Mahamuda *
“Saya menjelajah
kawasan Halmahera Timur bertemu dengan suku primitif. Saya melihat sendiri
gadis peranakan hasil kawin silang laki-laki suku Togutil dengan perempuan suku
Lingon. Kulit mereka putih, tinggi langsing, hidung mancung, rambut pirang, dan
bermata biru...” John Halmahera (1947-2020) telah mengakui bertemu suku terpencil,
Lingon. Maka, pengakuannya itu sekaligus meluruskan pendapat Paul Spencer
Sochaczewski mengenai suku Lingon, yang bertahan hidup di hutan Halmahera
adalah pemakan manusia?
Buku-buku berkisah pulau-pulau Maluku dan Halmahera sudah
cukup banyak diterbitkan. Mulai dari buku sejarah, kumpulan puisi, cerita
pendek, esai, dan novel. Pembaca bergiat mengumpulkan juga membaca buku-buku
perihal Maluku, serta Halmahera. Pada suatu hari, mengetahui ada seorang
penulis bernama John Halmahera menulis sebuah novel tentang suku Lingon di
belantara hutan Halmahera. Pembaca tertarik membacanya sekaligus menduga, kalau
penulisnya pasti berasal Halmahera. Namun dugaan itu melenceng jauh setelah
berusaha menemukan buku garapan John, kemudian membaca riwayatnya di halaman terakhir.
John, memiliki nama lengkap Alwi Bin Muhammad Alhaddar, lahir
di Ternate 1947. Ia pernah menjadi wartawan olahraga di harian Sinar Harapan.
Di tahun 1986, koran Sinar Harapan dibredel, berganti nama jadi Suara Pembaruan
(SP). Tidak lama kemudian, John keluar dari SP, dan sebagai pemimpin redaksi
majalah Popular. Buku pertama karyanya, cerita silat Wisang Geni Pendekar Tanpa
Tandingan, 2 Jilid. John tutup usianya di Bekasi, tanggal 4 Maret 2020.
Sebelumnya, pembaca sudah mendengar cerita suku Lingon
yang dituturkan di pulau besar Halmahera. Ada yang menganggap hanya mitos
belaka atau konon di masa lampau, suku ini berasal dari para pendatang, serdadu
Skandinavia yang terdampar di Kao dan beranak pinak. Lantas ada yang membuktikan
bahwa suku Lingon memang benar ada. John, salah satunya yang mengambil peran
penting hal ini. Tahun 2012, penerbit Zaytuna meluncurkan novel karangan John
Halmahera berjudul “Lingon, Perempuan Bermata Biru di Belantara Hutan Indonesia.”
Novelnya lumayan tebal 395 hlm, ditulis dengan bahasa yang sangat sederhana.
John memulai cerita dari kampung Gurua, salah satu
perkampungan di selatan pesisir timur Teluk Kao. Masinga, seorang Sousoulol
dari Gunung Maspopa, memasuki kampung Gurua. Masinga memiliki ilmu kesaktian
pampelemtou dan boyemekgiyon. Daya ilmu pampelemtou sanggup menghilangkan
wujud, sedang ilmu boyemekgiyon, mampu menebak nasib dan masa depan. Selain itu,
pandai berkelahi. Di Gurua, Masinga bertemu Barbakam, kepala kampung Gurua. Barbakam
dan Masinga pernah berjumpa di kampung Subaim. Barbakam membawa Masinga ke
rumah untuk mengobati mertuanya, dan warga kampung Gurua yang menderita penyakit
seperti dialami mertua Barbakam. Masinga meracik ramuan dari akar-akar, kulit-kulit
pohon, dan dedaunan, kemudian direbus. Airnya diminum mertua Barbakam, dan
orang-orang Gurua yang sakit. Setelah mengobati, Masinga kembali ke kampungnya
di Waijoi. Di sanalah, istri dan anak-anaknya hidup bahagia. Masinga meminta
ijin kepada Barbakam membawa Tutu (Tutumole), pemuda Gurua yang gila sebab
ditinggal pergi istrinya. Ia berjanji menyembuhkan sakit jiwa Tutu, dan
menjadikan sebagai muridnya.
Pada suatu hari, Tutu dapat sembuh dari sakit gila.
Masinga, mengajari Tutu sampai menjadi sousou. Seorang sousou mampu mengobati
penyakit apa saja, tapi seorang sousou bukanlah sousoulol. Syarat pertama untuk
jadi sousoulol, seseorang harus menjadi sousou terlebih dulu dan memeluk agama
Islam. Syarat kedua menjadi sousoulol sangat berat, harus mempertaruhkan nyawanya
di tanjung Lelai. Demikian kata Masinga pada Tutumole, ketika menghadapi ujian
terakhir di tanjung Lelai demi menjadi seorang sousoulol:
“Sousoulol, wajib menolong orang tanpa pamrih. Orang yang
ditolong, bisa mati, bisa juga hidup. Dalam tugas kewajibannya, terkadang
sousoulol mempertaruhkan nyawanya. Itulah sebabnya, harus pahami makna kematian.
Makin memahami kematian, kian tinggi ilmunya. Dan jalan memahami kematian adalah
mendatangi, mendekati, juga merangkul kematian itu sendiri. Itulah tradisi
turun-temurun para sousou, yang merintis jalan jadi seorang sousoulol.”
Masinga tidak pernah memaksa mewajibkan Tutu memeluk ajaran
Islam. Namun Tutumole sendiri yang memutuskan, memilih menganut agama Islam,
karena ingin menjadi sousoulol. Setelah berhasil melewati tantangan terakhir
yang mematikan untuk menjadi sang sousoulol, Tutu dan Masinga berpisah. “Kamu
bisa mencapai Gurua ke arah selatan, pergilah ke selatan, Tutu.” Begitulah kata-kata
Masinga sebelum berpisah arah. Masinga menuju barat kembali ke Waijoi,
sedangkan lelangkah Tutu berjalan terus ke selatan menuju Gurua.
Konon, hutan Halmahera tidak hanya dihuni suku Lingon dan
Togutil. Tapi ada juga satu kelompok mahkluk hidup yang disebut Berebere. Makhluk
tersebut memiliki tubuh kebal, tinggi besar, kulit hitam, dekil, seram, ganas,
dan pemakan manusia. Berebere, berkeliaran di sekitar gunung Isalai. Mungkin
yang dimaksud Paul Spencer, Berebere-lah pemakan daging manusia, dan bukan suku Lingon maupun Togutil.
Ada benarnya pendapat soal suku Lingon hanya mitos
belaka, dengan alasan sulit dijumpai. Lewat novel ini, John berusaha
menyakinkan pembaca, bahwa suku Lingon memanglah ada. Namun tersembunyi atau
bersembunyi, menghindari perburuan, sehingga tidak mudah orang suku Lingon di
hutan Halmahera dijumpai. Perempuan dari suku Lingon senantiasa diburu, seperti
berburu binatang-binatang buas. Mereka para pemburu perempuan-perempuan Lingon,
bukan hanya dari suku Togutil dan Berebere saja, tetapi para lelaki yang
tinggal di pesisir, ikut memburunya. Ada yang memburu untuk dijadikan isteri,
ada juga yang dijual kepada Walanda (Belanda), ada pula yang hanya mencicipi
perawannya, lantas dibunuh. Karena sering diburu, diperkosa, dijual dan
dihabisi dengan membuang kasih, Suku Lingon memilih bertahan hidup di belantara
hutan angker Halmahera dengan selalu bersembunyi terus menghilang dari
perburuan.
Di tengah perjalanan menuju kampung Gurua, Tutumole
bermalam di tepi sungai Ake Onat. Ia menguasai separuh jalanan di gunung
Kokonora, Gogolomo, Isalai dan Watowato, serta sungai-suangi di kawasan Kao
Barat. Karena bertahun-tahun bersama Masinga menjelajahi sebagian daerah itu.
Tutumole melanjutkan langkah ke selatan, arah gunung Isalai. Di pertigaan
cabang sungai Ake Onat, Tutu berjumpa Bido dan rombongannya dari suku Lingon.
Mereka sedang dalam bahaya besar, dikepung orang-orang suku Togutil, dan Tutumole
menjadi penyelamat.
Beberapa rombongan Lingon mati dihabisi nyawanya oleh
suku Togutil ketika melawan. Bido, Katina, dan Mikala, selamat dari serangan.
Bido, gadis Lingon yang aduhai cantikanya, anak sulung Tamako, seorang kepala
suku Lingon. Bido tak hanya memiliki paras kecantikan yang berlebihan, juga
pemberani, serta pandai berkelahi. Gadis polos, tapi sesekali memperlihatkan mata
jiwanya penuh berontak! Bido dan rombongannya meninggalkan perkampungan Lingon,
ingin masuk hutan Atego di lereng selatan gunung Isalai, mencari akar yaiwo
untuk mengobati Tamako, ayahnya, sang kepala suku Lingon.
John, membumbui cerita novelnya menjelma sedikit birahi,
ketika Bido dan Tutumole saling memiliki rasa yang sama, mencintai. Dimulai
dari perjalanan ke gunung Isalai sampai pulang ke perkampungan Lingon. John
menyinggung sepintas mengenai pernikahan suku Lingon. Bahwa perempuan dan
laki-laki, jika ingin bersuami-istri, keduanya langsung saja berhubungan badan.
Namun dilakukan atas dasar suka sama suka, tanpa paksaan. Setelah itu, keduanya
sah menjadi pasangan suami-istri. Apabila gadis Lingon menikah dengan lelaki
yang bukan dari sukunya, sang gadis Lingon diwajibkan angkat kaki menjauh dari
tempat persembunyian suku Lingon.
Dalam perjalanan mencari akar-akar yaiwo, Tutumole
bersama Bido, mendapati serangan dari makhluk Berebere. Mikala dan Katina,
tidak ikut. Mikala menemani Katina beristirahat, karena terluka parah saat
melawan suku Togutil. Tutumole, yang menguasi ilmu sakti, dapat mengatasi
serang-serang mematikan dari Berebere. Setelah berhasil mendapatkan akar yaiwo,
Tutu, Bido, Mikala dan Katina meninggalkan gunung Isalai. Jalan pulang melewati
arah kampung Dodaga, membutuhkan waktu berhari-hari. Dan singgah di sungai Ake
Dodaga untuk beristirahat barang sejenak, nasib malang tak bisa dicegah, Bido secara
tidak sengaja menghilangkan akar yaiwo. Bido bersedih hati kecewa berat, karena
tidak menjaga dengan baik obat ayahnya. Perjalanan diteruskan memasuki kampung,
istirahat di rumah kosong Salomon, kepala kampung Dodaga, sebelum melanjutkan
perjalanan menaiki perahu ke Wasilesi, lalu melewati gunung Watowato.
Perjalanan pulang sering tidak sesuai rencana. Di Dodaga,
Bido diculik orang pesisir. Pembaca beranggapan buruk kepada John, terlihat
seperti menghindari berkisah lebih jauh tentang suku Lingon. Pembaca tidak
mengenal betul serupa apa dan bagaimana, suku Lingon sesungguhnya berkehidupan,
bersuku, dan berkebudayaan, di hutan Halmahera. John terlalu asik menuturkan kisah
cinta Bido dan Tutu yang penuh birahi, juga sibuk berkelahi. Terlihat juga saat
Tutu memutuskan arah jalan pulang dari lereng gunung Isalai melewati Dodaga.
Ceritanya lebih banyak dibangun di pesisir.
Tiga lelaki bernama Pedamati, Tabacampaka, dan Todojaha,
membawa Bido dengan perahu ke Akelamokao, terus ke pelabuhan Jailolo. Bido akan
dijual ke Walanda. Selama berada di tangan pencuri, Bido tidak melawan sedikit
pun, lebih banyak diam berdoa, dan selalu menyebut nama Tutu. Tutumole di
Dodaga terluka, oleh serangan seseorang saat sedang mencari perahu untuk
dipakai ke Wasilesi. Tutumole lagi tidak siap ketika ada serangan, yang membuatnya
terluka. Dalam keadaan luka, Tutu mengejar Bido, dan dalam perjalanan ke
Akelamokao berperahu, Kalawako, Rodo, dan Sulo ikut. Tiga orang Dodaga ini yang
membantu Katina, dan Mikala mendayung. Belum sampai di Akelamokao, Tutumole
menurunkan Kalawako, Rodo dan Sulo di Minaimin. Kemudian memotong teluk Kao.
Sampailah juga di Akelamokao, Tutu turun dari perahu. Mikala dan Katina terus
berperahu ke utara lewati Gamsungi, berteduh di hutan Duma, dekat tepian sungai
Ake Mataki. Di hutan Duma, Mikala dan Katina menunggu Tutu dan Bido.
Pedamati, Tabacampaka, dan Todojaha telah membawa Bido ke
pos Walanda di pelabuhan Jailolo. Bido dijual ke seorang letnan Walanda dengan
harga tiga kalung emas, dan duapuluh keping emas. Bido akan dibawa ke Tobelo,
diserahkan kepada seorang kapten yang baru saja kehilangan isterinya. Di Akelamokao,
Tutumole singgah di kediaman nenek Salero, seorang dukun beranak, yang bercerita
tentang Bido yang dibawa pergi pencuri. Mereka para pencuri Bido, sebelumnya
juga beristirahat di rumah Salero, untuk memastikan kegadisan Bido masih
perawan atau tak. Tutumole kemudian melanjutkan perjalanannya ke pelabuhan
Jailolo. Kapal membawa Bido telah lepas tali dari pelabuhan akan menuju Tobelo.
Tutu dengan kesaktiannya dapat naik ke atas kapal membawa Bido, dan berhasil
membebaskan Bido dari tangan Walanda. Tutu dan Bido tiada jalan lain kecuali
terjun bebas ke laut lepas di malam hari. Di tengah laut itu, ketika berenang
menuju tepian, tiba-tiba datang daya menakjubkan, ikan dolfin (lumba-lumba)
menghampiri. Ikan dolfin menyelamatkan Tutu dan Bido dari tengah laut sampai ke
tepi pesisir, kemudian mereka meninggalkan pantai, tiba di sungai Lamo, berjalan
ke sungai Mataki.
Kapten Walanda mengutus Pedamati, Tabacampaka dan Todojaha
untuk menangkap Bido dan membunuh Tutu. Utusan kapten semakin mendekati tempat Tutumole
dan Bido, yang sedang berteduh. Ketika para utusan telah mengetahui keberadaan
Tutu, terjadilah perkelahian sampai ketiga utusan tersebut mati. Tutu dan Bido
bergegas pergi melanjutkan perjalanan ke Dumdum. Sampailah di sungai Ake Mataki,
di mana Milaka dan Katina menunggu. Perjalanan diteruskan berperahu ke kampung
Minamin, dengan patokan bintang-gemintang di langit malam. Singgah beristirah
di pantai Minamin, mereka berlanjut ke Gurua ziarah kubur ibunya Tutumole, lalu
ke Waijoi, tempat sang guru Masinga tinggal. Sampai di tujuan, ternyata hanya
menemukan batu nisan Masinga. Kemudian Bido menganut Islam dan menikah dengan
Tutumole.
Selesai menikah, Tutu, Bido, Mikala dan Katina, menempuh
perjalanan terakhir ke arah timur menyusuri lereng gunung Watowato bertemu
Jakudu, kepala suku tertua Lingon. Jakudu ialah kakek Bido. Samo, adik bungsu
laki-laki Bido yang tinggal bersama Jakudu. Bido, memohon restu atas pernikahannya
dengan Tutumole kepada Jakudu dan juga adiknya. Awalnya Jakudu berat, lama-lama
memberi restui juga. Perjalanan ke tempat persembunyian suku Lingon semakin
dekat, jalannya sangat berbahaya, mereka sampai di air terjun Naonao, lalu
lewati pinggiran air terjun yang di sebelah kiri terdapat tebing cadas berdiri
bagai dinding raksasa, sedang di sebelah kanan jurang tanpa dasar, menganga.
Setelah melewati sebuah lorong dan terowongan di dalam tebing bagian tersulit, tibalah
meraka di perkampungan suku Lingon.
Orang-orang Lingon terheran-heran, terkejut sekaligus
bertanya-tanya, sewaktu melihat dalam rombongan Bido terdapat Tutu, seorang
pesisir. Tutumole memberanikan diri masuk kampung suku Lingon, banyaklah warga
yang tak terima baik, lalu menggugat. Semua warga berkumpul di depan kediaman
Tamako, kepala suku Lingon. Mereka memprotes, karena ada orang pesisir masuk kampungnya.
Tutumole ke rumah Bido langsung menemui Tamako, dan mencari tahu penyakit yang
diderita kepala suku tersebut. Kepala suku menderita sakit selama ini lantaran
keracunan. Setelah berhasil menyembuhkan kepala suku, Tutumole menyampaikan
maksud baiknya ke Tamako, kalau anaknya telah sah jadi isterinya. Kepala suku Lingon
tak berpikir panjang merestui hubungan mereka. Karas beserta warga Lingon yang
lain, tak menerima hal keputusan itu. Karas merasa paling berhak memiliki Bido,
lantaran hanya dirinya yang sangat mencintai, tetapi Bido tidak menyukainya
sejak pencarian akar yaiwo, atau jauh sebelum bumi dan langit Lingon dihamparkan
Sang Maha Pencipta Alam.
Karas menantang Tutu bertarung sampai mati. Siapa yang
menang, dia berhak menjadi suami Bido. Karas sangat kuat dan berilmu kekebalan,
tetapi kekuatannya tak sebanding daya-dinaya dipunyai seorang sousoulol.
Pertarungan dimenangkan Tutumole, lalu esok harinya, Tutu, Bido, Mikala, dan
Katina, meninggalkan perkampungan suku Lingon. Mereka pulang, dan hidup menetap
di Waijoi, akhirnya Mikala dan Katina memutuskan memeluk ajaran agama Islam.
Sebelum membaca novel Lingon, pembaca telah hatam novel
karangan Mangunwijaya, Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa. Mangunwijaya berhasil
membangun semangat kedaerahan pembaca dan menambah kecintaan kepada bahasa
daerah di pulau Halmahera. Namun pada novel Lingon, tidak menemukan itu.
Kecintaan bahasa daerah sepertinya tak begitu penting bagi John, yang juga tidak
menyelipkan sedikit pun dialog bahasa daerah. Dari awal pembaca melihat seperti
berdakwah, misal ketika Tutu ingin menjadi Sousoulol, syaratnya beragama Islam.
Demikian juga terjadi pada Bido, Mikala, Katina, atau Bido lebih dahulu
menerima agama Islam sebelum menikah dengan Tutu dan hidup di pesisir sesuai
aturan berlaku di perkampungan Lingon. John juga tidak menyebut nama akar kayu,
kulit pohon, dan dedaunan yang dijadikan ramuan obat sakit, keracunan, atau terluka,
nama ramuannya pun tidak disebutkan. Padahal hampir semua tumbuhan yang
berkembang di belantara hutan Halmahera memiliki namanya masing-masing.
Setidaknya, novel ini telah mengambil peran baik mengisi khazanah
kesusastraan Indonesia khususnya kekayaan alam Maluku dan Halmahera. Pembaca tidak
berlebihan, beranggapan buku ini penting dibaca para generasi Maluku dan
Halmahera, guna menambah pengetahuan mengenai suku Lingon, yang selama ini hanya
lewat tradisi tutur. Dan John Halmahera, satu-satunya pengarang novel mengenai
suku Lingon pun kekisah indah yang terbentang di pulau-pulau Maluku dan
Halmahera.
***
18/ 06 / 2020
_____________
*) Mahamuda adalah
nama pena dari Mahyuddin M. Dahlan. Anak bungsu dari lima bersaudara, lahir di
Wayaua, Bacan Timur Selatan, Halmahera Selatan, 3 Juli 1994, dari pasangan Mahmud
Dahlan dan Srida Midjan. Penulis menyelesaikan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah al-Khairaat
Wayaua, dan SD Wayaua di tahun 2006. Merantau ke Sulawesi Tengah, dan belajar
di MTs al-Khairaat Pusat Palu, tamatan tahun 2009, masuk Madrasah Aliyah al-Khairaat
Pusat Palu, lulus 2012, kemudian merantau ke Tanah Jawa. Tahun 2013 menjadi
mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam di Yogyakarta. Pada semester V, memilih meninggalkan
kampus, sibuk mencari uang untuk membeli buku-buku sambil menghibur diri belajar
mengarang cerita dan lagu, disamping senang berpergian naik kapal.
https://sastra-indonesia.com/2020/06/lingon-perempuan-bermata-biru-di-belantara-hutan-indonesia-novel-john-halmahera/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar