Rabu, 21 Juli 2021

Sastra Cyber Eksklusivitas Apa?

TS Pinang
facebook.com/ca.fes1
 
Membaca tulisan penyair Binhad Nurrohmat (BN), Sastra Cyber: Menulis Puisi di Udara (Republika Minggu, 22 Juli 2001), mengingatkan saya pada beberapa tulisan interogatif dan asertif, kadang iritatif, yang muncul menanggapi kehadiran sastra cyber di kehidupan sastra Indonesia kontemporer. Meskipun dalam tulisannya BN juga mengakui potensi medium cyber, kelihatannya BN memposisikan dirinya dalam kelompok yang sinis terhadap sastra cyber dan cuma mengulang asersi-asersi yang telah ditulis orang sebelumnya. Tulisan kecil ini akan mencoba menanggapi tulisan BN tersebut dengan melihat sastra cyber secara lebih positif dan, kalau bisa, tanpa paranoia.
 
Baiklah kita mulai saja dengan “terminologi mewah” (istilah BN) itu: sastra cyber (menurut kaidah pembentukan istilah Bahasa Indonesia mestinya ditulis “cyber”, bukan “saiber”). Penggunaan istilah sastra cyber sendiri sudahlah jelas dan gamblang menyatakan jenis medium yang dipakai: medium cyber, persis sama halnya dengan istilah sastra koran, sastra majalah, sastra buku, sastra fotokopian/stensilan, sastra radio, sastra dinding, dan sebagainya tinggal anda sebut saja. Jadi semua tulisan sastra yang dipublikasikan melalui medium cyber bolehlah disebut sastra cyber, termasuk ketika misalnya puisi BN dimuat di harian Republika kemudian bisa saya baca di koran tersebut dalam versi online (www.republika.co.id). Pertanyaan berikutnya yang sering mengekori penggunaan istilah sastra cyber adalah masalah estetika atau “nuansa estetika” yang menurut BN tidak seperti sastra koran dan sastra majalah yang “memiliki nuansa estetika yang esensial dan bisa diukur”. Tidak jelas juga nuansa estetika yang bagaimana yang dimaksud BN itu. Adakah sebenarnya sastra koran dan majalah memang mengusung gagasan sebuah nuansa estetika yang esensial dan bisa diukur, yang orisinal?
 
Berikutnya, saya cukup terganggu dengan istilah “eksklusif” yang dipakaikan kepada sastra cyber. Medium cyber dengan segala kelebihan dan kekurangannya dibandingkan media cetak memang inkonvensional, tetapi jelas tidak eksklusif. Mungkin yang dimaksud eksklusif oleh BN ialah “kendala” prasyarat teknis yang harus dipenuhi seseorang untuk bisa memasuki dunia cyber, yang sebenarnya tak sesulit atau semahal yang dibayangkan. Seseorang toh tak harus memiliki seperangkat komputer sendiri untuk mengakses internet. Namun, benarkah dunia cyber itu eksklusif dalam artian menutup pintu rapat-rapat bagi “orang luar” untuk masuk? Masuklah ke dunia cyber, jangan hanya mengintip, maka anda akan tahu betapa inklusifnya dunia cyber itu. Bandingkan saja dengan komunitas-komunitas sastra di “darat” atau “eksklusivitas” prestise sebuah halaman budaya di suatu koran misalnya. Egalitarian, kebebasan individu, demokrasi yang ditawarkan medium cyber serta kelapangannya dalam mengakomodasi segala jenis manusia dan ragam karya di dalamnya tanpa adanya pintu-pintu terkunci jelas tak bisa dikatakan eksklusif, justru sebaliknya.
 
Sebagai medium alternatif teknologi jejaring (internet) memang menawarkan banyak keunggulan dibandingkan media cetak. Namun juga perlu disadari bahwa ia juga mengandung kelemahannya sendiri. Karena kelemahannya yang inheren maka medium cyber pun suatu ketika pasti membutuhkan media alternatif, sebagaimana koran cetak merasa perlu hadir juga di dunia cyber. Jika di dunia cyber suatu teks puisi misalnya bisa direvisi setiap saat (bandingkan dengan typho(s) atau salah cetak yang permanen di media cetak koran atau buku) dan juga bisa ditanggapi langsung maupun setengah-langsung oleh pembacanya di seluruh dunia, maka untuk membaca puisi atau cerpen sambil duduk di kakus orang akan memerlukan buku, koran atau majalah, atau sebuah komputer mini seukuran telapak tangan.
 
Alternatif itu berarti pilihan, dan pilihan atas media suatu karya sastra sangat tergantung faktor yang melatarbelakanginya. Selama suatu karya sastra masih berupa teks biasa, maka media alternatif yang bisa dipakai selain internet tentulah media cetak. Ketika suatu karya berupa hiperteks, audio-visual, animasi teks dan semacamnya, maka medium alternatif yang bisa dipakai mungkin berupa disket atau CD-ROM. Bukankah ini juga terjadi di dunia cetak? Pertanyaan yang sama atas publikasi lintasmedia yang dilakukan oleh pegiat sastra cyber pun bisa diajukan kepada sastrawan koran/cetak yang menerbitkan karya-karya mereka di internet (Hamid Jabbar, Taufiq Ismail, Afrizal Malna, Ngarto Februana, untuk menyebut beberapa nama) atau justru kepada koran itu sendiri ketika mereka juga terbit secara online. Karena itu asersi BN atas penerbitan karya-karya puisi di internet ke dalam bentuk buku seolah sebagai ekspresi dari ketidakpercayaan diri para penggagas sastra cyber dengan mediumnya sendiri, atau seperti lebih seram lagi diungkapkan oleh Bersihar Lubis dalam artikelnya Rezim Sastra pun Cemas (GAMMA, 16-22 Mei 2001) sebagai “pengkhianatan”, hanya dapat mengundang senyum maklum saya sambil membayangkan ruang-ruang terisolasi yang dingin, eksklusif.
 
Semua sastrawan secara individual harusnya terus bergulat menggali potensi dirinya sendiri dengan media apapun yang dikuasainya. Isolasi ruang gerak sastrawan berdasarkan media yang digunakan tak akan membawa manfaat apa pun, justru kontraproduktif. Justru semestinya sastrawan bisa bergerak di segala media, baik cetak maupun elektronik. Apakah seorang penyair yang biasa menulis puisi di atas kertas wangi lantas akan turun mutu puisinya ketika ia menuliskannya di atas dinding toilet? Kalau seorang penyair hanya bisa mengungkapkan kegelisahan remaja mencari jati dirinya atau kecengengan romantis-emosional tentu bukan karena medianya melainkan karena baru sejauh itulah perjalanan puitik penyair tersebut. Sayang sekali BN tidak menunjuk karya-karya mana yang dimaksud sebagai “ekspresi dangkal tentang pemberontakan remaja dalam mencari jati diri” atau “hasrat cinta yang tak sampai” itu. Kalau BN lebih cermat melihat seluruh karya di Cybersastra.net, saya rasa ia tak akan gegabah menyamaratakan penilaian atas “kualitas” karya-karya tersebut. Berikutnya, penilaian-penilaian seperti ini hanya akan membawa kita ke perdebatan tentang apa sebenarnya puisi itu, atau siapa yang boleh atau tidak boleh disebut sebagai penyair, dan seterusnya.
 
Menggeneralisasikan kualitas karya di sastra cyber hanya dari satu-dua karya ditambah dengan presumsi apriori terhadap nama-nama penulisnya yang belum dikenal di dunia sastra sungguh tidak objektif dan semena-mena. Puisi tetaplah puisi, baik ia ditulis oleh seorang penyair “sufi” maupun seorang ateis pemabuk, seorang sarjana sastra maupun seorang juru masak. Di dunia cyber yang bukan penyair pun boleh ambil bagian. Sejauh ini belum ada satupun studi kritis atas karya-karya sastra di internet yang tak terhitung jumlahnya itu. Di situs Cybersastra sendiri sampai saat tulisan ini dibuat sudah ada 2.230 judul puisi (selalu bertambah setiap hari) yang telah dimuat. Apakah semua karya tersebut rendah kualitasnya? Pertanyaan tersebut bisa juga berbunyi: apakah semua karya yang dimuat di koran dengan seleksi ketat redaktur itu (dijamin) tinggi kualitasnya?
 
Tuduhan terhadap sastrawan cyber sebagai sastrawan “pelarian” yang gagal mempertaruhkan nasibnya di media cetak rasanya terlalu menghakimi dan sangat discouraging. Paling tidak, sastrawan cyber menulis secara mandiri dengan konsep “estetika” masing-masing tanpa harus takut pada gunting tajam sosok redaktur. Apakah seorang Hamid Jabbar atau Afrizal Malna juga “melarikan diri” ketika mereka membangun situs pribadi mereka di internet jauh sebelum adanya situs Cybersastra.net? Dunia cyber memiliki psikologinya sendiri, demikian juga dengan sastrawan cyber.
 
Sungguh kasihan sastrawan yang menyerahkan nasibnya kepada (redaktur) media cetak, seolah-olah hidup-matinya tergantung kepadanya dan karenanya harus “melayani” selera redaktur agar karyanya bisa dimuat. Mungkin sosok almarhum Romo Mangun perlu dilihat kembali. Sastrawan besar ini menolak disebut pengarang “profesional” dan lebih suka disebut pengarang “amatir” karena beliau menulis karena memang mencintai pekerjaan itu, bukan demi uang sebagaimana seorang profesional bekerja. Sastrawan cyber adalah sastrawan “amatir” dalam pengertian “pecinta” itu. Seseorang yang memuat karyanya di internet jelas melakukan hal itu bukan untuk mengharapkan honorarium sebagaimana ketika seorang sastrawan “profesional” mengirimkan karyanya untuk dimuat di koran atau majalah.
 
Dunia cyber memang bebas. Sebagai konsekuensinya, terhadapnya tak bisa dipakaikan satu acuan nilai saja. Sebagai dunia dengan ragam nilai, ragam kriteria, ragam standar, ia tak bisa semata dilihat dengan satu kacamata saja. Pembaca cyber yang sudah merasakan dan memahami psikologi dunia maya umumnya terbiasa dengan cara pandang multifaset seperti itu dan karenanya mereka cukup kritis memilih apa yang ingin mereka baca atau mereka lewati. Mungkin kini saatnya sastrawan dan, terutama, kritikus sastra kita membiasakan diri untuk menyediakan lebih dari satu kacamata, agar tidak mudah silap dalam membaca hal-hal.
 
***
http://sastra-indonesia.com/2012/04/sastra-cyber-eksklusivitas-apa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah