Putu Fajar Arcana
Kompas, 12 April 2015
Sastra yang menyalin realitas cuma akan menghasilkan karya yang buruk. Karya-karya itu tak akan mampu hidup selamanya dalam ingatan sejarah. Ia lahir secara menggebu-gebu untuk kemudian tenggelam dan dilupakan. Tak ada kenangan, apalagi pelajaran hidup.
Penemuan teknologi digital dalam banyak segi mempermudah hidup manusia, tetapi ia juga menghasilkan sampah berupa karya-karya yang instan. Para penulis diburu keinginan menulis sebanyak-banyaknya untuk memenuhi selera massa, kalau tidak boleh disebut pasar. Dan karena itulah, ia bekerja secara kejar tayang.
Sastrawan Budi Darma (78) beranggapan pengarang yang baik harus mampu mengendapkan dan merenungkan realitas di sekitar hidupnya. Hanya dengan cara begitu, karya-karya yang baik dan menukik bisa lahir. Karya-karya yang kini bertaburan di banyak media, akibat kemudahan teknologi, hanyalah serpih-serpih yang segera akan dilupakan.
”Mungkin ada karya yang serius, tetapi itu (menunggu) seleksi alam,” kata guru besar Universitas Negeri Surabaya itu (Unesa), awal Maret 2015 lalu di Surabaya.
Dalam usia, yang menurut dia tak bisa dimudakan lagi meski dibaca secara terbalik ini, Budi Darma tetap menjadi pengarang dan peneliti yang tekun dan santun terhadap profesinya. Novelnya Olenka (1980) mengejutkan jagat kebudayaan (sastra) Indonesia karena cara pandang dan kedalamannya yang unik. Kumpulan cerpennya Orang-orang Bloomington (1980) dinilai memiliki cara pengungkapan nilai-nilai kemanusiaan yang orisinal. Olenka meraih juara pertama Sayembara Menulis Roman Dewan Kesenian Jakarta dan Orang-orang Bloomington meraih Southeast Asian Write Award dari Pemerintah Kerajaan Thailand.
”Kalau kita ketemu nanti, saya tidak bisa menjemput Anda karena mobil dipakai menjemput cucu,” tulis Budi Darma lewat pesan singkat. Pesan itu saya pahami sebagai perhitungannya yang begitu detail terhadap berbagai hal.
”Wartawan yang harus mendatangi Anda sebagai narasumber terhomat,” balas saya. Budi Darma lalu menyatakan terima kasih. Kami akhirnya bertemu sebagai dua kawan diskusi. Saya menghormatinya sebagai penulis besar dan hebat serta dosen yang terkenal disiplin, tetapi selalu bersikap rendah hati, serta memperlakukan semua orang secara setara.
Apa yang membuat Anda selalu kelihatan tangguh?
Wah, ya, ndak tahu, ya. Begini. Tanggal 25 April nanti usia saya 78. Sebelum (mencapai) 77 saya bisa bohong. Misalnya 76 bilang 67, 73 bilangnya 37. Sekarang ndak bisa, kalau dibalik jadi tambah tua, ha-ha-ha….
Bagaimana cara Anda menjaga mood kepengarangan, pada usia sepuh masih produktif menulis?
Setiap hari saya ikuti berita di koran, televisi, sehingga pengetahuan saya up to date. Saya usahakan jangan ketinggalan zaman. (Sampai kini Budi Darma masih menulis cerita pendek. Cerita pendeknya ”Lelaki Pemanggul Goni” bahkan dinobatkan sebagai karya terbaik dalam Cerpen Pilihan Kompas 2013).
Apa yang merisaukan Anda dalam pertumbuhan sastra kita?
Sastra kita terus ditulis. Dunia digital telah membawa sastra ke arah yang belum pernah dicapai sebelumnya. Pada hakikatnya semua bisa dianggap sastra, hanya mana yang bisa dimasukkan kanon (mahakarya) mana yang tidak. Sastra digital kebanyakan tanpa renungan, seperti juga kalau kita baca di Facebook, lebih banyak instan daripada pengendapan pemikiran.
Katakanlah kalau era kertas (buku) ini hilang, bisakah karya-karya yang ditulis pada media digital itu kita harapkan jadi karya sastra yang baik?
Bisa aja, tapi nanti ada seleksi alam. Selain itu banyak juga penulis kita sekarang yang kejar tayang. Mereka menargetkan berapa banyak akan menulis karya.
Apakah karya-karya macam ini akan ada gunanya?
Ini pertanyaan sukar. Sebab, kebanyakan penulis itu, kan, menulis tanpa mempertimbangkan kontrol (orang lain), semua dinilai oleh diri sendiri. Apakah ini ada sumbangannya? Kemungkinan sumbangannya pada literasi. Itu semacam kemampuan menulis dan membaca, tetapi belum tentu menulis sastra. Setidaknya literasi memicu orang untuk berkarya.
(Budi Darma berpikir bahwa tingkat pencapaian literasi satu bangsa akan memengaruhi kemajuan dari bangsa itu sendiri. Sastra digital harusnya menjadi pendorong tingkat literasi di Tanah Air. Tetapi karena sifatnya yang cepat dan instan, sastra jenis ini mudah hilang. Walau ia tetap mengakui bahwa dunia sastra dan filsafat adalah dunia pemikiran yang selalu didatangi orang-orang yang serius. Gerakan-gerakan dalam berbagai bidang tidak pernah dimulai oleh massa, tetapi selalu diawali oleh para pemikirnya).
Jika begitu kita membutuhkan peran kritikus yang lebih aktif?
Begini. Untuk menjadi kritikus yang menghasilkan kritik yang baik, orang harus punya wawasan yang luas. Sekarang pendidikan di mana-mana maju sehingga boleh dikatakan kritikus itu di mana-mana sama mutunya. Kalau mutunya sama, kalau itu misalnya perempuan ya cantik semua, maka tidak ada yang cantik. Kritikus itu sama, kalau kritikus itu sama mutunya atau sama bodohnya, maka tidak ada kritikus yang baik. Kritik sastra kita tidak berkembang, yang ada kritik formal dan kaku di kampus-kampus.
Apa kritik sastra masih dibutuhkan, ketika karya-karya yang lahir instan dan kejar tayang di media berbasis internet itu tidak butuh lagi redaktur koran, editor buku, kurator, atau penyeleksi lainnya?
Kalau kita bicara seleksi alam tadi, kritikus masih tetap dibutuhkan. Gambarannya, Shakespeare pernah bilang, ”Kuda yang bagus tidak mau ditunggangi oleh penunggang yang tidak bagus.” Jadi kalau ada karya yang bagus nanti ada kritikus yang bagus juga. Nah, siapa kritikus Indonesia? Sekarang kita belum tahu karena sama pandai dan sama bodohnya. Tak ada yang menonjol karena semua menonjol, lalu semua jadi tidak menonjol.
Menurut Anda, karya yang baik itu seperti apa, sih?
Prinsip karya yang baik, tidak langsung menggambarkan realitas. Kita bisa lihat, misalnya, sastra Indonesia di masa awal seperti Balai Pustaka dan Pujangga Baru, ditulis di masa kita terjajah. Penulisnya tidak menggembar-gemborkan nasionalisme. Andai kata mereka menggembar-gemborkan nasionalisme, yang dekat dengan situasi zaman itu, mungkin sastra kita dilupakan. Yang kita tangkap, kan, seolah-olah para sastrawan kita waktu itu tidak nasionalis. Pada akhirnya sastra yang bisa bertahan terus adalah karya yang seolah-olah tidak mencerminkan masyarakatnya. Seperti juga pemikiran mengenai nasionalisme di masa penjajahan dulu.
Apakah itu tidak berarti sastra terlambat merespons realitas di sekitarnya sehingga tidak bisa dijadikan pedoman nilai?
Ini lagi pertanyaan sukar. Sebab ini kita sudah memasuki area setengah abstrak. Bagaimanapun juga kalau karya sastra itu benar-benar gambarkan realitas, itu biasanya kurang baik karena sekadar mengalihkan. Dan itu artinya kurang pengendapan dan perenungan. Menulis itu seperti puncak gunung es, ia bisa dikerjakan cepat, tetapi telah melalui perenungan dan pengendapan yang panjang. Nanti pembaca bisa rasakan lewat teks, apakah itu pengendapan atau perenungan yang baik. Itu berarti pembaca yang baik.
Menurut Anda apa sumbangan dunia sastra terhadap peradaban manusia?
Berekspresi adalah naluri manusia. Kita tidak mungkin mematikan sastra sebab itu bagian dari ekspresi manusia. Apalagi belakangan banyak orang ingin jadi bagian dari dunia global. Lihat saja alamat e-mail, ada yang pakai huruf-huruf seolah dia berada di luar negeri. Para pengarang memajang foto sampul buku dan pemandangan di luar negeri. Itu bukan hanya ingin jadi bagian dunia global, tetapi semacam ketakutan ditinggalkan.
Pembiaran
Dalam persepsi Anda apa hal terpenting yang pantas dicatat dalam dunia sastra kita?
Sastra kita umumnya lemah dalam psikologi. Sastra kita selalu datar dalam menggambarkan konflik. Kalau sastra itu psikologinya kuat, berarti konfliknya dilematis. Ini sudah sering dibicarakan karena berkaitan dengan kultur masyarakat. Di Amerika dan Inggris banyak dari kita dapat pertanyaan, kenapa konflik psikologi sastra kita kurang kuat. Tetapi di Tiongkok tidak ada pertanyaan itu.
Apakah ketika pengarang bekerja selalu berkaitan dengan kulturnya?
Ya. Ya kalau dalam budaya tidak ada konflik, karyanya kurang baik. Sebab bagaimanapun juga kita, kan, punya kata-kata selaras dan seimbang sehingga itu yang membuat kita cenderung menghindari konflik. Maka akan banyak masalah yang tak terselesaikan. Sering begitu di Indonesia, masalah-masalah terbiarkan…. Bagaimana ujungnya kita tidak tahu….
Kalau sekarang banyak masalah negara dan rakyat yang terbiarkan itu, apa karena faktor kultural?
Kadang-kadang kita bertanya, kebudayaan itu menentukan apa? Kalau di Indonesia umumnya karena faktor alam dan lingkungan yang tentukan (corak) kebudayaan sehingga pada umumnya kita santai. Memang sekarang beda dengan dulu, di mana orang bisa tidur siang. Sekarang orang tampak lebih sibuk dan itu karena pengaruh masyarakat global….
Apa, sih, biang keroknya?
Walau sudah jadi bagian dari masyarakat modern, kita masih mewarisi secara tidak sadar feodalisme. Coba kita lihat ke kantor-kantor, itu kan feodalismenya masih ada. Di perguruan tinggi, orang-orang yang jadi dosen itu orang-orang yang tunduk, yang bukan vokal, yang nurut.
Berpikir kritis itu sudah dimatikan dari awal, maksud Anda?
Ya. Karena itu, anak-anak muda cenderung banyak pindah kerja. Mereka cari pengalaman baru yang tidak terikat sistem feodal. Meski mereka tidak sadari, mereka tidak mau menurut.
Apa hal-hal seperti konflik ini tecermin dalam sastra kita?
Kalau kita lihat karya Pramoedya (Ananta Toer) konfliknya bagus. Tetapi itu karena ia ceritakan masa penjajahan, yang musuhnya jelas. Sekarang kita tidak (sedang) dijajah, musuhnya diri kita sendiri. Ini lebih sulit. Sebab pada waktu dijajah, persatuan kita lebih kuat, setelah merdeka situasinya lain lagi.
Semua novel dan sebagian karya cerpen ditulis Budi Darma ketika berada di luar negeri. Olenka ditulis semasa ia kuliah di Amerika, sedangkan Rafilus ditulis ketika ia menjadi peneliti di Inggris. Budi Darma selalu menganggap menulis karya sastra sesuatu yang serius, oleh karena itu harus ditulis dalam waktu yang sangat khusus. ”Saya menulis kalau banyak punya waktu sendiri seperti ketika di luar negeri,” katanya. Sastra membutuhkan mood karena ia memperjuangkan nilai. Tidak sekadar berkarya untuk memenuhi selera massa, apalagi pasar. Karya-karya yang dikerjakan dengan cara ini hanya akan jadi karya instan, menu yang renyah dikunyah, tetapi tidak bergizi, bahkan merusak ”kesehatan” sastra kita.
***
http://indonesiasastra.org/2015/04/menu-sastra-serba-instan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar