Sabtu, 11 Januari 2020

CATATAN KURATORIAL FESTIVAL MANIFESCO 2019

Edy Firmansyah
Malkan Junaidi

Kriteria Penilaian

Sudah jadi semacam rumus sepertinya bahwa jumlah kriteria penilaian dalam kerja kuratorial selalu berbanding terbalik dengan jumlah hasilnya. Yakni, semakin banyak kriteria diterapkan, semakin sedikit karya bisa diloloskan. Karena itu kami bersyukur mengetahui panitia Festival Aksara Manifesco 2019 tak menyertakan kriteria khusus untuk kami pakai saat mereka mengirimkan sekitar 1000 puisi dari sekitar 100 peserta untuk diseleksi. Meski ini tak serta-merta membuat tugas kami terasa enteng, setidaknya tak membuatnya terasa lebih berat.

Tugas kurator, sebagaimana disampaikan panitia, bukan memilih sekian karya terbaik, melainkan sekian penulis masing-masing dengan sekian karya terbaik. Sepintas tampak sama, namun sesungguhnya implikasinya jauh berbeda. Untuk memilih 50 puisi terbaik kami bisa mengambil 1 hingga 10 judul setiap penyair. Yakni kuota 50 itu bisa kami penuhi dari baik 50 atau 5 peserta. Adapun untuk memilih hanya 10 penyair dengan masing-masing 5 judul, mau tak mau kami harus main hitung-hitungan. Misal dua penyair, A dan B. Dalam pembacaan kami, A menghasilkan 3 karya kuat, sedang B hanya 2 karya. Mudah memutuskan bila kekuatan kelima karya itu terhitung relatif setara. Tapi bagaimana bila 2 milik B dinilai lebih kuat dibanding 3 milik A? Memilih B berarti menyertakan 3 karya lemah, memilih A berarti menyertakan hanya 2.

Kriteria yang lazim digunakan di berbagai lomba cipta puisi, misal kebaruan gaya pengucapan, kepaduan gagasan, hingga hal-hal elementer menyangkut logika kalimat dan teknis penulisan, tentu kami gunakan di proses seleksi peserta festival ini. Namun dengan latar situasi sebagaimana telah kami jelaskan, kami terpaksa menerapkannya tidak secara ketat. Pun mengingat rencana panitia menerbitkan puisi terpilih dalam format buku antologi, kami mempertimbangkan ihwal keragaman, berusaha agar penulis yang lolos satu dengan yang lain memiliki spektrum karya berbeda.

Klasifikasi Peserta

Pengecualian pengarang asal Madura yang tinggal di luar Madura membuat kami tertarik untuk melakukan pemetaan penyair Madura kontemporer berdasarkan biodata yang dikirimkan, dengan harapan bisa menjadi salah satu rujukan penelitian sosiologi sastra, pembuatan kebijakan pengembangan di bidang literasi, dan khususnya acuan pelaksanaan festival serupa di masa mendatang . Berikut hasilnya.

Berdasarkan jenis kelamin:
? Laki-laki : 71
? Perempuan : 29
? Tidak diketahui : 2

Berdasarkan usia:
? 10 sampai 19 tahun : 18
? 20 sampai 29 tahun : 21
? 30 sampai 39 tahun : 7
? 40 tahun ke atas : 2
? Tidak diungkapkan : 48

Berdasarkan asal daerah:
? Sumenep : 59
? Pamekasan : 20
? Sampang : 9
? Bangkalan : 2

Berdasarkan latar profesi/pendidikan:
? Siswa aktif : 12
? Mahasiswa aktif : 27
? Santri aktif : 14
? Aktivis literasi : 12
? Guru/dosen aktif : 14
? Lainnya : 23

Menimbang Sikap

Dalam proses pembacaan tahap awal, kami mengusulkan penggunaan kritik biografis dalam kerja kuratorial kami, yakni dengan sedikit atau banyak melibatkan latar kehidupan pengarang dalam penilaian. Penyebabnya adalah karena kami menemukan banyak promising writer, di antaranya masih duduk di bangku Tsanawiyah dan Aliyah, yang kiranya butuh perhatian khusus. Panitia menanggapi kelancangan tersebut dengan meminta kami mengevaluasi karya secara objektif, mengabaikan umur, jenis kelamin, pendidikan, profesi, dan sebagainya. Penolakan demikian di satu sisi membuat pekerjaan kami justru jadi lebih mudah, namun tak bisa kami pungkiri di sisi lain membuat rasa keadilan kami terusik---Bagaimana mungkin menganggap sama orang yang sudah 20 tahun menulis dengan orang yang baru 5 tahun mengecimpunginya?

Namun boleh jadi keputusan panitia itu sudah tepat. Banyak hal tak terduga terjadi di kesusastraan. Banyak pengarang besar tidak pernah mengenyam pendidikan sastra secara resmi. Sebaliknya banyak sarjana sastra gagal menyumbangkan karya dan pemikiran berarti. Dari 70% penyair yang karyanya lekas kami nilai tidak layak, banyak yang merupakan penulis lama. Kami tak tahu kenapa mereka seperti terjebak di level capaian estetis yang bahkan belum bisa dibilang medioker. Adakah karena mereka tak mengimbangi panjangnya proses dengan peningkatan pengetahuan dan militansi dalam eksplorasi dan eksperimen? Sebaliknya banyak penulis baru datang dengan gairah menyala-nyala. Mereka adalah generasi yang hari ini hidup bersama dan bersaing dengan generasi yang lebih tua, dengan latar akses informasi yang sama, menerima kesempatan setara untuk terlibat dalam berbagai kegiatan sastra serta wahana pembinaan dan ekspresi, yang tak ubahnya lahan gembur, menunggu motivasi, kemauan keras, dan komitmen mereka semua, tanpa kecuali. Ya, kiranya cara terbaik untuk lekas mendewasakan seorang anak adalah dengan berhenti memperlakukannya sebagai kanak-kanak, dengan mulai menilai tindakan-tindakan dan hasil kerjanya dengan ukuran orang dewasa.

Evaluasi Karya

Dari 102 peserta yang bersaing, setidaknya 30 nama betul-betul kami pertimbangkan. 5 di antaranya dengan mudah kami tentukan keunggulannya. Ini karena, tidak seperti yang lain, mereka mampu menjaga kadar capaian estetis dalam puisi mereka. Dengan kata lain, tidak sulit menemukan 5 judul yang layak dari 10 judul yang mereka kirimkan. Adapun untuk menambahkan 5 nama lagi demi memenuhi kuota, kami menghabiskan lebih banyak waktu untuk menimbang, agar meloloskan sesedikit mungkin karya lemah. Akhirnya, dengan menekan sedikit rasa tak puas, 10 nama bisa kami sodorkan dan dinyatakan diterima.

Membaca 50 puisi terpilih di buku ini seperti memasuki 10 bentang alam berbeda, masing-masing minta diresapi dengan caranya sendiri. A. Warits Rovi adalah seorang pengamat yang waskita dan berkemampuan baik dalam mengontrol keterlibatan dirinya dengan lingkungannya. Tentu saja puisi-puisinya mengandung kerja penafsiran, ada makna-makna kontemplatif tertentu ingin disampaikan, namun seperti pertunjukan musik klasik tak berlirik, puisi-puisi Warits memberi pembaca tempat nyaman untuk melakukan apa yang ingin dilakukan: menikmati saja permainan bunyinya atau sembari menikmati itu menyelami berbagai kemungkinan maknanya.

Tak begitu jauh dari Warits, Ebi Langkung merupakan penjelmaan santri yang rendah hati dan abid yang menjaga adab. Kesadarannya diarahkan selalu pada penemuan jalan menuju penyucian diri. Semesta membentang di hadapannya tampak tak henti menawarkan kebijakan sufi. Jika Warits berdiri di ketinggian dan kedekatan tertentu dari objek-objek amatannya, maka Ebi adalah musafir yang terus berjalan dan terus menemukan hal-hal menakjubkan. Jika objek dalam puisi Warits seolah tak menyadari kehadiran Warits sang pengamat, maka objek dalam puisi Ebi aktif mengajaknya bicara dan bahkan tak segan menawarkan sesuatu dan karenanya lebih tepat disebut subjek yang lain.

Dibanding semua penyair yang lolos, Faidi Rizal Alief adalah yang paling setia pada persajakan. Dengan disiplin tinggi ia menjaga rima akhir di tiap bait puisinya. Meski karenanya terkadang kita merasakan kesan kaku dan kuno, namun Faidi kami pikir bukan termasuk juru masak yang suka mengada-ada demi suatu pemanis hidangan. Setiap kata di ujung baris dipastikannya relevan dengan gagasan utama dan berfungsi menjaga keutuhan makna puisi, seperti halnya garnish pada sebuah menu yang tidak sekadar membuat hidangan menjadi menggugah selera, tapi memang betul-betul bisa dinikmati dan bergizi. Adapun pada segi isi, Faidi tampil sebagai tokoh kuat, pengayom dan penyelamat. Sikapnya tegas dan berani menanggung konsekuensi. Ia tak tampil low profile sebagaimana Warits dan Ebi, namun juga dapat menjaga diri dari jatuh ke dalam keangkuhan. Ia adalah tipe kekasih yang lebih suka menyatakan cinta dengan tindakan nyata dibanding kata-kata manis.

Seperti Faidi, Hidayat Raharja juga menyatakan suatu kesetiaan yang tak main-main. Bukan pada bentuk, melainkan pada wacana. Istilah-istilah dalam ilmu biologi, bidang profesinya, dipinjam dan digunakannya lebih daripada fungsi teknisnya. Istilah-istilah itu pada satu kesempatan dipakai untuk menyokong sebuah gagasan, sedang pada kesempatan lain menjadi gagasan tersendiri yang didedahkan dengan indah. Apa yang dilakukan Hidayat terakhir ini mirip kiranya dengan yang dilakukan para ahli tata bahasa Arab ketika memperlakukan gejala linguistik sebagai simbol filosofis.

Tentu muncul pertanyaan di benak pembaca: Apakah tidak ada yang berusaha mengangkat Madura dalam puisi-puisinya? Kami jawab: Ada. Cukup banyak. Bahkan kami menemukan beberapa puisi yang sepenuhnya dalam bahasa Madura. Namun secara umum kami menilai usaha untuk menghadirkan kemaduraan tersebut belum diimbangi dengan perspektif yang segar dan teknik komposisi yang memadai. Ia lebih sering jatuh ke dalam klise dan arak-arakan kosakata bahasa Madura. Bagaimanapun dalam buku ini dua penyair, kebetulan sama-sama perempuan, menunjukkan usaha yang patut dicatat.

Di satu spektrum, Ibna Asnawi tampak menghayati lingkungan dan peristiwa keseharian di Madura dan merepresentasikannya dalam puisi-puisi pendek yang segera mengingatkan kita pada puisi imajis dan Haiku. Ibna tidak mengulik hal-hal yang langsung menautkan ingatan pembaca pada kemaduraan, misal karapan dan carok. Citraan yang ia hadirkan di antaranya adalah pilar bambu, lahan, dan langgar. Sesuatu yang terbilang tak eksotis, banyak ditemukan di luar Madura, namun sebenarnya sangat Madura. Puisi panjangnya, Taneyan Lanjang, kiranya bisa disejajarkan dengan puisi-puisi Hidayat Raharja, merupakan pemaknaan ulang atas simbol-simbol tradisional.

Ina Herdiyana, di spektrum lain, memberikan berbagai kesaksian atas fenomena alam dan budaya. Puisi-puisinya sering terasa sebagai ode, jenis yang banyak kami temui di perpuisian Madura. Yang membedakan adalah bahwa seperti halnya Ibna, perhatian Ina tak terpaku pada hal-hal yang sudah menjadi ikon Madura sejak dulukala. Ia memperkenalkan hal-hal yang relatif baru. Adapun perbedaan menonjol antara dua penyair perempuan ini adalah bahwa Ibna lebih menyajikan kompleks emosional dan intelektual, sementara Ina menyuguhkan hasil observasi yang diurapi keharuan.

Hasil pembacaan atas karya empat peserta yang lain, oleh sebab terbatasnya ruang dan waktu, terpaksa tak bisa kami hadirkan di catatan ini. Oleh sebab yang sama pula hasil pembacaan hampir seluruhnya hanya berupa kesimpulan, tanpa contoh. Untuk itu kami mohon maaf dari lubuk hati terdalam. Besar harapan festival ini dapat secara berkala diselenggarakan, dengan perbaikan di setiap penyelenggaraannya. Terima kasih atas kepercayaan panitia dan selamat bagi peserta terpilih.

Senin, 25 November 2019.
http://sastra-indonesia.com/2020/01/catatan-kuratorial-festival-manifesco-2019/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah