Memahami Keindahan dari Sebutir Sajak
Nuryana Asmaudi
balipost.co.id
PERPINDAHAN seorang penyair ke daerah mukim baru kerap jadi spirit serta mengilhami lahirnya karya baru yang membanggakan. Daerah mukim baru juga kadang memberi warna yang lebih segar dan agak berbeda dengan karya sebelumnya. Hal itu tentu menjadi keberuntungan sekaligus berkah bagi sang penyair yang secara sadar maupun tak sadar “menerima” dan “diterima” di daerah mukim baru tersebut.
Itulah yang dialami oleh Sindu Putra. Penyair kelahiran Sanur, Denpasar, 31 Juli 1968 yang “hijrah” ke Mataram, N fsusa Tenggara Barat, sejak beberapa tahun lalu. Di pemukiman baru itu, Sindu telah melahirkan 2 buah buku kumpulan puisi tunggal, masing-masing “Dongeng Anjing Api” dan “Segara Anak”. Buku “Dongeng Anjing Api” bahkan mendapat penghargaan Katulistiwa Literary Award tahun 2009, sebuah penghargaan sastra yang diperhitungkan di tanah air saat ini.
Buku “Segara Anak” terbitan Pustaka Ekspresi Bali (2010), diluncurkan Sabtu (30/10) lalu, di Toga Mas Denpasar. Sebuah hajatan sastra, pesta sajak, yang berlangsung sederhana tapi khusuk dan penuh makna. Puluhan pelajar SMA, mahasiswa dan generasi muda sastra, serta para penyair terkemuka Bali ikut memeriahkan acara yang diisi dengan pentasan baca puisi, musikalisasi puisi, dan dialog sastra bedah buku.
Proses Kreatif
Para pelajar dan remaja sengaja dilibatkan karena para pelajar dan remaja perlu mendapat gosokan kreativitas berpuisi. Mereka perlu diperkenalkan dengan para penyair yang sudah matang dalam proses keratif, agar mendapat pelajaran dalam memahami dan menikmati puisii. Kebetulan Sindu Putra adalah penyair yang memulai proses kreatif berpuisi sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), tepat untuk membagui pengalaman dan menularkan ilmunya pada para pelajar.
“Saya mulai menulis puisi waktu masih SMP. Belajar secara otodidak, dan ikut acara gradag-gruduk sastra Bali Post yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi. Saya berjuang dengan semangat pantang menyerah agar menguasai cara menulis puisi, sampai kemudian puisi saya berhasil dimuat di ruang sastra Bali Post Minggu yang diasuh Umbu sendiri. Itulah yang menambah semangat saya,” papar Sindu di awal diskusi bedah buku “Segara Anak”, malam itu.
Sindu bercerita, pada masa sekolahnya dulu banyak pelajar lain yang menekuni dunia puisi. Mereka bersaing dan berkompetisi lewat karya masing-masing, dengan peralatan dan media seadanya. Banyak yang belum punya mesin ketik, tapi ada juga yang sudah punya, untuk menulis puisi. “Waktu itu media elektronik, semisal komputer, belum ada. Media komunikasi juga jauh ketinggalan dibanding sekarang. Kami menulis puisi dengan tulisan tangan atau mesin ketik butut, dan mengantarkan langsung ke Bali Post, atau lewat surat pos bagi yang berada di luar kota,” cerita Sindu
Dengan kemandirian dan keprihatinan seperti itu, aku Sindu, justru jadi tantangan yang membuat berhasil. “Jadi, adik-adik pelajar sekarang yang hidup di jaman sarana pendukung yang jauh lebih lengkap dan canggih, tertantanglah untuk menulis puisi dan menjadi penyair yang lebih hebat dari generasi seangkatan kami,” tandas Sindu.
Menurut Sindu, menulis puisi itu mengasyikkan dan dapat kepuasan batin yang tak bisa dibandingkan dengan yang lain. Juga mendapat banyak pelajaran, terutama dalam hal olah kata dan penguasaan bahasa, yang sangat bermanfaat dalam mendukung ilmu yang lain. Tapi, hal itu kurang disadari, terutama oleh guru, sekolah, pemerintah, serta para orang tua dan pelajar atau remaja sendiri. Mereka menganggap puisi tak berguna. “Itulah kesalahan besar yang terjadi di negeri kita!” tandas Sindu.
Kesaksian Sahabat
Penyair yang juga dokter hewan itu tidak omong kosong. teman-teman sesama penulis Bali yang hadir malam itu, memberi kesaksian dan mencatat Sindu Putra sebagai seorang penyair yang intens menulis puisi sejak masih SMP sampai sekarang. Mereka yang menulis puisi berbarengan dengan Sindu, mengaku tahu betul pergulatan kreatif Sindu. “Kami dulu sama-sama kerap ikut gradak-gruduk sastra. Saya kenal Sindu anaknya pendiam, bahkan tak bisa diajak omong. Tapi puisinya dahsyat-dahsyat dan bikin cemburu. Kami bersaing dengan gaya puisi masing-masing. Itulah yang membuat semangat kami terus membara. Kami tetap berupaya untuk terus belajar dan berkarya sampai kapanpun, karena merasa belum apa-apa,” timpal beberapa hadirin.
Karena itu, banyak penulis Bali berharap kepada para pelajar yang hadir malam itu, jangan merasa sudah berhasil dan sudah jadi penyair hebat karena puisinya sudah pernah dimuat di koran terkenal. “Sekarang ini banyak anak muda Bali, penulis puisi, yang merasa sudah hebat, bahkan menganggap diri penyair besar, karena puisinya mampu menembus koran ibu kota. Baru menulis beberapa puisi, atau baru punya satu buku kumpulan puisi sudah berlagak kaya sastrawan besar. Padahal itulah yang akan membunuh kretivitasnya sendiri,” komentar beberapa teman. Penyair Cok Sawitri, juga memberikan kesaksian atas Sindu Putra. “Sindu Putra itu senior saya yang selalu bikin cemas, gemas, dan marah, karena puisinya bagus-bagus. Nggak tahu kenapa kok dia bisa membuat puisi yang dahsyat-dahsyat seperti itu dari dulu sampai sekarang, Padahal orangnya pendiam dan rendah hati,” papar Cok.
Cok bercerita, Sindu pernah membikin pusing dan stres, dengan salah satu puisinya yang dijadikan naskah lomba baca puisi Sanggar Minum Kopi pada tahun 1990. “Ada kata yang membuat semua peserta lomba, termasuk saya, pusing dan stres memahaminya, Kata itu berbunyi: dalam tubuhmu artupudnis, Tuhan tak.. Kami tak tahu maksud artupudnis. Belakangan baru diketahui kalau artupudnis itu nama Sindu Putra yang dibalik. Sindu punya ide seperti itu? Itu menunjukkan bahwa dia ini penyair yang cerdas dan punya ide yang aneh-aneh,” tandas Cok.
Intensitas dan totalitas Sindu sebagai penyair yang juga bekerja jadi dokter hewan, menurut Cok, patut dikagumi. Menulis dari SMP sampai sekarang dan puisnya tetap bagus, sublim, penuh simbul perenungan yang dalam dan kental, dengan pilihan kata yang ketat dan terjaga.
Wayan Sunarta, yang jadi juru bedah buku malam itu, memberikan catatan, keberhasilan Sindu sebagai penyair yang kuat disebabkan karena dia mampu meramu persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya dengan metafora-metafora yang khas dan sangat pribadi sehingga puisi-puisinya jadi penuh warna. “Memasuki puisi-puisi Sindu Putra seperti memasuki rimba raya metafora, dimana banyak kita temukan ketidakterdugaan, sekaligus merayakan keterasingan diri kita sendiri di dalamnya. Pergulatan Sindu menemukan aau menciptakan metafora memang begitu gigih, diperkuat oleh keliaran imajinasinya. Di sisi lain, kelebihan Sindu sebagai penyair adalah kemampuannya memadukan, mengaduk, dan meramu kata-kata dari berbagai bidang ilmu, sehingga melahirkan puisi-puisi yang terkesan unik, dan mengagetkan banyak kalangan,” tandas Sunarta.
Buku “Segara Anak” memuat 53 puisi terbaru Sindu Putra, yang ditulis sesudah tinggal di Mataram, NTB.
Acara peluncuran buku tersebut dimeriahkan pentas musikalisasi dari anak-anak Teater La-Jose SMAK Santo Yosph Denpasar yang membawakan puisi Sindu Putra, Sthiraprana Duarsa, dan Goenawan Muhamad. Juga pembacaan puisi oleh beberapa penyair Bali, termasuk Sindu Putra sendiri.
14 Nopember 2010 | BP
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar