Fahrudin Nasrulloh *
__Radar Mojokerto, 18 Des 2011
Mojokerto mulai bergerak lagi. Mojokerto coba diongkosi lagi. Oleh mereka-mereka yang masih bersetia menulis, dan satu-dua-tiga yang baru muncul belakangan. Sastra tampaknya tak pernah mati dari kondisi apa pun yang bahkan telah banyak mencekik para pelakunya untuk lebih jauh mengarus dalam dunianya yang semakin tak jelas. Tak jelas dalam arti bahwa rambahan estetika di dalamnya adalah pertarungan yang tiada habis dalam upaya bereksplorasi.
Sekarang makin terasa dunia sastra lewat media yang makin tak terbatas, misalnya dalam jagat internet, karya lahir dan ditulis oleh ribuan penyuka mulai yang sekedar iseng-isengan sampai yang serius seriusan. Apakah ada karya monumental yang muncul seiring demokratisasi sastra yang kian tak terbatas itu? Media koran tak lagi menjadi sentral, meski pertarungan untuk menembuskan karya ke sana tetap jadi pertaruhan. Itu tak penting kiranya. Yang pasti, sastra sudah menjadi bagian yang tidak lebih asing lagi di masyarakat, untuk tidak mengatakan sastra masih saja tetap terasing dari masyarakatnya. Buktinya, apresiasi sastra sudah banyak masuk ke sekolah, kampus, dan komunitas di daerah baik di kota maupun di kabupaten.
Membicarakan kota dan karya, cukup menarik bila kita menilik kembali Mojokerto beserta gerak sastranya dalam 5 tahun belakangan ini. Tahun 2007 sampai 2009 di Mojokerto masih dapat terasakan gerak sastranya, dan posisi apresiasi sastra yang paling menonjol adalah puisi. Banyak penyair yang bermunculan, selain yang tua-tua, sebagaimana yang disebutkan dalam pengantar kumpulan cerpen Tentang Kami Para Penghuni Sorter (2011) ini. Kemudian bisa kita cermati dalam 2010 sampai akhir 2011, kegiatan sastra nyaris senyap di Mojokerto, kecuali beberapa peristiwa sastra yang membuntut dalam agenda bulanan di Festival Bulan Purnama Wringin Lawang di Trowulan yang dihelat oleh Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto. Dalam 2 tahun itu pula, geliat sastra dalam tubuh Dewan Kesenian Mojokerto (kota) hampir tak terdengar.
Baiklah, itu cerita lumayan romantik dan agak tidak perlu jika dipanjang-panjangkan di sini. Kita langsung menuju rumah buku cerpen ini. Ada apa saja di sana dan apa yang terjadi.
Cerpenis dalam antologi ini banyak diisi oleh cerpenis asal Pacet, Mojosari, atau Bangsal, wilayah selatan Mojokerto. Sementara wilayah Mojokerto lainnya banyak dihuni penulis yang menekuni puisi. Latar sosial apakah yang tercermin dalam cerpen-cerpen mereka? Mereka menulis itu didorong oleh apa? Ini hal mendasar. Jelas riwayat mereka beda-beda, dengan niat, kondisi yang mempengaruhi, dan latar kreatif masing-masing.
Persoalan klasik menulis cerpen yang utama menurut saya adalah bagaimana sebuah cerita mampu berdaya hidup dan bergerak menceritakan dirinya sendiri di hadapan pembaca. Posisi penting pencerita bisa diistilahkan sebagai “si pelempar batu”, yang padanya hal-hal yang bersifat teknis semustinya terlebih dulu dapat ditanggulangi. Butuh ketajaman sorot mata, dan tindakan yang tepat-guna pada sasaran, karena cerpen itu ya cerita yang singkat, yang simpel, kalau perlu sekali dibaca bisa meng-KO pembaca. Contoh entengnya, paragraf pertama yang ditulis diupayakan tidak membikin bosan, sebab pasti pembaca akan segera melemparkannya ke tong sampah. Karena ini soal “dunia dalam” pada diri si pencerita, wilayah psikologis yang berpusaran di kerak otak ini bisa bercabang-cabang dan melantur ke mana-mana.
“Ini kan soal gimana mengatasi psiko-diri sesaat sebelum hendak menulis cerita, bukan?” Ini yang saya sebut sebagai “medan penanggulangan kreatif si personal”. Dan memang, di kedalaman sana, penanggulangan itu tak selesai-selesai yang justru pada titik kulminasi tertentu makin menguat bersama kegentingan yang dengan sendirinya akan terus merusak kegelisahan apa pun. Semua itu bisa dibikin jelas tampaknya, pada hal sepele sebenarnya, bagaimana sih ide cerita itu hendak diceritakan? Ini akan dengan sendirinya memberi corak pada tema, tokoh, dan konflik yang dibangun sekaligus benarkah sudah menarik, menohok, seperti kilatan, cara bercerita yang demikian yang ditawarkan? Dari situ, dan lewat beberapa cerpen dalam buku ini, kita bisa melongok, oh, adakah sesuatu yang sudah dipertimbangkan matang-matang bahwa cerita ini cerita itu telah benar-benar menjadi sebuah cerita? Ataukah sekedar berita? Atau semacam “kesan” akan peristiwa yang pernah tersaksikan saja dan karenanya dipertanyakan sudahkah pembaca menemukan “pokok cerita” di sana? Kita bisa tilik kembali cerpen-cerpen ini: “Catatan Seorang Tuna Netra” oleh Atina Nabila, “Doa Istri Tukang Semir Sepatu” oleh Jack Effendi, “Negeri Dongeng” karya Nasrulloh Habibi, “Purnama Di Tepi Sungai Brantas” karangan Rais Muhammad KS, dan “Payung” oleh Mochammad Asrori.
Perkara gaya bercerita yang berlarat, terkesan dipanjangkan, seolah deskripsi yang dipaparkan membutuhkan yang lebih dan lebih agar pembaca nyaman dan jenak kadang justru memunculkan rasa bosan dan memutungkan pembaca untuk merampungkan cerita. Tema kerapkali menempati posisi yang perlu diperhitungkan, misalnya apa yang dinilai lebih dari sebuah cerpen jika cerita yang ditawarkan itu sesuatu yang tak jauh dari keumuman atau yang sudah biasa kita dengar atau dari kenyataan yang begitu jamak dialami khalayak. Maka dalam cerpen jika semua komposisi vital pembentuk dan pengokoh sebuah cerpen tidak digarap dengan pendalaman serius maka selanjutnya hanya akan menghadirkan hal-hal yang “permukaan” saja. Tak menembus ke inti cerita. Ke konkrit cerita.
Kekonkritan cerita sebagai gagasan yang tidak muluk-muluk bisa kita temui dalam cerpen Hardjono W.S. “Penghuni Sorter”. Ini tentang Mak Pah tukang warung kopi yang suaminya mati secara tragis lantaran soal warisan lalu ia dibunuh keponakan sendiri. Sejak kejadian itu, Mak Pah tetap bertahan berjualan untuk mempertahankan hidupnya. Meski ini cerita yang bisa kita dapati dalam berita kriminal di koran atau televisi, namun tetap asyik dibaca karena cara berceritanya yang tidak bertele-tele. Cerpen “Rebiin” dari Akhmad Fatoni, untuk sekilas tampak menyisakan problem dalam merumuskan ide dasar konflik yang dibangunnya, juga logika bercerita, namun teka-teki si tokoh suami dengan ketidak-percayaannya pada omongan si istri bahwa adiknyalah yang sesungguhnya mengguna-gunainya itu tidak menemukan korelasi logis yang realistis kenapa kekeraskepalaan itu bertahan dan modus si adik yang disangka (atau dituduh?) tersebut terjadi begitu saja. Kita bisa terpancing untuk mengulur tanya: Jangan-jangan, jangan-jangan: terjadi keliru tuduh? Atau termakan hasutan? Atau membiarkan itu terjadi untuk tujuan lain, tujuan siapa? Tiga tokoh di sini, menurut saya, jika saya menggunakan pola investigatif ala Agatha Christie: masing-masing menyimpan “motif gelap” yang susah ditebak endingnya. Bila menurusi alur logika ini, Fatoni boleh jadi telah membuat sekian seri tentang Rebiin ini.
Cerpen “Tentang Kami” karya Jr. Dasamuka ini jelas realis. Sebuah rencana pembunuhan kepada kakaknya sendiri yang berupaya secara terang-terangan dan kasar ingin merebut kekasih si tokoh. Aroma dendam menguar pekat di sini. Cerpen “Yang Dibunuh Cerita-Cerita” karya Dadang Ari Murtono juga bercorak realis yang lebih masuk ke dalam. Pola tutur yang terkesan melantur-lanturkan emosi dijalin dengan logika bahasa yang padu dan baluran metaforik yang cukup menyentuh, kadang terasa boros kata. Antara sosok si tokoh yang dilematis, bahkan sangat-sangat paranoid, dengan kekasihnya (yang berseru: “Maka kuambil urat-urat kaki dan tanganmu. Lumpuhlah. Berhentilah mencipta tragedi dalam hidup kami.”), dengan kawan-kawannya, yang diilustrasikan bahwa pada detik-detik kematian si tokoh karena kanker darah unsur dramatik begitu kental. Kesadaran alam lain dalam cerita Dadang itu menubuh dan menembusi ruang-waktu secara retrospektif yang ulang-alik: pada ungkapan di saat-saat si tokoh sebelum mati, setelah mati, dan aku lirik pencerita yang memungkasi di akhir cerita:
Kawan-kawan dan tetangga-tetangganya bersumpah ia tersenyum dan terlihat teramat bahagia ketika diketemukan meninggal dalam kamarnya yang pengap asap rokok dan sempit itu. Tak ada yang tahu apa yang menyebabkan ekspresi wajahnya seperti itu. Tak ada yang tahu bila segala yang pernah ia tulis, segala cerita yang pernah ia karang, segala tokoh-tokoh yang ia lahirkan, bergantian mnjenguknya. Dan ia tak lagi merasa berhutang pada apa-apa dalam cerita-cerita itu, pada tokoh-tokoh dalam cerita-cerita itu.
Adakah ini cerita yang disamarkan tentang peristiwa riil diri Dadang sendiri yang sebenarnya? Kemungkinan itu bisa benar, dengan kenyataan umum bahwa setiap karya merupakan cerminan diri pengarangnya, tentu saja, dengan kadar yang tak bisa diukur prosentasenya. Dalam kumpulan cerpen ini tema personal dengan berbagai sisikmelik problematiknya lebih mengemuka ketimbang tema sosial.
Walakhir, kelemahan-kelemahan juga rambahan estetik dalam menulis cerpen memang kompleks. Membuat cerita yang sederhana tapi berisi juga rumit, dan semua itu adalah bagaimana pandangan hidup dan sikap dalam proses kreatif itu tidak dihinggapi oleh hal-hal yang bersifat instant dan watak megalomaniak, misalnya ingin cepat dimuat media, tak mengindahkan revisi berkali-kali, menghindari mendiskusikan karya dengan teman terdekat, ingin cepat diantologikan jadi buku, mengejar target sayembara cerpen, watak manipulatif, miskin bacaan, ingin cepat terkenal, tak menghargai pendapat orang lain, malas riset (ini yang banyak diabaikan), dan bla-bla-bla yang kesemuanya itu adalah soal-soal lawas yang jadi penyakitnya penulis saat ini yang disadari atau tidak membuat karya-karya sastra kita mengalami kesumpekan. Dan sastra kita cuma jadi “sastra sepintas lalu”, “yang biasa-biasa saja” sebagaimana yang disitir Budi Darma dalam buku esai sastranya Solilokui.
Dan semoga sajalah, semua cerita yang telah selesai ditulis dan kini dibaca oleh siapa pun itu, mampu hidup dan memberi nyala api, bukan epidemi. Apakah itu yang kita doa-harapkan? Atau, biarin saja, semua cerita yang tertuliskan itu kuasa membunuh penulisnya setiap waktu, untuk kemudian bangkit lagi lalu membikin tularan-tularan cerita yang lebih-lebih sinting lagi.
____________________
*) Fahrudin Nasrulloh, cerpenis, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar