Jumat, 23 April 2021

Kematian Pers

Radhar Panca Dahana *
Media Indonesia, 9 Feb 2013
 
BILA kita memahami pers dalam pengertian tradisional, yang dipadati oleh cita-cita dan dipepati oleh idealisme dan nilai-nilai luhur, tentu saja akan mengalami kesulitan untuk menemukannya masa kini. Ini sebuah kenyataan yang, mau tidak mau, malu tidak malu, harus kita pahami dan terima. Pemeo baru yang berlaku menegaskan ‘pers idealis bukan zamannya lagi’ menjadi afirmasi dan semacam justifikasi untuk memosisikan dan memanfaatkan. Bahkan jika perlu memanipulasi -pers untuk kepentingan satu sektor atau satu kepentingan saja, katakanlah kepentingan profit atau politik saja.
 
Apakah pers yang sesungguhnya telah mati atau tengah sekarat menuju kuburan? Jawabannya, tentu saja beragam. Betapapun kondisi objektif sudah memberikan fakta-fakta yang menyetujuinya. Belum lagi fakta yang muncul dari realitas mediatik, komunikasi, dan teknologi yang menyertainya, yang ternyata bulat-bulat telah sukses besar menggantikan atau menindih fungsi dan peran pers yang secara tradisional sudah ratusan tahun coba ia perhitungkan.
 
Bahkan media-media massa/sosial baru, dengan berbagai macam fiturnya, ternyata tidak hanya mengganti, tapi juga menambah atau melengkapi dengan cara luar biasa fitur-fitur yang dimiliki pers idealis-tradisional di atas. Media massa kini bukan lagi sebuah forum searah antara redaksi dan pembaca. Ia menjadi forum dua arah di mana semua pihak yang terlibat dalam media itu bisa berdialog secara terbuka dan bebas.
 
Sebenarnya dalam posisi itu, media massa kembali pada posisi idealistiknya sebagai ‘pengabar yang netral’. Yang belum dikontaminasi oleh kepentingan sempit. Media massa, sebagaimana media-media baru, tinggal hanya sebagai administratur dari persoalan publik, penyedia fasilitas mediatik dengan beragam fiturnya. Tentu saja media massa semacam ini akan jauh lebih menarik, menantang dan merangsang, khususnya bagi kaum muda yang umumnya dinamis, progresif, terbuka dan egaliter. Generasi ini mungkin bosan atau merasa lucu bila harus mengikuti media-media massa tradisional, yang kita pahami sebagai pera itu, yang bicara seolah dia adalah otoritas atau pemegang kebenaran.
 
Kesenjangan Zaman
 
Ada lack atau kesenjangan yang tercipta antara media massa dan pembacanya masa kini. Kesenjangan tidak hanya dalam tingkat praktis-pragmatis, tapi juga paradigmatis hingga filosofis. Saya kira, dengan logika ini, akan wajar bila ada sebuah penelitian yang mengabarkan bagaimana anak muda atau rumah tangga muda cenderung tidak berlangganan media massa tradisional yang kita pahami sebelum ini.
 
Maka, bila sebuah lembaga sosial-kultural sudah kehilangan fungsi, peran, posisi atau hakikat yang selama ini membuatnya ada, saya kira secara eksistensialia sudah mati, atau setidaknya ia menghadapi kematian, atau setidaknya ia menganggap dirinya hidup tapi sesungguhnya mati; zombi.
 
Tapi kenyataannya, koran, majalah, jurnal, surat berita, dan sebagainya masih diterbitkan. Pers masih menjadi lembaga yang dihormati. Hari Pers masih diselebrasi. Masih cukup banyak wartawan dan pemilik uang yang mau ‘mengorbankan’ harta dan profesionalitasnya untuk menerbitkan media massa baru. Walaupun media itu segera mati, mereka masih ngeyel untuk bertahan, bahkan menerbitkan kembali media-media massa baru. Bukan hanya di negeri ini, melainkan juga di belahan dunia lainnya. Walaupun, saya kira, lebih setengah dari itu sudah ditikam dewa maut, sengaja melakukan seppuku atau sebagian mentransformasi diri menjadi media dalam bentuknya yang terbaru.
 
Matinya Pers Ideologis
 
Mungkin saya dianggap pesimistis bila mengatakan dunia masih dipertahankan oleh ide-ide dari sebagian kecil para pejuang dan pemikirnya. Atau: bila dunia masih belum rusak luar dalam saat ini, karena masih ada-ada minoritas kecil yang tetap idealistis. Tentu saja saya tak mampu menggolongkan diri sebagai pesimistis apalagi bersikap sinis.
 
Realitas mutakhir tampaknya tidak memiliki maksud jahat untuk membunuh idealisme dan mendepankan pragmatisme. Sains dan teknologi, yang menjadi inti dari peradaban mutakhir ini, hanya menyediakan semacam alat, arsenal, perangkat lunak dan keras, untuk kita bisa mengolah kehidupan dengan cara ‘lebih baik’ daripada sebelumnya.
 
Tentu saja, kita bisa berdebat tentang terma dalam tanda petik di atas. Namun bagi pers di mana pun, realitas itu telah menjadi hakim yang keputusannya final. Pers yang mempertahankan ideologi-?dalam pengertian idealisme–lama harus menerima kenyataan ia akan (segera) menjadi zombi. Lembaga-lembaga pers ber-‘ideologi’ kuat seperti Kompas, Tempo, Analisa, Wawasan, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, dan lain-lain, juga banyak nama besar di luar negeri seperti The Guardian, Liberation, hingga Time atau New York Times, mungkin sudah mengintip tempat mereka di San Diego Hills, Kalibata, atau tempat-tempat beristirahat terhormat lainnya.
 
Artinya, bila semua lembaga itu enggan atau tidak mampu mengakselerasi diri dengan realitas dan generasi mutakhir di atas, Hari Pers tidak perlu diselenggarakan lagi kecuali untuk seremoni dan romantisme. Perubahan menyeluruh, hingga ke tingkat paradigmatik dan filosofis di atas, harus dilakukan untuk memberi acuan bagi aksi praksis pragmatisnya. Dunia baru tidak dapat ditolak lagi sebagai semacam ‘keharusan zaman’ karena pers bukanlah lembaga eksklusif yang punya kecenderungan memencilkan diri.
 
Sebagai contoh, pers yang dahulu lebih dikendalikan oleh ide-ide para redaktur utamanya, kini harus takluk pada pertimbangan bisnis. Pola hubungan di antara keduanya harus ditimbang kembali. Secara nasional mestinya ada rembuk dan mufakat bagaimana idealisme sebuah media massa masih bisa dipertahankan dalam komprominya dengan kepentingan bisnis yang juga harus utama.
 
Contoh lain, kita tampaknya harus mulai menerima, katakanlah satu contoh kecil, penggunaan kertas akan menjadi perilaku masa lalu yang bodoh pada masa kini. Di segala sisinya. Begitu pun praanggapan yang kemudian seperti menjadi adagium, pers adalah kebenaran dan otoritas, sebaiknya ditanggalkan. Kedua hal utama itu-?di masa lalu?-kini sudah ke seluruh elemen sosial, bahkan hingga ke tingkat personal.
 
Kelahiran Kembali
 
Pers ideologis boleh jadi mati. Tapi pers dan ideologi akan terus hidup bila ia tak membiarkan dirinya menjadi mayat pucat dan pasi. Pers tak terelak harus menjalani semacam renaissance, lahir kembali. Menjadi apa? Biar sudah sekitar 35 tahun saya menjadi insan pers, saya tak berani memberi rekomendasi. Biarlah selebrator di Manado yang memutuskannya. Yang saya pahami, hanya dengan lahir kembali, pers Indonesia akan tetap merasakan kehidupan dalam dirinya.
***
 
*) Radhar Panca Dahana, Budayawan.
http://cabiklunik.blogspot.com/2013/02/kematian-pers.html

http://sastra-indonesia.com/2013/02/kematian-pers/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah