Minggu, 27 Juni 2021

PETA KONSTELASI PENYAIR SUMATERA

Maman S. Mahayana *
 
Pertemuan penyair se-Sumatera (Aceh, Babel, Bengkulu, Jambi, Kepri, Lampung, Riau, Sumbar, Sumsel, Sumut) di Bengkalis, 17—19 Januari 2003, memperlihatkan, betapa sesungguhnya Sumatera masih menyimpan potensi yang kaya dan berlimpah. Kepenyairan Sumatera yang pernah mendominasi perjalanan sastra Indonesia sebelum dan awal merdeka –seperti yang pernah dibangun sastrawan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, hingga ke nama-nama Taufiq Ismail, Leon Agusta, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, dan sederet panjang nama lain—sangat mungkin kini akan bangkit kembali.
 
Empat skenario mungkin dapat dijalankan penyair Sumatera. Pertama, melakukan perlawanan dan mencoba menyeruak di antara kemapanan sastrawan di luar Sumatera. Kedua, bergerak menghimpun kekuatan guna membangun mazhab sendiri. Ketiga, seolah-olah “menafikan” Jakarta dan berorientasi ke Singapura atau Kuala Lumpur. Keempat, menjalankan semua skenario itu dengan mengusung kultur etnik dan sejarah masa lalunya.
 
Dengan keempat skenario itu, penyair Sumatera kini lebih leluasa bergerak. Dan itu membuka peluang bagi kebangkitan kembali peranan mereka dalam konstelasi peta sastra Indonesia modern. Persoalannya tinggal bergantung pada kesiapan mereka menjalankan skenario itu? Tanpa kerja keras dan usaha yang serius, skenario itu tetap akan menjadi sebuah mimpi. Peran mereka akan jatuh pada sebutan sekadar pelengkap dan kontribusinya dalam peta kesusastraan Indonesia tidak cukup signifikan.
 
Antologi Purnama Kata: Sajak-Sajak se-Sumatera (Bengkalis: Dewan Kesenian Bengkalis, 2003; 112 halaman) barangkali boleh dipandang sebagai representasi gerakan penyair Sumatera. Antologi ini menghimpun karya-karya penyair Aceh, Medan, Padang, Riau, Tanjung Pinang, Jambi, Palembang, dan Lampung. Adakah mereka punya potensi untuk menjalankan skenario itu atau sekadar kekenesan belaka?
***
 
Diawali enam buah puisi A.A. Manggeng (Aceh) yang melantunkan kegetiran atas tragedi berdarah yang menimpa tanah rencong. Gaya persajakannya yang seperti monolog antara narasi dan refleksi, mewartakan duka panjang yang dijawab dengan pertanyaan retoris: “berapa harga kemerdekaan dibandingkan nyawa?” Keenam buah puisinya menyampaikan tema yang sama: tragedi Aceh. Manggeng memang tidak mengangkat kultur etnik. Ia terpaku pada musibah puaknya yang dilakukan justru oleh saudaranya yang entah siapa dan dari mana asalnya. Rupanya, musibah itu begitu menggetarkan batinnya.
 
Sebagai puisi yang coba mengangkat luka-duka-darah, Manggeng menyajikannya dengan puitis. Ia seperti sedang menggambar pesona gadis cantik yang seketika diterjang kereta. Kita ikut nelangsa, tetapi pandangan mata masih terpaku pada pesona gadis itu, dan bukan pada tubuh hancur, koyak-moyak dan berdarah-darah. Dalam hal ini, Manggeng melantunkan rintih kematian tanpa menyentuh tubuh hancur, koyak-moyak dan berdarah. Di sinilah pemahaman ruh kultural menjadi penting. Ia mesti menyatu dalam pewartaan puitik ketika penyair dilanda kegelisahan atas tragedi yang menimpa puaknya. Cukupkah ia digambarkan dengan: Siapa yang pecahkan vas bunga/di pekarangan rumah kita/Padahal angin tidak menggerakkan daun-daunnya// Di manakah denting kilat rencong dan hingar-bingar semangat jihad? Di mana pula ledakan amarah yang tiba-tiba jadi kobaran api?
 
Thompson Hs (Medan) agaknya mengalami problem yang sama ketika ia dikaitkan dengan persoalan kultur. Ia cenderung mengangkat refleksi dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang per orang. Boleh jadi kesengajaan menyelimuti pesan merupakan representasi dari khawatirannya terjebak pada eksplisitas. Kecenderungan seperti itu memang banyak terjadi pada diri penyair kita. Akibatnya, sebagai pembaca sering kali kita merasakan sesuatu yang entah, tetapi entah apa pula yang kita tangkap. Dalam puisi “Mendengar Ruang yang bisa Berbisik” misalnya, kuda dapatlah kita tafsirkan sebagai simbolisasi nafsu. Boleh juga kita menafsirkan sebuah kisah persenggamaan. Tetapi, ia tidak coba memanfaatkan citraan. Sebaliknya, dengan pernyataan yang abstrak, kisah persenggamaan itu menjadi seperti narasi untuk dirinya sendiri. Demikian juga, ketika berbicara tentang Palestina—Israel, ia terjebak pada pewartaan, dan bukan kegelisahan kultural, meski ia mencoba mengangkat kisah-kisah lama dari al-Kitab.
 
Yusrizal KW (Padang) dengan enam puisinya –kecuali “Perasaan Berkerikil” dan “Sajak untuk Maya” lainnya pernah dimuat dalam Interior Kelahiran— tampak melompat ke sana ke mari. Ia bisa mengangkat apa saja yang dilihat atau direnungkannya. Dengan begitu, ia dapat leluasa mewartakan peristiwa atau benda apapun, tanpa harus mengalami kegelisahan yang dahsyat. Dalam hal itulah, puisi-puisi Yusrizal seperti sebuah narasi tanpa pretensi. Pilihannya untuk mengangkat apa pun, tentu saja tak menjadi soal. Dan ia bebas menentukannya sendiri. Meskipun demikian, ketika kita menghubungkaitkan puisi (sastra) sebagai ruh kultural, kita kehilangan cantelannya. Lalu, muncul pertanyaan: Di manakah Minangkabau? Maka, yang dapat kita tangkap adalah serangkaian peristiwa biasa, suasana keseharian yang juga biasa atau sesuatu yang diperlakukan seperti adanya. Ketika semua itu diejawantahkan dalam puisi, kita sangat mungkin akan hanyut dalam suasana yang seperti itu. Sebuah refleksi yang justeru tidak kita jumpai dalam cerpen-cerpennya.
 
Berbeda dengan Yusrizal, Taufik Ikram Jamil seperti penjelajah yang tak kunjung sampai pada tujuan. Ia tiada henti dibakar kegelisahan atas sejarah puaknya, meski boleh jadi ia sadar, sesuatu itu tak bakal dijumpainya kini. Puisinya, “Datang lagi ke Bengkalis” dan “Aku sudah Menjawab” merupakan bentuk kegelisahan kultur etnis masa lalunya. Kesetiaannya pada puak, romantisismenya, dan rasa duka pada kondisi sosial kini, berjalin kelindan dalam idiom Melayu. Maka, alam di sekeliling yang menjadi bagian hidupnya, muncul begitu saja seperti anak panah yang melesat, namun gagal membawa kurban.
 
Kegelisahan kulturalnya tak pernah berhenti menggelegak. Jamil berusaha konsisten pada obsesi yang dibangunnya sendiri. Lalu, ketika ia menghadapi kenyataan kini, masa silam dan catatan sejarah seperti datang begitu saja. Dikatakannya: kubentangkan tubuhmu telanjang/antara sulalatus salatin dan tuhfat al-nafis/alasmu adalah wustan wal-qubra/ buku sejarah yang belum selesai ditulis. Di sana ada luka sejarah yang tak pernah sembuh: bukankah kita terbanting dalam traktat london.
 
Bagi Jamil, romantisisme masa lalu, catatan sejarah, dan persahabatannya dengan alam telah memberinya banyak hal. Segalanya itu telah menjadi alat permainan yang lalu menjelma menjadi larik-larik puisi. Jika ia tampak begitu lincah memanfaatkan semuanya itu, sesungguhnya itu hasil dari sebuah proses panjang cintanya pada Melayu.
 
Dengan gaya persajakan yang berbeda, Syaukani Alkarim (Riau) juga mengusung kegelisahan kultural. Ia juga jatuh pada masa lalu puaknya. Pengucapannya sangat kuat sebagai refleksi penghayatan masa lalu dalam konteks problem yang dihadapi puaknya kini. Perhatikan sebaik puisinya, “Membaca Diri”. Kita yang sekarang bukan lagi sejarah yang kau baca, hanya ting­gal hari-hari yang gagap/ sekeping luka, dan beribu janji yang meminta jawaban. Kemenangan yang pernah/ menuliskan risalah, kini menjelma sekapal rindu,/dan engkau harus bertarung dengan/ gelom­bang, atau tenggelam di laut waktu.//
 
Di luar luka sejarah puaknya yang tergambar dalam “Air Mata 1824”, Syaukani menukik menjelajah masuk wilayah yang agak filosofis. Dalam Hikayat Perjalanan Lumpur (1999), sejarah dan simbol sufistik mengemuka sangat padat, sekaligus menunjukkan, betapa penyair ini tidak sekadar bermain dengan larik-larik yang disusun lewat diksi yang matang dan cerdas, menyajikan kesungguhannya memanfaatkan wawasan, tetapi juga menegaskan bahwa ia masih menyimpan kekuatan napas yang panjang.
 
Di antara para penyair itu, menyeruak penyair wanita, Murparsaulian. Dalam deretan penyair wanita Riau, ia tergolong generasi di belakang Ar. Kemalawati, Tien Marni dan Herlela Ningsih. Agak berbeda dengan kebanyakan penyair wanita yang terpaku pada dunia romantik, Murparsaulian menjelajah pada persoalan sosio-kultural etniknya. Ada hasrat melakukan kritik sosial atas dampak modernisasi dan pembangunan. Ada kecemasan atas derasnya budaya populer. Dan penyair coba mengangkat problem itu berkaitan dengan romantisisme masa lalu puaknya. “Syair buat Marina” misalnya, mewartakan perubahan alam dan arus dunia modern. Dikatakannya, pelabuhan itu sebagai seorang tua yang merayau di tengah kelam di satu pihak, dan dunia modern yang menerjangnya di pihak lain. Sebuah gambaran dua dunia: kehidupan tradisional yang tergusur oleh modernisme.
 
Kegelisahan Murparsaulian agaknya tidak hanya jatuh pada lingkungan sekitar. Ia juga protes atas carut-marut negeri ini, seperti dalam “Mengeja Sejarah” dan “Kulabuh Kasih pada Negeri yang Perih”. Ada usaha mengangkat masalah itu lewat persajakan dan diksi atau citraan alam. Kadangkala ia tak sabar menahan gejolak kemarahannya sendiri. Meski begitu, keberanian melakukan pilihan tema itu, memang membawa persoalan yang tak sederhana. Dan itu perlu perenungan yang lebih intens, sebagaimana yang diungkapkan dalam “Di mana Selat Kita?” Usaha Murparsaulian menemukan jati diri kepenyairan, telah dijumpai di sana. Sebuah pola yang memperlihatkan perkembangan kepenyairan yang lebih matang dan berpribadi, meski ia tak dapat menyembunyikan pengaruh penyair lain.
 
Permainan bunyi dalam larik dengan memanfaatkan pesona persajakan, hadir dalam karya Hoesnizar Hoed (Kepri). Ia memang tak berusaha mengangkat sejarah. Persahabatan dengan alam dan dukanya pada problem sosial, merepresentasikan kegelisahan yang tak dapat diajak berdamai. Beberapa puisi yang lain, seperti “Shelma”, “Membaca Jakarta” atau “Aku Diam dalam Kaca” terasa lebih cair dibandingkan puisi-puisinya dalam Tarian Orang Lagoi (1999). Meski begitu, kita masih melihat kekuatannya dalam permainan kata dan usahanya memanfaatkan bunyi persajakan. “Surat dari Simpang Lagoi” sesungguhnya merupakan pola yang pas memperlihatkan kepenyairannya yang lebih berpribadi. Ada pesona yang kuat dalam larik dan repetisi persajakan dalam puisi itu.
 
Kembali, perenungan yang intens menjadi penting saat penyair mengejawantahkan ekspresi puitiknya. Dan Lagoi telah mencengkram Hoed begitu kuat. Ia hanyut di sana dan berteriak mewartakan kepedihan orang-orang Lagoi. Ia berhasil menukik dan menyembul kembali lewat ekspresi puitiknya. Di sinilah kebersatuan ruh penyair dengan dunia yang hendak diangkatnya sering kali melahirkan potret yang mempesona.
 
Ari Setya Ardhi (Jambi) condong bermain dengan abstraksi. Di sana ia mencoba memanfaatkan alam untuk membangun citraan. Dalam puisinya, “Mempersiapkan Waktu” Ardhi hanyut dalam subjektivitas ekspresinya sendiri. Akibatnya, sinyal-sinyal yang dapat membantu pembaca memahami teks, terganggu oleh kecenderungannya memadukan realitas dengan dunia abstrak. Meskipun begitu, dalam puisinya yang berjudul “Merebut Sejarah”, penyair berhasil mengangkat potret perubahan secara meyakinkan.
 
Bahwa Ardhi melakukan pilihan itu, tentu dengan kesadaran kepenyairannya. Dalam puisinya “Menjaga Musim Purba” kita menemukan rangkaian kata yang enak dibaca. Tetapi agak menyulitkan pemahaman kita mengingat kecenderungannya membangun abstraksi. Atau barangkali, Ardhi memang sengaja memanfaatkan itu untuk membangun semacam close reading yang mensyaratkan pembacaan yang berulang-ulang. Justru di situ estetika puitiknya menggoda untuk menjelajahi dunia yang ditawarkannya.
 
Kecenderungan yang sama terjadi pada diri Anwar Putra Bayu (Sumsel). Bahkan, lebih dari itu, ia lebih banyak mengobral pernyataan daripada citraan. Dalam hal ini, Bayu seperti memberi jarak antara dunia yang ditawarkan dengan teks yang membawakannya. Akibatnya, kegelisahan tentang masalah disintegrasi yang terjadi di negeri ini, sebagaimana tampak dalam “Abad Burung Bangkai” menjadi semacam pewartaan tekstual. Hal itu pula yang tampak kentara dalam “Nyonya Anwar dan Sepotong Tulang”. Kembali, perenungan menjadi sesuatu yang penting. Ia mesti menjadi bagian dari proses kreatif yang lahir dari kegelisahan atau ketakjuban pada sesuatu. Puisi “Kepada Alexandre Pusjkin” misalnya, memperlihatkan, betapa penyair punya jarak yang jauh dengan sastrawan Rusia itu.
 
Isbedy Stiawan ZS dalam “Telah Kulepas Pakaian Sunyiku” sungguh telah menunjukkan sebuah perkembangan kepenyairan yang meyakinkan. Dibandingkan antologi Daun-Daun Tadarus (1997), puisi-puisinya kali ini tampak lebih matang dan kokoh. Ia tak lagi menjadikan subjek yang melihat benda-benda sebagai objek, melainkan objek yang menyatu lebih dalam sebagai diri subjek, atau sebaliknya.
 
Ia seperti bertutur begitu saja, mengalir, dan tiba-tiba berhenti pada pertanyaan yang menggoda: siapakah aku lirik? Dalam hal ini, napas religiusitas dan kerinduannya pada sesuatu yang entah, menyatu dalam kerinduan itu sendiri. Isbedy hadir dengan pribadi yang kuat dan matang. Pencarian si aku liris telah sampai pada hakikat. Sebuah gaya kepenyairan yang banyak dianut para penyair ketika ia mengalami kegelisahan sufistik.
 
Dalam “Aku Masih Rasakan” hubungan aku liris dengan alam dan dunia sekitar, terasa sangat padu, menyatu dalam narasi aku lirik. Dalam hal ini, subjek tidak lagi melihat alam sebagai objek, melainkan sebagai subjek itu sendiri. Bahkan, kadangkala, aku liris sengaja diperlakukan sebagai objek untuk member ruang yang lebih leluasa bagi alam mencengkeram dan menjadi bagian dari alam itu sendiri, sebagaimana dikatakannya: bahwa kita seperti butiran air itu/bahwa kita juga ada di atas daun itu/ diamdiam menunggu tergelincir// Dalam “Dermaga Lama” Isbedy memanfaatkan kisah masa lalu yang menjadi bagian dari kekayaan kulturnya. Dengan itu, ia tak bakal kehabisan bahan. Bahkan, niscaya pula ia makin memperlihatkan kekayaan bentuk ekspresinya.
***
 
Catatan kecil ini tentu masih perlu pendalaman. Di sana tercecer nama Gus tf Sakai, Iyut Fitra, Upita Agustine, Ratna Komala Sari (Minang), Junewal Muchtar (Kepri), Eddy Ahmad, DM Ningsih, Merie I. Zairi, Zainurmawaty, Cecen Cendrahati, Kunni Masrohanti (Riau), Syaiful Tanpaka, Naim Prahana, Panji Utama (Lampung), Wina SW I, Kemalawati, Rosni Idham (Aceh), Gita Romadhona, Iriani R. Tandy (Jambi), Laswiyati Pisca, Neny Rosaria (Medan) dan nama-nama lain yang sering kita jumpai dalam berbagai antologi.
 
Dalam kaitannya dengan peta konstelasi penyair Sumatera, catatan ini sekadar hendak menegaskan, bahwa mereka mustahil kehabisan ekspresi puitik jika ada usaha melakukan eksplorasi pada kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya. Dengan cara itu, mereka akan mengangkat kekayaan kultur lokalnya, sekaligus menempatkannya dalam problem kemanusiaan sejagat. Bagaimanapun juga, sastra yang baik selalu akan menghadirkan unikum, dan sekaligus universalitasnya. Masalahnya tinggal, bagaimana sastrawan Sumatera memanfaatkan kekayaannya sendiri.
***

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2010/05/peta-konstelasi-penyair-sumatera/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah