Gusti Eka
Siska, banjir bandang yang baru saja selesai telah mengancurkan segalanya termasuk kenangan kita. Rumahku, rumahmu dan rumah orang-orang di desa kita, hanyut. Jembatan besi penghubung desa dan kabupaten yang baru saja dibangun, roboh. Banjir ini yang terbesar yang pernah terjadi dalam riwayat desa kita. Banjir yang juga buat orang-orang kita pulang, tidur beratap langit dan berkumpul lagi. Orang-orang kita akhirnya pulang ke Bukit Cahaya tempat segala hal di desa kita di mulai. Seperti keinginanmu, sebelum kau pergi ke negeri seberang, keinginan hidup tanpa sekat, dan tentu saja keinginan kita, untuk bersama tanpa memandang perbedaan.
***
Siska, tahukah kau? Setelah kepergianmu, aku tak pernah melihat senja lagi.
Ketika pemilihan kepala desa, orang kita terpecah dua kubu. Ternyata, bukan hanya pemilihan Presiden yang buat panas para pendukungnya. Orang-orang kita berebut kuasa bahkan berebut sumber daya.
“Jika orang kita yang terpilih, dusun kita akan maju, terutama orang-orang kita akan banyak mendapat bantuan,” kata seseorang, yang menemani calon kepala desa nomor urut satu saat mengumpulkan orang-orang kita di kediaman Kepala Dusun Nanga, selepas isya malam itu.
“Apa Bapak akan memperbaiki jalan-jalan ke desa kita?” kata seorang warga.
“Tentu saja, jalan-jalan ke desa kita akan diperbaiki. Akan dilebarkan jalan-jalan itu karena beberapa perusahaan sawit telah mengajukan diri untuk masuk ke desa kita,” katanya. “Itu artinya tanah Bapak-bapak yang ada di hulu kampung dan di kaki bukit akan dibeli oleh perusahaan-perusahaan itu dengan harga sesuai.”
“Bagaimana dengan karet-karet kita, Pak?” kata seseorang.
“Harga karet merosot, kita tidak bisa menopang hidup dengan karet lagi. Saat ini harga sawit melambung tinggi, sudah banyak orang menanam sawit di desa-desa lain, dan sudah banyak juga yang sejahtera karena sawit”.
Calon kepala desa nomor urut dua mengumpulkan orang-orang di kediaman Kepala Dusun Lembah, mereka membicarakan hal-hal serupa.
“Jika orang kita yang memimpin, dusun kita akan lebih maju, saat ini pembangunan banyak dilakukan di Dusun Nanga, dan dusun kita seolah diabaikan. Sudah saatnya orang-orang kita bersatu, orang-orang kita akan banyak mendapat bantuan.”
“Apa jalan kita menjadi baik jika Bapak memimpin?” tanya seseorang.
“Tentu saja jalan desa kita akan menjadi bagus, karena tahun depan perusahaan sawit akan masuk ke desa kita, jalan ke desa akan diperlebar dan akan ada pengerasan. Mereka juga akan membeli tanah Bapak-bapak semua dengan harga yang sesuai,” lanjutnya. “Bapak-bapak jangan khawatir, jika orang kita yang memimpin dusun kita akan berubah!”
Dan begitulah Siska, pemilihan kepala desa di desa kita hanya diikuti dua calon. Keduanya berasal dari dua dari tiga dusun di desa kita. Hanya Dusun Tapang yang tidak memiliki calon.
***
Siska, apakah kau masih mengingatku? Mengingat tentang senja yang indah di Bukit Cahaya?
Seminggu sebelum pemungutan suara dimulai, orang-orang di desa kita menjadi gaduh. Perkara itu dimulai dari hal sederhana. Di warung kopi Uju Boneng, di antara kedua dusun itu, tiga orang-orang kita, mula-mula ngopi seperti biasa. Mereka bicara tentang pemilihan kepala desa, saling menjagokan kedua calon. Perkara siapa yang akan membawa perubahan di desa. Apakah calon dari Dusun Nanga atau calon dari Dusun Lembah. Mereka mengupas kepala desa yang ideal untuk Desa Nanga.
“Calon nomor satu itu adalah mandor di perusahaan sawit, dia punya hubungan baik dengan orang-orang perusahaan. Tentu saja dia akan membeli tanah orang-orang kita dengan harga yang sesuai,” kata seseorang berbadan kekar.
“Kau jangan salah, calon nomor dua itu juga punya hubungan baik bahkan sepupu pejabat di kabupaten. Tentu saja akan banyak pembangunan di desa kita,” cetus seseorang berbadan kurus.
“Tapi calon nomor dua itu, tidak merakyat. Mana mau dia duduk ngopi dengan kita di sini.”
“Jangankan ngopi, dia saja tidak mau menegur kita saat berpapasan di jalan,” cetus seseorang yang lain.
“Emang kau kira, calon nomor satu itu merakyat? Mana ada merakyat. Di desa saja jarang kelihatan.”
“Tapi calon nomor satu punya banyak aset. Tanahnya ada di mana-mana, bahkan rumahnya pun ada di kabupaten. Dia bisa saja menolong orang-orang kita yang kesusahan dengan hartanya.”
“Kau kira calon nomor dua tidak memiliki harta? Dia punya kerabat yang kaya di kabupaten. Bisa saja dia menolong orang-orang kita dengan bantuan kerabatnya.”
Ketika kopi di gelas ketiganya sampai setengah, pembicaraan mereka mulai memanas. Mereka tidak mau mengalah. Bagi mereka, kedua calon sama-sama tidak ada celah dan yang terpenting keduanya akan membawa perubahan untuk desa.
“Orang-orang Nanga selalu menjadi pemimpin di desa? Tapi apa? Tidak ada perubahan di Dusun Lembah.”
“Woi! Kau kira kalau orang Lembah jadi pemimpin, desa akan maju? Yang ada hanya akan sering pesta tuak.”
“Bangsat! Kau juga minum!”
Satu pukulan melayang di wajah seseorang berbadan kekar. Lalu bertubi-tubi pukulan mendarat sampai orang berbadan kekar itu tak berdaya. Seseorang yang lain coba melerai, tapi juga terkena pukulan dari orang kurus itu. Kemudian orang-orang Nanga tidak terima dan menyerang Dusun Lembah. Orang-orang Lembah juga tidak terima. Itulah mulanya kedua dusun berseteru. Sampai-sampai mematok batas, bahkan menutup akses jalan.
Orang-orang Lembah terpaksa melewati jalan memutar ke Dusun Tapang untuk tembus desa tetangga agar bisa pergi ke kabupaten. Terdapat tiga dusun di Desa Nanga, dusun yang paling muka di muara Sungai Hantu adalah Dusun Nanga, di hulunya Dusun Lembah, dan di kaki bukit adalah Dusun Tapang.
***
Siska, jika semua kenangan kita hancur, remuk, menjadi debu, masih maukah kau pulang dan bertemu denganku?
Kegaduhan itu coba diredam oleh tokoh-tokoh di kedua dusun, pejabat kecamatan, bahkan pejabat kabupaten. Akhirnya demi kelangsungan pemilihan, mereka sepakat untuk berdamai dan mengakhiri perseteruan tapi dengan penuh rasa curiga. Sampai pada hari pemungutan suara tiba, orang-orang kita di kedua dusun dikejutkan dengan abstainnya orang-orang Tapang. Mereka menganggap pemilihan kepala desa kali ini telah merusak persaudaraan, menghancurkan kekerabatan, melupakan asal muasal dan terpenting mereka tidak sepakat kalau Bukit Cahaya digadaikan untuk perkebunan sawit.
“Tak kan pernah kami memilih calon kepala desa yang berniat menjual Bukit Cahaya,” kata salah seorang tokoh masyarakat Dusun Lembah kepada panitia pemilihan.
“Kalian jangan lupa, orang Nanga, orang Lembah dan orang Tapang berasal dari satu nenek moyang di Bukit Cahaya,” tegasnya.
“Bukit Cahaya dan Sungai Hantu adalah sumber kehidupan kita.”
Meski demikian, pemilihan tetap berlangsung. Kemenangan diraih oleh calon nomor satu dari Nanga dengan selisih sebelas suara. Orang-orang Nanga merayakan dengan suka cita, orang-orang Lembah dan Tapang melanjutkan hidupnya seperti biasa.
Tiga tahun setelah pemilihan kepala desa yang panas itu, jalan-jalan dibuka lebar, jembatan gantung diganti besi, banyak truk lalu lalang, perkebunan sawit di mana-mana, debu berhamburan. Bahkan di kaki Bukit Cahaya, kedua calon yang bertarung di pemilihan kepala desa kemudian jadi kolega. Setiap proyek di Dusun Lembah, calon nomor dua yang menangani. Jangan ditanya di Dusun Nanga, sudah pasti milik Kepala Desa terpilih dan di Dusun Tapang keduanya menjual Bukit Cahaya secara diam-diam.
***
Siska, maaf aku harus bercerita tentang banyak hal. Tapi itulah yang terjadi dengan orang-orang kita di desa sebelum banjir bandang itu datang. Sekolah dasar tempat cinta kita tumbuh lima belas tahun yang lalu hanyut, banjir bandang kali ini menghancurkan segalanya termasuk kenangan kita.
“Mungkin ini adalah keputusan yang harus aku ambil,” katamu.
“Tidak, tidak bisa Siska! Kita harus mengupayakan cara-cara lain. Meski orang tua kita tak merestui hubungan, meski mereka tak mau mengalah, kau harus tahu, cintaku padamu tak akan padam.”
“Apalah arti cinta, jika masih ada larangan untuk mencintai orang-orang yang berbeda. Dan perbedaan itu membuat sekat. Maaf, aku sudah memutuskan, besok aku akan pergi dan tidak tahu kapan akan kembali,” dia berbalik dan melangkah pergi.
Wajahnya terlihat tegang, senyumannya menyunging sebelum melangkah. Aku tahu, kau menyembunyikan sesuatu. Aku menghampirimu.
“Siska, jika begitu lebih baik kita kawin lari saja?”
“Kawin lari tidak menyelesaikan apa-apa, kau tetaplah di desa. Aku titip desa dengan segala kenangan kita, terima kasih,” katamu sebelum pergi ke Malaysia menjadi buruh migran.
***
Kau tahu, air itu datang tiba-tiba. Orang-orang di desa kita mengira suara gemuruh yang datang akan terhempas lalu pecah di nanga. Tapi itu semua tidak seperti biasa. Air naik dengan membawa lumpur, batu, dan pohon-pohon yang tumbang itu, menerjang desa kita. Merobohkan jembatan besi yang baru dibangun, dan juga orang-orang kita dengan segala congkak dalam pemilihan kepala desa kemarin.
Dan kau tahu Siska, ketika mendengar gemuruh air itu, aku hanya mengingat sapi. Aku tahu sore itu sehabis hujan deras sejak pagi, sapi harusku lepas dari kandang dan bawa ke tempat yang tinggi. Aku membawanya ke kebun karet di belakang rumah. Aku tak mengira air bisa datang secepat itu.
Seekor sapi terjungkal dan terseret batang kayu. Aku mencoba menyelematkannya, tapi tubuhku roboh, aku terjatuh. Aku digulung air keruh. Aku menggapai sebatang kayu. Sampai beberapa meter, batang kayu tersangkut ke pohon karet tua. Dengan tenaga yang tersisa, aku menggapai pohon karet itu, lalu memeluk dan memanjatnya sampai dahan tinggi.
Siska, aku memeluk pohon karet itu erat, setelah melihat air bergulung-gulung di bawahku, setelah aku memejamkan mata dan merapalkan doa-doa, setelah bunyi deru air yang menghantam kayu-kayu di sekitarku, aku membayangkan dirimu datang dan memelukku erat, sampai lemas tak berdaya.
***
Januari, 2020
Gusti Eka lahir di Sekadau, 27 April 1993. Menamatkan kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Tanjungpura, Pontianak, tahun 2018. Semasa menjadi mahasiswa, kerap terlibat dalam gerakan literasi kampus, jalanan, dan desa. Saat ini mengelola warung kopi sebagai tempat berkisah: Lawang Kopi, di Kab. Sekadau, Kalimantan Barat.
Menulis cerita pendek, puisi, esai, dan feature. Kumpulan cerpennya “Memilih Jalan Sunyi” (Enggang, 2019), merupakan karya pertamanya. Cerpennya pernah terbit bersama 10 penulis Kalbar lainnya pada Antologi Cerita Pendek: Orang-Orang Untuk Masa Depan (Pustaka Rumah Aloy; 2019), dan puisinya terbit bersama 44 penulis Kalbar lainnya, dalam Antologi Puisi Penulis Kalimantan Barat: Bayang-Bayang Tembawang (Pijar Publishing; 2015). Pada Januari 2020, cerpennya terbit bersama 14 penulis Kalbar lainnya di Antologi Cerita Pendek: Rendezvous Di Barat Borneo (Pustaka Rumah Aloy; 2020).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar