Mahmud Jauhari Ali
Apakah yang terbayang di benak
Anda ketika membaca judul saya di atas? Wujud bahasakah? Dukun yang sedang
membaca mantra? Seorang lelaki yang sedang menunaikan tanggung jawabnya? Atau
apa?
Hari itu, di sebuah ruang
belajar, saya pernah menyimak sebuah pertanyaan singkat, “Apakah bahasa itu?”
Mungkin Anda juga pernah mendengarnya. Mungkin juga tidak. Mengenai pertanyaan
tersebut, banyak orang menjawabnya dengan kalimat sederhana, “Bahasa ialah alat
komunikasi.” Pertanyaannya sekarang adalah, benarkah bahasa itu memang alat
komunikasi?
Sebelum kita masuk ke wilayah
yang lebih jauh menyangkut hakikat bahasa, dan juga menanggapi buku karangan
Nurel Javissyarqi yang judulnya saya tuliskan di atas itu, saya katakan
terlebih dahulu, bahwa saya bukanlah seorang linguis atau pun sastrawan hebat. Dalam hal ini saya hanyalah seorang penulis yang ingin
menuliskan apa yang saya ketahui saja.
Baiklah, kembali ke pertanyaan
apakah bahasa, sekilas tidak salah jika bahasa diartikan sebagai alat
komunikasi. Mengapa? Sebab, fungsi utama bahasa memanglah sebagai alat
penyampai pesan dari pembicara kepada penyimak, atau dari penulis kepada
pembaca. Namun, apakah argumen itu sudah kuat dalam kajian yang mendalam untuk
menjadi landasan dalam pendefinisian bahasa?
Saya yakin semuanya akan sepakat
bahwa fungsi utama bahasa ialah sebagai alat komunikasi. Akan tetapi, fungsi
tidaklah sama dengan batasan atau definisi, bukan? Jadi, jika ditanya apa salah
satu fungsi bahasa, jawabannya yang benar ialah alat komunikasi. Dengan
demikian, “alat komunikasi” bukanlah definisi bahasa, melainkan salah satu
fungsi bahasa saja.
Nah sebenarnya pertanyaan apakah
bahasa ini menyangkut hakikat bahasa itu sendiri. Ketika kita mendengar kata
“bahasa”, yang muncul di dalam otak kita ialah “kata”, “frasa”, “klausa”,
“kalimat”, dan seterusnya. Kata dan lainnya itulah bahasa di tiap-tiap
tatarannya. Secara mudah, baik kata maupun yang lainnya itu sebenarnya ialah
lambang bunyi. Dan, lambang bunyi tersebut merupakan wadah makna yang
menghubungkan antara lambang seperti kata dengan rujukannya. Misalnya, kata
mata merupakan wadah makna yang berbunyi ‘indra di tubuh makhluk hidup untuk
melihat’. Makna ini menghubungkan kata mata dengan rujukannya berupa benda
bulat yang melekat di bagian wajah tubuh makhluk hidup untuk melihat.
Jadi, ketika kita mendengarkan
orang mengucapkan, “Selamat pagi!”, berarti kita mendengarkan orang mengucapkan
bahasa. Atau, saat ada seorang anak kecil mengucapkan kata “Enak.”, dia telah
mengucapkan bahasa, yakni bahasa Indonesia.
Jika kita cermati dengan
saksama,“Selamat pagi!” dan “Enak.”, semuanya memiliki aturan atau bersistem.
Perhatikan saja, “Selamat pagi!” tidak diucapkan dengan pagi selamat dan
“Enak.” tidak diucapkan kane, anek, neak, atau kena. Ini membuktikan bahwa
bahasa itu bersistem dan sistem itu berlaku secara konvensional oleh suatu
kelompok manusia atau masyarakat bahasa. Sebut saja salah satu kelompok manusia
yang saya maksud itu ialah warga Indonesia. Saya, Anda, dan lainnya termasuk di
dalam kelompok manusia itu yang sepakat secara konvensional atas bahasa
Indonesia, baik kata dan lainnya.
Dengan demikian, kiranya sudah
dapat kita tangkap apakah bahasa yang sejatinya merupakan hakikat bahasa itu
sendiri, yakni sistem lambang bunyi yang arbitrer (mana suka) dan secara
konvensional digunakan untuk kepentingan manusia, seperti berkomunikasi,
bekerja sama, dan membangun bangsa dalam suatu masyarakat bahasa.
Dalam kaitannya dengan
masyarakat bahasa ini, dikenal istilah kreativitas linguistik. Contoh nyata
dari kreativitas itu ialah, huruf-huruf latin yang jumlahnya tak sampai seratus
buah, bisa dibuat kata, kalimat, paragraf, dan lainnya yang tak terhingga
jumlahnya. Buku-buku berhuruf latin yang jumlahnya sangat banyak di dunia ini
pun, sejatinya juga dibentuk dari huruf-huruf dengan jumlah yang tak terlalu
banyak itu. Bayangkan saja, seorang penyair memanfaatkan huruf latin untuk
dibentuk menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi yang terhimpun
dalam buku antologi puisi. Begitupun nenek moyang kita dulu, dari huruf-huruf,
mereka membuat banyak mantra. Ya, mantra yang memiliki makna dan maksud untuk
ditujukan kepada roh dan lainnya.
Tentunya agar bisa membuat karya
semacam puisi mutahkhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi bahasa termasuk
mengerti makna dari kata yang digunakan pembuatnya untuk menghasilkan karya
bermutu.
Nah, menghubungkan perihal
bahasa di atas itu dengan buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji
Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi (terbitan Pustaka Pujangga, Mei,
2011), menurut saya sangat menarik. Sejauh mana kemenarikan itu? Silakan ikuti
bahasan saya berikut ini.
Kata-Kata harus Bebas dari
Pengertian
Dalam buku Menggugat Tanggung
Jawab Kepenyairan SCB, Nurel Javissyarqi terkesan langsung menghubungkannya
dengan mantra. Hal ini sesuai dengan SCB dalam kata-katanya yang ingin
mengembalikan kata kepada mantra. Menurut SCB, mantra tak bermakna sebagai
bagian dari pemikiranya untuk melepaskan kata dari pengertian. Dan, pada buku
itu terlihat jelas Nurel menolak penyataan SCB bahwa kata harus bebas dari
pengertian tersebut.
Nurel beropini bahwa mantra itu
sendiri mengandung makna agung untuk ditujukan kepada roh dan lainnya. Dengan
kata lain, mantra tanpa makna tidak akan mujarab. Lalu apakah persoalannya
sekarang sudah tuntas sampai di situ? Ternyata tidak. Sebab, muncul pertanyaan
baru, apakah benar mantra tanpa makna seperti kata SCB? Ataukah memang memiliki
makna seperti yang dikatakan Nurel?
Untuk menjawab dua pertanyaan
pilihan itu tentu kita selayaknya kembali kepada apa sebenarnya hakikat bahasa.
Kata, sesuai dengan ilmu linguistik yang saya paparkan di atas, merupakan wadah
makna. Tentunya, makna, maksud, dan pengertian tidak bisa dilepaskan dari kata
itu sendiri. Mengapa?
Sebab, kata tanpa makna, maksud,
atau pengetian, menjadikan kata itu kosong. Serupa dengan kaleng bekas wadah
kue kering yang sudah habis kita makan. Misalnya kata pintu, jika dilepaskan
dari maknanya, kata itu tidak akan berfungsi apa-apa. Itu sama saja dengan
wujud-wujud seperti lopi, meka, juha, dan lainnya yang tanpa makna dan tanpa
fungsi apa-apa. Coba renungkan, apakah lopi, meka, juha bisa kita gunakan untuk
meyampaikan pesan? Tidak bukan? Sebaliknya, jika makna, maksud, atau pengertian
yang dilepaskan dari kata, semuanya itu akan kehilangan wadahnya. Dan,
ujung-ujungnya akan dicari wadah atau kata lain untuk mewadahi makna yang
dilepaskan dari kata awalnya.
Wadah makna itu sangat penting
sebagai penamaan dalam komunikasi. Sebagai gambaran singkat, dulu orang belum
bisa membuat komputer sehingga orang-orang tidak mengenal kata computer.
Kemudian dengan kegigihan orang, terciptalah benda baru yang bisa digunakan
untuk mengetik, mendesain gambar dan sebagainya. Untuk mewadahi atau menamai
ciptaan baru manusia itu, dicarilah dan dipilihlah secara artbirter (mana suka)
dengan nama computer. Pertanyaannya, apa jadinya jika kata dan makna dipisahkan
satu sama lainnya?
Nah, selain kata, sebenarnya
sesuatu di luar lingual atau nonverbal pun memiliki makna. Tidak percaya?
Perhatikan ilustrasi berikut.
Siang itu Fajar membujuk Hena
makan di warung sederhana di ujung kampus. Fajar sudah berusaha keras membuat
pacarnya yang super elit itu mau mengikuti kehendaknya. Tapi sayang, Hena diam
saja. Beberapa waktu Hena masih diam dan tak lama kemudian Fajar menyerah. Ya,
dia berhenti membujuk pacar kesayangannya yang cantik itu. Mereka pun akhirnya
makan siang seperti biasanya di rumah makan yang mewah dengan harga selangit.
Dari ilustrasi itu kita bisa
mengetahui makna dari diamnya Hena, yakni ‘tidak mau makan di warung makan
sederhana di ujung kampus mereka’. Dengan diam itu, Fajar menyerah dalam bujuk
rayunya. Diam termasuk nonverbal, tapi memiliki makna. Apalagi dengan bahasa
verbal? Tentu memiliki makna, bukan.
Melihat fakta emperis dan
pembahasan di atas, jelaslah bahwa kata tidak bisa dilepaskan dari makna,
maksud, dan pengertian. Dengan kata lain, kata yang merupakan lambang selalu
akan menjadi wadah dari makna, maksud, dan pengertian yang menghubungkan dengan
rujukannya, baik benda maupun konsep. Jika demikian, kata-kata dalam mantra pun
sebenarnya memiliki makna. Perhatikanlah mantra berikut ini.
Bahasa Arab dan Banjar
…………………….Bahasa Indonesia
Bismilahirrahmanirahim……………Dengan
nama Allah Tuhan
…………………………………………….Yang Maha
Pengasih
…………………………………………….lagi Maha
Penyayang
Kecuali pandira ini
bagarak………Kecuali bendera ini bergerak
Maka maling kawa bagarak………Maka
pencuri bisa bergerak
Barakat La
ilahaillah………………..Berkat tiada Tuhan malainkan Allah
Muhammadarasulullah……………..Muhammad
adalah utusan Allah
Tak ada satu kata pun yang tak
bermakna dalam mantra di atas bukan? Dan, pembuatnya mampu membuat mantra itu
dengan ditunjang kompetensi bahasanya termasuk dalam hal makna dari kata-kata
yang digunakannya itu. Kalau pun ada kata-kata yang hanya bunyi saja di dalam
mantra, itu mengandung maksud tertentu yang dimengerti oleh si pembuatnya untuk
ditujukan kepada roh dan lainnya. Dan, pembuat mantra harus memiliki komptensi
bahasa dulu baru bisa membuat mantra.
Intinya, antara kata dan makna
tidak bisa dilepaskan. Dan, makna itu sangatlah penting. Karena itulah, ada
ilmu semantik yang membahas soal makna dan wadahnya. Untuk kata-kata yang
terkesan hanya bunyi tanpa makna dalam mantra, dikaji khusus dalam semantik
maksud.
Kata Pertama adalah Mantra
Di bagian terdahulu dari tulisan
ini sudah saya katakan bahwa dalam masyarakat bahasa ada istilah kreativitas
linguistik. Seorang penyair misalnya, memanfaatkan huruf latin untuk dibentuk
menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi. Begitupun nenek moyang
kita dulu, dari huruf-huruf, mereka membuat banyak mantra. Tentunya agar bisa
membuat karya semacam puisi mutakhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi
bahasa termasuk mengerti makna dari kata yang dia gunakan untuk membuat karya
bermutu.
Jadi, nenek moyang kita membuat
mantra dengan berdasarkan kompetensi bahasa. Di sini jelas, sebelum membuat
mantra, nenek moyang kita sudah mengenal kata dan mengetahui maknanya. Bisa
dikatakan, sebelum mantra diciptakan, terlebih dahulu harus ada kata dengan
kandungan maknanya. Atau dengan kata lain, kata dan makna lebih dahulu ada
sebelum adanya mantra. Dengan demikian, tentunya tidak mungkin yang belakangan
diciptakan—mantra—menjadi awal dari yang sebelumnya telah ada (kata dan makna).
Nah inilah yang dipersoalkan
oleh Nurel dalam bukunya yang berkover warna dominan merah itu. Secara
terang-terangan, Nurel menolak pernyataan SCB bahwa kata pertama ialah mantra.
Saya pun secara objektif tidak sependapat dengan pernyataan SCB tersebut.
Mengapa? Karena, sudah jelas bahwa mantra itu diciptakan setelah ada kata.
Jadi, kata pertama bukanlah mantra. Kalau benar penyataan SCB itu bahwa kata
pertama ialah mantra, lalu misalnya di dunia ini kata yang pertama ialah makan,
apakah kata makan itu mantra? Tentunya kata makan bukanlah mantra. Melainkan,
kata makan bisa menjadi kata untuk membuat mantra.
Penyair Tidak Bisa Dimintai
Pertanggungjawabannya
Siapakah penyair itu?
Apakah dia wali Tuhan di bumi?
Rasul yang membawa wahyu? Atau Tuhan itu sendiri?
Ada yang mengatakan bahwa
penyair disebut juga sastrawan. Nah, kata sastrawan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia merupakan lema yang tergolong nomina dengan beberapa makna di
dalamnya. Makna-makna itu adalah ’ahli sastra’, ’pujangga’, ’pengarang prosa
dan puisi’, ’(orang) pandai-pandai’, dan ’cerdik cendekia’.
Batasan itu secara umum
memasukkan penyair ke dalam golongan sastrawan. Dan, setinggi apapun penyair
hingga dia dimasukkan dalam kaum sastrawan, tidak serta merta membuatnya bebas
dari tanggung jawab. Penyair tetaplah manusia. Dia tak bisa menjelma malaikat
atau lainnya. Semua manusia, termasuk penyair akan mempertanggungjawabkan
segala amalnya. Jika salah, dia dihukum dan jika benar dia akan mendapatkan
ganjaran yang baik. Jangankan kata dalam bentuk puisi tertulis atau diujarkan
di atas panggung, bisikan hati penyair yang belum menjelma kata-kata dan
perbuatan lainnya pun dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan kelak.
Dalam tataran manusia saja,
perkataan siapa pun selalu menimbulkan efek. Bisa negatif, bisa pula perkataan
kita berdampak positif bagi orang lain. Jika berdampak negatif, bukan hanya di
akhirat kita mempertanggungjawabkannya, tetapi di dunia kita juga harus
mempertanggungjawabkan perkataan itu. Bahkan, bisa jadi pertanggung jawabannya
dengan kehilangan nyawa atau kematian.
Sehubungan dengan dunia puisi,
SCB menyatakan penyair tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Dan,
pernyataannya itu ditolak oleh Nurel Javvisyarqi. Menurut Nurel, penyair tidak
bisa disamakan dengan Tuhan. Saya pun secara objektif dan sesuai penjelasan di
atas itu, menolak pernyataan SCB tersebut.
Berkaitan dengan efek,
pernyataan SCB itu dapat menimbulkan kebebasan tingkat tinggi. Bayangkan saja,
jika penyair tidak dimintai pertanggungjawabannya, tentu penyair akan sesukanya
menggunakan kata. Kata-kata yang tak patut dikatakan semisal yang porno, kotor,
dan lainnya pun akan menjadi halal dikatakan oleh penyair. Sebab, penyair tidak
mempertanggungjawabkan kata-katanya. Ini kekebasan yang sangat tidak diharapkan.
Apabila hal ini dikaitkan dengan Licentia peotica dalam sastra pun, kurang
sejalan. Licentia poetica pun yang ideal memiliki batasan agar tidak melampaui
batas kewajaran, termasuk memperhatikan aspek tanggung jawab dalam berkarya.
Penyair yang baik, selayaknya
memperhatikan setiap kata yang digunakannya untuk membuat puisi sebelum
dipublikasikan ke tengah masyarakat. Ini penting untuk menghindarkan
tafsiran-tafsiran yang tidak diharapkan.
Nah, ketiga hal di atas itulah
yang menurut saya merupakan inti dari buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan
Sutardji Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi, sang pengelana dari bencah
Tanah Jawa itu. Dan, hanya inilah secuil tulisan yang dapat saya sampaikan.
Sejatinya kebenaran hanya milik Tuhan dan jika ada yang tak sejalan dengan
pemikiran saya di atas, itu hal wajar. Salam takzim dari saya di Tanah Borneo!
Kalimantan Selatan, 8 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar