Senin, 22 Juni 2020

Lingon, Perempuan Bermata Biru di Belantara Hutan Indonesia

Bido, Seorang Gadis Suku Lingon Bermata Biru mencari Akar Yaiwo bertemu Tutumole
Mahamuda *

“Saya menjelajah kawasan Halmahera Timur bertemu dengan suku primitif. Saya melihat sendiri gadis peranakan hasil kawin silang laki-laki suku Togutil dengan perempuan suku Lingon. Kulit mereka putih, tinggi langsing, hidung mancung, rambut pirang, dan bermata biru...” John Halmahera (1947-2020) telah mengakui bertemu suku terpencil, Lingon. Maka, pengakuannya itu sekaligus meluruskan pendapat Paul Spencer Sochaczewski mengenai suku Lingon, yang bertahan hidup di hutan Halmahera adalah pemakan manusia?

Buku-buku berkisah pulau-pulau Maluku dan Halmahera sudah cukup banyak diterbitkan. Mulai dari buku sejarah, kumpulan puisi, cerita pendek, esai, dan novel. Pembaca bergiat mengumpulkan juga membaca buku-buku perihal Maluku, serta Halmahera. Pada suatu hari, mengetahui ada seorang penulis bernama John Halmahera menulis sebuah novel tentang suku Lingon di belantara hutan Halmahera. Pembaca tertarik membacanya sekaligus menduga, kalau penulisnya pasti berasal Halmahera. Namun dugaan itu melenceng jauh setelah berusaha menemukan buku garapan John, kemudian membaca riwayatnya di halaman terakhir.

John, memiliki nama lengkap Alwi Bin Muhammad Alhaddar, lahir di Ternate 1947. Ia pernah menjadi wartawan olahraga di harian Sinar Harapan. Di tahun 1986, koran Sinar Harapan dibredel, berganti nama jadi Suara Pembaruan (SP). Tidak lama kemudian, John keluar dari SP, dan sebagai pemimpin redaksi majalah Popular. Buku pertama karyanya, cerita silat Wisang Geni Pendekar Tanpa Tandingan, 2 Jilid. John tutup usianya di Bekasi, tanggal 4 Maret 2020.

Sebelumnya, pembaca sudah mendengar cerita suku Lingon yang dituturkan di pulau besar Halmahera. Ada yang menganggap hanya mitos belaka atau konon di masa lampau, suku ini berasal dari para pendatang, serdadu Skandinavia yang terdampar di Kao dan beranak pinak. Lantas ada yang membuktikan bahwa suku Lingon memang benar ada. John, salah satunya yang mengambil peran penting hal ini. Tahun 2012, penerbit Zaytuna meluncurkan novel karangan John Halmahera berjudul “Lingon, Perempuan Bermata Biru di Belantara Hutan Indonesia.” Novelnya lumayan tebal 395 hlm, ditulis dengan bahasa yang sangat sederhana.

John memulai cerita dari kampung Gurua, salah satu perkampungan di selatan pesisir timur Teluk Kao. Masinga, seorang Sousoulol dari Gunung Maspopa, memasuki kampung Gurua. Masinga memiliki ilmu kesaktian pampelemtou dan boyemekgiyon. Daya ilmu pampelemtou sanggup menghilangkan wujud, sedang ilmu boyemekgiyon, mampu menebak nasib dan masa depan. Selain itu, pandai berkelahi. Di Gurua, Masinga bertemu Barbakam, kepala kampung Gurua. Barbakam dan Masinga pernah berjumpa di kampung Subaim. Barbakam membawa Masinga ke rumah untuk mengobati mertuanya, dan warga kampung Gurua yang menderita penyakit seperti dialami mertua Barbakam. Masinga meracik ramuan dari akar-akar, kulit-kulit pohon, dan dedaunan, kemudian direbus. Airnya diminum mertua Barbakam, dan orang-orang Gurua yang sakit. Setelah mengobati, Masinga kembali ke kampungnya di Waijoi. Di sanalah, istri dan anak-anaknya hidup bahagia. Masinga meminta ijin kepada Barbakam membawa Tutu (Tutumole), pemuda Gurua yang gila sebab ditinggal pergi istrinya. Ia berjanji menyembuhkan sakit jiwa Tutu, dan menjadikan sebagai muridnya.

Pada suatu hari, Tutu dapat sembuh dari sakit gila. Masinga, mengajari Tutu sampai menjadi sousou. Seorang sousou mampu mengobati penyakit apa saja, tapi seorang sousou bukanlah sousoulol. Syarat pertama untuk jadi sousoulol, seseorang harus menjadi sousou terlebih dulu dan memeluk agama Islam. Syarat kedua menjadi sousoulol sangat berat, harus mempertaruhkan nyawanya di tanjung Lelai. Demikian kata Masinga pada Tutumole, ketika menghadapi ujian terakhir di tanjung Lelai demi menjadi seorang sousoulol:

“Sousoulol, wajib menolong orang tanpa pamrih. Orang yang ditolong, bisa mati, bisa juga hidup. Dalam tugas kewajibannya, terkadang sousoulol mempertaruhkan nyawanya. Itulah sebabnya, harus pahami makna kematian. Makin memahami kematian, kian tinggi ilmunya. Dan jalan memahami kematian adalah mendatangi, mendekati, juga merangkul kematian itu sendiri. Itulah tradisi turun-temurun para sousou, yang merintis jalan jadi seorang sousoulol.”

Masinga tidak pernah memaksa mewajibkan Tutu memeluk ajaran Islam. Namun Tutumole sendiri yang memutuskan, memilih menganut agama Islam, karena ingin menjadi sousoulol. Setelah berhasil melewati tantangan terakhir yang mematikan untuk menjadi sang sousoulol, Tutu dan Masinga berpisah. “Kamu bisa mencapai Gurua ke arah selatan, pergilah ke selatan, Tutu.” Begitulah kata-kata Masinga sebelum berpisah arah. Masinga menuju barat kembali ke Waijoi, sedangkan lelangkah Tutu berjalan terus ke selatan menuju Gurua.

Konon, hutan Halmahera tidak hanya dihuni suku Lingon dan Togutil. Tapi ada juga satu kelompok mahkluk hidup yang disebut Berebere. Makhluk tersebut memiliki tubuh kebal, tinggi besar, kulit hitam, dekil, seram, ganas, dan pemakan manusia. Berebere, berkeliaran di sekitar gunung Isalai. Mungkin yang dimaksud Paul Spencer, Berebere-lah pemakan daging manusia, dan bukan suku Lingon maupun Togutil.

Ada benarnya pendapat soal suku Lingon hanya mitos belaka, dengan alasan sulit dijumpai. Lewat novel ini, John berusaha menyakinkan pembaca, bahwa suku Lingon memanglah ada. Namun tersembunyi atau bersembunyi, menghindari perburuan, sehingga tidak mudah orang suku Lingon di hutan Halmahera dijumpai. Perempuan dari suku Lingon senantiasa diburu, seperti berburu binatang-binatang buas. Mereka para pemburu perempuan-perempuan Lingon, bukan hanya dari suku Togutil dan Berebere saja, tetapi para lelaki yang tinggal di pesisir, ikut memburunya. Ada yang memburu untuk dijadikan isteri, ada juga yang dijual kepada Walanda (Belanda), ada pula yang hanya mencicipi perawannya, lantas dibunuh. Karena sering diburu, diperkosa, dijual dan dihabisi dengan membuang kasih, Suku Lingon memilih bertahan hidup di belantara hutan angker Halmahera dengan selalu bersembunyi terus menghilang dari perburuan.

Di tengah perjalanan menuju kampung Gurua, Tutumole bermalam di tepi sungai Ake Onat. Ia menguasai separuh jalanan di gunung Kokonora, Gogolomo, Isalai dan Watowato, serta sungai-suangi di kawasan Kao Barat. Karena bertahun-tahun bersama Masinga menjelajahi sebagian daerah itu. Tutumole melanjutkan langkah ke selatan, arah gunung Isalai. Di pertigaan cabang sungai Ake Onat, Tutu berjumpa Bido dan rombongannya dari suku Lingon. Mereka sedang dalam bahaya besar, dikepung orang-orang suku Togutil, dan Tutumole menjadi penyelamat.

Beberapa rombongan Lingon mati dihabisi nyawanya oleh suku Togutil ketika melawan. Bido, Katina, dan Mikala, selamat dari serangan. Bido, gadis Lingon yang aduhai cantikanya, anak sulung Tamako, seorang kepala suku Lingon. Bido tak hanya memiliki paras kecantikan yang berlebihan, juga pemberani, serta pandai berkelahi. Gadis polos, tapi sesekali memperlihatkan mata jiwanya penuh berontak! Bido dan rombongannya meninggalkan perkampungan Lingon, ingin masuk hutan Atego di lereng selatan gunung Isalai, mencari akar yaiwo untuk mengobati Tamako, ayahnya, sang kepala suku Lingon.

John, membumbui cerita novelnya menjelma sedikit birahi, ketika Bido dan Tutumole saling memiliki rasa yang sama, mencintai. Dimulai dari perjalanan ke gunung Isalai sampai pulang ke perkampungan Lingon. John menyinggung sepintas mengenai pernikahan suku Lingon. Bahwa perempuan dan laki-laki, jika ingin bersuami-istri, keduanya langsung saja berhubungan badan. Namun dilakukan atas dasar suka sama suka, tanpa paksaan. Setelah itu, keduanya sah menjadi pasangan suami-istri. Apabila gadis Lingon menikah dengan lelaki yang bukan dari sukunya, sang gadis Lingon diwajibkan angkat kaki menjauh dari tempat persembunyian suku Lingon.

Dalam perjalanan mencari akar-akar yaiwo, Tutumole bersama Bido, mendapati serangan dari makhluk Berebere. Mikala dan Katina, tidak ikut. Mikala menemani Katina beristirahat, karena terluka parah saat melawan suku Togutil. Tutumole, yang menguasi ilmu sakti, dapat mengatasi serang-serang mematikan dari Berebere. Setelah berhasil mendapatkan akar yaiwo, Tutu, Bido, Mikala dan Katina meninggalkan gunung Isalai. Jalan pulang melewati arah kampung Dodaga, membutuhkan waktu berhari-hari. Dan singgah di sungai Ake Dodaga untuk beristirahat barang sejenak, nasib malang tak bisa dicegah, Bido secara tidak sengaja menghilangkan akar yaiwo. Bido bersedih hati kecewa berat, karena tidak menjaga dengan baik obat ayahnya. Perjalanan diteruskan memasuki kampung, istirahat di rumah kosong Salomon, kepala kampung Dodaga, sebelum melanjutkan perjalanan menaiki perahu ke Wasilesi, lalu melewati gunung Watowato.

Perjalanan pulang sering tidak sesuai rencana. Di Dodaga, Bido diculik orang pesisir. Pembaca beranggapan buruk kepada John, terlihat seperti menghindari berkisah lebih jauh tentang suku Lingon. Pembaca tidak mengenal betul serupa apa dan bagaimana, suku Lingon sesungguhnya berkehidupan, bersuku, dan berkebudayaan, di hutan Halmahera. John terlalu asik menuturkan kisah cinta Bido dan Tutu yang penuh birahi, juga sibuk berkelahi. Terlihat juga saat Tutu memutuskan arah jalan pulang dari lereng gunung Isalai melewati Dodaga. Ceritanya lebih banyak dibangun di pesisir.

Tiga lelaki bernama Pedamati, Tabacampaka, dan Todojaha, membawa Bido dengan perahu ke Akelamokao, terus ke pelabuhan Jailolo. Bido akan dijual ke Walanda. Selama berada di tangan pencuri, Bido tidak melawan sedikit pun, lebih banyak diam berdoa, dan selalu menyebut nama Tutu. Tutumole di Dodaga terluka, oleh serangan seseorang saat sedang mencari perahu untuk dipakai ke Wasilesi. Tutumole lagi tidak siap ketika ada serangan, yang membuatnya terluka. Dalam keadaan luka, Tutu mengejar Bido, dan dalam perjalanan ke Akelamokao berperahu, Kalawako, Rodo, dan Sulo ikut. Tiga orang Dodaga ini yang membantu Katina, dan Mikala mendayung. Belum sampai di Akelamokao, Tutumole menurunkan Kalawako, Rodo dan Sulo di Minaimin. Kemudian memotong teluk Kao. Sampailah juga di Akelamokao, Tutu turun dari perahu. Mikala dan Katina terus berperahu ke utara lewati Gamsungi, berteduh di hutan Duma, dekat tepian sungai Ake Mataki. Di hutan Duma, Mikala dan Katina menunggu Tutu dan Bido.

Pedamati, Tabacampaka, dan Todojaha telah membawa Bido ke pos Walanda di pelabuhan Jailolo. Bido dijual ke seorang letnan Walanda dengan harga tiga kalung emas, dan duapuluh keping emas. Bido akan dibawa ke Tobelo, diserahkan kepada seorang kapten yang baru saja kehilangan isterinya. Di Akelamokao, Tutumole singgah di kediaman nenek Salero, seorang dukun beranak, yang bercerita tentang Bido yang dibawa pergi pencuri. Mereka para pencuri Bido, sebelumnya juga beristirahat di rumah Salero, untuk memastikan kegadisan Bido masih perawan atau tak. Tutumole kemudian melanjutkan perjalanannya ke pelabuhan Jailolo. Kapal membawa Bido telah lepas tali dari pelabuhan akan menuju Tobelo. Tutu dengan kesaktiannya dapat naik ke atas kapal membawa Bido, dan berhasil membebaskan Bido dari tangan Walanda. Tutu dan Bido tiada jalan lain kecuali terjun bebas ke laut lepas di malam hari. Di tengah laut itu, ketika berenang menuju tepian, tiba-tiba datang daya menakjubkan, ikan dolfin (lumba-lumba) menghampiri. Ikan dolfin menyelamatkan Tutu dan Bido dari tengah laut sampai ke tepi pesisir, kemudian mereka meninggalkan pantai, tiba di sungai Lamo, berjalan ke sungai Mataki.

Kapten Walanda mengutus Pedamati, Tabacampaka dan Todojaha untuk menangkap Bido dan membunuh Tutu. Utusan kapten semakin mendekati tempat Tutumole dan Bido, yang sedang berteduh. Ketika para utusan telah mengetahui keberadaan Tutu, terjadilah perkelahian sampai ketiga utusan tersebut mati. Tutu dan Bido bergegas pergi melanjutkan perjalanan ke Dumdum. Sampailah di sungai Ake Mataki, di mana Milaka dan Katina menunggu. Perjalanan diteruskan berperahu ke kampung Minamin, dengan patokan bintang-gemintang di langit malam. Singgah beristirah di pantai Minamin, mereka berlanjut ke Gurua ziarah kubur ibunya Tutumole, lalu ke Waijoi, tempat sang guru Masinga tinggal. Sampai di tujuan, ternyata hanya menemukan batu nisan Masinga. Kemudian Bido menganut Islam dan menikah dengan Tutumole.

Selesai menikah, Tutu, Bido, Mikala dan Katina, menempuh perjalanan terakhir ke arah timur menyusuri lereng gunung Watowato bertemu Jakudu, kepala suku tertua Lingon. Jakudu ialah kakek Bido. Samo, adik bungsu laki-laki Bido yang tinggal bersama Jakudu. Bido, memohon restu atas pernikahannya dengan Tutumole kepada Jakudu dan juga adiknya. Awalnya Jakudu berat, lama-lama memberi restui juga. Perjalanan ke tempat persembunyian suku Lingon semakin dekat, jalannya sangat berbahaya, mereka sampai di air terjun Naonao, lalu lewati pinggiran air terjun yang di sebelah kiri terdapat tebing cadas berdiri bagai dinding raksasa, sedang di sebelah kanan jurang tanpa dasar, menganga. Setelah melewati sebuah lorong dan terowongan di dalam tebing bagian tersulit, tibalah meraka di perkampungan suku Lingon.

Orang-orang Lingon terheran-heran, terkejut sekaligus bertanya-tanya, sewaktu melihat dalam rombongan Bido terdapat Tutu, seorang pesisir. Tutumole memberanikan diri masuk kampung suku Lingon, banyaklah warga yang tak terima baik, lalu menggugat. Semua warga berkumpul di depan kediaman Tamako, kepala suku Lingon. Mereka memprotes, karena ada orang pesisir masuk kampungnya. Tutumole ke rumah Bido langsung menemui Tamako, dan mencari tahu penyakit yang diderita kepala suku tersebut. Kepala suku menderita sakit selama ini lantaran keracunan. Setelah berhasil menyembuhkan kepala suku, Tutumole menyampaikan maksud baiknya ke Tamako, kalau anaknya telah sah jadi isterinya. Kepala suku Lingon tak berpikir panjang merestui hubungan mereka. Karas beserta warga Lingon yang lain, tak menerima hal keputusan itu. Karas merasa paling berhak memiliki Bido, lantaran hanya dirinya yang sangat mencintai, tetapi Bido tidak menyukainya sejak pencarian akar yaiwo, atau jauh sebelum bumi dan langit Lingon dihamparkan Sang Maha Pencipta Alam.

Karas menantang Tutu bertarung sampai mati. Siapa yang menang, dia berhak menjadi suami Bido. Karas sangat kuat dan berilmu kekebalan, tetapi kekuatannya tak sebanding daya-dinaya dipunyai seorang sousoulol. Pertarungan dimenangkan Tutumole, lalu esok harinya, Tutu, Bido, Mikala, dan Katina, meninggalkan perkampungan suku Lingon. Mereka pulang, dan hidup menetap di Waijoi, akhirnya Mikala dan Katina memutuskan memeluk ajaran agama Islam.

Sebelum membaca novel Lingon, pembaca telah hatam novel karangan Mangunwijaya, Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa. Mangunwijaya berhasil membangun semangat kedaerahan pembaca dan menambah kecintaan kepada bahasa daerah di pulau Halmahera. Namun pada novel Lingon, tidak menemukan itu. Kecintaan bahasa daerah sepertinya tak begitu penting bagi John, yang juga tidak menyelipkan sedikit pun dialog bahasa daerah. Dari awal pembaca melihat seperti berdakwah, misal ketika Tutu ingin menjadi Sousoulol, syaratnya beragama Islam. Demikian juga terjadi pada Bido, Mikala, Katina, atau Bido lebih dahulu menerima agama Islam sebelum menikah dengan Tutu dan hidup di pesisir sesuai aturan berlaku di perkampungan Lingon. John juga tidak menyebut nama akar kayu, kulit pohon, dan dedaunan yang dijadikan ramuan obat sakit, keracunan, atau terluka, nama ramuannya pun tidak disebutkan. Padahal hampir semua tumbuhan yang berkembang di belantara hutan Halmahera memiliki namanya masing-masing.

Setidaknya, novel ini telah mengambil peran baik mengisi khazanah kesusastraan Indonesia khususnya kekayaan alam Maluku dan Halmahera. Pembaca tidak berlebihan, beranggapan buku ini penting dibaca para generasi Maluku dan Halmahera, guna menambah pengetahuan mengenai suku Lingon, yang selama ini hanya lewat tradisi tutur. Dan John Halmahera, satu-satunya pengarang novel mengenai suku Lingon pun kekisah indah yang terbentang di pulau-pulau Maluku dan Halmahera.
***
 
18/ 06 / 2020
_____________
*) Mahamuda adalah nama pena dari Mahyuddin M. Dahlan. Anak bungsu dari lima bersaudara, lahir di Wayaua, Bacan Timur Selatan, Halmahera Selatan, 3 Juli 1994, dari pasangan Mahmud Dahlan dan Srida Midjan. Penulis menyelesaikan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah al-Khairaat Wayaua, dan SD Wayaua di tahun 2006. Merantau ke Sulawesi Tengah, dan belajar di MTs al-Khairaat Pusat Palu, tamatan tahun 2009, masuk Madrasah Aliyah al-Khairaat Pusat Palu, lulus 2012, kemudian merantau ke Tanah Jawa. Tahun 2013 menjadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam di Yogyakarta. Pada semester V, memilih meninggalkan kampus, sibuk mencari uang untuk membeli buku-buku sambil menghibur diri belajar mengarang cerita dan lagu, disamping senang berpergian naik kapal.
https://sastra-indonesia.com/2020/06/lingon-perempuan-bermata-biru-di-belantara-hutan-indonesia-novel-john-halmahera/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah