surabayapost.co.id
Siapa bilang Jawa Timur hanya provinsinya para penyair! Sebut saja nama-nama penulis prosa semacam Muhammad Ali, Budi Darma, Suparto Brata, Zoya Herawati, M. Shoim Anwar, Wawan Setiawan, Yati Setiawan, Beni Setia, Tan Tjin Siong, Lan Fang, Bonari Nabonenar, Sony Karsono, ataupun Imam Muhtarom yang merupakan nama-nama besar di dunia prosa Jawa Timur yang karya-karyanya begitu disegani, baik apakah itu dalam skala regional, nasional, bahkan internasional.
Memang, di tahun-tahun sebelum tahun 2007, sempat riuh merebak anggapan yang menyatakan Jawa Timur adalah provinsinya para penyair, gudangnya para penulis syair. Kiranya anggapan tersebut tidaklah terlampau salah mengingat pada tahun-tahun tersebut para penyair Jawa Timurlah -semacam Akhudiat, D. Zawawi Imron, Aming Aminudin, Mardi Luhung, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, S. Yoga, Muhammad Aris, Deny Tri Aryanti, F. Aziz Manna- yang lebih sering tampil dalam pentas-pentas sastra, baik itu secara regional ataupun nasional. Seperti pada acara Cakrawala Sastra Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada bulan September 2004.
Pada acara yang bertujuan untuk menghadirkan dan memetakan gelagat mutakhir dalam kehidupan sastra di berbagai daerah di Indonesia tersebut – bersama dengan Jawa Barat, Jogjakarta, Bali dan Sulawesi Selatan – Jawa Timur dipilih untuk diwakili oleh para penyair dan karya-karyanya. Ini semata karena panitia penyelenggara melihat bahwa kehidupan perpuisian di Jawa Timur lebih dinamis dan dominan ketimbang kehidupan prosanya, maka sudah sepantasnyalah Jawa Timur dalah kehadirannya dalam kehidupan sastra Indonesia mutakhir direpresentasikan oleh para penyairnya.
Ini jelas berbeda dengan kehidupan sastra di daerah seperti Sumatera Barat ataupun Riau yang menurut kacamata panitia penyelenggara lebih didominasi oleh geliat prosanya ketimbang gelagat perpuisiannya. Sehingga pada kedua provinsi tersebut, Sumatera barat dan Riau, panitia penyelenggara acara Cakrawala Sastra Indonesia tersebut lebih memilih untuk menghadirkan para penulis prosa dari kedua provinsi tersebut.
Adalah bulan Maret 2007 yang merupakan tonggak awal kebangkitan kembali prosa Jawa Timur. Dinobatkannya novel Hubbu karya Mashuri sebagai Juara I Sayembara Novel DKJ 2007 pada bulan itu seakan-akan menyadarkan kembali khalayak sastra Indonesia bahwa Jawa Timur adalah juga rumahnya para penulis prosa.
Mashuri, yang sebelumnya hanya dikenal oleh khalayak sastra kita sebagai seorang penyair, ternyata, juga adalah seorang penulis prosa, seorang novelis, yang karyanya amat layak diperhitungkan. Dapat dibayangkan, apabila novel pertamanya saja mampu menyisihkan 249 novel buah karya novelis seantero Indonesia, lantas meraih Juara I Sayembara Novel DKJ 2007, pastilah novel-novelnya yang berikutnya akan sangat dahsyat!
Belum jenak menikmati kesadaran kembali itu, khalayak sastra Indonesia, lagi-lagi, dikejutkan oleh kabar mencengangkan. Tercatatnya Suparto Brata, penulis prosa gaek dari Surabaya, lewat salah satu novelnya yang berjudul Saksi Mata, sebagai salah satu penerima Sea Write Award 2007, sebuah penghargaan sastra yang bergengsi yang diberikan oleh pemerintah Thailand kepada sastrawan Asia Tenggara yang berprestasi, pada bulan Oktober 2007.
Dua kabar mengejutkan, kiranya, masih belum cukup bagi prosa Jawa Timur untuk menyampaikan pada khalayak luas perihal kebangkitannya kembali. Di penghujung tahun 2007, kisaran bulan November, kembali khalayak sastra Indonesia secara luas dikejutkan oleh tercantumnya nama Ahmad Faishal, seorang penulis prosa muda usia dari Surabaya, lewat novelnya yang berjudul Keroncong Cinta sebagai salah satu nominasi penerima Khatulistiwa Literary Award 2007, sebuah penghargaan bergengsi dalam sastra Indonesia yang diberikan tiap tahunnya kepada para sastrawan yang bukunya dinilai berkualitas, dalam kategori penulis muda berbakat.
Sebenarnya, kebangkitan prosa Jawa Timur telah dirintis sejak bulan Juni 2005. Diterbitkannya buku antologi cerpen Jawa Timur Black Forest yang memuat 15 karya cerpen dari 15 penulis prosa Jawa Timur oleh Panitia Festival Seni Surabaya (FSS) 2005 pada bulan dan tahun itu seakan menjadi sinyal awal kepada khalayak luas bahwa (kelak di kemudian hari) akan terjadi kebangkitan pada prosa Jawa Timur. Dan hal tersebut benar-benar terbukti menemukan momentumnya dua tahun kemudian.
Kini kita telah sampai pada tahun 2009, dan melihat kenyataan yang terjadi di tahun 2007, kiranya, dapatlah kita menaruh harapan besar pada para penulis prosa kita di Jawa Timur. Kini tantangannya tinggal pada para penulis prosa Jawa Timur itu sendiri: mampukah mereka meningkatkan apa yang sudah ada, atau minimal, menjaga apa yang telah dirintis para pendahulunya. Hingga kelak di kemudian hari provinsi yang kita cintai ini tak lagi dikenal sebagai (melulu!) provinsinya para penyair, akan tetapi juga provinsinya para para penulis prosa. Sehingga provinsi kita, Jawa Timur, ini dapat dikenal sebagai provinsi kesastraan yang lengkap, yang memiliki tradisi syair dan prosa yang sama-sama kuat dan berjalan beriringan. Semoga.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Panca Marga, anggota Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar, Surabaya. http://sastra-indonesia.com/2009/02/2009-tahun-kebangkitan-prosa-jawa-timur/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar