Senin, 10 Februari 2020

POHON PONGO

Rinto Andriono *

Bulu-bulunya menegang saat Laksmi menggamit Pongo untuk kembali menghutan. Pongo yang masih kecil, enggan mengikuti ibunya. Ia masih sibuk menghisap daging ubi yang manis, ransum dari taman nasional. Namun, hati Laksmi sudah terpanggil ke sisi lain hutan.

"Waktunya hadir!" tukas Laksmi.

Laksmi dan Pongo adalah orang utan di Taman Nasional Sebangau. Saat kemarau seperti ini hutan penuh asap, banyak pohon terbakar. Mereka kesulitan memperoleh makanan. Laksmi dan Pongo sering hanya mengandalkan sedikit ubi dan pisang dari Taman Nasional, sekedar untuk ganjal perut. Makanan sedang susah didapat.

Pongo dan kawan-kawan sudah bosan menyantap umbut sawit di luar Taman. Mereka rindu akan pucuk daun dan buah yang manis. Makanan yang tidak menyisakan bilur pegal dan ruam panas di badan, bekas siksaan para mandor. Orang-orang utan sudah berkumpul di Pohon Agung di penjuru Taman. Para orang utan Barian sudah memimpin “litani”, mereka menyerahkan jiwa dan tubuh yang sedang kelaparan ini pada Sang Roh yang kali ini mewujud sebagai Pohon Agung.

Pohon Agung adalah pohon berbuah buni dan berbiji lezat yang disukai orang utan, tupai dan burung-burung. Batangnya besar, dahannya kekar, kulit batangnya obat yang mujarab, kanopinya yang rimbun merupakan rumah buat aneka satwa dan termasuk orangutan. Akarnya kuat dan menancap dalam untuk menahan posturnya yang tinggi besar. Pohon Werkodara demikian Kasih dan Miranti menyebutnya.

Para Barian mulai kesurupan, mereka berayun, melolong, meraung dan terus menerus mencoba meraih dahan, daun dan ranting pohon. Ini pohon bukan sembarang pohon, ini adalah “Pohon Tempat Memohon”. Mereka memberikan ruang seluas-luasnya bagi roh untuk menguasai tubuh para orang utan. Meskipun mereka seolah kesurupan, tetapi pada hati mereka hanya ada ketulusan. Begitulah hati para satwa, mereka memakan umbut sawit hanya karena lapar belaka. Mereka lakukan itu semata-mata untuk bertahan hidup, tetapi mandor yang tertekan melihat ini dengan cara yang berbeda. Mandor kebun melihat ini sebagai pencurian, sebagai sebuah konspirasi para orangutan untuk membuat mereka sengsara.

Orang-orang utan itu selalu tanpa pretensi pada setiap hal yang mereka lakukan. Mereka mungkin mencuri, merebut dan merampas, tetapi itu hanya karena lapar semata. Titik. Tidak pernah sekali pun terlintas dalam benak mereka untuk menimbun, serakah bahkan mengerjai para mandor yang sudah kelebihan beban kerja. Bila sudah makan kenyang, cukup untuk hidup, mereka akan berhenti. Begitulah, itu terjadi secara alamiah belaka. Mereka tidak pernah risau dengan hari esok. Mereka begitu yakin dengan besok.

“Roh pasti akan memelihara kita.” kata Barian tertua “Dia hadir di mana-mana, sebagai yang baik dan yang buruk.”

“Dia yang kita takuti, tapi sekaligus yang kita rindukan,” lanjut orang utan Barian perempuan.

“Dia yang menubuh dalam bentuk mandor sawit yang kejam atau Dokter Miranti yang mengobati bilur dan ruam,” bisik Laksmi pada Pongo, agar orang utan kecil itu lebih waspada.

Litani para orang utan segera selesai sudah. Mereka bukan sedang menggugat Sang Roh atas kebakaran dan kelaparan yang berkepanjangan ini. Mereka tak pernah menggugat. Mereka tidak pula sedang memohon azab bagi para mandor yang kejam atau para cukong sawit yang serakah. Mereka bukan pendendam. Mereka hanya menyerahkan diri mereka pada keseimbangan alam.
****

Miranti terbangun dari tidurnya, dia berpeluh di tengah malam yang dingin. Nafasnya tersengal-sengal. Di dalam kepala Miranti masih menggema bisikan Lukman.

“Mir, pergilah ke Pohon Tempat Memohon! Bawa serta Kasih bersamamu.” Kata-kata Lukman begitu bening mengiang dalam tidurnya.

Dia sudah tidak bisa lagi memicingkan mata. Malam terlalu rusuh dan hatinya sudah terlalu resah. Baru-baru ini dia sering bermimpi tentang Lukman, suaminya yang menghilang di tengah rimba raya sejak tiga tahun yang lalu. Berpuluh tim pencari sudah menghutan untuk mencari suaminya, namun sampai kehabisan perbekalan, hasilnya selalu nihil.

Dokter Miranti bekerja dengan WWF untuk Taman Nasional, sebagai perawat kesehatan orang-orang utan. Kedukaan mendalam karena kehilangan kekasihnya membuat Miranti enggan kembali ke Bogor, kota kelahirannya, tempat Miranti menyelesaikan kuliahnya. Pengetahuannya tentang siloka yang diwarisi dari para Karuhun membuat Miranti meyakini bahwa kekasihnya masih hidup di suatu tempat di hutan raya Kalimantan ini, dia sedang mempersiapkan sesuatu untuk masa depan Miranti dan anaknya, kehidupan yang pernah mereka impikan. Hidup menyatu dengan hutan. Untuk itu, dia dan anaknya hanya perlu menunggu waktunya tiba.

“Lukman, aku tahu kau akan datang untuk kami, tapi kapan? Aku sudah lelah,” ratap Miranti sambil mendekap Kasih, putri kecilnnya, yang lelap di sebelahnya.

Hutan raya seolah bertingkat-tingkat. Pada pesisirnya terdapat selapis hutan bakau, akar-akar nafasnya begitu kokoh menghujam muka laut yang dangkal. Kepiting, udang, ikan dan ular hidup makmur berlimpah ruah makanan di bawah akarnya. Semuanya saling tergantung, saling menjaga dan saling melindungi. Hutan bakau adalah rumah bagi bekantan, sepupu orang utan, monyet berhidung besar merah muda yang lebih banyak mendiami pesisir. Lengannya yang panjang dan kokoh menjadikannya mudah hidup di hutan bakau yang padat.

Bila kita menghulu lagi, akan kita temukan hutan primer, tempat tinggal para orang utan. Tanahnya legam menghitam kaya akan asam dari daun-daunan yang telah membusuk. Akar-akar tunggang menghujam vertikal, didukung oleh akar-akar kekar yang menjalar horizontal seolah saling berangkulan. Akar-akar itu seakan membentuk jaringan hidup yang aktif. Bila satu bagian disakiti maka akan ada reaksi dan kompensasi di bagian yang lain. Mereka seolah bernyawa dan berkomunikasi satu pohon dengan pohon lainnya.

Bila satu pohon ditebang, maka timbullah satu titik mati di antara sekian banyak jaringan neuron yang riuh berkomunikasi. Bila satu bidang terbakar maka akan terasa sakitlah semuanya. Jaringan akar yang sehat akan menebal dan berusaha membuat perlindungan. Namun, bila banyak bidang yang telah terbabat, maka akan rusaklah jaringan neuron yang lebih besar. Akibatnya hutan menjadi kebingungan dalam merespon pesan. Hutan yang bingung akan kehilangan daya adaptasinya pada lingkungan. Tiap-tiap pohon-pohon seolah bersenandung sendiri-sendiri, tak berirama. Mereka tidak bisa lagi menyanyikan syair merdu pemujaan kepada Sang Roh. Mereka menjadi hutan yang bersuara sumbang.

Hutan yang bernyanyi dengan parau inilah yang didengar oleh para orang utan yang tadi berkumpul melakukan litani. Hal ini tidak bisa didengar oleh manusia yang terlalu banyak pretensi dan praduga. Hanya mahluk yang tanpa pretensilah yang bisa mendengarkan nyanyian hutan dan riuhnya komunikasi di dalam jaringan "neuro"n akar-akar pohon. Hanya merekalah yang bisa mendengar suara bariton pohon mahoni tua, suara sopran pohon ulin yang kokoh atau suara tenor pohon meranti yang tinggi langsing. Pada hutan yang sehat, suara-suara itu menjadi sebuah choir yang merdu.
****

Kasih bak burung kedasih kecil yang riang gembira, anak itu pengunjung setia Taman Nasional, dia tinggal di dekat Taman Nasional bersama ibunya yang menjadi dokter hewan di sana. Semenjak di dalam kandungan ibunya, ia telah ditinggalkan oleh bapaknya secara misterius. Namun Kasih tak pernah merasa kesepian, meskipun dia lahir yatim dan ia lebih banyak bergaul dengan orang-orang dewasa kawan kerja ibunya serta para orangutan tentunya. Kasih tumbuh alamiah dan riang.

“Aku akan pergi sebentar. Jaga baik-baik anak kita, ya,” suatu hari Lukman berkata kepada Miranti.

“Apakah kau tidak bisa menunda kepergianmu?” sergah Miranti.

“Tidak, aku hanya hendak memenuhi bhaktiku.”

“Tetapi terlalu berbahaya, mereka sedang mencarimu.”

“Sang Roh adalah segala cahaya, aku hanyalah pantulan cahaya-Nya.”

“Ya, tetapi situasi Taman Nasional sedang genting,” cegah Miranti atas niat Lukman.

“Cahaya yang membimbingku ke sana segera.”

“Mereka sedang memperluas kebun sawitnya hingga ke dalam wilayah taman, Roh memang sudah membimbingmu tapi bisakah kau melakukannya nanti?”

“Tidak bisa, Sayang, mungkin dharmaku sedang dibutuhkan hutan ini sekarang, percayalah!”

“Ya, tetapi waktunya itu lho, yang tidak tepat!”

Lukman tidak menggubris argumen Miranti. Kemudian hening melingkupi keduanya, mereka terdiam menahan amarah masing-masing, tetapi sayup-sayup terdengar chorus yang makin lama makin lirih namun parau. Itu adalah nyanyian hutan yang sedang sekarat. Orang-orang utan yang tanpa pretensi paham benar dengan suara itu. Para Barian mereka kemudian kembali memimpin litani.

Itu adalah perdebatan terakhir Lukman dengan Miranti. Beberapa orang kawan-kawan pegiat lingkungan menduga Lukman telah dilenyapkan di tengah prahara yang melanda hutan. Sebagai bentuk balas dendam dari para mandor kebun karena Lukman telah giat menggalang perlindungan bagi orang utan. Beberapa orang mempercayai bahwa Lukman sebagai pelaku sabotase terhadap perluasan kebun sawit yang jauh menjorok ke Taman Nasional. Namun tidak ada yang bisa membuktikan kebenarannya.

Namun, semua kisah sedih di atas tidaklah mempengaruhi masa kecil Kasih. Sebagai anak yang selalu ingin tahu, Kasih sering mengikuti perjalanan para jagawana memberikan ransum pada orangutan. Kasih begitu menyukai rutinitas itu. Bahkan dia sering tidak menghabiskan makanan bekal makan siangnya. Dia sangat suka menyisakan bekal untuk Pongo. Mereka adalah dua mahluk berlainan spesies, tetapi mereka nampak seperti telah lama saling kenal. Mereka sering saling mengulurkan tangan, bertukar ubi dengan roti. Kadang mereka kedapatan sedang bermain bersama. Sementara Laksmi dan Miranti sama-sama hanya mengawasi dari kejauhan.

Laksmi adalah orang utan betina dewasa, sudah hampir dua dekade hidup di Taman Nasional Sebangau. Di balik bulunya, tubuh Laksmi penuh dengan carut bekas luka, yang dia peroleh dari para mandor, semenjak maraknya perkebunan sawit di situ. Berangkat dari pengalaman itulah, Laksmi menjadi orang utan yang selalu waspada. Nyawanya pernah hampir meregang bila tidak diselamatkan oleh para jagawana, akibat siksaan mandor yang kejam. Dokter Mirantilah yang memberinya nama Laksmi. Dia adalah salah satu induk orang utan di Taman dan sekaligus penyintas yang ulet.
****

Kebakaran hutan tahun ini sungguh hebat. Kebakaran terjadi bersamaan dengan pembangunan ibu kota yang baru. Ibu kota yang lama telah terlampau banyak beban. Pemerintah meniatkan membangun ibu kota yang baru dengan konsep baku sanding antara manusia dengan alam, namun sepertinya, operasionalisasi konsep baku sanding tersebut banyak kecolongan dalam realisasi. Konsep itu berhadapan dengan mahluk super pretensius bernama manusia. Manusia adalah mahluk yang sangat penuh dalih, kepura-puraan dan niat tersembunyi. Kebakaran adalah cara yang paling ekonomis untuk membuka hutan.

Taman Nasional Sebangau pun ikut terbakar hebat. Bara api begitu dalam dan luas membakar jaringan neuron akar. Hutan bernyanyi semakin lirih dan parau. Hutan semakin sekarat. Orang-orang mengungsi keluar kota atau bersembunyi di dalam rumah. Bagi yang tidak memiliki kemewahan bermigrasi, mereka bersembunyi saja di dalam rumah. Celah-celah jendela dan pintu, lubang-lubang angin dan semua peluang bagi pertukaran udara pun diisolasi. Manusia melindungi oksigen yang sangat berharga tetap di dalam ruangan. Mereka tidak mengijinkan sedikit pun pertukaran dengan karbondioksida. Penghasil oksigen tutup, dia sedang sekarat.

Miranti sangat berat hati untuk mengungsi. Perasaannya akan kehadiran Lukman justru semakin menguat di saat genting ini. Namun demi kesehatan Kasih, Miranti pun terpaksa memesan tiket pesawat dengan masygul. Menghadapi kenyataan seperti ini, hati Miranti seperti hendak terbelah ke dua sisi yang berbeda. Intuisinya mengajaknya tetap di sini untuk tetap dekat dengan Lukman namun rasionya berkata lain. Penampakan Lukman semakin nyata di dalam mimpi dan lamunannya. Dia semakin mengejawantah dalam keseharian Miranti. Seolah dia menemani.

Seolah lebih dekat dengan intuisi ibunya, Kasih pun nampak bergeming untuk pergi dari Taman Nasional Sebangau. Kasih selalu mengkhawatirkan nasib Pongo.

“Ayo, kita ke tempat pemberian ransum!” rengek Kasih.
Beberapa hari ini, karena kelangkaan pasokan bahan baku, Manajer Taman menghentikan pemberian ransum sementara.

“Tapi tidak ada jagawana yang memberikan ransum di sana,” kata Miranti.

“Aku ingin Pongo.”

“Para jagawana sedang sibuk, mereka membantu manggala agni untuk memadamkan api.”

“Ya…kita saja yang ke sana.”

Akhirnya Miranti pun menyerah. Namun dia membuat semacam penawaran pada Kasih.

“Tapi setelah itu, Kasih mau ikut ya. Kita pergi ke Bogor.”

Kepala Kasih mengangguk, tapi hatinya tidak mengiyakan ibunya. Ia seolah melihat jalan keselamatan yang lain, yang tidak bisa ia ceritakan pada ibunya, paling tidak untuk saat ini.

Miranti memasangkan masker penyaring udara menutupi hidung dan mulut Kasih. Tempat pemberian ransum hanya jarak yang dekat saja, jarak jalan kaki. Namun kali ini terasa sangat jauh. Miranti sangat merasa tidak aman. Dia membawa beberapa tabung oksigen kecil di dalam ranselnya, bersama air dan sedikit kudapan berenergi. Taman Nasional gelap dan sangat berasap. Udara amat panas, mereka berpeluh. Langit pun jingga, seolah turut terbakar.

Sebentar kemudian mereka sudah tiba di tempat pemberian ransum. Tempat yang biasanya ramai, kini sepi dan kelabu. Tidak ada reriungan para orangutan seperti biasanya.

“Pongo, sini dong.” celoteh Kasih dengan riang. Ibunya masygul membisu. Angin bertiup membawa asap yang semakin tebal. Dua sosok nampak tertatih datang dari kejauhan. Pongo dan Laksmi nampak datang menghampiri.

“Kamu lapar, Pongo?”

Kasih mengeluarkan bekal kudapan mereka. Rasio ibunya hendak melarang Kasih, tetapi sepertinya rasio itu sudah bertekuk lutut pada intuisinya. Miranti mencium bau Lukman. Bau yang dahulu pernah tercium dengan hidung dan kini hanya terekam dalam kenangan.

“Baumu sekarang dapat kurasakan kembali dengan hidung,” gumam Miranti.

Langit semakin jingga. Udara semakin panas. Mereka semakin berpeluh. Gerah rusuh suasana hati Miranti. Miranti pingsan. Laksmi tampak membimbing tangan Pongo dan Kasih, mereka pergi menjauh.

Lukman nampak segar bugar, dia menggendong Kasih yang memanggilnya Pongo.

“Biarkan ibumu menyelesaikan moksanya,” kata Lukman sambil mencubit hidung Kasih.

Kasih melirik ibunya, Miranti sedang terbaring dengan landasan akar besar “Pohon Tempat Memohon”. Langit jingga telah menjadi merah.

_____________
*) Rinto Andriono adalah seorang konsultan UNDP untuk Indonesia, dulu ia adalah seorang aktivis anti korupsi yang militan di GeRAK Indonesia. Pasca terserang stroke, ia kemudian mengambil keputusan untuk belajar menulis sastra di Akademi Menulis-Dunia Sastra Kita.
http://sastra-indonesia.com/2020/02/pohon-pongo/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah