rumah. Saat itu juga ia mempunyai niat kuat untuk berpuasa 9 hari. Puasa ini digunakannya untuk bertanya dan mengadu kepada Tuhan. Dalam bahasa Jawa: Neges ing ngarsaning jawoto. Melalui laku spiritualnya itu Rendra ingin bertanya, apa kehendak Tuhan atas dirinya, sebab ia merasa bahwa dirinya sudah tidak mempunyai kehendak apa-apa.

Selain itu, jiwa pemberontakan Rendra juga nampak pada gaya hidupnya yang tidak mau diatur dan suka keluyuran hingga tak kenal waktu. Ayahnya sendiri, Raden Cyprianus Soegeng Brotoatmodjo (dipanggil Pak Broto) bilang, “Bahkan aku pernah mengusir Willy (panggilan akrab Rendra—pen) dari rumah karena kerjanya keluyuran tak mengeal waktu”.  Pak Broto juga mengakui, untuk mengajar Rendra soal seni drama dan sastra lumayan mudah karena otak anaknya itu memang encer. Namun mendidik Rendra untuk disiplin dan tertib bersekolah, bagi Pak Broto, sungguh perjuangan berat.

Sejak remaja Rendra sendiri mengakui sangat suka menonton seni pertunjukan seperti wayang kulit, lenong, gambang kromong, ketoprak, reog, ludruk, besut, wayang potehi dan sebagainya. Untuk menyalurkan hobinya menonton seni pertunjukan ini, ia sering berjalan jauh dan mencari-cari kesempatan. Hobinya berburu seni pertunjukan ini, yang membuat Rendra suka keluyuran ke mana-mana. Namun berkat hobinya ini pula barangkali yang membuat dirinya kelak selain sebagai seorang penyair besar, juga sebagai dramawan ulung.

Latar belakang hidupnya yang penuh pergolakan seperti itu sangat mungkin mempengaruhi karya-karya Rendra, baik di bidang sastra maupun teater yang sarat dengan pemberontakan dan perlawanan. Kebanyakan karya-karya Rendra berisi tentang kritikan, perlawanan dan pemberontakannya terhadap sistem sosial yang kacau dan timpang. Hal ini terutama menyangkut sistem kehidupan sosial, politik dan agama. Rendra melalui karya-karyanya itu tak segan  melabrak segala otoritas yang menindas.

Sajak-sajaknya tentang Pamflet, Menghisap Sebatang Lisong, Bersatulkah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Orang-Orang Rankasbitung, Nyanyian Angsa, Khotbah  dan  yang lainnya sarat dengan kritik dan gugatannya terhadap realitas dan otoritas sosial. Begitu juga dengan karya-karyanya di bidang teater seperti Mastodon dan Burung Kondor, Panembahan Reso, Oedipus Rex,Sekda, Perang Troya dan yang lainnya juga berisi pesan moral dan sosial yang hampir sama.

Melalui karya-karyanya inilah, Rendra tak lelah melancarkan perlawanannya dan kritik-kritiknya terhadap penguasa dan otoritas sosial lainnya. Apa yang diperjuangkan oleh Rendra melalui pemberontakannya itu adalah hidupnya akal sehat kolektif dan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat. Dari sini Rendra meneguhkan keberpihakannya, termasuk dalam aktivitas berkeseniannya. Melalui sajak-sajak perlawanannya itu, dirinya berusaha untuk berpihak kepada kepentingan rakyat secara keseluruhan, terutama bagi orang-orang kecil yang tertindas dan tak berdaya.

Atas dasar itu, Rendra berpendapat bahwa sebuah maksud baik tidaklah cukup jika tidak didasarkan pada keberpihakan yang jelas kepada mereka yang tertindas. Apa yang disebut dengan “maksud baik”, bagi Rendra, tidak ada nilai dan manfaatnbya jika hanya digunakan untuk mendukung penguasa yang menindas dan merampas hak-hak rakyat. Hal ini nampak dalam sajaknya yang berjudul, Sajak Pertemuan Mahasiswa:

...
Orang berkata “Kami adalah maksud baik”
Dan kita bertanya: ”Maksud baik untuk siapa?”
Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras

Dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?”
“Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Kenapa maksud baik dilakukan
Tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota
Perkebunan yang luas
Hanya menguntungkan segolongan kecil saja

Alat-alat kemajuan yang diimpor
Tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya
Tentu kita bertanya: “Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”

Atas tindakannya yang cenderung memberontak dan menggugat segala ketimpangan dan ketidakadilan sosial itu, Rendra harus berhadapan dengan penguasa dan keluar masuk penjara. Bukan hanya itu pementasan keseniannya juga seringkali dilarang oleh aparat keamanan. Hal seperti ini ia alami baik ketika di masa Orde Lama maupun di masa Orde Baru. Meski demikian, Rendra adalah Rendra. Ia tidak pernah surut untuk menciptakan karya-karya perlawanan meski dirinya sering diteror, dilempar gas amoniak bahkan ditangkap dan dimasukkan ke dalam jeruji besi.”Dilarang dan tidak itu urusan pemerintah. Urusan saya adalah mencipta dan mencipta”, begitulah kata Rendra saat menghadapi pelarangan pementasan karya-karyanya oleh aparat sebagaimana dikutip oleh sahabat karibnya, Emha Ainun Nadjib (Kompas, 22/4/1975).

Seni dan Politik

Rendra memang tergolong sastrawan dan seniman yang menolak prinsip “seni untuk seni” (art for art’s sake). Seni bagi Rendra haruslah menjadi media refleksi kritis terhadap problematika sosial yang ada. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Ignas Kleden, dalam tulisannya, Rendra, Ilmu Silat, Ilmu Surat (2009:xii) bahwa melalui sajak-sajak dan teaternya Rendra menyatakan dengan tegas: estetika tidak bisa membenarkan penyairnya melarikan diri dan mengisolasi dari persoalan-persoalan sosial dan politik; sajak dan puisi bukanlah alat dan ruang untuk mencari kesunyian dan kesendirian, melainkan sebagai medium yang perlu dilibatkan dalam perjuangan demi terciptanya perbaikan kehidupan. Rendra dalam puisinya Menghisap Sebatang Lisong, mengutuk keras,“Para penyair salon //, yang bersajak tentang anggur dan rembulan//, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya”.

Meski demikian, Rendra berbeda dengan para seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang menjadikan politik sebagai panglima. Politik bagi Rendra bukanlah panglima, melainkan sebuah tugas. Semangat kerakyatan dan kemanusiaan yang diusung Rendra dikatakan berbeda dengan Lekra, karena apa yang dilakukan Rendra itu bukan manifestasi dari program partai dan ideologi. Hal ini berbeda dengan konsep kerakyatan yang diusung Lekra, yang atas dasar politik sebagai panglima, semangat kerakyatan lebih merupakan representasi dari program partai (PKI).

Dengan semangat kerakyatannya itu, Rendra mengutuk keras segala tindakan kediktatoran dan otoritarianisme yang cenderung membungkam kebebasan berekspresi dan daya kritis dengan dalih apapun, termasuk demi “Revolusi” sebagaimana yang kerap terdengar ketika politik masih menjadi panglima. Begitu juga, ia melawan keras terhadap segala penindasan dan absolutisme kekuasaan dengan dalih untuk “Pembangunan” ketika ekonomi sebagai panglima.

Segala persoalan yang diakibatkan oleh politik dan/atau ekonomi sebagai panglima ini menjadi concern dan pemberontakan Rendra yang membuatnya sering berurusan dengan aparat keamanan. Dalam kondisi kehidupan sosial yang tidak ideal itulah, Rendra menegaskan bahwa kesenian bukanlah barang “eksklusif dan mewah” yang harus terlepas dan jauh dari pergumulan sosial dan kehidupan. Seni bagi Rendra adalah pekerjaan yang menjadi panggilan hidup sehari-hari seperti belajar, menulis, bekerja di sawah, berdagang, mengolah ladang dan sebagainya. Karenanya seni haruslah sangat berkaitan dan saling berhubungan dengan sektor-sektor kehidupan lain,termasuk politik. Seni bagi Rendra harus turut andil melahirkan perubahan dalam masyarakat terhadap segala tatanan yang tidak ideal.

Namun, Rendra menolak segala perubahan yang penuh anarkhis dan revolusioner. Apa yang dikehendaki Rendra adalah perubahan secara gradual dengan tetap mengedepankan akal sehat dan hati nurani. Hal ini terlihat jelas dalam pementasan karyanya, Mastodon dan Burung Kondor. Pentas teater Rendra ini terilhami oleh gerakan revolusi di Amerika Latin. Dalam pentas teater ini dikisahkan bahwa ada sebuah rezim dengan segala aparatus represifnya yang benar-benar menindas rakyat. Rezim penindas inilah yang kemudian menjadi simbol Mastodon. Lahirnya Mastodon kemudian melahirkan banyak Burung Kondor yaitu rakyat kecil, tertindas dan tak berdaya yang menjadi korban kediktatoran dan penindasan si Mastodon.

Dalam kondisi yang penuh represifitas itulah muncul kaum intelektual, para profesor dan mahasiswa yang merancang sebuah gerakan revolusi untuk menumbangkan sistem yang diktator tersebut. Namun sebelum mereka mewujudkan aksi revolusionernya, muncul seorang sastrawan yang memberikan masukan tentang bahaya revolusi. Sang penyair ini berpendapat bahwa perubahan kebudayaan yang ditempuh dengan jalan kekerasan dan revolusioner tidak akan pernah berhasil. Para pejuang revolusi jika berhasil menggulingkan rezim lama lalu meneguhkan dirinya sebagai penguasa baru maka mereka juga cenderung menjadi diktator baru. Rezim yang ditegakkan melalui hasil revolusi dan gerakan anarkhisme, cenderung memaksakan program-programnya atas nama pemerintahan revolusioner. “Yang beda namanya saja,” begitulah kata sang penyair.

Lewat karyanya ini Rendra sebenarnya sangat pro dengan semangat transformasi, perubahan, progresifitas dan dinamika, namun semua ini harus ditempuh dengan cara-cara yang humanis, gradual dan elegan, dengan tetap mengendepankan akal sehat dan mempertimbangkan kebutuhan. Perubahan yang serentak, radikal dan revolusioner bagi Rendra justru hanya menghadirkan persoalan baru yang tingkat negatifitasnya bisa jadi lebih parah dari yang sebelumnya.

Itulah sepercik eksistensialisme Rendra dalam dunia kesenian dan kepenyairan. Akhirnya, Rendra boleh saja telah lama wafat, tetapi semangat dan idealismenya dalam berkesenian itu tidak boleh padam. Problematika sosial, ketidakadilan dan ketimpangan struktural masih terus berlangsung hingga detik ini. Di sinilah diperlukan sebuah seni “yang membebaskan” bagi seluruh elemen masyarakat dari berbagai kungkungan struktur yang menindas. Ketidakadilan dan ketimpangan sosial inilah yang selalu digugat dan disoal oleh Rendra, sebagaimana dalam sajaknya yang berjudul Sajak Sebotol Bir:“Hiburan kota besar dalam semalam//,sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa//,peradaban apakah yang kita pertahankan?”

*) Muhammad Muhibbuddin adalah penulis lepas, tinggal di Krapyak, Yogyakarta.
http://www.bilikkata.com/2019/11/07/eksistensialisme-kepenyairan-rendra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah