Penulis : Nurel Javissyarqi dkk.
Penerbit : Pustaka Pujangga,
Lamongan
Cetakan : I April 2008
Tebal : 140 halaman
Peresensi: Sungatno*
Sumber: Jurnalnet.com
Dalam konteks pariwisata, seni,
budaya dan sastra di Indonenesia, Bali, merupakan daerah di kawasan nusantara
yang paling di 'anak emas' kan oleh Indonesia. Selain potensi alamiyyahnya yang
memang mampu mempengaruhi tinggi rendahnya devisa Indonesia, Bali juga menjadi
ikon Indonesia dalam mentransformasikan keIndonesiaannya terhadap masyarakat
negara asing. Sehingga, tidak jarang ketika masyarakat asing apabila ditanya
tentang Indonesia, mereka akan menyinggung tentang Bali. Bahkan, tidak menutup
kemungkinan, dalam mengenal Indonesia, masyarakat tersebut berangkat dari
dikenalnya pulau dewata itu.
Pasca tragedi meledaknya Bom di
Bali, 12 Oktober 2003 lalu, dengan gamang dan kekecewaannya, Bali terpaksa
menggandeng 'saudara se-Indonesia-nya, yakni Lamongan, sebagai salah satu
daerah di Jawa Timur (Jatim) yang patut untuk dikenal masyarakat asing, selain
pulau dewata itu sendiri. Pasalnya, dari kasus yang menewaskan ratusan manusia,
termasuk masyarakat asing, kala itu, tidak lepas dari peran putera-putera
Lamongan, Amrozi bin H. Nurhasyim dan kawan-kawan.
Seiring melambungnya nama-nama
putera Lamongan yang terkait dengan kasus tersebut, terlepas dari penilaian
sebagai wujud misi jihad maupun menjadi penjahat, putera-putera tersebut
mendatangkan sumbangaan masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia untuk sekedar
menilai dan mengapresiasi Lamongan. Ironisnya, penilaian dan apresiasi
tersebut, mejadikan Lamongan seakan milik Amrozi dan kawan-kawan saja, terbukti
setiap masyarakat yang belum begitu mengenal tentang Lamongan.
Dalam membicarakan daearah yang
satu ini, tidak luput dari sekedar nyebut atau nyeletuk nama-nama Amrozi dan
kawan-kawan. Bahkan, yang lebih mengenaskan, kini citra positif yang dimiliki
Lamongan selama ini, "teropeng-i kedok-kedok dan kostum-kostum
angker" yang membuat merinding orang-orang yang membicarakannya.
Hal-hal itulah yang memantik
keresahan tersendiri bagi putera-putera Lamongan lainnya dan pemerintah daerah
tentunya. Meskipun Amrozi dan kawan-kawan tidak secara langsung
"menyakiti" fisik masyarakat Lamongan, namun efek dari
percikan-percikan api kebenciannya terhadap masyarakat asing yang dikatakan
meresahkan dan mengganggu ketentraman hati dan keimanan mereka itulah yang
menjadikan spirit masyarakat Lamongan untuk keluar dari kepompong
anggapan-anggapan angker yang melilit Lamongan.
Adalah Nurel Javissyarqi dan
kawan-kawan dari ribuan putera-putera Lamongan inilah yang mencoba membedah dan
keluar dari kepompong-kepompong angker tersebut dengan bekal ketajaman,
keindahan, keramahan, keromantisan dan ide-ide brillian mereka yang tertuang dalam
karya sastra yang kemudian terbukukan dalam sebuah antologi yang berjudul
Gemuruh Ruh; Antolongi Sastra Lamongan ini.
Meskipun antologi sastra ini
hanya tertuang dalam 140 halaman yang disajikan oleh tujuh belas kawan-kawan
dari Lamongan, namun spirit berjihad mereka dalam mengembalikan dan
mengembangkan citra positif Lamongan cukup terasa. Karya sastra yang tidak
hanya berkutat kedaerahan itulah yang menjadikan nilai lebih pada mereka,
apabila dicocokkan dengan pengakuan mereka sebagai sosok penulis yang tersebar
dan lahir didaerah pedesaan (Wong Ndeso) dikawasan Lamongan (hlm. 5).
Namun, walaupun dalam
pendahuluan buku tipis ini mereka mengaku sebagai –meminjam istilah yang biasa
dimantrakan Tukul Arwana- Wong Ndeso, apabila pembaca mengamati nama-nama yang
tergabung dalam ke-17 sastrawan muda ini, pembaca akan mengabaikan pengakuan
mereka sebagai Wong Ndeso yang dewasa ini lebih terilustrasikan sebagai sosok
orang-orang yang katrok, kuno dan ketinggalan laju arus zaman. Sebab, ke-17
penulis ini sudah tak begitu ketinggalan lagi dalam mengenalkan nama-nama
mereka terhadap pembaca melalui media massa, baik lokal maupun nasional, dengan
guratan-guratan karyanya yang diakui dan diloloskan oleh redaktur media massa
tersebut.
Seperti yang tercermin dalam
media massa dan buku atau karya dalam bentuk lain yang mungkin pernah kita baca
itulah, para penulis menambatkan karya-karya sastra mereka dalam buku ini.
Mulai dari puisi, cerita pendek (cerpen), esei, prosa bahkan naskah drama atau
teater.
Selain tema-tema yang dianggkat
beraroma isu-isu sastra nasional yang sedang hangat (hlm. 7-36), antologi ini
juga mengangkat budaya lokal Lamongan dan hal-hal yang unik yang terdapat pada
daerah tersebut (hlm. 37-42).
Begitu juga tentang persaudaraan
dan persahabatan dengan penulis karya sastra lainnya, terasa akrab dan saling
menghormati dan menyayangi (hlm. 132-138). Dari ke-17 penulis buku ini, antara
lain; Masyhuri, Rodli TL, Anis Ceha, Rian Sindu, Pringgo HR, Joko Sandur,
Ridwan Rachid, Imamuddin SA, Heri Kurniawan, Herry Lamongan, Haris Del Hakim,
M. Bagus Pribadi, Javed paul Syatha, A. Rodhi Murtadho, Ahmad Syauqi Sumbawi,
Bambang Kemling dan Nurel Javissyarqi.
Meskipun membaca buku ini terasa
asik dan kagum dengan kepedulian penulis terhadap citra Lamongan yang sempat
bergolak, pembaca akan digertak Adi Ganteng, sebagai desaigner cover, dengan
hasil rancangan kover buku ini yang menampilkan peta Indonesia beserta negara
sekitar menjadi terbalik, sementara daerah Lamongan terlihat mengkobarkan api
besar dan menjilat-jilat keangkasa.
Apakah artikulasi ilustrasi yang
ditampilkan Ade pada kover tersebut? mungkinkah dunia akan gonjang ganjing dan
Lamongan terbakar duluan, atau paradigma dunia akan berbalik dan mengelu-elukan
Lamongan atas cahaya kobaran api semangat yang dimunculkan putera-putera
Lamongan dalam menyadarkan dunia? Teka-teki inilah yang bergelayutan dan hendak
dijawab oleh arek-arek asal Lamongan ini.***
*) Aktivis Scriptorium Lintang
Satra Yogyakarta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar