Bandung Mawardi *
Di Kompas, ia sering tampil dengan opini. Cerpen turut disajikan ke pembaca. Puisi? Para pembaca Kompas mungkin jarang mengenali keampuhan lelaki asal Jogjakarta itu melalui halaman puisi. Opini-opini di Kompas memang bermaksud “menasihati” atau mengingatkan pembaca mengenai hal-hal darurat atau rawan prihatin. Aku kadang membaca serius, kadang merasa sudah mengerti sejak di judul dan alinea awal-akhir. Di halaman 6 atau 7, Indra Tranggono itu esais besar di Kompas. Ia pun muncul di Kedaulatan Rakyat dan Solopos. Aku menganggap halaman di Kompas mengesahkan Indra Tranggono itu budayawan, sebutan sulit mendapat arti terang di Indonesia. Rajin beresai menjadikan orang bergelar budayawan?
Aku memilih memberi sebutan ke Indra Tranggono adalah pesajak. Dulu, ia mengadakan kirab puisi di majalah remaja Hai. Puisi-puisi membuktikan olahan estetika dengan tema-tema biasa, tak bermaksud mencari celah untuk moncer seperti Joko Pinurbo atau Afrizal Malna. Ia menempuhi jalan estetika biasa, ada di Jemaah pesajak tanpa ledakan dan capaian menggemparkan. Puisi demi puisi ditulis mencari halaman-halaman di majalah. Pemuatan memberi kelegaan mendapatkan pembaca, tak usah dihitung jumlah pembaca atau ketelanjuran orang jadi penggemar.
Biografi pesajak itu terdapat di buku berjudul Tugu: Antologi Puisi 32 Penyair Yogya (1986) susunan Linus Suryadi AG. Di halaman 228, terbaca nama Indra Tranggono Puspito. Nama itu sama dengan Indra Tranggono, kolomnis di Kompas? Ia lahir, bersekolah, berkuliah, dan bekerja di Jogjakarta. Puisi-puisi pernah dimuat di antologi Gunungan dan Prasasti. Di data diri, ia mengaku pernah bercita-cita ingin menjadi penjaga gedung bioskop agar selalu gratis menonton film. Konon, cita-cita gagal tercapai. Ia malah menjadi seniman. Sang ibu bangga mengetahui Indra Tranggono sregep menulis puisi.
Pada masa 1980-an, rezim Orde Baru itu produsen perintah ingin Indonesia makmur, maju, dan terhormat. Soeharto malu jika Indonesia masih malas, bobrok, letih, kemproh, umbelen, bodoh, dan miskin. Indonesia harus tampil ke muka berdandan elok dan mentereng di segala hal. Swasembada beras mendapat pengakuan FAO di tahun 1984. Taman Mini Indonesia Indah berhasil mengubah tumpukan tuduhan Indonesia “jerawatan” atau “panunan”. Indonesia dengan perintah-perintah Soeharto terlarang menghuni kubangan seribu buruk.
Di hadapan rezim Orde Baru, kaum intelektual dan sastra sregep bersuara dengan protes atau kritik. Pada masa 1980-an, para pembaca sastra lumrah disuguhi puisi-puisi mengandung protes sosial atau kritik pembangunan. Indra Tranggono maih muda dan belum gendut. Ia menulis puisi tapi tak sekeras rombongan puisi gubahan Rendra. Ingat sastra melawan atau mengejek rezim, ingat Rendra ketimbang Indra Tranggono. Aku tentu tak bakal menghapus urun puisi dari Indra Tranggono. Puisi pantas teringat ada di jalan gampang terkena gebuk dan omelan pemerintah.
Puisi berjudul “Kota Renta 1” dimuat di majalah Hai edisi 24-30 Maret 1987. Puisi panjang berakibat seri 2, 3, 4, atau 5 tak mendapat ruang untuk pemuatan. Indra Tranggono mungkin cuma mengirim seri 1, belum ingin membuat sesak halaman puisi di Hai. Aku menduga seri 2 atau 3 pernah pula dimuat di Hai tapi aku belum berhasil membeli dan mengoleksi. Puisi bertema kota, mengurutkan pelbagai sindiran dan pengharapan. Indra Tranggono marah secara sopan dan melucu.
Dua bait “pemanasan” bagi pembaca di akhir 2018. Cara membaca terasa wagu, terpisah jauh dari 1987. Indra Tranggono menulis: Inilah kotaku rumah bagi semua/ terbangun dari tulang-tulang renta/ berpagar sukma-sukma bergetar/ berlampu hasrat-hasrat berpijar// Kotaku tertatih-tatih/ membangun persembunyian/ bagi petualang-petualang/ saat terdesak diserang. Kota masih belum bernama. Alamat tak terbaca. Apakah kota di puisi itu Jakarta atau Jogja? Pesajak di Indonesia masa 1980-an cenderung malu menggamblangkan nama kota atau berharap kota di puisi berlaku bagi semua kota seantero Indonesia. Pengimajinasian kota berlebihan melupakan alamat lengkap. Kota jadi tempat samar, membingungkan, anonim.
Tuduhan paling gampang: kota itu bernama Jogja. Indra Tranggono berada di Jogja. Kota itu tempat atau alamat kemunculan para pesajak kondang di Indonesia, dari masa ke masa. Indra Tranggono terbentuk di kota-puisi. Di kota, ia menggubah puisi mengurusi kota dengan diksi-diksi mengoreksi dan menasihati. Kota mengalami perubahan-perubahan membikin cemas, marah, getun, dan lara. Di puisi, pesajak menunaikan protes dibaca umat sastra, bukan pemerintah atau para majikan bermodal besar. Umat sastra pun ada di hadapan halaman puisi milik majalah remaja, berbeda taraf dari Horison.
Aku mungkin ingin mengutip sekian bait untuk mengerjakan esai. Inginku esai bias mejeng di Kompas atau Jurnal Ruang. Kemauan mengutip puisi gubahan Indra Tranggono itu menggairahkan ketimbang memilih kalimat-kalimat di esai dijadikan kutipan di tulisanku. Di mataku, Indra Tranggono itu pesajak. Ia mengerti kota, mengisahkan di puisi bergelimang sinis. Dua bait mengenai nasib buruk kota: Kini kotaku sibuk dirias/ menjadi gadis belia dan bregas/ langkah berderap-derap/ nyali berharap-harap// Kini kotaku bukan rumah bagi semua/ penggusuran di mana-mana/ warung-warung, rumah-rumah kardus/ disulap jadi bar, restoran, bioskop atau kampus. Kota itu terpuruk di buruk. Aku mulai ragu kota itu Jogja. Dua bait mengarahkan kota itu Jakarta. Aku ikhlaskan kota di puisi adalah Jakarta. Perkara ingin mengetahui perubahan di Jogja mendingan membaca puisi dan esai garapan Linus Suryadi AG.
Di puluhan esai, Indra Tranggono sering menggunakan ungkapan dan ajaran Jawa dalam produksi kritik atas pelbagai masalah di Indonesia. Ia bereferensi Jawa, malu mengutip pemikiran dari tokoh-tokoh ternama asal Eropa dan Amerika Serikat. Di puisi terbaca kaum remaja di masa Orde Baru, rasa Jawa itu belum tampak. Ia mungkin ingin “menasional”, tak perlu menaruh Jawa di puisi. Para remaja pasti bingung dan merepotkan orangtua jika si pesajak boros memasang Jawa di puisi bertema kota.
Di bait terkurung tanda petik, aku membaca kemarahan tertahan: “Agar kota senantiasa belia/ rumah-rumah uzur harus digusur/ agar warna gemerlap tak bakal luntur/ agar peradaban senantiasa terukur.” Bait bertanda kutip boleh digunakan dalam demonstrasi atau dibaca di muka umum sebelum diskusi “mengejek” kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru. Dulu, aku pernah bertemu Indra Tranggono. Ia bukan pemilik suara keras. Bait itu dibacakan saja oleh mahasiswa gondrong, rajin merokok, dan kumal. Dampak puisi tentu menghasilkan teriakan dan tepuk tangan. Indra Tranggono jangan memaksa membaca dengan suara keras di muka mikrofon. Eh, mikrofon sudah direbut Afrizal Malna, dimiliki dari masa 1980-an sampai sekarang.
Membaca puisi keras dan melulu protes cepat memberi letih. Aku lupa belum minum segelas air bening. Ragaku berkeringat meski di luar hujan rintik. Puisi itu sumber sumuk. Aku ingin tiduran sambil berimajinasi romantic seperti di film-film picisan Indonesia. Aku ingin berpisah dari bait terakhir paling panjang tanpa harus merenungkan selama 3 jam: dendang kepayang/ gedung-gedung ngangkang/ pabrik-pabrik bergoyang/ hari-hari basah/ manusia berkeringat di mesin nasib yang payah/ Inilah kotaku/ terbangun dari tulang-tulang renta/ tapi tak lagi untuk semua/ Inilah kotaku yang angkuh/ kuburan bagi semua. Puisi terlalu tragedi. Aku sudah capek. Begitu.
***
5 Januari 2019
*) Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi.
https://pengenangpuisi.wordpress.com/2019/01/05/puisi-terlalu-tragedi/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar