Selasa, 20 Juli 2021

Di Manakah “Kedalaman” Novel Nubuat(?)

Marhalim Zaini *
riaupos.com
 
Dari berbagai pengalaman bacaan saya yang serupa itu, maka kini saya sedang berhadapan dengan novel Nubuat karya Gde Agung Lontar. Novel yang mengisahkan tentang perjalanan/petualangan seorang tokoh lelaki muda bernama Awang, dari kampung halamannya (yang oleh pengarang cukup dinamai dengan Parit 0 (?) sampai Parit 40, menuju ke tempat-tempat yang kelak membawa tokoh ini mencapai keinginannya untuk menjadi hulubalang istana.
 
Keinginan ini pun sesungguhnya bukanlah sebuah obsesi yang kuat dari si Awang. Sebab di balik itu tujuan utamanya merantau adalah untuk menghindar dijodohkan dengan perempuan sekampungnya yang tinggal di Parit 19 bernama Zahara, anak Leman Tonjang, sahabat lama ayahnya Awang. Kenapa menghindar? Tak ada gambaran yang kuat untuk dapat menjawabnya dengan lebih “ideologis.” Alasan Awang, karena si Zahara itu, adalah Budak Bingal.
 
Apa itu Budak Bingal? Tak pula dapat kita temukan detil deskripsi yang membuat Zahara dipanggil oleh Awang dengan sebutan demikian, sehingga penolakan/penghindaran Awang menjadi sangat beralasan. Setahu saya, kata “bingal” sendiri adalah khas milik orang Melayu, yang dapat diartikan sebagai “tak mau mendengar nasehat orang” atau “keras kepala” dan sejenisnya. Namun, tak ada deskripsi peristiwa yang dapat jadi referensi pembaca untuk ikut membenarkan si Awang. Lalu, seolah tanpa ada konflik/perdebatan yang lebih luas dan tajam, akhirnya Mak (Ibunya Awang) dengan agak berat hati mengizinkan Awang pergi merantau.
 
Proses perjalanan Awang menyinggahi satu daerah ke daerah yang lain hingga mendapatkan gelar parjurit laskar hulubalang raja inilah yang nampak menjadi fokus cerita dalam novel Nubuat ini. Mulai dari kota Bandarnibung, lalu ke kota pelabuhan bernama Nemopolis, kemudian kota persinggahan dan dikenal dengan kota para pujangga Wadi Awaliyah, menuju ke kota besar di tengah padang pasir bernama Oasis Nikmah, dan terakhir ke kota indah Metrozamrud tempat di mana Yang Mulia Sultan Maulana bertahta. Lalu, bagaimana dengan kata “nubuat” yang menjadi judul dari novel ini? Bagaimana keterkaitannya dengan kota-kota itu? Siapakah pemilik nubuat tersebut?
 
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “nubuat” berarti wahyu yang diturunkan kepada nabi (untuk disampaikan kepada manusia), atau boleh juga berarti ramalan. Saya kira, dalam konteks novel ini, agaknya arti yang kedua lebih tepat. Dan pengarang sendiri, juga sempat menderetkan kata “dinubuatkan” dengan kata “dinujumkan/ditakwilkan/diramalkan” (hal. 238).
 
Nubuat yang tertera dalam novel ini lebih berbentuk semacam syair, yang terdiri dari empat bait yang mewakili empat nubuat. Karena “nubuat” ini dapat dikatakan sebagai intisari dari sejumlah peristiwa dalam novel ini, ada baiknya saya kutipkan secara lengkap.
 
Nubuat pertama: “Pada purnama merah jelaga/Kayu-kayu bersilang membara/Pada sebuah kota peniaga/Dari sebuah ladang kopra.” Nubuat kedua: “Pada purnama pagi cemerlang/Angin dan air saling bersilang/Pada sebuah kota yang terang/Membuang segala belang berbilang.” Nubuat ketiga: “Pada purnama gelap sudah/Batu dan pasir bertikai-sungsang/Pada sebuah kota bermadah/Hilang tiang hilang sagang.” Nubuat keempat: “Pada purnama ketiga belas/Berkatalah sang pujangga di depan tahta/Tentang hati yang sungsang penuh bara/Khianat tiada terkira-kira!/Sayang Laksamana, bersiap merayakan kekalahannya/Pada sebilah pedang bertanjak emas.”
 
Empat nubuat ini kemudian dinamakan sebagai Nubuat Temberang. Karena yang menulis nubuat ini adalah seseorang yang bernama Temberang. Tokoh ini sempat menyebut nama lengkapnya ketika berkenalan dengan pemimpin serombongan kafilah dengan Temberang bin Tembung. Seorang tokoh yang kemudian bersahabat dengan si Awang, selama hampir sebagian besar masa perjalanan. Awang bertemu dengan Temberang ketika berada di Wadi Awaliyah. Yang dengan banyak serba kebetulan, Awang dan Temberang terus bersama melakukan perjalanan hingga sampai ke kota Metrozamrud.
 
Nah, Nubuat Temberang ini setiap baitnya seolah menjadi semacam ramalan nasib yang akan menimpa negeri yang disinggahi oleh Temberang. Misalnya, negeri Bandarnibung yang terletak di atas rawa-rawa hampir musnah terbakar, kota Nemopolis dilanda Tsunami (meski penulis sendiri tak menyebutnya begittu), kota Wadi Awaliyah terbenam di bawah timbunan batu dan pasir, dan kuil-kuil zagaru di kota Wadi Hidayah banyak bertumbangan. Demikianlah, sosok Temberang kemudian menjadi sosok yang sangat dicari-cari oleh orang-orang yang negerinya telah porak-poranda oleh nubuat. Mereka marah dan menuduh bahwa Temberang adalah pembawa malapetaka.
 
Selain itu, dalam perjalanan menuju Oasis Nikmah, Temberang dan Awang yang juga bersama serombongan pedagang dari Bandarnibung yang kebetulan bertemu, sempat tertawan oleh sekawanan penyamun. Episode ini juga adalah awal pertemuan dan (langsung jatuh hati) Awang pada seorang perempuan bercadar bernama Hara. Mereka semua dibebaskan setelah serombongan orang dari Metrozamrud yang dipimpin oleh seorang bernama Talon. Tersebab rombongan ini dulu pernah mengalahkan penyamun, dengan melumpuhkan pemimpinnya, maka kini merekalah yang memimpin, dan berupaya membawa para penyamun ke jalan yang benar. Talon, adalah sosok protagonis yang kelak ikut menyelamatkan Sultan dari rongrongan makar yang dilakukan oleh Durona, seorang panglima hulubalang.
 
Keberadaan Temberang dan Awang di kerajaan saat terjadinya proses makar itu, rupanya turut membantu melumpuhkan kelompok Durona. Dan Awang, pada sebuah kesempatan (yang nampaknya banyak serba kebetulan) dapat menikamkan pedang ke tubuh Drona di saat ia sedang lengah. Peristiwa inilah yang membuat Awang dianugerahi sebagai kepala prajurit penggawa istana. Lalu, Awang pun pulang kampung menemui Mak-nya, dan berakhir dengan happy-ending, dapat kawin dengan Hara, yang ternyata adalah Zahara, perempuan yang dulu sempat dijodohkan dengannya.
 
Novel Antah-berantah
 
Jika cara baca saya terhadap novel ini merujuk kepada apa yang telah saya paparkan di awal tulisan ini tentang keinginan saya untuk mendapatkan “realitas autentik” sekaligus hendak menyelami makna tekstual, dan makna referensial/kontekstual, maka saya akan berhadapan dengan lanskap-lanskap “realitas” yang serba kabur. Upaya saya berkali-kali membuka “pintu-pintu” peristiwa untuk dapat masuk ke dalam makna/nilai yang lebih luas yang terkandung dalam novel ini, dan menjejak ke sebuah akar kebudayaan tertentu, saya selalu tak berhasil. Maka di sini, saya hendak menunjukkan beberapa soal, yang menurut saya, menjadi sebab ketidakberhasilan saya itu.
 
Pertama, soal ke mana akar sosial-kultural dalam novel Nubuat ini hendak dirujuk, sehingga saya/kita dapat menemukan “realitas autentik” itu? Awalnya, saya hampir percaya bahwa novel ini menempatkan “Melayu” sebagai sebuah rujukan dasar untuk memberi sentuhan “lokal” (bahkan mungkin tawaran estetika) dengan berbagai problematikanya. Awalnya, saya juga hampir percaya dengan salah satu komentar di belakang kulit sampul novel ini yang menyatakan bahwa, “…ingin mengenal lebih dalam budaya Melayu yang menyimpan nilai-nilai ‘cerdik cendekia’…..” Namun, setelah membaca novel ini, saya justru merasakan Melayu sebagai sebuah entitas kebudayaan, pun peradaban besar, menjadi tak terjangkau nilai-nilainya, menjadi rumpang gagasan-gagasannya, bahkan sangat lemah akurasi empiriknya.
 
Yang menjadi sebab terbesar sehingga hal ini terjadi, saya kira adalah bahwa pengarang tidak menghadirkan deskripsi referensial yang memadai (apalagi detil) tentang sebuah realitas yang dipaparkan. Tidak tampak demikian meyakinkan pembaca, bahwa persoalan yang diusung pengarang adalah persoalan dengan latar belakang dari sebuah kebudayaan yang dikenalkan secara komprehensif. Maka, fakta ini secara tak langsung juga, menampik pernyataan dari salah satu komentar yang lain, yang juga tertera di belakang sampul novel ini, berbunyi, “…jika detil yang diinginkan, novel ini akan memberikannya.”
 
Hemat saya, simbol ke-Melayu-an dalam novel Nubuat sesungguhnya demikian banyak bertebaran. Namun simbol-simbol itu seolah hadir sebagai “dirinya sendiri” yang tidak berdaya untuk membangun jaringan/relasi secara proporsional dengan peristiwa, sehingga ia lebih terkesan sebagai asesoris yang tak menunjukkan eksistensi nilainya yang penting. Simbol Melayu “Tanjak” misalnya, yang dibawa/dipakai tokoh Awang merantau tidak kemudian menjelaskan identitas.(bersambung)
***

*) Sastrawan dan pengajar di Akademi Kesenian Melayu Riau. Bersama beberapa teman mengelola Sekolah Menulis Paragraf di bawah Yayasan Paragraf. Tinggal di Pekanbaru. http://sastra-indonesia.com/2009/03/di-manakah-kedalaman-novel-nubuat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah