Jumat, 06 Maret 2020

Arah Mudik

Raudal Tanjung Banua *
JawaPos 1 Juni 2019

Di  kampungku, pesisir Barat Sumatera, mudik pertama-tama dipahami sebagai penunjuk arah. Ia merujuk daerah hulu sungai, gunung, atau sebalik bukit.

Kebalikannya adalah hilir, merujuk muara, pantai dan laut. Umumnya, masyarakat kita memang tidak menyebut arah dalam ungkapan “resmi” mata angin, namun lebih banyak mengacu pada tradisi dan budaya (toponomi).

Tiap daerah saya kira punya persfektif ini. Orang Madura yang mau ke Jawa, misalnya, akan bilang ongga (naik). Orang Jakarta yang mau ke Jogja atau Semarang, lazim bilang “pulang ke Jawa”. Atau jika pun menyebut arah secara rinci, tapi mereka lebih fasih menggunakan sebutan lokal seperti kulon-lor-wetan-kidul (Jawa) dan kaja-kelod (Bali) yang bermakna filosofis. Orang Bali punya istilah lain, segara-gunung (laut-gunung) sebagaimana kami punya istilah ateh-baruah (atas-bawah) yang tak kalah filosofis, jika bukan problematis.

Arah, sebagai mana watak penamaan, tidak steril dari hal-hal hirarkis. Penyebabnya bisa paham etnosentris, kekuasaan sentralistik atau warisan kolonial. Sebutan ongga bagi Madura, jelas menempatkan Jawa sebagai pusat. Arah ka ateh (ke atas) bagi orang kampungku merujuk dominasi Kota Padang sebagai kiblat. Kebetulan kota ini terletak di utara. Sebaliknya, baruah (bawah) merupakan arah selatan yang mengandung suasana senyap dan murung. Kenapa demikian?

Padahal jika ke selatan, kami akan bertemu Bengkulu, Tanjungkarang bahkan Jakarta, ibukota negara. Namun itu tidak menjadi rujukan utama karena “pintu masuk” dan “pintu keluar” bagi daerah saya adalah Kota Padang, dan di sana jalan bersimpang ke mana-mana. Sementara arah Bengkulu bertahun-tahun akses jalannya dibiarkan rusak binasa. Baru belakangan jalan yang merupakan jalur Lintas Barat Sumatera itu dibangun mulus, sehingga arah ke baruah terasa cerah.

Dalam perkembangannya kemudian, mudik lalu diartikan pulang kampung, terutama saat Lebaran. Padahal, seingat saya, bertahun-tahun lalu kami biasa menyebut pulang kampung saja, namun setelah televisi gencar menayangkan liputan mudik, istilah ini pun digunakan secara Nasional. Termasuk di kampung saya. Dalam ritual dan karnaval tahunan ini muncullah tradisi pulang basamo bagi urang awak, mudik gratis dan lain-lain. Uniknya, mudik tidak hanya ke kampung-kampung di hulu sungai atau kaki gunung. Orang yang berasal dari kuala bahkan pesisir juga menyebut mudik untuk kepulangannya dari rantau.

Memang harus diingat, mudik itu menyiratkan pulang kampung untuk waktu tertentu atau sementara waktu. Lazimnya saat Lebaran, demi sowan dan sungkem kepada keluarga. Setelah itu si perantau akan pamit lagi, kembali ke tempatnya semula. Ini ada kaitannya dengan padanan hilir-mudik. Mudik lalu menjadi aktivitas tahunan atau ritual rutin bagi orang-orang yang merantau di suatu tempat, khususnya kota besar.

Dengan begitu, mudik mengandung makna perjalanan kembali ke hulu, ke sumber asal usul, ke haribaan ibu, ke tanah kelahiran. Akan tetapi mudik tidak bisa berdiri sendiri, ia memiliki padanan yang kerap tersembunyi(kan), yakni, hilir. Tanpa hilir, tidak ada mudik, tanpa ada orang menghilir, tidak ada orang pulang ke mudik. Tidak heran, orang Minang biasa menyebut bahwa mereka yang merantau pada hakikatnya juga mencari silsilah baru: ibu cari, saudara cari, induk semang cari dahulu, jika pandai berinduk semang, sama baiknya dengan ibu kandung. Itu kata pantun dan dendang. Maknanya betapa sama kuatnya motivasi antara mereka yang pergi (hilir) dengan mereka yang pulang (mudik).

Karena itu, saya heran, kenapa kebalikan mudik disebut arus balik, bukan arus hilir atau hilir itu sendiri. Padahal secara alamiah, jika kita merujuk arus sungai, arus balik itu justru bermakna mudik, yakni arus yang berbalik ke arah hulu. Sesuatu yang tampaknya mustahil, kecuali pada fenomena alam yang unik di muara Sungai Kampar–berbaliknya arus sungai ke arah hulu, yang disebut bono.

Bagi saya pribadi, mudik bukan hanya menjadi bagian kosakata Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran, namun juga pergulatan menuju pulang secara luas. Maka, mudik tidak hanya mengingatkan saya pada cerpen-cerpen Lebaran yang ditulis Umar Kayam, misalnya, namun juga cerpen “Harimau Tua” Sitor Situmorang yang tidak berhubungan dengan Lebaran.

Mudik juga mengingatkan saya pada cerpen “Jalur Membenam” Wildan Yatim. Dalam perjalanan kembali ke Jawa, setelah mudik ke Tapanuli, tokoh “aku” terjebak jalanan rusak di Pasaman, perbatasan Sumut-Sumbar. Di rumah samping kedai nasi tempat ia “terdampar” ia bertemu mantan kekasihnya yang ternyata masih merindu!

Demikianlah, mudik menjadi arah yang perlu selalu ditelisik, sebab mengandung dimensi dan khazanah yang kaya. Termasuk untuk coba meneroka kata dan istilah lain, sehingga keberadaannya selalu segar dan dinamis lebih dari sekedar istilah dalam kamus. Selamat merayakan Lebaran, selamat mudik!

_____________________
*) Penulis buku “Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai”
https://www.jawapos.com/opini/01/06/2019/arah-mudik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah