Minggu, 29 Agustus 2021

Agama, Sastra, dan Pluralitas

Heru Kurniawan
lampungpost.com
 
KALAU saya menganalogikan alam semesta dan sastra sebagai dunia yang sama, itu karena di antara keduanya mempunyai paradigma yang seide, yaitu alam semesta dan sastra merupakan dunia manifestasi dari penciptanya.
 
Alam semesta adalah manifestasi dari “perbendaharaan Tuhan”. Sedangkan sastra adalah manifestasi “pikiran pengarang”. Dalam tradisi filosofis, alam semesta dan sastra sama merepresentasikan kejeniusan penciptanya.
 
Karena alam semesta dan sastra sebagai perwujudan Tuhan dan pengarang selamanya tidak mampu merepresentasikan “kemahaan” penciptanya. Alam semesta adalah bahasa Tuhan dalam mewujudkan diri-Nya, tapi kesempurnaan alam semesta tidaklah sesempurna Tuhan.
 
Tuhan jauh lebih sempurna lagi. Hal ini juga terjadi pada sastra, seluas apa pun pemikiran dalam sastra tetaplah tidak bisa sama dengan keluasan pikiran pengarangnya karena menulis sastra hakikatnya mengambil keputusan untuk menghentikan pengembaraan ide dan memilih salah satu ide yang dianggap menarik untuk dituliskan. Jadi, masih ada berjuta ide yang terdapat dalam diri penulis yang tidak dituliskan.
 
Dengan dasar melihat kegeniusan mutlak yang dimiliki pencipta ini maka tradisi romantik lahir. Tradisi romantik muncul sebagai gerakan yang menyuarakan kiblat mengembalikan alam semesta dan sastra pada penciptanya.
 
Cara pandangnya pun berujung pada pencipta, maka alam semesta dan sastra menjadi dunia yang “diabaikan” karena dialog yang dibangun adalah komunikasi dengan yang “mahagenius”, yaitu penciptanya. Dalam tradisi sastra, pembaca akan mengabaikan karya sastra.
 
Karya sastra dianggap tidak penting, yang paling penting adalah pengarangnya. Sedangkan dalam tradisi keagamaan, manusia akan menyempurnakan hubungan transendental dengan mengesampingkan alam semesta. Yang terpenting adalah kebaktian yang transendental.
 
Jika hal ini terjadi, saya membayangkan efek terbesarnya adalah dunia akan terbengkalai. Di sini terlihat bahwa tradisi romantik adalah paradigma yang membuat hubungan “manusia dengan alam semesta” dan “pembaca dengan karya sastra” menjadi terdegradasi.
 
Dalam hal ini, saya menganggap alam semesta dan sastra sama seperti “teks” sebagai fenomena yang diciptakan Tuhan dan pengarang. Oleh sebab itu, dalam alam semesta dan sastra itu terdapat esensi suara “Aku Berada” yang keberadaannya hanya dapat diungkap dengan dialog yang intens antara “manusia dan alam semesta” atau “pembaca dan karya sastra”. Hubungan dialogis ini yang menciptakan peluang manusia dan pembaca untuk mengembangkan diri.
 
Dalam dimensi agama, manusia sebagai khalifah mempunyai kewajiban menjaga hubungan yang harmoni dengan alam semesta. Dengan paradigma harmoni ini, manusia dapat menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi.
 
Sedangkan dalam sastra, pembaca diberikan otoritas untuk membuka pemahaman (understanding) terhadap karya sastra dengan melakukan pendakuan terhadap karya sastra. Pembaca mempunyai otoritas memaknai karya sastra dari perspektifnya.
 
Dengan menekankan dialog antara “pembaca dengan karya sastra” dan “manusia dengan alam semesta”, pembaca dan manusia menjadi objek sentralnya. Di sinilah terlihat semangat humanisme yang kuat dalam paradigma ini.
 
Dialog ‘Aku Berada’ dengan ‘Mengada Saya’
 
Dengan kesadaran bahwa dalam alam semesta dan sastra adalah manifestasi “Aku Berada”, dialog dan penaklukan yang terjadi “manusia dengan alam semesta” dan “pembaca dengan karya sastra” tetap dalam semangat nilai transendensi dan humanisasi. Manusia memaknai alam semesta dalam rangka untuk mengungkap kebesaran Tuhan.
 
Oleh sebab itu, saat manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya meneliti nyamuk, misalnya, ujung penelitiannya adalah untuk kemanfaatan umat dan mengungkap kesadaran pada kebesaran Tuhan. Misalnya, kesadaran betapa Tuhan Yang Mahasempurna menciptakan makhluk sekecil nyamuk yang ternyata mempunyai struktur rumit yang tidak bisa diciptakan manusia.
 
Inilah yang saya sebut dengan kesadaran transendensi yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi). Lewat eksistensi nyamuk kemudian manusia berpikir dan meningkatkan dirinya.
 
Pada wilayah sastra, pembaca memaknai karya sastra dalam rangka mengapresiasi diri dan pengarangnya. Pembaca mengungkap “Aku Berada” pengarang dengan berdasar pada otoritas persepsinya. Tidak ada objektifikasi di sini karena karya sastra dipandang sebagai dunia yang akan hidup jika bersentuhan dengan pembacanya. Tanpa pembaca, karya sastra menjadi dunia yang mati (artefak).
 
Maka menurut Paul Ricoeur, pada komunikasi seperti ini karya sastra menjadi dunia yang merepresentasikan dua kemungkinan, yaitu “mengacu pada dirinya sendiri” (sense) dan “mengacu pada dunia luarnya” (reference). Sense muncul sebagai penjelasan yang menerangkan karya sastra pada lingkup otonom. Sedangkan reference sebagai penjelasan yang menerangkan keterkaitan karya sastra dengan dunia luar yang diacu.
 
Pembukaan sekat penjelasan makna ini yang akhirnya mengarahkan pembaca untuk menemukan dirinya sampai pada titik pemahaman, yaitu pembiaran karya sastra dan dunianya memperluas cakrawala pemahaman tentang diri sendiri.
 
Di sinilah terlihat bahwa pemaknaan karya sastra, selain untuk memaknai “Aku Berada” penulis juga untuk memaknai “Mengada Saya” pembaca. Komunikasi di antara keduanya ini yang menjadikan paradigma ini menjunjung tinggi semangat humanisasi. Pengarang dan pembaca ditempatkan pada posisi yang proporsional, yaitu diapresiasi sebagai individu yang memiliki pemikiran dan ditempatkan sebagai kodrat yang mencipta dan memberi makna.
 
Apa yang saya pahami dengan paradigma ini bahwa agama dan sastra telah memberikan pemahaman tentang hakikat “Aku Berada” dalam alam semesta dan sastra yang harus dieksplorasi berdasar “Mengada Saya” manusia dan pembaca. Oleh sebab itu, menurut saya, “Aku Berada” mewakili dunia transendensi; Tuhan dan pengarang, sedangkan “Mengada Saya” mewakili dunia yang humanis; pembaca sebagai manusia.
 
Perkawinan yang harmoni antara dimensi transendensi dan humanisme ini yang melahirkan pembebasan (liberasi), yaitu semangat manusia membebaskan diri dari sekat keprimitifannya yang dapat menciptakan disharmoni. Kuntowijoyo dalam konsep profetiknya memaknai liberasi sebagai semangat mencegah kemungkaran (nahi mungkar), suatu sikap ketika manusia menyadari keberadaannya untuk saling berbuat baik demi kelangsungan hidupnya.
 
Oleh sebab itu, pembaca sebagai manusia harus mempunyai pemahaman tentang eksistensinya sebagai individu yang harus terus belajar terhadap semua teks di alam semesta demi peningkatan taraf hidupnya yang diukur perilakunya yang transenden dan humanis. Dalam tradisi agama, konsep ini disebut sebagai hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Keberadaan ini bisa tercapai jika manusia terus melakukan eksplorasi terhadap alam semesta dan ilmu.
 
Semangat Pluralisme
 
Dengan penekanan pemahaman (understanding) alam semesta dan sastra pada dialog antara “Aku Berada” pencipta dan “Mengada Saya” pembaca sebagai manusia, efek terbesar yang tidak bisa dihindari tradisi ini adalah keanekaragaman (pluralitas). Ini terjadi karena kehakikatan pembaca sebagai manusia yang tidak seragam.
 
Fitrah yang telah terkodifikasi dalam sejarah pembentukan pengalaman menjadikan antara manusia yang satu dan lainnya berbeda. Oleh sebab itu, “Mengada Saya” lahir dengan wajah yang berbeda antara satu dan yang lain.
 
Tidak bisa dihindari kalau hasil pemahaman terhadap alam semesta dan teks pun menjadi beragam. Inilah kekayaan yang luar biasa. Pluralitas dunia, menurut saya, adalah kodrat yang indah, harus dihargai dalam semangat pluralisme.
 
Inilah paradigma semangat gerakan postmodern yang kembali mengkritik keseragaman dan kemapanan dari suatu narasi besar. Peletakan paradigma pada kekuatan pembaca sebagai manusia yang harus dihargai menjadikan semangat humanisasi sesungguhnya yang diletakkan atas dasar nilai-nilai kemanusiaan yang transenden.
 
Tidak mengherankan bila konsep kekuatan suatu negara kini bergeser pada pluralitas. Pluralitas yang pada awalnya menjadi “persoalan” kini telah menjadi “kekuatan”. Tidak mengherankan bila keseragaman yang selalu diperjuangkan pemerintahan orde baru pada akhirnya menjadi bumerang karena pada kenyataannya masyarakat yang plural tentu tidak bisa diseragamkan.
 
Harus disadari bahwa pluralitas adalah kenyataan alamiah yang tak terhindarkan, demikian paradigma alam semesta dan sastra menempatkan pemahamannya pada manusia dan pembaca. Oleh sebab itu, keberbedaan yang menghiasi seluruh lingkup kehidupan haruslah dimaknai sebagai apresiasi atas nilai humanisme-transendental yang akan berujung pada pembebasan (liberasi).

*) Pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto. http://sastra-indonesia.com/2008/12/agama-sastra-dan-pluralitas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah