Jumat, 23 Juli 2021

Misteri Syahrazad dan Matinya Para Pendongeng

Faisal Kamandobat
senimana.com
 
PADA malam kelabu di masa kanak-kanak, ketika hantu-hantu dalam khayalan kita bermain layaknya badut-badut yang menyeramkan, kita sering meminta bantuan ibu kita untuk mengusir hantu-hantu itu. Ibu kita tak akan mengmbil tindakan gila dengan memberi anaknya sebuah kapak, tetapi memberi kata-kata yang disusun dalam dongeng yang penuh jebakan. Hantu-hantu itu pun lari terbirit-birit, takut pada kata-kata ibu kita; kata-kata murni yang menyimpan tenaga luar biasa, nyaris sama dahsyatnya dengan bom atom bikinan ilmuwan eksentrik yang beruntung.
 
Kata-kata dalam dongeng, itulah rahasia di balik kecerdikan Aladdin menyelamatkan diri dari muslihat penyihir jahat, senjata rahasia Syahrazad selamat dari ancaman Syahjehan, dan mantra misterius yang membuat unta milik Ali Bhaba bisa bersikap sama bijaknya dengan seorang filsuf yang menyamar menjadi seekor binatang. Dalam kantuk yang berat kita terus memikirkan kata-kata hebat dari Kisah 1001 Malam itu. Begitu dongeng berhenti ibu kita segera melepas bermacam fantasi dari alam pikirannya, keluar dari alam dongeng yang baru dikisahkannya, sambil mengusap wajah kita dengan khidmatnya.
 
Kata-kata seorang pendongeng memang tidak mampu mengubah mineral menjadi anggur, tapi mampu mengubah perasaan dan pikiran manusia. Komunikasi yang dibangun melalui dongeng tidak hanya sanggup mengusir hantu-hantu pengancam akal murni seorang bocah, tetapi mampu membentuk karakter, wawasan dan kosmos secara kreatif, pada diri narator dan pendengarnya. Terciptalah sebuah evolusi kesadaran yang dicipta melalui aktivitas berbahasa yang konstitutif dalam tinjauan fenomenologis dan komunikatif menurut bidang performasi-artistik.
 
Kejutan besar dalam model komunikasi dongeng adalah tiadanya gangguan walau seberapa besar kejutan dihadirkan: dongeng, yang merupakan genre sastra paling radikal dalam mengolah realitas berdasarkan fantasi, mampu menghadirkan efek dramatik melalui bahasa literer yang alamiah, nyaris setingkat dengan bahasa sehari-hari. Sifat dongeng ini membuka peluang bagi manusia dengan intensi sastra terbatas seperti ibu kita untuk menjadi seorang kreator bahasa yang elegan dan independen,karena bekerja di luar pengawasan badan estetika bernama kritikus sastra.
 
Kita boleh menuduh ia, ibu kita sang pendongeng, tidak orisinal karena menggubah dongengnya dari Kisah 1001 Malam. Namun itu keliru, karena menggubah adalah pekerjaan yang sarat kretivitas, baik bahasa maupun interpretasi. Di samping itu, kerja mendongeng ibu kita menunjukan posisi kreatifnya yang lain, yaitu sebagai Promotheus yang mencuri api-sastra dari tungku peradaban untuk menerangi nalar anak-anaknya yang masih dungu, sekaligus sebagai penyambung satu peradaban dengan peradaban lain dan penghubung dunia masa-lalu dengan masa-kini dalam bentuk pengalaman lingustik yang kongkret. Bila dunia sastra modern menyingkirkan para pendongeng sebagai Promotheus-nya, ia akan kehilangan akses dan investasi kultural yang besar dan strategis.
 
Terlebih sifat tekstual sastra modern, yang terbentuk sejak mesin-cetak Guttenberg, membuat ia semakin dibatasi abjad dan kertas sehingga pasif dalam berkomunikasi dengan pembaca, personal dan terutama kolektif. Hubungan semacam itu tidak terjadi pada dongeng, di mana narator dan pendengar dapat berkomunikasi dan membentuk cerita secara langsung dan bersama-sama. Dengan duduk dan diteruskan sebagai dongeng, karya sastra akan membentuk diskursus yang langsung berhubungan dengan nilai-nilai historis dalam kehidupan sehari-hari, untuk kemudian menjadi media pengangkat dan penyaring nilai-nilai tersebut. Sastra sejati tidak berhenti sebagai teks di atas kertas, karena hakikat sastra adalah membaca dan menulis dengan menghadirkan alam subjektif (personal) ke dalam alam objektif (sosial) melalui kerja permainan berbahasa, agar makna-makna tidak membeku dalam kungkungan kuasa normativitas yang menahan gerak Heraklian dinamika manusia.
 
Pola komunikasi dongeng semakin terbuka untuk dihadirkan dalam konteks sosial kekinian, di mana gagasan dominan di ruang publik dikuasai aparatus ekonomi dan politik, dan bahasa telah menjadi agen penyebarannya yang paling progresif. Setiap kata, baik di pikiran maupun yang lidah kita, adalah instrumen pereduksi kesadaran dari gagasan dominan itu. Dongeng memang tidak mampu mengubah dunia sekuat rekayasa sosial para pemimpin politik, namun setidaknya dapat membuka kemungkinan dialog dengan nilai-nilai yang telah dibunuh dan makna-makna yang telah menjadi fosil atau abu. Dongeng menghidupkan spirit berbahasa yang telah mati, yang jika diolah kembali berdasarkan prespektif yang canggih bukan mustahil akan menghasilkan formula baru dalam cara kita memandang dan membentuk dunia.
 
Maka biarkan ibu kita menjadi pendongeng, menjadi aktris, menjadi seniman karakter dan bahasa. Dongeng adalah drama yang dipentaskan bukan di atas panggung, tapi di atas kehidupan. Seperti drama, terlibat dalam dongeng mengangkat posisi kita ke alam transenden, di mana nilai-nilai yang mengikat kita dapat diteliti, diubah dan diperankan. Dongeng tak ubahnya laboratorium manusia di mana impian, gagasan, dan karakter diobservasi di kamar bedah imajiner, kemudian diterapkan dan dilepas kembali ke habitatnya di alam nyata.
 
Dongeng, menyebut salah satu buah terbaiknya, dapat ditemui pada Kisah 1001 Malam. Kebudayaan Arab yang berkembang melalui pola hidup nomaden di padang pasir amat membutuhkan bahasa sebagai sumber kekuatan mental bertahan hidup. Penyair dan pendongeng memiliki posisi sentral di dalamnya (bahkan dalam kronik sejarah disebutkan terdapat sebuah suku yang seluruh anggotanya adalah penyair). Melampaui fungsinya sebagai pelecut semangat mengembara dan perang antar suku, mereka memiliki peran politik, estetika, spiritual, bahkan mistis. Sebuah kebudayaan di mana realitas dan imajinasi menyatu dalam bahasa dan mengental dalam kognisi, afeksi dan aksi di lapangan historis.
 
Sumber-sumber energi dan inspirasi dari geo-budaya yang muncul di masa kemudian hadir sebagai formula penyegar bahasa dengan filosofi dan spritualitas. Agama Yahudi dan Kristen yang telah hidup lama di Arab patut disebut sumbangannya, diteruskan agama Islam yang dibawa seorang nabi dari golongan Arab tulen sehingga berhasil menjadi sumber energi dan inspirasi yang relatif dominan. Pada saat yang sama komunikasi budaya antar suku, agama, dan geografi memberi sumbangan unik yang tidak kecil, yang cita-rasanya dapat kita rasakan sampai hari ini.
 
Di atas landasan yang luas dan kokoh itulah Kisah 1001 Malam lahir, tumbuh dan berkembang. Dengan sumber yang berlimpah ia memiliki banyak kemungkinan untuk terus dieksplorasi, di mana setiap pendongeng memiliki kebebasan memberi sentuhan variasi, baik pada bahasa (style) maupun isi (content). Sedang pola hidup nomaden padang pasir, yang meniscayakan mobilitas sosial terus-menerus, menjadi mesin penyebarannya yang efektif sekaligus menyatukan bangsa Arab berdasarkan spirit berbahasa yang kuat.
 
Satu hal yang sering menjadi pusat perhatian dalam dongeng legendaries ini adalah siapakah yang mencipta dongeng-dongeng yang dikisahkan Syahrazad kepada Syahjehan selama seribu satu malam. Padahal “misteri Syahrazad” ini ibarat “lubang hitam” yang membidani kelahiran dan pertumbuhan dongeng monumental ini secara terus-menerus, di mana dengan menihilkan klaim kreator atasnya berarti dongeng ini membuka kesempatan kepada siapa saja untuk menjadi kreatornya, pendongengnya, dengan memberi sentuhan kreartif atasnya. Jadi, bila Nietzsche pernah menulis bahwa setiap orang adalah filsuf menurut kapasitasnya masing-masing, Kisah 1001 Malam mengatakan bahwa setiap orang adalah pendongeng menurut ukuranya masing-masing.
 
Bagi akal literar pengemar teka-teki, “misteri Syahrazad” setidaknya mengandung dua hal yang petut dicurigai. Pertama, hubungan penuh jebakan antara Syahrazad dan Syahjehan, antara Syahjehan dengan Syahrarar (yang hendak membunuhnya namun selalu gagal karena Syahjehan selalu terjaga di malam hari untuk mendengar dongeng-dongeng Syahrazad), dan Syahrazad dan dongeng-dongengnya.
 
Masing-masing hubungan itu membuka kemungkinan dalam bermain-main plot demi menghasilkan struktur cerita yang kuat dan canggih. Dan plot tak sekedar plot itu sendiri. Plot mengandaikan aktus manusia dalam menjalani berbagai peristiwa, yang di dalamnya terdapat hubungan dengan waktu, baik waktu astronomis-kosmis maupun historis-antropologis. Pertemuan dua model waktu ini, ditambah kedalaman dalam mengeksplorasi psikologi para tokoh cerita, akan menghasilkan ruang eksperimen yang luas dalam kerja kreatif para pendongeng.
 
Kedua, hubungan pendongeng (narator) dengan dongengnya. Hubungan ini polarisasinya ditentukan oleh faktor idealis di mana pendongeng biasa menyusupkan sebentuk gagasan kepada pendengarnya. Gagasan itu dapat dihasilkan misalnya dengan membuka hubungan literer dengan tradisi intelektual dan spirit di luar dongeng itu sendiri. Maka bukan sesuatu yang muskil jika seorang teolog menjadikan keselamatan Syahrazad sebagai ilustrasi campur-tangan Tuhan terhadap hidup-matinya segala-sesuatu, atau seorang penguasa menjadikannya untuk menunjukkan adanya legitimasi ilahiat terhadap kekuasannya. Hubungan yang sama dapat dilakukan seorang astronom, filsuf, mistikus, atau seorang pecinta yang gigih.
 
“Misteri Syahrazad” seakan hendak mengatakan bahwa dengan ketrampilan bercerita kelas satu, ditambah kegilaan berkhayal dalam dosis yang tepat, kehidupan seseorang pendongeng, mengingat bobot dan spektrumnya, adalah sebuah potret spesifik yang menarik untuk diolah dalam tradisi dan cita-rasa sastra modern. Dan inilah yang dilakukan oleh Salman Rushdie dalam Haroun and The sea of Stories dan Naguib Mahfouz dalam Alfu Laila wa Laila wa al-Nahr.
 
Namun Kisah 1001 Malam, yang lahir dari kebudayaan Arab, mungkin tidak menarik bagi seorang esensialis kepala batu, yang mempercayai keaslian budaya suatu bangsa dengan mengabaikan hubungan saling mempengaruhi dengan budaya bangsa lain. Namun tak seorang pun dapat mengingkari kekuatan literer dan komunikasinya, baik antara narator dan pendengarnya, manusia dan dunianya, maupun bangsa dan kebudayaannya.
 
Dan hilangnya kekuatan komunikasi itulah yang membuat kita tak bisa menyelamatkan Serat Centhini dari kesadaran orang Jawa sekarang, La Galigo dari kesadaran orang Sulawesi kini, atau Ramayana dan Mahabrata ketika para dalang semakin kalah pamor dari Doraemon dan Tom and Jerry. Sebelum semua itu menjadi fosil dari praktek politisasi budaya yang orientasinya kelewat ekonomistik, pada dasarnya kita telah ikut melenyapkannya sejauh bahasa yang membentuk dunia kita tetap dibiarkan kehilangan konsentrasi historis dan fenomenologis terhadap dunia yang secara kosmik belum terakses bahasa Indonesia, namun secara praktis menjadi bagian sehari-hari kita; singkatnya, semua itu ada, namun tidak lagi hidup dalam batin kita, karena substansinya tak lagi terakses bahasa yang membentuk kesadaran kita.
 
Dan “misteri Syahrazad” adalah permaian bahasa yang dapat dijadikan cermin atau bahkan terapi untuk mengolah berbagai fosil nilai dan makna dalam kebudayaan kita, setidaknya agar kita tidak bersikap mentah terhadap nilai-nilai dan makna-makna itu. Siapa pun terikat komitmen untuk mengolah fosil-fosil itu, karena setiap orang pada-dasarnya adalah “ibu” yang melahirkan bahasa –media untuk mendongeng, tanda eksistensi humaniora, dan layar pengungkap dunia di mana manusia hidup dan mati.

26 April 2011 http://sastra-indonesia.com/2011/09/misteri-syahrazad-dan-matinya-para-pendongeng/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah