Rabu, 18 Desember 2019

Menu Sastra Serba Instan

Putu Fajar Arcana
Kompas, 12 April 2015

Sastra yang menyalin realitas cuma akan menghasilkan karya yang buruk. Karya-karya itu tak akan mampu hidup selamanya dalam ingatan sejarah. Ia lahir secara menggebu-gebu untuk kemudian tenggelam dan dilupakan. Tak ada kenangan, apalagi pelajaran hidup.

Penemuan teknologi digital dalam banyak segi mempermudah hidup manusia, tetapi ia juga menghasilkan sampah berupa karya-karya yang instan. Para penulis diburu keinginan menulis sebanyak-banyaknya untuk memenuhi selera massa, kalau tidak boleh disebut pasar. Dan karena itulah, ia bekerja secara kejar tayang.

Sastrawan Budi Darma (78) beranggapan pengarang yang baik harus mampu mengendapkan dan merenungkan realitas di sekitar hidupnya. Hanya dengan cara begitu, karya-karya yang baik dan menukik bisa lahir. Karya-karya yang kini bertaburan di banyak media, akibat kemudahan teknologi, hanyalah serpih-serpih yang segera akan dilupakan.

”Mungkin ada karya yang serius, tetapi itu (menunggu) seleksi alam,” kata guru besar Universitas Negeri Surabaya itu (Unesa), awal Maret 2015 lalu di Surabaya.

Dalam usia, yang menurut dia tak bisa dimudakan lagi meski dibaca secara terbalik ini, Budi Darma tetap menjadi pengarang dan peneliti yang tekun dan santun terhadap profesinya. Novelnya Olenka (1980) mengejutkan jagat kebudayaan (sastra) Indonesia karena cara pandang dan kedalamannya yang unik. Kumpulan cerpennya Orang-orang Bloomington (1980) dinilai memiliki cara pengungkapan nilai-nilai kemanusiaan yang orisinal. Olenka meraih juara pertama Sayembara Menulis Roman Dewan Kesenian Jakarta dan Orang-orang Bloomington meraih Southeast Asian Write Award dari Pemerintah Kerajaan Thailand.

”Kalau kita ketemu nanti, saya tidak bisa menjemput Anda karena mobil dipakai menjemput cucu,” tulis Budi Darma lewat pesan singkat. Pesan itu saya pahami sebagai perhitungannya yang begitu detail terhadap berbagai hal.

”Wartawan yang harus mendatangi Anda sebagai narasumber terhomat,” balas saya. Budi Darma lalu menyatakan terima kasih. Kami akhirnya bertemu sebagai dua kawan diskusi. Saya menghormatinya sebagai penulis besar dan hebat serta dosen yang terkenal disiplin, tetapi selalu bersikap rendah hati, serta memperlakukan semua orang secara setara.

Apa yang membuat Anda selalu kelihatan tangguh?

Wah, ya, ndak tahu, ya. Begini. Tanggal 25 April nanti usia saya 78. Sebelum (mencapai) 77 saya bisa bohong. Misalnya 76 bilang 67, 73 bilangnya 37. Sekarang ndak bisa, kalau dibalik jadi tambah tua, ha-ha-ha….

Bagaimana cara Anda menjaga mood kepengarangan, pada usia sepuh masih produktif menulis?

Setiap hari saya ikuti berita di koran, televisi, sehingga pengetahuan saya up to date. Saya usahakan jangan ketinggalan zaman. (Sampai kini Budi Darma masih menulis cerita pendek. Cerita pendeknya ”Lelaki Pemanggul Goni” bahkan dinobatkan sebagai karya terbaik dalam Cerpen Pilihan Kompas 2013).

Apa yang merisaukan Anda dalam pertumbuhan sastra kita?

Sastra kita terus ditulis. Dunia digital telah membawa sastra ke arah yang belum pernah dicapai sebelumnya. Pada hakikatnya semua bisa dianggap sastra, hanya mana yang bisa dimasukkan kanon (mahakarya) mana yang tidak. Sastra digital kebanyakan tanpa renungan, seperti juga kalau kita baca di Facebook, lebih banyak instan daripada pengendapan pemikiran.

Katakanlah kalau era kertas (buku) ini hilang, bisakah karya-karya yang ditulis pada media digital itu kita harapkan jadi karya sastra yang baik?

Bisa aja, tapi nanti ada seleksi alam. Selain itu banyak juga penulis kita sekarang yang kejar tayang. Mereka menargetkan berapa banyak akan menulis karya.

Apakah karya-karya macam ini akan ada gunanya?

Ini pertanyaan sukar. Sebab, kebanyakan penulis itu, kan, menulis tanpa mempertimbangkan kontrol (orang lain), semua dinilai oleh diri sendiri. Apakah ini ada sumbangannya? Kemungkinan sumbangannya pada literasi. Itu semacam kemampuan menulis dan membaca, tetapi belum tentu menulis sastra. Setidaknya literasi memicu orang untuk berkarya.

(Budi Darma berpikir bahwa tingkat pencapaian literasi satu bangsa akan memengaruhi kemajuan dari bangsa itu sendiri. Sastra digital harusnya menjadi pendorong tingkat literasi di Tanah Air. Tetapi karena sifatnya yang cepat dan instan, sastra jenis ini mudah hilang. Walau ia tetap mengakui bahwa dunia sastra dan filsafat adalah dunia pemikiran yang selalu didatangi orang-orang yang serius. Gerakan-gerakan dalam berbagai bidang tidak pernah dimulai oleh massa, tetapi selalu diawali oleh para pemikirnya).

Jika begitu kita membutuhkan peran kritikus yang lebih aktif?

Begini. Untuk menjadi kritikus yang menghasilkan kritik yang baik, orang harus punya wawasan yang luas. Sekarang pendidikan di mana-mana maju sehingga boleh dikatakan kritikus itu di mana-mana sama mutunya. Kalau mutunya sama, kalau itu misalnya perempuan ya cantik semua, maka tidak ada yang cantik. Kritikus itu sama, kalau kritikus itu sama mutunya atau sama bodohnya, maka tidak ada kritikus yang baik. Kritik sastra kita tidak berkembang, yang ada kritik formal dan kaku di kampus-kampus.

Apa kritik sastra masih dibutuhkan, ketika karya-karya yang lahir instan dan kejar tayang di media berbasis internet itu tidak butuh lagi redaktur koran, editor buku, kurator, atau penyeleksi lainnya?

Kalau kita bicara seleksi alam tadi, kritikus masih tetap dibutuhkan. Gambarannya, Shakespeare pernah bilang, ”Kuda yang bagus tidak mau ditunggangi oleh penunggang yang tidak bagus.” Jadi kalau ada karya yang bagus nanti ada kritikus yang bagus juga. Nah, siapa kritikus Indonesia? Sekarang kita belum tahu karena sama pandai dan sama bodohnya. Tak ada yang menonjol karena semua menonjol, lalu semua jadi tidak menonjol.

Menurut Anda, karya yang baik itu seperti apa, sih?

Prinsip karya yang baik, tidak langsung menggambarkan realitas. Kita bisa lihat, misalnya, sastra Indonesia di masa awal seperti Balai Pustaka dan Pujangga Baru, ditulis di masa kita terjajah. Penulisnya tidak menggembar-gemborkan nasionalisme. Andai kata mereka menggembar-gemborkan nasionalisme, yang dekat dengan situasi zaman itu, mungkin sastra kita dilupakan. Yang kita tangkap, kan, seolah-olah para sastrawan kita waktu itu tidak nasionalis. Pada akhirnya sastra yang bisa bertahan terus adalah karya yang seolah-olah tidak mencerminkan masyarakatnya. Seperti juga pemikiran mengenai nasionalisme di masa penjajahan dulu.

Apakah itu tidak berarti sastra terlambat merespons realitas di sekitarnya sehingga tidak bisa dijadikan pedoman nilai?

Ini lagi pertanyaan sukar. Sebab ini kita sudah memasuki area setengah abstrak. Bagaimanapun juga kalau karya sastra itu benar-benar gambarkan realitas, itu biasanya kurang baik karena sekadar mengalihkan. Dan itu artinya kurang pengendapan dan perenungan. Menulis itu seperti puncak gunung es, ia bisa dikerjakan cepat, tetapi telah melalui perenungan dan pengendapan yang panjang. Nanti pembaca bisa rasakan lewat teks, apakah itu pengendapan atau perenungan yang baik. Itu berarti pembaca yang baik.

Menurut Anda apa sumbangan dunia sastra terhadap peradaban manusia?

Berekspresi adalah naluri manusia. Kita tidak mungkin mematikan sastra sebab itu bagian dari ekspresi manusia. Apalagi belakangan banyak orang ingin jadi bagian dari dunia global. Lihat saja alamat e-mail, ada yang pakai huruf-huruf seolah dia berada di luar negeri. Para pengarang memajang foto sampul buku dan pemandangan di luar negeri. Itu bukan hanya ingin jadi bagian dunia global, tetapi semacam ketakutan ditinggalkan.

Pembiaran

Dalam persepsi Anda apa hal terpenting yang pantas dicatat dalam dunia sastra kita?

Sastra kita umumnya lemah dalam psikologi. Sastra kita selalu datar dalam menggambarkan konflik. Kalau sastra itu psikologinya kuat, berarti konfliknya dilematis. Ini sudah sering dibicarakan karena berkaitan dengan kultur masyarakat. Di Amerika dan Inggris banyak dari kita dapat pertanyaan, kenapa konflik psikologi sastra kita kurang kuat. Tetapi di Tiongkok tidak ada pertanyaan itu.

Apakah ketika pengarang bekerja selalu berkaitan dengan kulturnya?

Ya. Ya kalau dalam budaya tidak ada konflik, karyanya kurang baik. Sebab bagaimanapun juga kita, kan, punya kata-kata selaras dan seimbang sehingga itu yang membuat kita cenderung menghindari konflik. Maka akan banyak masalah yang tak terselesaikan. Sering begitu di Indonesia, masalah-masalah terbiarkan…. Bagaimana ujungnya kita tidak tahu….

Kalau sekarang banyak masalah negara dan rakyat yang terbiarkan itu, apa karena faktor kultural?

Kadang-kadang kita bertanya, kebudayaan itu menentukan apa? Kalau di Indonesia umumnya karena faktor alam dan lingkungan yang tentukan (corak) kebudayaan sehingga pada umumnya kita santai. Memang sekarang beda dengan dulu, di mana orang bisa tidur siang. Sekarang orang tampak lebih sibuk dan itu karena pengaruh masyarakat global….

Apa, sih, biang keroknya?

Walau sudah jadi bagian dari masyarakat modern, kita masih mewarisi secara tidak sadar feodalisme. Coba kita lihat ke kantor-kantor, itu kan feodalismenya masih ada. Di perguruan tinggi, orang-orang yang jadi dosen itu orang-orang yang tunduk, yang bukan vokal, yang nurut.

Berpikir kritis itu sudah dimatikan dari awal, maksud Anda?

Ya. Karena itu, anak-anak muda cenderung banyak pindah kerja. Mereka cari pengalaman baru yang tidak terikat sistem feodal. Meski mereka tidak sadari, mereka tidak mau menurut.

Apa hal-hal seperti konflik ini tecermin dalam sastra kita?

Kalau kita lihat karya Pramoedya (Ananta Toer) konfliknya bagus. Tetapi itu karena ia ceritakan masa penjajahan, yang musuhnya jelas. Sekarang kita tidak (sedang) dijajah, musuhnya diri kita sendiri. Ini lebih sulit. Sebab pada waktu dijajah, persatuan kita lebih kuat, setelah merdeka situasinya lain lagi.

Semua novel dan sebagian karya cerpen ditulis Budi Darma ketika berada di luar negeri. Olenka ditulis semasa ia kuliah di Amerika, sedangkan Rafilus ditulis ketika ia menjadi peneliti di Inggris. Budi Darma selalu menganggap menulis karya sastra sesuatu yang serius, oleh karena itu harus ditulis dalam waktu yang sangat khusus. ”Saya menulis kalau banyak punya waktu sendiri seperti ketika di luar negeri,” katanya. Sastra membutuhkan mood karena ia memperjuangkan nilai. Tidak sekadar berkarya untuk memenuhi selera massa, apalagi pasar. Karya-karya yang dikerjakan dengan cara ini hanya akan jadi karya instan, menu yang renyah dikunyah, tetapi tidak bergizi, bahkan merusak ”kesehatan” sastra kita.
***

http://indonesiasastra.org/2015/04/menu-sastra-serba-instan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah