Sebelum zaman
Sutardji--yang melejitkan mantra melalui puisi kontemporernya--sebenarnya
mantra telah membumi di masyarakat Indonesia. Membuminya mantra juga merasuk ke
relung-relung budaya masyarakat. Bahkan sampai zaman modern sekarang ini. Masih
ada.
Jika ditelisik lebih
dalam, mantra adalah perkataan atau ucapan yang mengandung kekuatan gaib (misal
dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dsb). Atau mantra juga bisa dikatakan
sebagai susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap
mengandung kekuatan gaib, biasanya dibacakan oleh dukun atau pawang untuk
menandingi kekuatan gaib yang lain *.
Permainan mantra yang
biasanya lahir dan membudaya di masyarakat pada akhirnya juga membudaya pada
seni tata tulis. Dalam dunia puisi, mantra pada awalnya digolongkan sebagai
puisi lama, kemudian Sutardji memodernkannya menjadi puisi kontemporer (puisi
modern).
Bukan hal gaib dalam
artian pengaruh-pengaruh mahkluk halus, mantra dalam puisi hanya mengambil seni
sugesti yang biasanya didengung-dengungkan dengan susunan diksi sedemikian
rupa--dengan bunyi-bunyi tertentu, teratur atau tidak, sehingga ada pengaruh
terhadap pembaca, baik sadar ataupun tidak sadar--bisa saja seperti sugesti
pada dunia hipnotis yang mampu membawa pembaca ke alam tertentu.
Tidak banyak orang yang
mampu memainkan mantra dalam puisi-puisinya. Sebagian terlihat
dibuat-buat--mengada-ada. Sebagian yang lain dibuat berima-rima, tetapi tiada
terasa unsur sugesti atau gaib yang harusnya terasa pada puisinya tersebut.
Tetapi jika begitu, ada salah seorang penyair wanita yang aktif menulis puisi
dengan cara memasukkan unsur-unsur mantra di beberapa puisinya, yaitu Titi
Aoska.
Titi Aoska adalah salah
satu penyair muda yang aktif menulis puisi di jejaring fecabook. Sepemantauan
saya, Titi Aoska lebih banyak menulis puisi dengan genre-genre horor atau
misteri. Barangkali ada banyak hal-hal yang terjadi dalam kehidupannya sehingga
puisi adalah pelarian diri sebagai bentuk pemerhatian diri atau pengembira diri
dari hal-hal yang tidak bisa ia pecahkan atau selesaikan. Entahlah. Tetapi kita
tidak membahas ini lebih lanjut.
Puisi misteri sering
dikaitkan dengan hal-hal tabu, aneh, kelam atau gaib-gaib. Sekalipun tidak
harus. Penyair ini aktif mengait-ngaitkan mantra dalam puisinya, seperti pada
puisi berikut. Mari kita baca bersama:
KERANDA
Titi Aoska
deritderit di ujung
lorong
ada yang sedang menjerit
di dalam sana, meregang
merasakan kesakitan, kini
sewaktuwaktu nasib tak
tentu
dihuni batu dan
sekumpulan angin
menabur wangiwangi kubur
siap melebur dan menyubur
06 Feb 2016
Berbeda dengan puisi horor
lainnya, penyair kali ini mencoba memamerkan atau menceritakan kematian yang
akan ditemui setiap manusia. Kalau jika simak KBBI, keranda adalah tempat
usungan mayat bertutup; batu besar yang dicekungkan bagian atasnya sehingga
berbentuk lesung atau palung dan diberi tutup batu, digunakan sebagai tempat
menyimpan kerangka manusia dalam tradisi penguburan prasejarah. Jika kita
telisik puisi di atas, keranda dalam puisi ini lebih tepat kita cocokkan dengan
artian tempat usungan mayat, sekalipun sah saja dalam artian tempat kerangka
untuk masuk prasejarah.
Dari judul puisi, kita
sudah dijebak oleh sugesti horor tentang kematian. Simak pula beberapa diksinya
yang menaut-nautkan bunyi getar sebagai pembangkit sugesti, seperti:
//deritderit
... menjerit//
Menabur ... kubur
Melebur ...Menyubur//
Permainan rima bersambung
tentu mampu menimbulkan bunyi-bunyi tertentu. Sebagian terasa membangkitkan
bulu roma--terasa menakutkan, menggetarkan, dsb. Tetapi jika begitu, penyair
juga menautkan rima vokal sebagai bentuk suara terbuka--seolah-olah ceria, padahal
bukan, seperti:
//sewaktuwaktu ... tentu
... batu//
Coba baca dengan pelan,
rasakan sensasinya. Apa yang dapat kita rasakan? Masing-masing kita tentu bisa
merasakan sesuatu tetapi seolah-olah sulit dijelaskan. Begitu bukan?
Penyair sengaja mengambil
kehororan ini sebagai gambaran diri yang labil tentang kedamaian hidup. Saya
tidak mengatakan penyair tidak bahagia. Penyair bisa saja merasa hidup dalam
kungkungan maut--diintai-intai kematian. Dan keranda--proses ini adalah
penceritaan yang tepat untuk dibagikan kepada pembaca. Barangkali. Atau
setidaknya sebuah perenungan yang tentu membuat kita was-was diri. Tetapi jika
begitu, tentu kita semua adalah makhluk yang selalu diintai oleh maut.
Pulau Punjung, 06
Februari 2016
* Merujuk KBBI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar