Anindita S Thayf
Koran Jakarta, 2/11/2018
Jejak maskulinitas, salah satunya dapat dilihat dalam bahasa politik. Niccolo Machiavelli, dalam The Prince, menautkan politik dengan kejantanan atau virtu. Virtu meliputi kegarangan, ketegasan, kelicikan, keagresifan, keberanian, kenekatan, dan kegesitan. Menurut Machiavelli, mereka yang lembek sebaiknya menyingkir dari arena politik. Hanya mereka yang jantan yang pantas memperebutkan kekuasaan. Dalam hal ini, sikap kejam lebih diutamakan. Dengan bersikap kejam maka seorang politikus akan lebih diperhitungkan baik sebelum maupun setelah berkuasa. Di sinilah politik berkarakter maskulin.
Politik berhubungan dengan laku mengalahkan dan menguasai. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan tentu berhubungan dengan hal tersebut. Umpamanya, kata ganyang, babat, tumpas, yang sering terdengar pada masa Orde Lama. Kata-kata ini muncul seiring Soekarno yang sering mengumandangkan pekik, "Ganyang Malaysia!" saat terjadi konfrontasi dengan Negeri Jiran itu. Ucapan serupa juga digunakan para elit politik pada masa itu saat menyerang lawannya. D.N. Aidit, ketua PKI, pernah menulis pamflet berjudul Kaum Tani Menggayang Setan-setan Desa. Tulisan ini merupakan hasil penelitiannya saat turba ke Jawa Barat untuk mengetahui kondisi para petani. Kata "ganyang" yang populer saat itu berubah menjadi "aksi sepihak" yang menimbulkan konflik horisontal yang berdampak cukup luas.
Pramoedya Ananta Toer juga pernah menulis esai berjudul Tahun 1965, Tahun Pembabatan Total. Di awal esainya itu, Pramoedya menulis, "Rakyat Indonesia dan para pekerja kebudayaan makin diperlengkapi persenjataannya untuk mengganyang kebudayaan Manikebu, Komparador, Imperialis, dan Kontra-revolusioner secara total."
Saat pecah Peristiwa 1965, ganyang bukan lagi sebatas bahasa agitasi dan propaganda yang hadir dalam aksi demonstrasi, pidato politik dan tertulis dalam lembaran poster atau mural di tembok. Inilah masa ketika bahasa politik mengejawantah menjadi parang, linggis, rupa-rupa alat penyiksa hingga kamp kosentrasi di Pulau Buru.
Ganyang benar-benar berubah menjadi laku dan PKI-lah yang diganyang dalam arti sebenarnya, yaitu dibunuh, dipenjara, dibuang. Korban pengganyangan tersebar di seluruh negeri dan menjadi noktah hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Bahasa pun berubah menjadi kekerasan yang sanggup menghancurkan pihak-pihak tertentu, terutama yang dianggap liyan. Adapun kekerasan menurut Jonathan Rutherford, yang tertuang lewat esainya dalam buku Male Order Unwrapping Masculinity, adalah "respons yang umum ketika identitas maskulin berada dalam ancaman."
Orde Baru kemudian muncul dengan bahasa politik yang lebih halus. Bahasa eufemisme sengaja dipakai demi membungkam lawan-lawan politik. Sebagai pengganti ganyang digunakanlah kata diamankan. Kata babat juga berganti ditertibkan. Adapun oposisi disebut ekstrim (baik kanan maupun kiri) dan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Sementara itu, Pembunuhan Misterius (Petrus) disebut sebagai terapi goncangan. Penghalusan bahasa semacam ini merupakan topeng untuk menutupi watak otoriter Orde Baru. Tindakan yang kejam dan tidak manusiawi ditutupi dengan kata-kata yang telah dimanipulasi sedemikian rupa.
Kata paling ‘kasar’ pada masa Orde Baru adalah gebuk. Kata ini diucapkan Soeharto saat tengah berada di atas pesawat kepresidenan dalam perjalanan pulang dari Beograd, Yugoslavia, pada pertengahan tahun 1989. "Biar jenderal atau menteri yang bertindak inkonstitusional akan saya gebuk," ucapnya. Gebuk berasal dari bahasa Jawa yang artinya pukul. Cara memukulnya tidak dengan tangan kosong, melainkan memakai alat seperti kayu atau besi. Untuk pukulan yang dilakukan dengan tangan kosong, bahasa Jawa menyediakan kata jotos, tempiling, kampleng.
Memasuki era reformasi, bahasa politik ternyata tidak berubah. Bahasa politik ala Orde Lama dan Orde Baru justru dikawinkan. Alhasil, kata libas, ganyang, babat kembali terdengar di negeri ini. Presiden Joko Widodo bahkan beberapa kali menggunakan kata gebuk. Kenyataan tersebut menunjukkan jejak maskulinitas dalam bahasa politik yang masih terlihat jelas. Dengan terang benderang, tergambar pula tujuan politik, sebagaimana doktrin maskulinitas, yaitu untuk menundukkan dan menguasai pihak lain.
Paling Buruk
Ironisnya, ketika sikap politik seseorang tidak mencerminkan kejantanan maka bahasa seksislah yang dipilih. Politisi yang dianggap penakut, umpamanya, disebut politisi anak mami. Politisi semacam ini dianggap tidak layak tampil di panggung politik karena dipandang manja. Karakter ‘anak mami’ dinilai bertentangan dengan virtu yang harus dimiliki seorang politikus.
Kata banci juga sering digunakan dalam bahasa politik kita. Politisi yang tidak mengambil sikap tegas akan dijuluki politisi banci. Dalam dunia yang patriarkal, banci dianggap sebagai suatu bentuk pengkhianatan terhadap maskulinitas. Banci pun sering dipakai sebagai bahan ejekan untuk merendahkan seseorang, termasuk politikus, yang dianggap tidak memiliki karakter jantan.
Tak hanya sampai di situ, kepada politisi banci ini, lawan politiknya lantas mengirimkan rok, lipstik dan pakaian dalam perempuan karena dianggap pantas memakainya. Sikap seksisme semacam ini terjadi sebagai akibat diunggulkannya maskulinitas dalam politik. Baik dalam bahasa politik maupun laku politik, ucapan dan laku seksisme terus berlangsung karena dianggap sebagai suatu kewajaran.
Bila seksisme merupakan diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu, maka hal inilah yang terjadi dalam bahasa politik kita hari ini. Para politikus seolah tak bersalah menggunakan bahasa-bahasa seksis untuk menyerang lawan politiknya. Mereka yang di panggung politik selalu berkhotbah tentang nilai-nilai kemanusian, dalam bahasa politik justru memunggunginya tanpa rasa malu.
Semestinya para politikus menjadi panduan bagi masyarakat, termasuk dalam berbahasa. Namun apa yang kita saksikan hari ini para politikus justru menjadi contoh paling buruk dalam berbahasa. Kata-kata seksis tersebut dengan enteng diucapkan di berbagai media hanya untuk menunjukkan sisi maskulinitas.
Tak mengherankan, mengikuti jejak para politikus, di media sosial dengan mudah kita temukan ungkapan-ungkapan seksis yang diucapkan oleh para penggunanya. Dalam situasi seperti ini bahasa Indonesia bukan lagi sebagai bahasa persatuan melainkan bahasa yang diskriminatif terhadap perempuan dan banci.
Dalam dunia patriarkal seperti sekarang, kuatnya jejak maskulitas dalam bahasa politik jelas menunjukkan keterbelakangan kita. Padahal, bahasa menunjukkan pola pikir seseorang. Seorang politikus boleh saja bersembunyi di balik wajah cemerlang hasil pencitraan.
Namun, bahasa yang digunakannya tidak akan bisa menyembunyikan isi kepalanya yang sebenarnya. Tak mengherankan, alih-alih saling beradu konsep dan gagasan, politik kita pada hari ini hanya diwarnai aksi saling risak, libas, ganyang, babat dan gebuk ala preman pasar. Jika sudah begitu, semoga saja kita tidak menjadi bangsa yang barbar, kelak. ***
*) Novelis dan esais. Tinggal di Blitar
https://www.facebook.com/anindita.thayf/posts/10205475158476582
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar