Kéné tak kandani Rèk, tahukah Anda jika pada era abad ke-19 wong Gresik juga mahir menulis cerita, apalagi dengan gaya tutur berbentuk têmbang macapat? Benar-benar karya yang tiada duanya. Melalui kertas-kertas kuno yang sudah kuning dan gripis itulah banyak ditemukan cerita rakyat, sejarah, biografi, ajaran-ajaran hidup, meski kadang juga ada catatan yang tidak penting, namun sudah terlanjut dianggap sakral.
Keberadaan buku-buku kuno itu kadang tulisannya masih bagus, cuma bahasanya yang kurang biasa didengar telinga anak muda jaman sekarang. Lah yak opo manèh, bahasanya sudah menjadi bahasa asing di negeri sendiri. Padahal jika kita mengerti isi naskah tersebut, setidaknya banyak pengetahuan yang bisa kita dapat. Sayangnya sang pemilik naskah terkadang aras-arasên membacanya. Akhirnya naskah kuno itu dibiarkan, bahkan dengan siakap lemah lembut ada yang dibuntal dengan kain agar tak kotor. Hanya dibungkus, tanpa pernah dijamah lagi.
Ngomong soal perlakuan terhadap naskah kuno ini, ada cerita seorang filolog yang tadinya mau pinjam naskah, namun ia harus melalui upacara khusus untuk membuka naskah kuno, yaitu berpuasa tujuh hari dan memotong kambing. Ndilalah, setelah dipelajari, manuskrip tersebut ternyata hanya berisi hutang sang raja setempat. Maka dari penggalan cerita ini, kita mengetahui bahwa naskah-naskah kuno di suatu tempat banyak yang kita tidak tahu isi narasi tulisannya.
Karena itu, dalam upaya mengenalkan karya sastra jaman dahulu kepada generasi sekarang penting kiranya naskah tersebut disalin dan diterjemahkan agar nantinya informasi didalamnya tak turut musnah oleh gilasan zaman.
Dan ternyata setelah éson blusukan mrono-mréné cari info soal naskah tua di Gresik, ternyata Gresik kota lama ini memiliki naskah tua yang amat banyak. Namun, karya para pujangga hebat tersebut hampir tak pernah dibaca oleh generasi sekarang. Walaupun sayang sekali diantara naskah tua itu tak semua pujangga menuliskan identitasnya. Ada yang hanya menulis tahun penulisannya saja, atau sebaliknya nama pengarang ditulis tanpa menulis angka tahun penulisan, seperti contoh naskah Sêrat Sêmaun yang ditulis oleh Mas Munandar dari Ngargosari. Naskah tersebut tanpa menulis angka tahun penulisannya. Selain itu, ada juga yang menulis nama, tanggal, dan tahun penulisan naskah serta alasan menulis naskah.
Ada sebuah manuskrip kuno beraksara Arab pègon dengan ketebalan buku 5 cm yang ditulis pada tahun 1816 M. Di halaman awal naskah tersebut, ternyata ada kalimat yang ditulis dalam metrum Asmaradana yang berbunyi :
Wontên déning kang ndarbèni, ing wacan wau punika, Kyai Marti’ah namané, wismaning Kampung Klangonan, kawilis tiyang sodagar, sadéné gambir miwah kopi puniku, sampun korak kutha myang desa.
Terjemahan bebasnya adalah ada yang memiliki kitab bacaan ini, yaitu Kyai Marti’ah yang rumahnya di Kampung Klangonan (Giri) yang terkenal sebagai saudagar gambir dan kopi. Itu artinya, walaupun berprofesi sebagai pedagang, tokh Kyai Marti’ah masih kobêr berkarya tulis setebal 5 cm apalagi ditulis dalam bentuk metrum têmbang macapat yang masih terikat dengan aturan persajakan.
Ada lagi naskah yang ditulis di Desa Tlogo Bendung-Gresik (sekarang Jl. Pahlawan) pada tahun 1841 M oleh Pak Yamin. Ia menulis naskah Sêrat Umarmaya dan namanya diabadikan dilembar awal naskah dalam bentuk metrum tembang Asmaradana :
Namanipun kang anulis, Bagus Yamin namanira, asal Tlogo Bendung wismané, mbok Yamin apeputra, awisma Kampung Asemo, kitha Tandhes negaranipun, dados mantuné Pak Salipah ika. Maksudnya, bahwa nama seorang penulis bernama Bagus Yamin, dari Kampung Tlogo Bendung, Tandhes (Gresik) dan menjadi menantu Pak Salipah.
Pada bagian akhir naskah disebutkan bahwa pekerjaan Pak Yamin adalah tukang mranggi alias pembuat sarung senjata seperti sarung keris, tombak, pisau, pedang, dan lain-lain.
Wah, ternyata seseorang yang seharusnya menggeluti dunia gaman bisa menjadi seorang penulis juga. Bahkan dibandingkan dengan puluhan naskah kuno yang ada di Kota Gresik ini, agaknya khot (tulisan kaligrafi Arab) karya Bagus Yamin ini termasuk lumayan apik.
Wah, opo polaé dhèwèké tukang mranggi lan seneng nggawé motif kanggo wadhaé gaman dadi khoté yo mèlu apik yo?
Mungkin inilah kelebihan ia sebagai mranggi. Selain itu, seseorang bisa dikatakan sebagai mranggi jika ia benar-benar memahami patokan dasar pembuatan warangka. Ia harus juga pandai membaca sifat serta watak seseorang. Sebab menyesuaikan bentuk warangka buatannya harus disesuaikan dengan karakter serta sifat dasar calon pemakainya.
Ada juga naskah Babad Petukangan yang ditulis oleh Bagus Sakiya pada tahun 1888 M. Pada pupuh Kinanthi bait 19-21 diceritakan bahwa ada dua orang bersaudara, yaitu Sakiya dan Nasrip yang ingin menulis biografi kakeknya, sang saudagar garmen asal Desa Kroman Tengah Gresik yang bernama Ki Sapar alias Ki Wangsa Truna.
Ide cerita berasal dari Nasrip, kakak Sakiya, sedang penulis cerita adalah Sakiya. Karena Nasrip dikenal sebagai orang yang tak pandai menulis apalagi me-nêmbang, maka untuk mengabadikan rekaman jejak kehidupan kakeknya yang telah tiada, maka Sakiya yang piawai membuat narasiberbentuk têmbang macapat lalu menuliskannya.
Yah, itulah yang menjadi alasan saya menulis cerita dari sang pujangga Gresik mbiyèn. Ada juga yang amat kêpincut dengan kisah para Nabi dan Rosul, misalnya Kyai Mertaleksana dari Desa Klangonan Giri. Ia memanfaatkan waktu untuk menulis naskah layang ambiya’, bahkan naskahnya setebal 8 cm. Benar-benar fantastis. Naskah tersebut ditulis pada tahun 1813 M,
(Jepretan Foto: Andy Buchory)
Lha yak opo, nulis dengan gaya tulisan berbentuk metrum macapat yang terikat oleh guru gatra (jumlah baris), guru lagu (bunyi vocal akhir baris), dan guru wilangan (jumlah suku kata tiap baris) amatlah sukar untuk era kini, apalagi meramu kata hingga mencapai ketebalan 8 cm ditambah lagi Bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang amat banyak disisipkan di bait-bait têmbang itu.Dan ini yang tak kalah menariknya… Ada satu naskah karangan Ki Tarub Agung yang berjudul Sêrat Sindujoyo atau Babad Sindujoyo yang ditulis di Desa Sukodono-Gresik pada tahun Jawa 1778 atau 1850 Masehi.
Ki Tarub Agung mengaku bahwa menulis cerita Sindujoyo atas perintah seseorang yang bernama Pranacitra dari Kampung Upas sebagaimana diabadikan dalam kalimatnya yang ber-metrum Asmaradana :
Kumar-kumar anenulis, kasêrêng déning sudara, Pranacitra kekasihé, ing Kampung Upas wismané, milané sapunika, saking amrih sawab berkatipun, kang dedhukuh ing Keroman.
Keunikan naskah tersebut selain memaparkan kisah riwayat Kyai Sindujoyo, murid Sunan Prapen (cucu dari Sunan Giri), naskah tersebut juga dilengkapi ilustrasi gambar sebanyak sekitar seratus tujuh (107) halaman dengan ilustratornya yang bernama Kyai Buder. Dan naskah ini termasuk satu-satunya naskah di Gresik yang paling bagus, sebab banyak gambar ilustrasi yang menghiasi hampir di setiap halaman naskah. Sungguh hal ini membuat kagum. Pujangga Gresik tempo doeloe hebat tênan, Rèk…
Yah begitulah, setidaknya bahwa menulis bukan hanya dilakukan oleh mereka yang benar-benar bekerja sebagai juru tulis saja, tapi oleh siapa saja, yang terpenting ada kemauan dan keseriusan. Dan tidak menutup kemungkinan para pujangga Gresik tempo doeloe ini menulis lebih dari satu karya. Contohnya Kyai Marti’ah, Klangonan Giri, selain menulis naskah Sêrat Umarmaya, ia juga menulis naskah Sêrat Ambiya’ bersama Kyai Mertaleksana.
Sayang, keberadaan naskah kuno karangan pujangga Gresik yang lain belum ditemukan atau memang sudah musnah. Penyebab musnah mungkin karena teknologi jaman yang belum memadai, belum ada kesadaran untuk mendokumentasikan, dimakan peperangan, dimakan pergantian penguasa, dan pergeseran bahasa dan penulisan.
Berikut ini adalah beberapa buku kuno karya Pujangga Gresik, seperti Sêrat Sindujoyo karya Ki Tarub Agung, yang diterjemahkan oleh Amir Syarifuddin pada tahun 2008, namun naskah tidak dipublikasikan. Yang kedua adalah Babad Petukangan, karya Bagus Sakiya, yang diterjemahkan oleh Amir Syarifuddin pada tahun 2008, namun naskah juga tidak dipublikasikan. Selanjutnya, Manuskrip Sêrat Umarmaya dan Layang Ambiya’ yang merupakan koleksi H. Muchsin Munhamir. Dan yang terakhir adalah Manuskrip Sêrat Umarmaya yang juga merupakan koleksi Andy Bukhory.
Amir Syarifudin bersama manuskrip manuskrip yang dipelajarinya (Foto: Andy Buchory)
Disamping itu, cerita ini juga didapat dari hasil wawancara saya dengan Ibu Sumarliyah, yang tinggal di Kelurahan Lumpur dan Bapak Oemar Zainuddin, yang tinggal di Kampung Kemasan Gresik.
Wis Rèk, ojok sampèk sampèan kalah karo pujangga Gresik jaman mbiyèn… Sak iki waktuné sampèan mbuktikno lèk sampèan yo isyok nulis koyok pujangga Gresik jaman mbiyèn kuwi… Mugo-mugo, berawal têkan nulis ndik Buku Sang Gresik Bercerita iki, akèh ngêkèki inspirasi sing apik gawé sampèan kabèh…
http://arekgresik.net/pujangga-gresik-abad-ke-xix-1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar