Rabu, 26 Februari 2020

Puisi Terlalu Tragedi

Bandung Mawardi *

Di Kompas, ia sering tampil dengan opini. Cerpen turut disajikan ke pembaca. Puisi? Para pembaca Kompas mungkin jarang mengenali keampuhan lelaki asal Jogjakarta itu melalui halaman puisi. Opini-opini di Kompas memang bermaksud “menasihati” atau mengingatkan pembaca mengenai hal-hal darurat atau rawan prihatin. Aku kadang membaca serius, kadang merasa sudah mengerti sejak di judul dan alinea awal-akhir. Di halaman 6 atau 7, Indra Tranggono itu esais besar di Kompas. Ia pun muncul di Kedaulatan Rakyat dan Solopos. Aku menganggap halaman di Kompas mengesahkan Indra Tranggono itu budayawan, sebutan sulit mendapat arti terang di Indonesia. Rajin beresai menjadikan orang bergelar budayawan?

Aku memilih memberi sebutan ke Indra Tranggono adalah pesajak. Dulu, ia mengadakan kirab puisi di majalah remaja Hai. Puisi-puisi membuktikan olahan estetika dengan tema-tema biasa, tak bermaksud mencari celah untuk moncer seperti Joko Pinurbo atau Afrizal Malna. Ia menempuhi jalan estetika biasa, ada di Jemaah pesajak tanpa ledakan dan capaian menggemparkan. Puisi demi puisi ditulis mencari halaman-halaman di majalah. Pemuatan memberi kelegaan mendapatkan pembaca, tak usah dihitung jumlah pembaca atau ketelanjuran orang jadi penggemar.

Biografi pesajak itu terdapat di buku berjudul Tugu: Antologi Puisi 32 Penyair Yogya (1986) susunan Linus Suryadi AG. Di halaman 228, terbaca nama Indra Tranggono Puspito. Nama itu sama dengan Indra Tranggono, kolomnis di Kompas? Ia lahir, bersekolah, berkuliah, dan bekerja di Jogjakarta. Puisi-puisi pernah dimuat di antologi Gunungan dan Prasasti. Di data diri, ia mengaku pernah bercita-cita ingin menjadi penjaga gedung bioskop agar selalu gratis menonton film. Konon, cita-cita gagal tercapai. Ia malah menjadi seniman. Sang ibu bangga mengetahui Indra Tranggono sregep menulis puisi.

Pada masa 1980-an, rezim Orde Baru itu produsen perintah ingin Indonesia makmur, maju, dan terhormat. Soeharto malu jika Indonesia masih malas, bobrok, letih, kemproh, umbelen, bodoh, dan miskin. Indonesia harus tampil ke muka berdandan elok dan mentereng di segala hal. Swasembada beras mendapat pengakuan FAO di tahun 1984. Taman Mini Indonesia Indah berhasil mengubah tumpukan tuduhan Indonesia “jerawatan” atau “panunan”. Indonesia dengan perintah-perintah Soeharto terlarang menghuni kubangan seribu buruk.

Di hadapan rezim Orde Baru, kaum intelektual dan sastra sregep bersuara dengan protes atau kritik. Pada masa 1980-an, para pembaca sastra lumrah disuguhi puisi-puisi mengandung protes sosial atau kritik pembangunan. Indra Tranggono maih muda dan belum gendut. Ia menulis puisi tapi tak sekeras rombongan puisi gubahan Rendra. Ingat sastra melawan atau mengejek rezim, ingat Rendra ketimbang Indra Tranggono. Aku tentu tak bakal menghapus urun puisi dari Indra Tranggono. Puisi pantas teringat ada di jalan gampang terkena gebuk dan omelan pemerintah.

Puisi berjudul “Kota Renta 1” dimuat di majalah Hai edisi 24-30 Maret 1987. Puisi panjang berakibat seri 2, 3, 4, atau 5 tak mendapat ruang untuk pemuatan. Indra Tranggono mungkin cuma mengirim seri 1, belum ingin membuat sesak halaman puisi di Hai. Aku menduga seri 2 atau 3 pernah pula dimuat di Hai tapi aku belum berhasil membeli dan mengoleksi. Puisi bertema kota, mengurutkan pelbagai sindiran dan pengharapan. Indra Tranggono marah secara sopan dan melucu.

Dua bait “pemanasan” bagi pembaca di akhir 2018. Cara membaca terasa wagu, terpisah jauh dari 1987. Indra Tranggono menulis: Inilah kotaku rumah bagi semua/ terbangun dari tulang-tulang renta/ berpagar sukma-sukma bergetar/ berlampu hasrat-hasrat berpijar// Kotaku tertatih-tatih/ membangun persembunyian/ bagi petualang-petualang/ saat terdesak diserang. Kota masih belum bernama. Alamat tak terbaca. Apakah kota di puisi itu Jakarta atau Jogja? Pesajak di Indonesia masa 1980-an cenderung malu menggamblangkan nama kota atau berharap kota di puisi berlaku bagi semua kota seantero Indonesia. Pengimajinasian kota berlebihan melupakan alamat lengkap. Kota jadi tempat samar, membingungkan, anonim.

Tuduhan paling gampang: kota itu bernama Jogja. Indra Tranggono berada di Jogja. Kota itu tempat atau alamat kemunculan para pesajak kondang di Indonesia, dari masa ke masa. Indra Tranggono terbentuk di kota-puisi. Di kota, ia menggubah puisi mengurusi kota dengan diksi-diksi mengoreksi dan menasihati. Kota mengalami perubahan-perubahan membikin cemas, marah, getun, dan lara. Di puisi, pesajak menunaikan protes dibaca umat sastra, bukan pemerintah atau para majikan bermodal besar. Umat sastra pun ada di hadapan halaman puisi milik majalah remaja, berbeda taraf dari Horison.

Aku mungkin ingin mengutip sekian bait untuk mengerjakan esai. Inginku esai bias mejeng di Kompas atau Jurnal Ruang. Kemauan mengutip puisi gubahan Indra Tranggono itu menggairahkan ketimbang memilih kalimat-kalimat di esai dijadikan kutipan di tulisanku. Di mataku, Indra Tranggono itu pesajak. Ia mengerti kota, mengisahkan di puisi bergelimang sinis. Dua bait mengenai nasib buruk kota: Kini kotaku sibuk dirias/ menjadi gadis belia dan bregas/ langkah berderap-derap/ nyali berharap-harap// Kini kotaku bukan rumah bagi semua/ penggusuran di mana-mana/ warung-warung, rumah-rumah kardus/ disulap jadi bar, restoran, bioskop atau kampus. Kota itu terpuruk di buruk. Aku mulai ragu kota itu Jogja. Dua bait mengarahkan kota itu Jakarta. Aku ikhlaskan kota di puisi adalah Jakarta. Perkara ingin mengetahui perubahan di Jogja mendingan membaca puisi dan esai garapan Linus Suryadi AG.

Di puluhan esai, Indra Tranggono sering menggunakan ungkapan dan ajaran Jawa dalam produksi kritik atas pelbagai masalah di Indonesia. Ia bereferensi Jawa, malu mengutip pemikiran dari tokoh-tokoh ternama asal Eropa dan Amerika Serikat. Di puisi terbaca kaum remaja di masa Orde Baru, rasa Jawa itu belum tampak. Ia mungkin ingin “menasional”, tak perlu menaruh Jawa di puisi. Para remaja pasti bingung dan merepotkan orangtua jika si pesajak boros memasang Jawa di puisi bertema kota.

Di bait terkurung tanda petik, aku membaca kemarahan tertahan: “Agar kota senantiasa belia/ rumah-rumah uzur harus digusur/ agar warna gemerlap tak bakal luntur/ agar peradaban senantiasa terukur.” Bait bertanda kutip boleh digunakan dalam demonstrasi atau dibaca di muka umum sebelum diskusi “mengejek” kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru. Dulu, aku pernah bertemu Indra Tranggono. Ia bukan pemilik suara keras. Bait itu dibacakan saja oleh mahasiswa gondrong, rajin merokok, dan kumal. Dampak puisi tentu menghasilkan teriakan dan tepuk tangan. Indra Tranggono jangan memaksa membaca dengan suara keras di muka mikrofon. Eh, mikrofon sudah direbut Afrizal Malna, dimiliki dari masa 1980-an sampai sekarang.

Membaca puisi keras dan melulu protes cepat memberi letih. Aku lupa belum minum segelas air bening. Ragaku berkeringat meski di luar hujan rintik. Puisi itu sumber sumuk. Aku ingin tiduran sambil berimajinasi romantic seperti di film-film picisan Indonesia. Aku ingin berpisah dari bait terakhir paling panjang tanpa harus merenungkan selama 3 jam: dendang kepayang/ gedung-gedung ngangkang/ pabrik-pabrik bergoyang/ hari-hari basah/ manusia berkeringat di mesin nasib yang payah/ Inilah kotaku/ terbangun dari tulang-tulang renta/ tapi tak lagi untuk semua/ Inilah kotaku yang angkuh/ kuburan bagi semua. Puisi terlalu tragedi. Aku sudah capek. Begitu.
***

5 Januari 2019

*) Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi.
https://pengenangpuisi.wordpress.com/2019/01/05/puisi-terlalu-tragedi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah