Setelah waktu menggeser
matahari ke tempat jauh
kau tak bisa tahan laut
tumbuh di bola mata
sedang ombak di teluk itu
masih setia melintas
membawa urat-urat kepala
ke bentangan bisoa.
Di tanjung, kau
menyaksikan
ombak memukul-mukul
lambung teluk
tapi batu-batu rijang itu
hanya riwayat dalam ingatan.
Di kepalamu, ada cerita
direkam batu
angin, rumah, kebun,
pantai, dan segala
kau menjelma silsilah
yang kehilangan tanjung
seperti jari kehilangan
telunjuk, sedang waktu terus
menggeser segala ke
kejauhan, tak bisa kau sangkal
di pangkal pantai yang tanggal.
Ternate, 2017-2019.
DI BUMI MORO HUJAN TURUN
Di Bumi Moro hujan turun
ke teluk Loloda aku
hanyut.
O...
siapa yang membawaku
sejauh ini
sedang di mata
pulau-pulau menghadang
Luga dan Bisoa di ujung
mata
tak dapat aku sentuh
dengan tangan
tak dapat aku peluk
dengan tubuh.
O...
siapa yang membawaku
sejauh ini
sedang perahu semang
tiada berkayuh
perahu ketinting tengah
terbaring
perahu fanae tak hendak
menjaring
perahu fenes jauh
berlayar
perahu canga di pelukan
sejarah.
O...
siapa yang membawaku
sejauh ini
kalau bukan ia
perempuan yang lahir di
kaki Tarakani
yang tubuhnya penuh wangi
yang harumnya lebih dari
menyanyi
yang hatinya selalu
bernyanyi
di tengah sepi yang
selalu sunyi
untuk aku yang ingin
menetap
atas nasib yang ke sana
kemari.
O...
siapa yang membawaku
sejauh ini
kalau bukan ia
perempuanku di rumah tua
yang setiap pulang selalu
ingin
kupotong kukunya, kupijat
kaki
dan tangannya, kutiup
matanya.
Morotai, 2020.
BURUNG MELEU YANG
KEHILANGAN SAYAP
Rumah tua itu tak tahu
apa yang dipikirkan ayah
ketika laut sedang
mendidih
dan pantai itu diam-diam
menjadi ibu,
tapi ayah telah jauh
berangkat sebelum pagi jadi riang
batu-batu hitam dan
anak-anak sungai itu telah jauh mencatat.
Apakah di kaki pohon tua
itu
kau melihat seseorang
menghunuskan batang kayu
ke dalam gundukan tanah,
saat matahari di atas kepala?
Di ranting pohon kapu dan
kayu besi,
burung kakatua sejak lama
mendengung
sambil mengepak-ngepakkan
sayapnya
dan sungai-sungai yang
mengalir di bawahnya
telah mengirimkan riwayat
itu ke banyak muara.
Ada burung taong
di atas sungai dan
pepohonan itu
tak tahu ke mana membuang
muka,
ketika menyaksikan tangan
lain lebih dulu
menjejaki di sana dan
ayah pergi mencari
gundukan tanah yang lain.
Ketika bulan tertidur
dan tigalu kami tak lagi
berjumpa di udara,
berpelukan di bawah
pepohonan,
aku burung meleu yang
kehilangan banyak sayap.
Morotai, 23 April 2019.
Catatan:
tigalu: seruan ketika
terpisah di hutan.
LELAKI YANG MEMILIKI TIGA
NAMA
Setiap kali saya menulis
biodata
saya selalu ingin menulis
tiga nama
nama saya, nama bapak
saya, dan nama ibu saya.
Saya sangat bahagia
melihat nama kami
berpeluk dan hidup di
lipatan buku-buku
atau di ranjang-ranjang
media massa.
Sungguh, saya sangat
bahagia
sebab dengan menulis nama
mereka
saya sudah menulis
setengah dari kehidupan.
Morotai, 2019.
DI GARIS PANTAI HIRI
Kepada Rajif Duchlun
Layang-layang yang lepas
dari tangan anak-anak itu
telah menyimpan riwayat
seseorang yang menangis
ketika angin sakal dan
mimpi-mimpi lepas dari mata
di atas kepala para
nelayan, berpagi-pagi diadu ombak
burung-burung sibuk
menangkapnya, tapi yang ditangkap
adalah ikan toni dan ikan
sako yang beterbangan di udara.
Kenangan itu seperti
layang-layang yang lepas dan tak kembali.
Morotai, 2018.
DI APRIL-APRIL YANG HUJAN
Hujan
bertandang di tanggal tua
perantau hilang di banyak
jejak.
Subuh yang melepas
akan kembali memeluk.
Kenangan telah
menjelma layar lebar
hanya bisa ditonton dari
jauh.
Orang-orang telah
pergi dan pulang
menyusuri batu rijang,
falo-falo di tangan
kanan,
sak terigu di tangan
kiri.
Waktu menua di pasir
putih
orang-orang turun
menjaring laut.
Di tanjung ombak menari,
di teluk orang-orang
bernyanyi,
di kejauhan perantau
menangis.
Hujan pagi ini begitu
baik
meminta aku menikmati
laor dan pisang goreng
tapi aku tak mencium
apa-apa
selain bau hujan dan
aroma gerimis.
Morotai, 2019.
BULAN TANPA PAYUNG
Aku telah jauh berjalan
menyusuri sisa kenangan
di antara rumah tua,
batu rijang, dan tanah
liat.
Di bawah
bulan tanpa payung
kami bakar kokodo,
melepas totango.
Di sana, angin pernah
menyisir rambut kami
dan ombak bernyanyi
di sepanjang pantai.
Di kejauhan,
kapal-kapal berlayar
di dekat jantung,
perahu pergi dan pulang.
Matahari terbit,
rao mengapung,
orang-orang berdatangan,
sampan-sampan berdendang.
Detik-detik yang dulu
kurasa lebih cepat dari
langkahku
ternyata lebih deras dari
sungai kali aru.
Langkahnya pelan, tapi
pasti.
Aku tak tahu,
siapa yang pergi
dan siapa yang
ditinggalkan,
aku atau waktu?
Alangkah
kenangan begitu dekat,
dan masa lalu begitu
jauh.
Morotai, 2019.
Catatan:
rao: nama pulau
kokodo: pisang bakar
totango: pancingan ikan
kali aru: sungai malar di
Halmahera.
http://sastra-indonesia.com/2020/02/sajak-sajak-abi-n-bayan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar