Jumat, 03 September 2021

TERSESAT KE PERTAPAAN RATU KALINYAMAT BERBEKAL PUISI GELAP

Mashuri *
 
Saya mengenal tokoh satu ini dari pentas ketoprak di TVRI tahun 1980-an di TV hitam putih. Pelajaran sejarah di sekolah absen mencatat dan mengajarkannya. Mungkinkah karena ia 'hanya' perempuan? Yup, ia adalah Ratu Kalinyamat, puteri Sultan Trenggono, Demak. Dikenal sebagai penguasa Jepara atau Kalinyamat pada masa Kerajaan Pajang, pengganti suaminya, Sultan Hadiri. Sebagaimana diketahui, Sultan Hadiri dihabisi kaki tangan adipati Jipang Panolan, Aryo Penangsang, dengan bilah keris legendaris Kyai Setan Kober, karena bersekutu dengan Sultan Hadiwijaya, yang kondang dengan nama Jaka Tingkir.
 
Dalam ketoprak, Sultan Hadiri dianggap sebagai salah satu otak di balik mangkatnya Pangeran Sekar Seda Lepen, ayah Aryo Penangsang, ketika akan berangkat menunaikan salat Jumat, demi memuluskan jalan tahta buat Sultan Hadiwijaya. Demikianlah, pentas seni rakyat itu kuyup dengan lendir politik, dan sebagai anak ingusan saya dipaksa untuk memihak. Sebagaimana wacana besar Jawa, masa kecil saya pun memihak Jaka Tingkir dan memandang buram pada sosok Aryo Penangsang, meskipun hitam di atas putih, Aryo Penangsang juga punya hak pada tahta Demak.
 
Sosok Kalinyamat, yang merupakan sosok historis dan wafat pada tahun 1579, meskipun saya mengenalnya dari kisah imajinatif, turut membentuk imajinasi saya dari kecil hingga remaja. Apalagi, pada masa pertumbuhan gagasan, saya sempat tertarik dengan ide puisi gelap dengan bertumpu pada absurditas dan residu tradisionalitas. Pada tahun 2005, saya pernah menulis puisi tentang Ratu Kalinyamat berjudul "Kalinyamat" ---apalagi pada era itu, saya tertarik dengan tema-tema ganjil ihwal perempuan, seperti absurditas Jonggrang, kegelapan dunia Durga, surrealisme Nawangwulan, dan lain sebagainya, yang memang bertumpu dan berhulu pada cerita rakyat atau tradisi lokal yang membentuk ketaksadaran kolektif Jawa.
 
Awalnya, saya penganut fanatik otomatisme dalam penulisan puisi, sehingga menolak revisi. Namun, karena satu dan dua hal, saya pun merevisi puisi “Kalinyamat” pada 2010, dan saya sertakan dalam Dangdut Makrifat (2018). Mungkin karena puisi ini terlalu gelap, liar dan absurd, tidak ada satu pun media konvensional yang ‘sudi’ memuatnya. Sebagai pembaca, saya baru menyadari, ternyata, sosok Kalinyamat begitu merasuki imajinasi saya, apalagi dari cerita yang sampai pada saya bahwa ia berikhtiar mengkomunikasikan dendam lewat laku membunuh ‘diri’ dalam ketelanjangan!
 
KALINYAMAT                                   
 
Hanya aku yang mengerti janjiku pada maut! Aku saksikan arak-arakan terus berarak, derapnya berkumandang, penuhi telinga, jebol kendang, luruhkan darah pada darah, nisbatkan alam pada sisa-sisa pembakaran, bentur-benturkan harapan di kekosongan, kosong, tikam ilham, param malam, hamparan hampa. Batu-batu keras, percik bunga api, bintang-bintang mengambang, laut kembali, debur mengabur, sahwat purba berdiwana, kematian berdurja…
 
Aku sebut tubuhku jasad. Jasad yang terwarta dari kabar lahat: unggun belatung, ulat-ulat dan kengerian daging yang dikoyak tanah; Aku sebut jasad karena mataku melegam, hitam, kelam; kerlingnya taburkan hasrat untuk menguji diam; tatapannya yang sendiri tapi tak sendiri, sengkarut oleh nasib tak terpahami, tak bisa lari dan terkapar di gigir latar, liar bak kalajengking sengatkan sengatnya dan titipkan racun pembunuh di sekujur tubuh; tubuh telanjangku…
 
Ketika segalanya rumpang, aku menuju arah ketika surya terbelah. Dunia kurakit dari rasa sakit. Rahasia yang bersemayam di benak mulai mencipta gelisah; ia bertanya tentang angka, cinta, rindu dan kesepian sendiri. Aku kurung fajarku di tapal batas. Kukatakan: ‘jangan pernah mendekat pada seorang yang telah berkhianat pada kelenjarnya sendiri, birahi dan kesakitan yang tercipta dari sepi.
 
Kelak sebuah rahasia yang tak tersentuh oleh nafas akan meringkas batas, merenggut denyut dan maut. Ia kusapa dengan sirri, palung laut yang tak tersigi. Ia seperti dendam yang tak bisa dibagi.
 
Surabaya, 2005-2010
 
Mungkin tidak ada hubungannya puisi tersebut dengan sampainya saya ke pertapaan Ratu Kalinyamat di Jepara, tanpa rencana lebih dulu dan tanpa kesengajaan. Begini, dua hari setelah akad nikah, 19 Januari 2007, dengan kata lain saya masih menyandang sebagai pengantin baru, saya dan isteri jalan-jalan ke kawasan perbatasan Pati-- Jepara. Tujuan kami cuma satu, yaitu ke Benteng Portugis, di Desa Banyumanis, Kecamatan Donorojo, Jepara. Kebetulan rumah mertua di Pati termasuk wilayah Pati utara, berbatasan dengan Jepara.
 
Usai dari Benteng Portugis, saya mencoba arah jalan pulang dengan cara memutar, yaitu melewati ruas jalan ke arah Jepara, melewati Keling, lalu ke Tayu. Ternyata, di perjalanan, kami menempuh jalan yang sama sekali tidak kami kenal, karena saya baru pertama kali menyusurinya, begitu pula dengan isteri. Pada akhirnya, kami nyasar ke sebuah lokasi asri. Di gerbangnya, terdapat tulisan: Pertapaan Ratu Kalinyamat.
 
Yup, sebagaimana dalam kisah ketoprak, sahdan, Ratu Kalinyamat, bertapa wuda sinjang rikma, tapa telanjang hanya ditutupi rambutnya, demi membalas dendam pada Aryo Penangsang. Ia berjanji baru menyudahi tapanya, setelah bisa mengeramasi rambutnya dengan darah Aryo Penangsang. Sungguh, mengerikan!  Meskipun ada juga yang menafsirkannya, bertapa telanjang adalah pralambang menyepi untuk melepas segala atribut yang melekat pada diri. Semacam khalwat.
 
Pertama melihat kawasan tersebut, saya mulai merasa ada yang tidak hanya logis ---semacam magisme realis. Ehm. Kawasan tersebut termasuk Dukuh Sonder, Desa Tulakan, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Keling, pada masa klasik Jawa disebut kerajaan Keling, Ho Ling (dalam berita Cina), atau Kalingga, dengan ratu perempuan: Sima. Tilasnya masih berkabut, tetapi banyak yang meyakini bahwa keberadaannya di kawasan Keling kini. Kerajaan ini kosmopolit karena beberapa tinggalan prasastinya yang berada di wilayah lain berbahasa Sanskrit dan Melayu Kuno.
 
Tak heran, dalam catatan sejarah kekinian, Ratu Kalinyamat bukan hanya seorang penuntut balas kematian suami tercinta yang melankolis habis. Sahdan, ia tercatat dua kali menyerang Portugis dengan armada laut ke Malaka. Meskipun keduanya gagal untuk merebut benteng di Malaka, tapi serangan itu membuat Portugis jeri untuk merambah Jawa. Baru beratus tahun kemudian, setelah kematian Kalinyamat dan kekuasaan pesisir berakhir, Portugis baru bernyali menginjakan kaki di pesisir utara Jawa, tepatnya di dekat Pulau Mandalika dan mendirikan benteng Portugis. Itu pun atas strategi politik Sultan Agung saat akan menggempur Belanda di Batavia. Kerajaan Mataram kongkalikong dengan Portugis.
 
Setelah era Kalinyamat, di kawasan Pantura Jawa Tengah, terutama Pati, Rembang, dan Jepara, sejarah mencatat sosok Roro Mendut, perawan penjaja tembakau yang membuat Wiroguno, tumenggung legendaris Mataram era Sultan Agung Anyokrokusumo itu dedel-duel. Lalu, pada era Politik Etis, R.A. Kartini mendapat sambutan dunia, dan kini ditasbihkan sebagai pahlawan emansipasi wanita.
 
Ada beberapa keyakinan masyarakat setempat terkait dengan Pertapaan Ratu Kalinyamat, apalagi di sana, ada mata air alami, yang dianggap sebagai sebuah daya tawar tersendiri. Rata-rata keyakinan itu untuk perempuan, yaitu bagi perempuan yang lama tidak menemukan jodoh, awet muda, dan lainnya. Yang mengagetkan, ketika saya sedang asyik di Pertapaan Ratu Kalinyamat, mata saya tertambat pada sebuah prasasti baru dari plester semen di salah satu pancurannya, yang menyebut sebuah kota, yaitu Sidoarjo. Sebuah kota yang hingga kini kami tinggali.
 
Pascatahun 2007, terhitung dua kali saya berusaha menapaktilasi perjalanan saya dan isteri ketika pengantin baru dulu. Namun, entah kenapa, kedua niatan itu selalu tidak berhasil menemukan jalan kembali ke Pertapaan Ratu Kalinyamat. Saya tidak lagi mampu tersesat ke sana. Yup, pada rentang kedua niatan itu, memang belum ngehits Google Map. Meski demikian, yang terekam dalam ingatan saya adalah tempat pertapaannya yang unik karena ada tembikar naga di sana. Selain itu, saya juga penasaran, apakah sebuah tanda nama dari orang Sidoarjo masih bertahan di sana atau sudah mengalami renovasi.
 
Pada 17 Januari 2021, ketika pandemi mulai menggila, saat saya sendirian di teras rumah di Sidoarjo, ingatan pada pertapaan ratu legendaris di Pantura Jawa itu begitu melekat. Yup, tanggal itu, adalah hari ulang tahun pernikahan saya ke-14. Saya seperti Kalinyamat yang sedang dirasuki naga dan menenangkan keliarannya dengan cara bertapa. Sejurus kemudian, saya membayangkan diri sehikmat Kalinyamat saat sedang meredam dendam terhadap musuh abadinya, Aryo Panangsang, meskipun tubuhnya melepuh dan dada lebam.
 
KENANGAN NAGA
 
dalam genangan kenangan, akulah naga yang tertidur dari ritus tanah. aku sudah berpesan pada waktu, 'jangan kau bangunkan aku, selama nafasku masih api.'
 
tapi air bah ---seperti nujum zaman es ketiga-- menyeret ingatanku membentur batu-batu angkasa. kusebut nuh lewat tubuh purbaku yang raksasa. 'bila zaman masih membutuhkan degupku, kirim bahteramu dalam mimpi-mimpi dalu'.
 
aku melihat diriku bangkit dari kenangan. tak ada bahtera yang kuasa meringkusku. nafasku mendengus dari tungku, membakar hutan-hutan rindu. tangan dan kakiku bergerak dalam tarian angin ---menciptakan sakal-sakal lain. mulutku berkumur segala bensin, melebur hening.
 
suaraku berkoar sehingar halilintar di padang datar: 'o waktu, kenapa kau usik dengkurku, biarkanlah lelapku memadamkan agni yang masih bersarang di jantungku....'
 
waktu datang dengan membaca cermin. aku dimintanya mengaca, sebab aku bukan kahfi, api yang tak padam dalam goa mimpi-mimpi. 'tidak tahukah kau, kenangan dapat menjelma kuburan abadi. lihatlah dirimu, tak ada naga tanpa api. kenapa kau hilang nyali bertempur dengan dirimu sendiri'
 
demi waktu kini dan nanti, berbekal pantulan kaca benggala dan mantra dunia bawah, biarlah aku berkiblat pada kalinyamat, melesat dari arus memori, meski sesekali kelak, aku menyanyikan lagu: 'yesterday'
 
Sidoardjo, 17 Januari 2021
 
Hmmm. Seringkali, saya juga belajar pada puisi sendiri ---terutama soal ingatan dan gelisah diri. Puisi seringkali merupa alarm pengingat terkait dengan hal-hal yang luput dalam keseharian dan tergilas rutinitas.
 
Kembali ke soal tersesat ke Pertapaan Ratu Kalinyamat. Hingga kini, saya masih belum mengerti bagaimana rute yang saya dan isteri telusuri hingga ke Pertapaan Ratu Kalinyamat pada 2007. Bahkan, saya seperti dipaksa untuk mencatat bahwa bisa jadi saya tidak benar-benar tersesat, karena pernah menelusurinya dan mengabadikan gelibat imajinasi dalam puisi, meskipun liar, gelap, dan berapi-api. Sebab, seringkali hidup memang diwarnai dengan rahasia dan misteri --seperti puisi berbahasa sandi.
 
On Sidoardjo, 2021

*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. http://sastra-indonesia.com/2021/09/tersesat-ke-pertapaan-ratu-kalinyamat-berbekal-puisi-gelap/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah