Sabtu, 31 Agustus 2019

Menulis (Proses Kreatif)

Kurnia Effendi

KOLEKSI JUDUL

Sampai saat ini, saat menulis esai ini, aku membuat cerita pendek atau cerita panjang, selalu dimulai dengan "judul". Mungkin tidak akan berubah, karena agak berlebihan jika kukatakan belum berubah. Cara itu tidak sengaja kulatih, bukan pula merupakan jalan terakhir setelah gagal dengan cara yang lain. Sama sekali tidak. Itu adalah cara pertama yang kemudian menjadi - setelah tahu namanya: - proses kreatif.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika diwawancara oleh redaktur majalah remaja, dan terlontar pertanyaan: Bagaimana biasanya kamu menulis cerpen? - aku tidak perlu memikirkan jawaban. Saya mulai dari judul, demikian jawabku. Dan memang seperti itu yang terjadi. Dalam dompetku suka tersimpan selipat kertas, yang kutulisi beberapa judul, entah cerpen atau cerber. Pada saat judul itu kutuliskan, kadang-kadang belum terlintas kisah apa pun. Belum terpikir serangkai cerita, belum terbentang tuturan atau alur nasib seorang tokoh. Sebuah frasa atau kelompok kata yang tiba-tiba melintas, mempesona pikiran dan perasaan, segera ku'tangkap', kutulis atau kuingat, selanjutnya menjadi 'biji-biji' yang tersimpan dalam 'tanah gembur' proses kreatif. Ada yang langsung tumbuh menjadi sosok cerita, banyak pula yang terus terlelap menunggu secercah cahaya gagasan yang kelak membangunkannya.

Mungkin ini menjadi semacam keberuntungan, bahwa aku menulis dari sisi yang - menurutku - paling tepat. Mengapa? Karena judul adalah kata atau kalimat yang dibaca pertama kali oleh 99,99% pembaca. Untuk jenis bacaan apa pun. Kadang-kadang, ketika seseorang mendapatkan sebuah majalah di ruang tunggu dokter, misalnya, secara highlight akan membuka lembar demi lembar untuk menemukan judul yang menarik minatnya sebelum membaca lebih jauh. Bahkan seandainya aku menulis sebuah novel, atau cerpen, yang diawali dengan: Tanpa Judul; itu pun sebuah judul!

Apakah kusadari sejak awal bahwa judul itu penting? Ternyata tidak. Itu semacam refleks, impulsif, atau kebiasaan yang tidak diniatkan seperti ketika seseorang mencoba mendisiplinkan sesuatu. Tiba-tiba saja berkelebat. Tertangkap. Melekat. Andaikata aku sangat percaya terhadap daya ingat, mungkin tidak perlu mencatat. Tapi aku cukup senang dengan sesekali membaca koleksi judul-judul itu di kala senggang. Oleh sebab itulah, pada kertas kecil, atau apa saja yang bisa dibubuhkan tulisan: kutorehkan judul-judul itu.

Misalnya, beberapa yang kuingat: Segenggam Melati Kering, Tetes Hujan Menjadi Abu, Berjalan di Sekitar Ginza, Anak Arloji, Kincir Api, Menemani Ayah Merokok, Laras Panjang Senapan Cinta, Abu Jenazah Ayah, Tilas Cemeti di Punggung... Hampir semua dimulai dari kelebat aksara khayali atau bunyi yang tertangkap hati. Kadang-kadang ketika sedang bercakap-cakap dengan teman, lalu terangkai dari percakapan itu sebuah komposisi kata yang menarik, nah! Lalu seperti ada lampu menyala. Byar! Wah, ini asyik untuk judul!

Melalui tuturan ini, hendak kubongkar rahasia. Seperti kuungkap tadi, kadang-kadang aku tak punya cerita apa pun sebelumnya. Tetapi, justru sebuah judul sanggup menghamparkan kisah. Bahkan, secara agak tak terduga, ternyata judul itu pintar menghimpun cerita. Maka judul itu akhirnya mendapat tugas sebagai penyimpan gagasan sebuah kisah, baik untuk karya prosa maupun puisi. Dengan mengingat sebuah judul, seolah-olah terurai jalan hidup seorang tokoh dengan pelbagai konflik di dalamnya. Kukira, itulah yang umumnya terjadi pada riuh-rendah benakku dalam proses menulis karya sastra.

CURAH KISAH

Sewaktu-waktu, ketika sedang bersamaku, jangan heran jika kucurahi cerita. Biasanya, judul yang mengemban kandungan cerita itu tak cukup sabar tetap tersimpan dalan vestiaire angan-angan. Aku akan menyampaikan semacam fragmen: mungkin segerumbul percakapan para tokoh, atau gambaran perilaku, bahkan semacam abstraksi hikayat, atau hal-hal yang menjadi tumpuan tema. Mengapa demikian? Jika suatu ketika aku mau menulis, dan kebetulan lupa harus mulai dari mana, aku tinggal menelepon kawan yang sempat mendengarkan 'petikan' kisahku.

Pernah di suatu makan malam dengan dua sahabat di café, aku menceritakan tentang perilaku seseorang yang sedang patah hati yang dipandang tak masuk akal oleh tokoh lainnya... Jadi jangan heran jika suatu saat nanti aku menanyakan pada kalian detil yang mungkin terlepas dari ingatan. Begitulah. Tak ada rasa cemas, andai gagasan itu kemudian dicuri oleh sang pendengar yang kebetulan (dan biasanya) juga seorang pengarang. Jika memang diambil-alih, aku akan gembira karena ternyata ide yang berasal dari kepalaku itu menarik juga dibuat cerpen oleh orang lain. Tetapi, boleh jadi, cara kita bercerita berbeda.

Sejak menggunakan mesin ketik, aku tak pernah membuat konsep terlebih dulu. Langsung tulis saja. Dulu, untuk menulis cerpen 8 halaman, kadang-kadang membutuhkan lebih dari seratus lembar kertas. Karena selalu ada suntingan atau perubahan setiap kali dibaca ulang. Namun kini dengan komputer, jika salah ketik mudah dihapus. Mudah dipindah, digandakan, dan yang lebih terasa manfaatnya: dapat disimpan.

Dengan kemampuan alat seperti itu, kebiasaanku mengoleksi judul, semakin terasa hikmahnya. Kini aku ke mana-mana membawa disket, yang di dalamnya telah siap sepuluh file dengan masing-masing judul. Lantas bagaimana caraku bekerja? Duduk di depan komputer, buka file pertama, misalnya: Puisi di Bangku Taman. Eh, baru lima paragraf mendadak buntu, segera kubuka file kedua: Mengapa Hiuma Berduka? Hei, itu fabel, cerita buat anak-anak! Tak jadi soal. Entah mengapa, ada saja yang secara otomatis mengubah diri di rongga benakku, sehingga yang muncul adalah fantasi kanak-kanak. Demikian seterusnya.

Jadi, jika aku membekal lima disket (mungkin kelak segera kuganti flashdisc, agar lebih banyak menyimpan calon naskah) ada berapa calon cerpen, puisi, novelet, di dalamnya? Ayo lakukan seperti aku! Pasti asyik. Dan tak perlu menyepi ke balik gunung atau ke dasar samudera. Karena aku bukan pengarang menara gading. Cukup menempati koridor yang menghubungkan antara ruang tamu dengan ruang makan. Sambil sesekali nonton tivi, atau ngajari PR anak-anak. Atau di meja samping kantor ketika jam kerja belum mulai (sering datang kepagian karena ada kewajiban mengantar anak-anak yang masuk sekolah jam tujuh). Atau di sebuah warnet dekat hotel tempat menginap ketika sedang tugas keluar kota. Yang paling kerap terjadi, aku menulis pukul 22.00 sampai tengah malam.

SELALU "YA"

Di tengah rapat kantor, tiba-tiba telepon selular bergetar. "Halo." Setengah berbisik. "Lagi sibuk?" suara di sana. "Lagi meeting, apa kabar?" Ujung-ujungnya: "Ada stok naskah cerpen nggak? Buat edisi Oktober, sepuluh hari selesai, ya?" Tentu kujawab: "Ya." Mengapa tidak? Dengan ucapan 'ya', aku yakin ada semacam keajaiban yang bekerja ekstra di seluruh kepalaku. Judul-judul berlintasan seperti meteor. Tapi, tentu aku meneruskan pekerjaan dulu sampai selesai jam kantor. Dengan ucapan 'ya', seluruh peri yang beterbangan di udara meniupkan pelbagai gagasan. Nah: "Percakapan Sepasang Peri..." Haha, bagus nggak kedengarannya?

Itu stimulus yang datang dari luar. Setidaknya, istilah produktif tak hanya digenjot dari dalam diri sendiri. Ada saja yang kemudian meminta cerpen. Dan ada saja majalah atau surat kabar yang tahu-tahu telah lama tidak kujenguk dengan karya. Mungkin Matra, Gadis, Femina, Lampung Post, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen, atau Bee Magazine... Ya. Ternyata aku tidak melulu menulis untuk sastra koran. Untuk majalah Cinta tentu harus cerita remaja. Ya sudah. Aku terus menyambar-nyambar ke pelbagai segmen pembaca. Nggak dosa, kan? Justru asyik, lho! Apalagi anakku sudah tiba usia remaja, saatnya memberi mereka bacaan yang baik. Menurutku, tentu.

Setelah pernah menulis di Kompas dan Horison, ternyata aku enjoy aja mengirimkan naskah ke tabloid milik sebuah radio swasta di Jombang. Kupikir, mereka yang ada di ujung pulau atau dikepung pegunungan juga perlu membaca cerpenku. Redaksinya menelepon, meminta, ya aku buatkan. Tidak pilih-pilih. Juga harus bagus. Menurutku, tentu.

Untuk membuat diriku 'malu', aku selalu membuat target di awal tahun. Misalnya tahun ini aku akan menulis 48 cerpen, 200 puisi, satu novel, 12 esai. Kutulis dan kukirim melalui sms kepada para sahabat ketika tiba tanggal 1 Januari. Dan menjelang Desember, aku mulai menghitung prestasi. Apakah tercapai? Apa pun hasilnya, kukirim melalui sms juga kepada sahabat yang pernah menerima informasi target. Sebagai evaluasi diri. Mudah-mudahan para sahabat yang selalu menerima informasi itu tidak bosan. (Kan tinggal pencet delete, sms itu terhapus). Seandainya luput terlampau banyak, tentu aku malu dan kembali mengejar di tahun berikutnya.

Jadilah pengrajin! Kata Zen Hae: kita ini hanya si tukang cerita. Boleh jadi demikian. Tetapi, seseorang yang telah memiliki ketrampilan teknis seperti Seno Gumira, Arswendo, dan Putu Wijaya, bisa menjadi pengrajin yang berkualitas. Mengapa? Karena keluasan wawasan mereka, di samping memang sudah terlalu piawai menangkap ilham. Dengan kata lain, ilham itu tidak ditunggu. Tetapi dikejar!

SIHIR BRAGA

Dulu sekali, waktu masih kuliah di Bandung, ada sejenis 'hantu' kalimat yang selalu berkelindan dalam rongga benakku. Begini kira-kira: Tiga hari yang lalu, aku menerima fotomu, close up dan berwarna. Tadi pagi ibumu mengirim telegram yang mengabarkan bahwa engkau telah tiada.

Dua kalimat itu terus saja terngiang, bahkan mungkin tercetak semacam cukil kayu di batok kreatifku. Apakah itu yang disebut obsesi? Ini harus jadi cerpen! Ini harus memenangkan lomba! Lalu aku agak bimbang dengan judul yang telah berkelebat. Catatan Sepanjang Braga atau Kenangan Sepanjang Braga? Lantas kutanya pada sahabat Acep Zamzam Noor, bagaimana menurut pendapat dia. Ia menjawab lugas: "Potong saja yang tak perlu. Sepanjang Braga.Itu bagus sekali."

Cerpen itu, Sepanjang Braga, kemudian memenangkan juara pertama lomba cerpen majalah Gadis tahun 1988. Itu jauh di masa lalu. Kini, ternyata aku telah memiliki empat versi cerita "Sepanjang Braga". Ada apa dengan Braga? Mengapa aku selalu merasa wajib melintasi jalan itu setiap kali berkunjung ke Bandung? (sekarang aku tinggal, berkeluarga, dan bekerja di Jakarta).

Mungkin Braga memang menyimpan masa silam Bandung, dekat dengan aroma kolonial dan seni, juga dekat dengan peristiwa bersejarah semacam KTT Asia Afrika. Hampir sama dengan ikatan chemistry seseorang terhadap Malioboro di Yogya, misalnya. Atau Jalan Sabang di Jakarta. Atau Jalan Somba Opu di Makassar. Mungkin. Tapi demikianlah perasaanku terhadap Braga.

Itu kusebut ilham yang membius. Yang menerbitkan rasa haru. Dan perasaan seperti itu, dulu, sanggup membuatku tiba-tiba ingin pulang untuk menulis padahal sedang jalan bersama seorang kawan. Atau terpaksa tidak kuliah demi mengalirnya banjir cerita untuk menjadi halaman-halaman prosa.

SUMBER ILHAM DAN BUKU

Selalu terngiang ucapan Joni Ariadinata yang meminta cerpen-cerpenku untuk dibuat buku antologi pribadi. Buku? Wah, apakah sudah saatnya? Itu tahun 2002. Begitulah, pada tahun 2004, terealisasi 2 buku sekaligus: Senapan Cinta (Penerbit Kata-Kita) dan "Bercinta di bawah Bulan" (Metafor Publishing). Pada tahun 2005 menyusul 2 buah lagi: Aura Negeri Cinta (Lingkar Pena Publishing House) dan Kincir Api (Gramedia). Sementara di tahun 2006, aku berhasil menerbitkan novel remaja Selembut Lumut Gunung (Cipta Sekawan Media).

Kadang-kadang aku tidak menyangka dengan momentum seperti itu. Mungkin karena banyak uluran tangan sahabat juga yang membuat buku-buku itu lalu menyebar sebagai pemberitaan maupun koleksi.

Aku bekerja di perusahaan otomotif (ATPM) Suzuki Mobil. Sangat beruntung karena aku berada pada bagian pengembangan showroom seluruh Indonesia. Setidaknya 3 kali keluar kota dalam sebulan. Setidaknya berkali-kali mengunjungi wilayah-wilayah baru di pelbagai daerah. Jadi sudah terbiasa, sejak dari bandara aku sudah sms kepada para sahabat (jurnalis, penyair, budayawan, redaktur, seniman) di daerah tujuan. Saat aku keliling daerah itulah, kujumpa beribu tunas cerita. Tak hanya melihat sunset di pantai Pare-Pare, atau memandangi tamasya ikan di dasar laut Bunaken melalui Katamaran. Bertemu dengan kawan-kawan sastrawan, jurnalis, dan seniman di daerah, membuat hidup ini sangat berwarna. Ternyata, ketika ide mampet, ngobrol dengan kawan-kawan itu seperti charging baterei dalam pikiranku. Dari sanalah ilham mengalir. Tinggal: sempat atau tidak menuliskannya di antara waktu yang padat oleh kegiatan formal kantor?

Jadi, mohon jangan menolak jika sewaktu-waktu kalian kutelepon, hanya untuk sekadar makan malam di TIM, atau sama-sama menikmati sate kambing di Bukafe milik Mas Kiki di Duren Tiga. Tentu tak ketinggalan berusaha hadir pada acara-acara yang digelar oleh toko buku MP Point Book, Selasar Omah di Empu Sendok, Bentara Budaya atau PDS HB Jassin dan Teater Utan Kayu. Entah kenapa, otakku jadi berbinar-binar.

Selalu kupanas-panasi kawan untuk terus menulis. Kubagi alamat email semua redaktur kepada teman sejawat. Pokoknya, mari kita menulis! Agar dunia bacaan kita makin ramai. Dan tentu akan melahirkan sejumlah buku-buku baru lagi. Jangan pikirkan award atau pernghargaan dulu. Yang penting batin kita puas dan orang lain beroleh pencerahan.

Dari satu buku (yang disiapkan demikian lama) ke buku yang lain, ternyata mengalir saja. Itulah yang kusebut momentum tadi. Dan tak terhindarkan dari campur tangan tulus orang lain. Maka sebaik-baik pengarang adalah (menurutku, tentu) yang memiliki banyak jaringan, dan saling berkomunikasi secara tulus dan saling berbagi.

http://fajarbaskoro.blogspot.com/2008/07/menulis-kurnia-effendi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah