Senin, 25 November 2019

BAHASA POLITIK MASKULINITAS

Anindita S Thayf
Koran Jakarta, 2/11/2018

Jejak maskulinitas, salah satunya dapat dilihat dalam bahasa politik. Niccolo Machiavelli, dalam The Prince, menautkan politik dengan kejantanan atau virtu. Virtu meliputi kegarangan, ketegasan, kelicikan, keagresifan, keberanian, kenekatan, dan kegesitan. Menurut Machiavelli, mereka yang lembek sebaiknya menyingkir dari arena politik. Hanya mereka yang jantan yang pantas memperebutkan kekuasaan. Dalam hal ini, sikap kejam lebih diutamakan. Dengan bersikap kejam maka seorang politikus akan lebih diperhitungkan baik sebelum maupun setelah berkuasa. Di sinilah politik berkarakter maskulin.

Politik berhubungan dengan laku mengalahkan dan menguasai. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan tentu berhubungan dengan hal tersebut. Umpamanya, kata ganyang, babat, tumpas, yang sering terdengar pada masa Orde Lama. Kata-kata ini muncul seiring Soekarno yang sering mengumandangkan pekik, "Ganyang Malaysia!" saat terjadi konfrontasi dengan Negeri Jiran itu. Ucapan serupa juga digunakan para elit politik pada masa itu saat menyerang lawannya. D.N. Aidit, ketua PKI, pernah menulis pamflet berjudul Kaum Tani Menggayang Setan-setan Desa. Tulisan ini merupakan hasil penelitiannya saat turba ke Jawa Barat untuk mengetahui kondisi para petani. Kata "ganyang" yang populer saat itu berubah menjadi "aksi sepihak" yang menimbulkan konflik horisontal yang berdampak cukup luas.

Pramoedya Ananta Toer juga pernah menulis esai berjudul Tahun 1965, Tahun Pembabatan Total. Di awal esainya itu, Pramoedya menulis, "Rakyat Indonesia dan para pekerja kebudayaan makin diperlengkapi persenjataannya untuk mengganyang kebudayaan Manikebu, Komparador, Imperialis, dan Kontra-revolusioner secara total."

Saat pecah Peristiwa 1965, ganyang bukan lagi sebatas bahasa agitasi dan propaganda yang hadir dalam aksi demonstrasi, pidato politik dan tertulis dalam lembaran poster atau mural di tembok. Inilah masa ketika bahasa politik mengejawantah menjadi parang, linggis, rupa-rupa alat penyiksa hingga kamp kosentrasi di Pulau Buru.

Ganyang benar-benar berubah menjadi laku dan PKI-lah yang diganyang dalam arti sebenarnya, yaitu dibunuh, dipenjara, dibuang. Korban pengganyangan tersebar di seluruh negeri dan menjadi noktah hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Bahasa pun berubah menjadi kekerasan yang sanggup menghancurkan pihak-pihak tertentu, terutama yang dianggap liyan. Adapun kekerasan menurut Jonathan Rutherford, yang tertuang lewat esainya dalam buku Male Order Unwrapping Masculinity, adalah "respons yang umum ketika identitas maskulin berada dalam ancaman."

Orde Baru kemudian muncul dengan bahasa politik yang lebih halus. Bahasa eufemisme sengaja dipakai demi membungkam lawan-lawan politik. Sebagai pengganti ganyang digunakanlah kata diamankan. Kata babat juga berganti ditertibkan. Adapun oposisi disebut ekstrim (baik kanan maupun kiri) dan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Sementara itu, Pembunuhan Misterius (Petrus) disebut sebagai terapi goncangan. Penghalusan bahasa semacam ini merupakan topeng untuk menutupi watak otoriter Orde Baru. Tindakan yang kejam dan tidak manusiawi ditutupi dengan kata-kata yang telah dimanipulasi sedemikian rupa.

Kata paling ‘kasar’ pada masa Orde Baru adalah gebuk. Kata ini diucapkan Soeharto saat tengah berada di atas pesawat kepresidenan dalam perjalanan pulang dari Beograd, Yugoslavia, pada pertengahan tahun 1989. "Biar jenderal atau menteri yang bertindak inkonstitusional akan saya gebuk," ucapnya. Gebuk berasal dari bahasa Jawa yang artinya pukul. Cara memukulnya tidak dengan tangan kosong, melainkan memakai alat seperti kayu atau besi. Untuk pukulan yang dilakukan dengan tangan kosong, bahasa Jawa menyediakan kata jotos, tempiling, kampleng.

Memasuki era reformasi, bahasa politik ternyata tidak berubah. Bahasa politik ala Orde Lama dan Orde Baru justru dikawinkan. Alhasil, kata libas, ganyang, babat kembali terdengar di negeri ini. Presiden Joko Widodo bahkan beberapa kali menggunakan kata gebuk. Kenyataan tersebut menunjukkan jejak maskulinitas dalam bahasa politik yang masih terlihat jelas. Dengan terang benderang, tergambar pula tujuan politik, sebagaimana doktrin maskulinitas, yaitu untuk menundukkan dan menguasai pihak lain.

Paling Buruk

Ironisnya, ketika sikap politik seseorang tidak mencerminkan kejantanan maka bahasa seksislah yang dipilih. Politisi yang dianggap penakut, umpamanya, disebut politisi anak mami. Politisi semacam ini dianggap tidak layak tampil di panggung politik karena dipandang manja. Karakter ‘anak mami’ dinilai bertentangan dengan virtu yang harus dimiliki seorang politikus.

Kata banci juga sering digunakan dalam bahasa politik kita. Politisi yang tidak mengambil sikap tegas akan dijuluki politisi banci. Dalam dunia yang patriarkal, banci dianggap sebagai suatu bentuk pengkhianatan terhadap maskulinitas. Banci pun sering dipakai sebagai bahan ejekan untuk merendahkan seseorang, termasuk politikus, yang dianggap tidak memiliki karakter jantan.

Tak hanya sampai di situ, kepada politisi banci ini, lawan politiknya lantas mengirimkan rok, lipstik dan pakaian dalam perempuan karena dianggap pantas memakainya. Sikap seksisme semacam ini terjadi sebagai akibat diunggulkannya maskulinitas dalam politik. Baik dalam bahasa politik maupun laku politik, ucapan dan laku seksisme terus berlangsung karena dianggap sebagai suatu kewajaran.

Bila seksisme merupakan diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu, maka hal inilah yang terjadi dalam bahasa politik kita hari ini. Para politikus seolah tak bersalah menggunakan bahasa-bahasa seksis untuk menyerang lawan politiknya. Mereka yang di panggung politik selalu berkhotbah tentang nilai-nilai kemanusian, dalam bahasa politik justru memunggunginya tanpa rasa malu.

Semestinya para politikus menjadi panduan bagi masyarakat, termasuk dalam berbahasa. Namun apa yang kita saksikan hari ini para politikus justru menjadi contoh paling buruk dalam berbahasa. Kata-kata seksis tersebut dengan enteng diucapkan di berbagai media hanya untuk menunjukkan sisi maskulinitas.

Tak mengherankan, mengikuti jejak para politikus, di media sosial dengan mudah kita temukan ungkapan-ungkapan seksis yang diucapkan oleh para penggunanya. Dalam situasi seperti ini bahasa Indonesia bukan lagi sebagai bahasa persatuan melainkan bahasa yang diskriminatif terhadap perempuan dan banci.

Dalam dunia patriarkal seperti sekarang, kuatnya jejak maskulitas dalam bahasa politik jelas menunjukkan keterbelakangan kita. Padahal, bahasa menunjukkan pola pikir seseorang. Seorang politikus boleh saja bersembunyi di balik wajah cemerlang hasil pencitraan.

Namun, bahasa yang digunakannya tidak akan bisa menyembunyikan isi kepalanya yang sebenarnya. Tak mengherankan, alih-alih saling beradu konsep dan gagasan, politik kita pada hari ini hanya diwarnai aksi saling risak, libas, ganyang, babat dan gebuk ala preman pasar. Jika sudah begitu, semoga saja kita tidak menjadi bangsa yang barbar, kelak. ***

*) Novelis dan esais. Tinggal di Blitar
https://www.facebook.com/anindita.thayf/posts/10205475158476582

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah