Radhar Panca Dahana *
Media Indonesia, 9 Feb 2013
BILA kita memahami pers dalam pengertian tradisional, yang dipadati oleh
cita-cita dan dipepati oleh idealisme dan nilai-nilai luhur, tentu saja akan
mengalami kesulitan untuk menemukannya masa kini. Ini sebuah kenyataan yang,
mau tidak mau, malu tidak malu, harus kita pahami dan terima. Pemeo baru yang
berlaku menegaskan ‘pers idealis bukan zamannya lagi’ menjadi afirmasi dan
semacam justifikasi untuk memosisikan dan memanfaatkan. Bahkan jika perlu
memanipulasi -pers untuk kepentingan satu sektor atau satu kepentingan saja,
katakanlah kepentingan profit atau politik saja.
Apakah pers yang sesungguhnya telah mati atau tengah sekarat menuju
kuburan? Jawabannya, tentu saja beragam. Betapapun kondisi objektif sudah
memberikan fakta-fakta yang menyetujuinya. Belum lagi fakta yang muncul dari
realitas mediatik, komunikasi, dan teknologi yang menyertainya, yang ternyata
bulat-bulat telah sukses besar menggantikan atau menindih fungsi dan peran pers
yang secara tradisional sudah ratusan tahun coba ia perhitungkan.
Bahkan media-media massa/sosial baru, dengan berbagai macam fiturnya,
ternyata tidak hanya mengganti, tapi juga menambah atau melengkapi dengan cara
luar biasa fitur-fitur yang dimiliki pers idealis-tradisional di atas. Media
massa kini bukan lagi sebuah forum searah antara redaksi dan pembaca. Ia
menjadi forum dua arah di mana semua pihak yang terlibat dalam media itu bisa
berdialog secara terbuka dan bebas.
Sebenarnya dalam posisi itu, media massa kembali pada posisi idealistiknya
sebagai ‘pengabar yang netral’. Yang belum dikontaminasi oleh kepentingan
sempit. Media massa, sebagaimana media-media baru, tinggal hanya sebagai
administratur dari persoalan publik, penyedia fasilitas mediatik dengan beragam
fiturnya. Tentu saja media massa semacam ini akan jauh lebih menarik, menantang
dan merangsang, khususnya bagi kaum muda yang umumnya dinamis, progresif,
terbuka dan egaliter. Generasi ini mungkin bosan atau merasa lucu bila harus
mengikuti media-media massa tradisional, yang kita pahami sebagai pera itu, yang
bicara seolah dia adalah otoritas atau pemegang kebenaran.
Kesenjangan Zaman
Ada lack atau kesenjangan yang tercipta antara media massa dan pembacanya
masa kini. Kesenjangan tidak hanya dalam tingkat praktis-pragmatis, tapi juga
paradigmatis hingga filosofis. Saya kira, dengan logika ini, akan wajar bila
ada sebuah penelitian yang mengabarkan bagaimana anak muda atau rumah tangga
muda cenderung tidak berlangganan media massa tradisional yang kita pahami
sebelum ini.
Maka, bila sebuah lembaga sosial-kultural sudah kehilangan fungsi, peran,
posisi atau hakikat yang selama ini membuatnya ada, saya kira secara
eksistensialia sudah mati, atau setidaknya ia menghadapi kematian, atau
setidaknya ia menganggap dirinya hidup tapi sesungguhnya mati; zombi.
Tapi kenyataannya, koran, majalah, jurnal, surat berita, dan sebagainya
masih diterbitkan. Pers masih menjadi lembaga yang dihormati. Hari Pers masih
diselebrasi. Masih cukup banyak wartawan dan pemilik uang yang mau
‘mengorbankan’ harta dan profesionalitasnya untuk menerbitkan media massa baru.
Walaupun media itu segera mati, mereka masih ngeyel untuk bertahan, bahkan
menerbitkan kembali media-media massa baru. Bukan hanya di negeri ini,
melainkan juga di belahan dunia lainnya. Walaupun, saya kira, lebih setengah
dari itu sudah ditikam dewa maut, sengaja melakukan seppuku atau sebagian
mentransformasi diri menjadi media dalam bentuknya yang terbaru.
Matinya Pers Ideologis
Mungkin saya dianggap pesimistis bila mengatakan dunia masih dipertahankan
oleh ide-ide dari sebagian kecil para pejuang dan pemikirnya. Atau: bila dunia
masih belum rusak luar dalam saat ini, karena masih ada-ada minoritas kecil
yang tetap idealistis. Tentu saja saya tak mampu menggolongkan diri sebagai
pesimistis apalagi bersikap sinis.
Realitas mutakhir tampaknya tidak memiliki maksud jahat untuk membunuh
idealisme dan mendepankan pragmatisme. Sains dan teknologi, yang menjadi inti
dari peradaban mutakhir ini, hanya menyediakan semacam alat, arsenal, perangkat
lunak dan keras, untuk kita bisa mengolah kehidupan dengan cara ‘lebih baik’
daripada sebelumnya.
Tentu saja, kita bisa berdebat tentang terma dalam tanda petik di atas.
Namun bagi pers di mana pun, realitas itu telah menjadi hakim yang keputusannya
final. Pers yang mempertahankan ideologi-?dalam pengertian idealisme–lama harus
menerima kenyataan ia akan (segera) menjadi zombi. Lembaga-lembaga pers
ber-‘ideologi’ kuat seperti Kompas, Tempo, Analisa, Wawasan, Kedaulatan Rakyat,
Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, dan lain-lain, juga banyak nama besar di luar
negeri seperti The Guardian, Liberation, hingga Time atau New York Times,
mungkin sudah mengintip tempat mereka di San Diego Hills, Kalibata, atau
tempat-tempat beristirahat terhormat lainnya.
Artinya, bila semua lembaga itu enggan atau tidak mampu mengakselerasi diri
dengan realitas dan generasi mutakhir di atas, Hari Pers tidak perlu
diselenggarakan lagi kecuali untuk seremoni dan romantisme. Perubahan
menyeluruh, hingga ke tingkat paradigmatik dan filosofis di atas, harus
dilakukan untuk memberi acuan bagi aksi praksis pragmatisnya. Dunia baru tidak
dapat ditolak lagi sebagai semacam ‘keharusan zaman’ karena pers bukanlah
lembaga eksklusif yang punya kecenderungan memencilkan diri.
Sebagai contoh, pers yang dahulu lebih dikendalikan oleh ide-ide para
redaktur utamanya, kini harus takluk pada pertimbangan bisnis. Pola hubungan di
antara keduanya harus ditimbang kembali. Secara nasional mestinya ada rembuk
dan mufakat bagaimana idealisme sebuah media massa masih bisa dipertahankan
dalam komprominya dengan kepentingan bisnis yang juga harus utama.
Contoh lain, kita tampaknya harus mulai menerima, katakanlah satu contoh
kecil, penggunaan kertas akan menjadi perilaku masa lalu yang bodoh pada masa
kini. Di segala sisinya. Begitu pun praanggapan yang kemudian seperti menjadi
adagium, pers adalah kebenaran dan otoritas, sebaiknya ditanggalkan. Kedua hal
utama itu-?di masa lalu?-kini sudah ke seluruh elemen sosial, bahkan hingga ke
tingkat personal.
Kelahiran Kembali
Pers ideologis boleh jadi mati. Tapi pers dan ideologi akan terus hidup
bila ia tak membiarkan dirinya menjadi mayat pucat dan pasi. Pers tak terelak
harus menjalani semacam renaissance, lahir kembali. Menjadi apa? Biar sudah sekitar
35 tahun saya menjadi insan pers, saya tak berani memberi rekomendasi. Biarlah
selebrator di Manado yang memutuskannya. Yang saya pahami, hanya dengan lahir
kembali, pers Indonesia akan tetap merasakan kehidupan dalam dirinya.
***
*) Radhar Panca Dahana, Budayawan.
http://cabiklunik.blogspot.com/2013/02/kematian-pers.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 23 April 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar