Jumat, 16 Juli 2021

‘Elite Indonesia Merendahkan Bahasanya!’

Ajip Rosidi
Pewawancara: Muhammad Subarkah
Republika, 28 Juni 2011
 
AJIP Rosidi adalah sastrawan terkemuka Indonesia yang lahir pada 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Ia menulis secara otodidak semenjak usia 14 tahun. Penerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Padjadjaran, Bandung, ini juga disebut sebagai sastrawan Indonesia paripurna. Selain itu, dia juga telah membuktikan diri sebagai juru bicara mengenai kebudayaan Indonesia di luar negeri, terutama ketika dia mengajar di berbagai universitas di Jepang selama 22 tahun. Ajip juga menjadi ketua Yayasan Rancage yang semenjak tahun 1988 setiap tahunnya memberikan penghargaan kepada para sastrawan yang menulis dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Bali.
 
Dalam wawancara ini, Ajip menumpahkan kegelisahannya mengenai nasib bahasa Indonesia ke depan. Menurut dia, elite Indonesia merendahkan bahasa nasionalnya. “Mereka minder atau takut dianggap bodoh ketika menyampaikan pikirannya dengan bahasanya sendiri!”
 
Sekarang ada kecenderungan dalam acara kenegaraan resmi setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya, pemimpin negara malah berpidato bahasa Inggris, apa pendapat Anda?
 
Sekarang ini, ada keadaan yang buruk, para pejabat dan kaum intelektual kita, apalagi kaum selebriti, memakai bahasa gado-gado, atau bisa disebut bahasa gaul dengan logat Jakarta. Ini jelas menunjukkan posisi intelektual mereka seperti apa sebenarnya. Mereka gemar memakai kata atau kalimat-kalimat bahasa Inggris. Padahal, itu tidak perlu. Sebab, ini hanya menunjukkan bahwa bahasa nasionalnya tidak mampu mewadahi ekspresi pikiran dan perasaan dia.
 
Tindakan itu jelas merendahkan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia sudah terbukti dapat dipakai sebagai bahasa untuk menulis tentang ilmu apa pun juga. Jadi, mereka seharusnya kini sudah punya kemampuan berbahasa Indonesia yang tinggi. Apalagi, pada kenyataannya, setengah abad yang lalu, pada tahun 50-an, ada mata pelajaran atau kuliah yang tidak bisa diberikan dengan bahasa Indonesia. Saat itu, karena pengajarnya guru-guru besar bangsa Belanda, mahasiswanya harus belajar bahasa Belanda. Saat itu, misalnya, ada guru-guru khusus untuk menolong mahasiswa ketika harus membaca teks-teks kuliah berbahasa Belanda. Itu terjadi pada mahasiswa hukum.
 
Tapi, sekarang hal itu tidak perlu lagi. Mau kuliah apa pun dengan mempelajari ilmu apa pun bisa dilakukan dengan bahasa Indonesia. Dari segi ekspresi seni, sekarang karya sastra Indonesia sudah diakui di dunia internasional. Jadi, bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa sastra juga.
 
Mengapa pada situasi seperti ini banyak pejabat atau elite kita berbicara memakai bahasa gado-gado? Apakah ini karena dibelit rasa minder?
 
Di antaranya, ya karena minder itu. Mereka merasa rendah diri dan tidak ingin ketahuan bila tidak bisa mengucapkan kata-kata Inggris yang akibatnya takut dianggap bodoh. Karena dia menganggap bahasa Indonesia tidak dapat mewadahi ilmu, padahal kenyataannya itu bisa. Ini memang terjadi karena dia tidak membaca karya-karya ilmu yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Misalnya, mereka tidak mengikuti karya sastra Indonesia yang dikagumi oleh negara lain.
 
Selain itu, mereka berbicara dengan bahasa gado-gado, ya karena pelajaran bahasa Indonesia, baik tingkat dasar sampai tingkat akhir, banyak yang salah. Kalau saya baca buku-buku pelajaran kelas enam sekolah dasar, misalnya, di sana siswa diharuskan tahu mengenai apa itu subjek atau predikat. Nah, padahal, apa gunanya. Yang penting kan siswa sekolah dasar itu dalam pelajaran bahasa Indonesia harus dididik supaya bisa mengemukakan pikiran dan perasaannya dengan bahasa itu. Untuk itu, harus ada contoh-contoh. Dan, contoh-contoh yang terbaik itu ada dalam karya sastra.
 
Ironisnya, di sekolah-sekolah kita tidak ada perpustakaan yang lengkap. Kalaupun ada, koleksinya pun bukan buku-buku sastra. Ini karena penyediaan buku oleh pemerintah untuk sekolah tidak berdasarkan mutu buku itu. Tapi, berdasarkan pada komisi proyek buku itu berapa besarnya.
 
Terus terang, gaya berbahasa elite kita memang memprihatinkan. Di televisi, saya melihat ada seorang anggota parlemen Ruhut Sitompul yang menyebut Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebutan si Mahfud. Ini kan menghina. Itu artinya, sewaktu di sekolah dasar tidak diajari gurunya bahwa kata si itu tak boleh dipakai sembarangan di depan nama orang, apalagi dilekatkan kepada nama ketua lembaga tinggi negara. Ini menegaskan, bila dia itu bukan hasil dari pendidikan bahasa Indonesia yang baik. Dan sayangnya, ini dia lakukan berulang-ulang. Padahal, ini tidak pantas diucapkan sebagai seorang anggota parlemen yang terhormat.
 
Menurut Anda, seperti apa perhatian pemerintah dalam penggunaan bahasa Indonesia sekarang ini? Apakah malah menganggap hal ini tidak penting?
 
Pemerintah Republik Indonesia semenjak berdiri memang tidak pernah menganggap kebudayaan itu penting. Tak peduli saat zaman Soekarno, Soeharto, atau hingga sekarang, perhatian itu juga tak ada. Sekarang, kebudayaan dianggap sebagai komoditas yang bisa dijual dan dilakukan dengan pariwisata. Dahulu, kebudayaan disatukan dalam departemen pendidikan. Di situ, kebudayaan hanya embel-embel serta dianggap tidak penting. Zaman Presiden Abdurrahman Wahid, kebudayaan dipindahkan ke departemen pariwisata. Ini lebih gila lagi karena kebudayaan dianggap barang jadi yang bisa dijual. Jadi, Pemerintah Indonesia tidak pernah menganggap sebagai hal yang penting.
 
Dahulu, ada ide harus ada menteri kebudayaan khusus. Saya waktu itu sudah mengatakan itu bukan jalan keluar. Sebab, kalau didirikan lagi, ada kementerian kebudayaan yang nanti berkembang bukan ke kebudayaan, melainkan korupsi. Kementerian malah hanya menjadi sarang korupsi baru.
 
Anda pernah 22 tahun tinggal dan mengajar di Jepang. Bagaimana penghargaan pemerintah di sana terhadap bahasa mereka?
 
Ya, sebetulnya juga tidak terlalu istimewa. Di negara-negara lain yang maju, semuanya memang berbuat sama dengan Jepang. Mereka menganggap pelajaran bahasa itu penting. Bahkan, di Jepang, kemampuan berbahasa Jepang menjadi syarat yang sangat penting meski orang Jepang juga mempelajari bahasa asing. Tapi, ada satu hal yang di sana menjadi sangat penting. Hal itu adalah semua ilmu atau semua karya sastra yang istimewa ada dalam bahasa Jepang. Kadang-kadang, bila di Jepang akan diterbitkan buku yang penting dari Amerika Serikat, buku itu terbit bersamaan dengan terjemahannya dalam bahasa Jepang.
 
Jadi, orang yang bisa membaca karya aslinya bersamaan dengan terbitnya karya terjemahan buku tersebut. Mereka sangat yakin bahwa bahasa Jepang cukup untuk membuat orang berbudaya. Akibatnya, di sana, bila ingin menjadi seniman, budayawan, ilmuwan, maka orang-orang Jepang itu cukup dengan menggunakan bahasanya saja. Begitu juga dengan orang Cina, Inggris, dan Prancis pun seperti itu: bangga akan bahasanya dan antusias menerjemahkan buku asing.
 
Namun, kita kan tidak. Dahulu, Pak Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, penerjemahan karya sastra dan ilmu dari bahasa ke bahasa Indonesia adalah hal yang mutlak. Bahkan, dia sempat mengusulkan perlunya pembentukan lembaga penerjemahan. Namun, ini tidak pernah dipedulikan oleh pemerintah sehingga Pak Takdir pernah mengatakan, “Kalau begini situasinya, maka lebih baik bahasa Inggris dijadikan saja bahasa nasional di Indonesia. Ini supaya bangsa Indonesia bisa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.” Ya, sampai sebegitu besar rasa kecewanya Pak Takdir itu.
 
Melihat situasi yang berkembang menyedihkan itu, orang suka bicara gado-gado dan papan reklame ramai ditulis dalam bahasa Inggris, apakah menurut Anda bahasa Indonesia ke depan masih bisa bertahan?
 
Kalau dibiarkan seperti ini, bahasa Indonesia akan bernasib seperti bahasa ‘PGN’ Inggris (bahasa Inggrisnya orang Papua Nugini). Nah, sekarang bagaimana kita sendiri menyikapinya.
***

http://sastra-indonesia.com/2011/07/elite-indonesia-merendahkan-bahasanya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah