Jumat, 19 Juni 2020

Orang-orang Kita

Gusti Eka

Siska, banjir bandang yang baru saja selesai telah mengancurkan segalanya termasuk kenangan kita. Rumahku, rumahmu dan rumah orang-orang di desa kita, hanyut. Jembatan besi penghubung desa dan kabupaten yang baru saja dibangun, roboh. Banjir ini yang terbesar yang pernah terjadi dalam riwayat desa kita. Banjir yang juga buat orang-orang kita pulang, tidur beratap langit dan berkumpul lagi. Orang-orang kita akhirnya pulang ke Bukit Cahaya tempat segala hal di desa kita di mulai. Seperti keinginanmu, sebelum kau pergi ke negeri seberang, keinginan hidup tanpa sekat, dan tentu saja keinginan kita, untuk bersama tanpa memandang perbedaan.
***

Siska, tahukah kau? Setelah kepergianmu, aku tak pernah melihat senja lagi.

Ketika pemilihan kepala desa, orang kita terpecah dua kubu. Ternyata, bukan hanya pemilihan Presiden yang buat panas para pendukungnya. Orang-orang kita berebut kuasa bahkan berebut sumber daya.

“Jika orang kita yang terpilih, dusun kita akan maju, terutama orang-orang kita akan banyak mendapat bantuan,” kata seseorang, yang menemani calon kepala desa nomor urut satu saat mengumpulkan orang-orang kita di kediaman Kepala Dusun Nanga, selepas isya malam itu.

“Apa Bapak akan memperbaiki jalan-jalan ke desa kita?” kata seorang warga.

“Tentu saja, jalan-jalan ke desa kita akan diperbaiki. Akan dilebarkan jalan-jalan itu karena beberapa perusahaan sawit telah mengajukan diri untuk masuk ke desa kita,” katanya. “Itu artinya tanah Bapak-bapak yang ada di hulu kampung dan di kaki bukit akan dibeli oleh perusahaan-perusahaan itu dengan harga sesuai.”

“Bagaimana dengan karet-karet kita, Pak?” kata seseorang.

“Harga karet merosot, kita tidak bisa menopang hidup dengan karet lagi. Saat ini harga sawit melambung tinggi, sudah banyak orang menanam sawit di desa-desa lain, dan sudah banyak juga yang sejahtera karena sawit”.

Calon kepala desa nomor urut dua mengumpulkan orang-orang di kediaman Kepala Dusun Lembah, mereka membicarakan hal-hal serupa.

“Jika orang kita yang memimpin, dusun kita akan lebih maju, saat ini pembangunan banyak dilakukan di Dusun Nanga, dan dusun kita seolah diabaikan. Sudah saatnya orang-orang kita bersatu, orang-orang kita akan banyak mendapat bantuan.”

“Apa jalan kita menjadi baik jika Bapak memimpin?” tanya seseorang.

“Tentu saja jalan desa kita akan menjadi bagus, karena tahun depan perusahaan sawit akan masuk ke desa kita, jalan ke desa akan diperlebar dan akan ada pengerasan. Mereka juga akan membeli tanah Bapak-bapak semua dengan harga yang sesuai,” lanjutnya. “Bapak-bapak jangan khawatir, jika orang kita yang memimpin dusun kita akan berubah!”

Dan begitulah Siska, pemilihan kepala desa di desa kita hanya diikuti dua calon. Keduanya berasal dari dua dari tiga dusun di desa kita. Hanya Dusun Tapang yang tidak memiliki calon.
***

Siska, apakah kau masih mengingatku? Mengingat tentang senja yang indah di Bukit Cahaya?

Seminggu sebelum pemungutan suara dimulai, orang-orang di desa kita menjadi gaduh. Perkara itu dimulai dari hal sederhana. Di warung kopi Uju Boneng, di antara kedua dusun itu, tiga orang-orang kita, mula-mula ngopi seperti biasa. Mereka bicara tentang pemilihan kepala desa, saling menjagokan kedua calon. Perkara siapa yang akan membawa perubahan di desa. Apakah calon dari Dusun Nanga atau calon dari Dusun Lembah. Mereka mengupas kepala desa yang ideal untuk Desa Nanga.

“Calon nomor satu itu adalah mandor di perusahaan sawit, dia punya hubungan baik dengan orang-orang perusahaan. Tentu saja dia akan membeli tanah orang-orang kita dengan harga yang sesuai,” kata seseorang berbadan kekar.

“Kau jangan salah, calon nomor dua itu juga punya hubungan baik bahkan sepupu pejabat di kabupaten. Tentu saja akan banyak pembangunan di desa kita,” cetus seseorang berbadan kurus.

“Tapi calon nomor dua itu, tidak merakyat. Mana mau dia duduk ngopi dengan kita di sini.”

“Jangankan ngopi, dia saja tidak mau menegur kita saat berpapasan di jalan,” cetus seseorang yang lain.

“Emang kau kira, calon nomor satu itu merakyat? Mana ada merakyat. Di desa saja jarang kelihatan.”

“Tapi calon nomor satu punya banyak aset. Tanahnya ada di mana-mana, bahkan rumahnya pun ada di kabupaten. Dia bisa saja menolong orang-orang kita yang kesusahan dengan hartanya.”

“Kau kira calon nomor dua tidak memiliki harta? Dia punya kerabat yang kaya di kabupaten. Bisa saja dia menolong orang-orang kita dengan bantuan kerabatnya.”

Ketika kopi di gelas ketiganya sampai setengah, pembicaraan mereka mulai memanas. Mereka tidak mau mengalah. Bagi mereka, kedua calon sama-sama tidak ada celah dan yang terpenting keduanya akan membawa perubahan untuk desa.

“Orang-orang Nanga selalu menjadi pemimpin di desa? Tapi apa? Tidak ada perubahan di Dusun Lembah.”

“Woi! Kau kira kalau orang Lembah jadi pemimpin, desa akan maju? Yang ada hanya akan sering pesta tuak.”

“Bangsat! Kau juga minum!”

Satu pukulan melayang di wajah seseorang berbadan kekar. Lalu bertubi-tubi pukulan mendarat sampai orang berbadan kekar itu tak berdaya. Seseorang yang lain coba melerai, tapi juga terkena pukulan dari orang kurus itu. Kemudian orang-orang Nanga tidak terima dan menyerang Dusun Lembah. Orang-orang Lembah juga tidak terima. Itulah mulanya kedua dusun berseteru. Sampai-sampai mematok batas, bahkan menutup akses jalan.

Orang-orang Lembah terpaksa melewati jalan memutar ke Dusun Tapang untuk tembus desa tetangga agar bisa pergi ke kabupaten. Terdapat tiga dusun di Desa Nanga, dusun yang paling muka di muara Sungai Hantu adalah Dusun Nanga, di hulunya Dusun Lembah, dan di kaki bukit adalah Dusun Tapang.
***

Siska, jika semua kenangan kita hancur, remuk, menjadi debu, masih maukah kau pulang dan bertemu denganku?

Kegaduhan itu coba diredam oleh tokoh-tokoh di kedua dusun, pejabat kecamatan, bahkan pejabat kabupaten. Akhirnya demi kelangsungan pemilihan, mereka sepakat untuk berdamai dan mengakhiri perseteruan tapi dengan penuh rasa curiga. Sampai pada hari pemungutan suara tiba, orang-orang kita di kedua dusun dikejutkan dengan abstainnya orang-orang Tapang. Mereka menganggap pemilihan kepala desa kali ini telah merusak persaudaraan, menghancurkan kekerabatan, melupakan asal muasal dan terpenting mereka tidak sepakat kalau Bukit Cahaya digadaikan untuk perkebunan sawit.

“Tak kan pernah kami memilih calon kepala desa yang berniat menjual Bukit Cahaya,” kata salah seorang tokoh masyarakat Dusun Lembah kepada panitia pemilihan.

“Kalian jangan lupa, orang Nanga, orang Lembah dan orang Tapang berasal dari satu nenek moyang di Bukit Cahaya,” tegasnya.

“Bukit Cahaya dan Sungai Hantu adalah sumber kehidupan kita.”

Meski demikian, pemilihan tetap berlangsung. Kemenangan diraih oleh calon nomor satu dari Nanga dengan selisih sebelas suara. Orang-orang Nanga merayakan dengan suka cita, orang-orang Lembah dan Tapang melanjutkan hidupnya seperti biasa.

Tiga tahun setelah pemilihan kepala desa yang panas itu, jalan-jalan dibuka lebar, jembatan gantung diganti besi, banyak truk lalu lalang, perkebunan sawit di mana-mana, debu berhamburan. Bahkan di kaki Bukit Cahaya, kedua calon yang bertarung di pemilihan kepala desa kemudian jadi kolega. Setiap proyek di Dusun Lembah, calon nomor dua yang menangani. Jangan ditanya di Dusun Nanga, sudah pasti milik Kepala Desa terpilih dan di Dusun Tapang keduanya menjual Bukit Cahaya secara diam-diam.
***

Siska, maaf aku harus bercerita tentang banyak hal. Tapi itulah yang terjadi dengan orang-orang kita di desa sebelum banjir bandang itu datang. Sekolah dasar tempat cinta kita tumbuh lima belas tahun yang lalu hanyut, banjir bandang kali ini menghancurkan segalanya termasuk kenangan kita.

“Mungkin ini adalah keputusan yang harus aku ambil,” katamu.

“Tidak, tidak bisa Siska! Kita harus mengupayakan cara-cara lain. Meski orang tua kita tak merestui hubungan, meski mereka tak mau mengalah, kau harus tahu, cintaku padamu tak akan padam.”

“Apalah arti cinta, jika masih ada larangan untuk mencintai orang-orang yang berbeda. Dan perbedaan itu membuat sekat. Maaf, aku sudah memutuskan, besok aku akan pergi dan tidak tahu kapan akan kembali,” dia berbalik dan melangkah pergi.

Wajahnya terlihat tegang, senyumannya menyunging sebelum melangkah. Aku tahu, kau menyembunyikan sesuatu. Aku menghampirimu.

“Siska, jika begitu lebih baik kita kawin lari saja?”

“Kawin lari tidak menyelesaikan apa-apa, kau tetaplah di desa. Aku titip desa dengan segala kenangan kita, terima kasih,” katamu sebelum pergi ke Malaysia menjadi buruh migran.
***

Kau tahu, air itu datang tiba-tiba. Orang-orang di desa kita mengira suara gemuruh yang datang akan terhempas lalu pecah di nanga. Tapi itu semua tidak seperti biasa. Air naik dengan membawa lumpur, batu, dan pohon-pohon yang tumbang itu, menerjang desa kita. Merobohkan jembatan besi yang baru dibangun, dan juga orang-orang kita dengan segala congkak dalam pemilihan kepala desa kemarin.

Dan kau tahu Siska, ketika mendengar gemuruh air itu, aku hanya mengingat sapi. Aku tahu sore itu sehabis hujan deras sejak pagi, sapi harusku lepas dari kandang dan bawa ke tempat yang tinggi. Aku membawanya ke kebun karet di belakang rumah. Aku tak mengira air bisa datang secepat itu.

Seekor sapi terjungkal dan terseret batang kayu. Aku mencoba menyelematkannya, tapi tubuhku roboh, aku terjatuh. Aku digulung air keruh. Aku menggapai sebatang kayu. Sampai beberapa meter, batang kayu tersangkut ke pohon karet tua. Dengan tenaga yang tersisa, aku menggapai pohon karet itu, lalu memeluk dan memanjatnya sampai dahan tinggi.

Siska, aku memeluk pohon karet itu erat, setelah melihat air bergulung-gulung di bawahku, setelah aku memejamkan mata dan merapalkan doa-doa, setelah bunyi deru air yang menghantam kayu-kayu di sekitarku, aku membayangkan dirimu datang dan memelukku erat, sampai lemas tak berdaya.
***

Januari, 2020

Gusti Eka lahir di Sekadau, 27 April 1993. Menamatkan kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Tanjungpura, Pontianak, tahun 2018. Semasa menjadi mahasiswa, kerap terlibat dalam gerakan literasi kampus, jalanan, dan desa. Saat ini mengelola warung kopi sebagai tempat berkisah:  Lawang Kopi, di Kab. Sekadau, Kalimantan Barat.
Menulis cerita pendek, puisi, esai, dan feature. Kumpulan cerpennya Memilih Jalan Sunyi (Enggang, 2019), merupakan karya pertamanya. Cerpennya pernah terbit bersama 10 penulis Kalbar lainnya pada Antologi Cerita Pendek: Orang-Orang Untuk Masa Depan (Pustaka Rumah Aloy; 2019), dan puisinya terbit bersama 44 penulis Kalbar lainnya, dalam Antologi Puisi Penulis Kalimantan Barat: Bayang-Bayang Tembawang (Pijar Publishing; 2015). Pada Januari 2020, cerpennya terbit bersama 14 penulis Kalbar lainnya di Antologi Cerita Pendek: Rendezvous Di Barat Borneo (Pustaka Rumah Aloy; 2020).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah