Jumat, 14 Mei 2021

Mencipta Kembali Tradisi Teater Jatim

Catatan untuk F. Aziz Manna dan R. Giryadi
 
S. Jai *
Kompas JaTim, 19 Agu 2010
 
JAWA TIMUR, tepatnya Surabaya dan Sidoarjo pernah memiliki tradisi teater yang kuat, bahkan menggerakan tradisi teater modern di Indonesia. Ketika pada 1891 Komedi Stamboel berkibar dan pada 1926. Lalu Dardanella (The Malay Opera) berjaya yang diprakarsai Willy Klimanoff.
 
Di tangan mantan awak sirkus Komedi Stamboel itu, Dardanella dimodernkan sebagai teater yang mengutuhkan esensi laku dramatik dan menghilangkan nuansa lelucon dan tarian yang menyimpang dari esensi itu. Dari kelompok teater inilah berkembang pesat teater modern melalui awak-awak panggungnya. Bolero, Orion yang didirikan Miss ribort, Tjahaya Timoer yang didirikan Andjar Asmara. Termasuk Teater Maya di Jakarta, di bawah asuhan Usmar Ismail 1944.
 
Yang menarik dari pemodernan teater ini, dengan melakukan pembaruan spirit tradisi teater dengan mendekatkan diri pada peristiwa sehari-hari melalui naskah-naskah yang tertulis dan bukan lagi improvisasi atas tradisi lisan dari mitologi, epos dsb, yang tentu saja telah dianggapnya ketinggalan zaman.
 
Beberapa dasawarsa berikutnya, dalam peta tradisi teater tanah air, Jawa Timur, Surabaya, melahirkan tradisi baru berteater, bahkan sanggup menguatkan identitas teaternya ketika era 1970-1980-an. Munculnya sejumlah nama, utamanya yang pertama bisa saja disebut nama Akhudiat dan yang Kedua Basuki Rachmat, yang sezaman dengan Emil Sanosa, Max Arifin, sesudah generasi Lutfi Rachman yang kemudian terjun ke dunia film.
 
Nama Akhudiat dan Basuki Rachmat amat disegani dengan orisinalitas kentrung rock dan mendunianya ludruk (Istilah alm Profesor Umar Kayam). Melalui tangan dan pikiran dingin Basuki Rachmat teater ludruk campur kentrung mendunia berkat lakon-lakon Bertold Brecht, semacam Darmi-Darmo dan Lingkaran Keadilan dan dipentaskan keliling Indonesia. Estetika teater Surabaya mampu menembus khazanah “Teater Indonesia.”
 
Bahkan konon mencuatnya Teater Sampakan di Surabaya sempat mempengaruhi gaya teater Yogyakarta yang kiranya perlu dicatat pencapaiannya dan penting bagi sejarah teater Surabaya. Melalui Emha Ainun Nadjib yang memang pernah bergaul dengan anak-anak Bengkel Muda Surabaya (BMS, tempat Akhudiat dan Basuki Rachmat besar dan membesarkan teater), pada saat Yogya dikuasai gaya Mataraman Bengkel Teater Rendra, gaya sampakan merasuk dan diproses Teater Dinasti yang berlanjut Teater Gandrik, Teater Paku sebelum akhirnya menjadi semacam aliran yang mewabah dan banyak penganutnya.
 
Kini pelbagai kalangan, termasuk seniman teater sendiri, berpendapat bahwa tradisi itu hampir tak ada lagi, lebih karena tidak adanya sikap kritis, mentalitas, spirit dan intelektualitas menghadapi fenomena kultural dan konteks sosial di belakang teks realitas. Walaupun sebetulnya, lebih tegasnya gejala itu tidak hanya terjadi pada teater. Melainkan seluruh aspek kebudayaan.
 
Saat ini, jurang kemelaratan melampaui kemiskinan yang diidentifikasi budayawan Rendra, kegagahan dalam kemiskinan. Bahkan kita ini telah melarat dari istilah Kant, kemampuan untuk mengajar dirinya sendiri untuk bagaimana memaknai hidup dan punya identitas. Jelasnya, kemiskinan atas demensi subtansial kebudayaan yang disebut Herry Tjahjono, martabat bangsa, nilai-nilai bangsa, rasa memiliki, kebanggaan dan rasa aman.
 
Spirit mempertimbangkan tradisi pernah dicetuskan Rendra dalam proses kreatifnya pada 1971. Bahwa tradisi ibarat ayah kandung kita. Tradisi adalah kebiasaan yang turun-menurun dan ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Secara implisit justru Rendra mengakui usahanya itu lebih berhasil di dunia kepenyairan ketimbang drama. Meskipun pada spirit nilai tradisi puisi-puisinya itu diakui tak lain adalah tradisi abad 18 hasil karya raja-raja boneka dan bupati yang tidak aristokrat.
 
Kepada Profesor Umar Khayam, Rendra mengaku iri pada tradisi teater tradisional, wayang orang (ngestipandowo, sriwedari) ketoprak (mataram, siswobudoyo) dan juga srimulat, yang selalu dibanjiri penonton. Sementara konon salah sebuah pertunjukkan Rendra pernah hanya ditonton 7 orang, itu pun sebagian tertidur pada akhir pentas.
 
Dengan penuh kerendahan hati, diharapkan tulisan ini sanggup memberi kerangka yang menginspirasi seniman-seniman teater untuk mencari ruh teater kita. Oleh sebab itu model pertanyaan-pertanyaan berikut dimaksudkan sebagai jalan menemukan kembali ruh penciptaan tradisi teater Jawa Timur.
 
Pertama, kita musti bergelut dalam proses berteater dengan menjawab pertanyaan: Apa yang bisa kita lampaui dari pencapaian Rendra dalam mempertimbangkan untuk kemudian mencipta tradisi?
 
Boleh jadi, dunia penciptaan apapun sama, puisi, teater, prosa, hanya bahasanya yang berbeda. Apakah bahasa puitik ataukah bahasa dramatik. Meminjam kosa kata penyair Arab modern, Adonis: Dunia penciptaan, tidak lagi meniru model tradisional, dan juga tidak lagi meniru “realitas.” Kreasi dimungkinkan pertama-tama hanya dengan menjauhi peniruan dan “realitas” sekaligus. Ia merupakan penciptaan yang dipraktekkan…, terkait dengan penciptaan jarak antara dia dengan tradisi di satu sisi, dan antara dia dengan “realitas” di sisi yang lain.
 
Dalam kepenyairan Rendra mengaku dibimbing tembang dolanan anak-anak Jawa, tembang-tembang palaran Jawa, bahasa koran, mitologi Dewa Ruci. Juga dalam pertunjukan teaternya dibimbing teater rakyat Bali, foklore dan permainan image tembang dolanan.
 
Rupanya, keadaan ini pula yang dicoba ditaklukkan Goenawan Mohamad dalam esai “Sebuah Pembelaan untuk Teater Mutakhir” pada 1973. Bahwa teater membutuhkan publik yang intim karena ada perbedaan antropologi publik dengan antropologi teater. Waktu itu dia memilih kosa kata: pertunjukkan akan enak dinikmati bila jarak keduanya diperpendek.
 
Sampai di sini betapa jarak antropologi publik dengan antropologi teater masih menjadi medan tempur konsep berteater.
 
Antropologi Teater
 
Kedua, pertanyaan penting untuk digali adalah: Adakah kini yang mengatasi jarak keduanya, antropologi teater dan antropologi publik lalu menjadikan medan tempur baru berteater?
 
Pada kenyataannya, yang penting dipecahkan dalam “dialog-dialog” ekperimentasi teater, bahwa di atas pencapaian tradisi teater kita, teater mengampu pada tradisi lisan. Tradisi yang menopang teater kita inilah yang kemudian digugat Afrizal Malna sebagai politik yang mengontruksi tubuh dan berlangsung dalam pergaulan sehari-hari.
 
Karena itu, menurutnya penggunaan tradisi sebagai benteng identitas, juga mengandung resiko yang tidak sederhana. Tubuh-identitas lebih bermain di tingkat sikap (ideologis) dan bukan di tingkat bentuk. Tubuh-identitas yang masih bermain di tingkat bentuk, akhirnya hanya akan menghasilkan sikap verbal dari primordialisme. Pada gilirannya tubuh-identitas yang dikonstruksi sebagai tubuh-tradisi, itu bisa dibaca dengan sinis sebagai “sampah lokal” yang gagap menghadapi pergaulan dunia.
 
Ketiga, sedemikian sakralkah “dialektika antara realitas dan idealitas” sejak teater pra-modern, modern hingga kontemporer di atas sehingga masih menjadi panglima teater kita?
 
Pertanyaan ini tentu mewakili suara orang dari jurubicara pembela identitas seni kita yang menyakini teater kita haruslah sanggup menembus proses “tranformasi” menuju kulminasi identitas teater pasca-modern Indonesia atau teater pasca mitos kita.
 
Kiranya pencarian identitas dalam berteater musti memiliki paradigma baru yang berdiri di atas pertanyaan-pertanyaan penting di atas. Setidaknya pengalaman Teater Studi Klub Bandung mengingatkan akan hal itu. Teater Studi Klub Bandung mencoba menjawab sesuai epistemologi ketiganya, baik dialektika, realitas, idealitas sebagai produk dari suatu aliran filsafat barat, justru kemudian menempatkan kelompok teater itu sebagai wakil dari barat. Sementara Putu Wijaya bersama Teater Mandiri era 1970-an mencoba memecahkannya dengan membawa penonton hingga ke luar gedung, dan pertunjukan dilanjutkan di luar. Yang menginspirasi teater-teater generasi berikutnya untuk merambah ruang-ruang publik.
 
Di Surabaya cukup menarik apa yang ditawarkan Sutradara Zaenuri dari Bengkel Muda Surabaya dengan estetika “mencangkok ruang teater di antara kepanikan publik”-nya. Ekperimen teater Zaenuri yang masuk dan melipatkan para napi di Rutan Medaeng, teater para anak-anak urakan bonek Surabaya kiranya adalah upaya untuk penciptaan tradisi sekaligus estetika baru teater. Menurutnya Teater adalah riil. Teater adalah cara mengaktualisasikan diri dalam kapasitas peran yang berlebih dan panggung adalah kehidupan sehari-hari. Singkat kata teater harus berguna dengan memindahkan ruang estetis dari problem publik ke ruang yang katarsis, pencerahan.
 
Hal-hal inilah yang perlu disikapi teater mutakhir dalam penciptaan tradisinya menyongsong masa depan tradisi teater Jawa Timur, tanpa mendikotomi diri antara teater kampus atau non kampus, umum atau khusus. Selamat bereksperimen!
***

*) Pengarang, kepala bidang seni-budaya Center for Relegious and Community Studies (CeRCS) Surabaya. http://sastra-indonesia.com/2010/09/mencipta-kembali-tradisi-teater-jatim/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah