Penulis : Nurel javissyarqi
Penerbit : PUstaka puJAngga
Lamongan
Cetakan : I, Desember 2007
Tebal : ix + 130 halaman
Peresensi : Liza Wahyuninto*)
Malaikat Jibril as. mempunyai
seribu enam ratus sayap, mulai dari kepala sampai kedua telapak kakinya
terbalut bulu-bulu zafaron. Matahari seolah berada di antara kedua matanya. Di
atas setiap bulu-bulunya seperti rembulan dan gumintang. Setiap hari ia masuk
ke dalam lautan cahaya tiga ratus tujuh puluh kali, tatkala keluar dari lautan
tersebut, meneteslah dari setiap sayap sejuta tetes cahaya, dan Allah
menjadikan dari setiap tetes cahaya tersebut ujud Jibril as, mereka semua
bertasbih kepada-Nya sampai hari kiamat, nama mereka malaikat ruhaniyyun.
(Daqoiqul Akbar, Imam Abdurrohim bin Ahmad Qodhi).
Makna yang tertuang dalam kitab
Daqoiqul Akbar inilah yang ditelanjangi oleh Nurel Javissyarqi melalui antologi
puisinya Kitab Para Malaikat. Nurel seolah ingin menunjukkan bagaimana para
malaikat yang dalam bahasanya di beri nama malaikat ruhaniyyun, melakukan
ritual penyembahan kepada tuhannya. Peristiwa inilah yang dikagumi oleh Nurel,
dan memaksa dirinya - sebagai seorang sastrawan – untuk melukiskan peristiwa
tersebut. Hal semacam ini pulalah yang memaksa Maulana Jalaluddin Rumi untuk
mulai menulis masterpiece nya, Matsnawi fi Ma’nawi.
Perbedaan mendasar antara Nurel
dan Rumi terletak pada penggalian ide. Nurel lebih mengedepankan imaji dan
pikiran liarnya, sehingga tidak jarang kata-katanya melampaui alam bawah
sadarnya. Bahkan Maman S. Mahayana dalam pengantarnya menggambarkan syair-syair
Nurel sebagai perpaduan antara hamparan semangat yang menggelegak dan imajinasi
tanpa batas. Sedangkan Rumi, ia berpuisi dengan jiwanya. Sehingga tidak jarang
dalam sejumlah ghazal nya ditemukan larik-larik yang menyentuh hati pembacanya,
karena dari setiap ghazal yang ditulis oleh Rumi adalah hasil perpaduan antara
kenyataan dan harapan.
Akan tetapi dalam antologi puisi
Kitab Para Malaikat ini Nurel sepertinya ingin merayakan kebebasan berpikir.
Sebagaimana yang telah dimulai oleh tokoh-tokoh besar yang hidup jauh
sebelumnya. Tokoh-tokoh yang mengusung kebebasan berpikir tersebut di
antaranya, Socrates, Rene Descartes, Derrida, Ibn Sina, Muhammad Iqbal, Syekh
Siti Jenar, Hamzah Fansuri dan lain-lain. Merekalah pula lah yang dicirikan
Nurel sebagai pedoman dalam merayakan kebebasan berpikirnya. Ini dapat dilihat
dari salah satu larik puisinya, Marilah hadir bersama keindahan, membimbing
kesadaran alam terdalam/ sia-sia dipenuhi hikmah, malapetaka jikalau ajaran
berharga dibuat bangga (I: LX).
Dalam pengantarnya Maman S.
Mahayanan juga menyatakan bahwa perbedaan antara Nurel dan Sutardji Calzoum
Bachri yaitu, Sutardji mengusung penghancurkan konvensi dan menawarkan estetika
mantra. Dan dengan Afrizal Malna yang mengusung keterpecahan, fragmen-fragmen,
dan semangat menawarkan inkoherensi. Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk
ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama
lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. maka,
yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan
imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan, berantakan
dalam gerakan dewa mabuk”.
Kitab Para Malaikat pun
demikian, penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan
penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan masih kental terasa. seperti
tertuang dalam satu larik, Kelopak melati menebarkan untaian makna memecah
ketinggian hening/menuruni nasib, burung-burung ngelayap sayapnya disedot
rebana cinta (XVI:XCI, hal. 97). Jika melihat dari sini, Nurel tak ubahnya
sebagaimana Kahlil Gibran. Kahlil Gibran pun dikenal sebagai tokoh pengusung
kebebasan berpikir, hingga tidak jarang dalam karya-karya terbaiknya pun
ditemui pemorakporandaan imaji-imaji.
Akan tetapi, baik Nurel maupun
Kahlil Gibran, keduanya melakukan hal tersebut semata-mata untuk menemukan
keindahan bunyi dan pencitraan yang tinggi. Tidak salah pada zamannya hingga
hari inipun Kahlil Gibran masih banyak pemuja syair-syair liarnya. Hal ini
dikarenakan yang pertama kali diresapi oleh pembaca bukan makna, akan tetapi
keindahan bunyi lirik. Dan Nurel sangat paham akan hal ini dan memanfaatkan
kelebihannya dalam permainan diksi. Sangat wajar jika antologi ini dikarang
dalam kurun waktu 9 tahun, yaitu dari rentang tahun 1998-1999 sampai tahun
2007, karena Nurel ingin antologinya ini sempurna baik dari sisi keindahan
bunyi maupun makna yang terkandung.
Kurun waktu 9 tahun merupakan
waktu yang lama untuk penulisan sebuah antologi puisi. Sangat dimungkinkan jika
nantinya Kitab Para Malaikat ini akan menjadi sebuah kitab suci para penyair
pada zaman sekarang. Tapi, untuk menuju ke sana, antologi puisi ini perlu diuji
ketahanannya lewat para kritikus sastra lainnya. Uji ketahanan memang belum
semarak dilakukan dalam sastra Indonesia, wajar jika minim ditemukan kritikus
sastra di Indonesia. Melalui Kitab Para Malaikat ini, sangat diharapkan akan
bermunculan kritikus sastra yang berada pada posisi yang semestinya yaitu
mengawal lajunya pertumbuhan sastra di Indonesia.
Sisi lain yang terasa janggal
dalam antologi puisi ini yaitu adanya kesan memanjang-manjangkan kalimat. Ini
juga diungkapkan oleh Heri Lamongan dalam epilognya dalam antologi ini.
Menurutnya, ada kesan Nurel memanjang-manjangkan kalimat padahal hal itu justru
mengaburkan makna larik. Dan hal itu hampir ditemukan pada hampir keseluruhan
lirik dalam antologi puisi ini. Heri Lamongan menyitir salah satu lirik
tersebut adalah, Yang setia menyusuri jalan menapaki pantai hakikat, segera
tahu bunga wijayakusumah merekah bagi syarat penobatan Ratu Adil (XVIII, hal.
126). Jelas ini agak janggal dan mengurangi nilai keindahan bunyi maupun lirik
dalam lirik tersebut. Padahal menurut Emha Ainun Nadjib, puisi tertinggi adalah
yang kata-katanya sudah tak mampu mewakili inti nilainya.
Namun, terlepas dari semua itu,
Kitab Para Malaikat ini sebenarnya telah mampu memuntahkan apa yang hendak
diamanatkan Nurel Javissyarqi. tugas pembacalah membedah makna yang tersirat
dari apa yang tersurat. Buah 9 tahun melakukan pertapaan, meskipun masih
terkesan terburu-buru perlu untuk diapresiasi bahwa antologi puisi ini
merupakan masterpiece Nurel sejauh ini. Sebagaimana tersohornya Mantiq at-Thayr
buah karya Fariduddin Atthar ataupun Matsnawi fi Ma’nawi buah karya Rumi, Kitab
Para Malaikat pun dapat bersaing dengan keduanya. Tinggal bagaimana cara Nurel
menyikapi pembaca dan para kritkikus sastra yang memberikan kritik dan saran
dalam karyanya.
*) Liza Wahyuninto, Kritikus
Sastra dan Direktur Pusat Pengkajian Jalaluddin Rumi Kota Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar