Bandung Mawardi *
Koran Sindo, 3/9/2017
Sejak puluhan tahun
silam, Budi Darma lazim menganggap sastra itu jungkir balik. Segala anutan
gampang berubah, dan berkebalikan saat tersaji di cerita.
Imajinasi memungkinkan
peruntuhan ketetapan atau kebakuan, mengajak pembaca bergerak di batas ragu,
kejutan, dan keliaran. Sastra menghindari keabsolutan, bermaksud memungkinkan
pengarang dan pembaca bergerak ke situasi, dan hal terjauh. Buku kumpulan cerita
berjudul Kritikus Adinan sejenak mengundang pembaca berkenan masuk ke jagat
jungkir balik gubahan Budi Darma.
Pada 1984, Budi Darma
pernah menjelaskan bahwa pengarang terbius untuk menulis mungkin tak memikirkan
faedah perbuatan menulis. Kita membuktikan dengan membaca cerita-cerita
mengejutkan, menjengkelkan, dan memusingkan, keanehan atau keganjilan menguasai
ketimbang kewajaran. Pembaca tak dibiarkan bersantai saat bersantap cerita.
Budi Darma sedang
menggedor imajinasi dan tumpukan gagasan telanjur mengikuti realitas. Kita
mulai menikmati aneh di cerpen berjudul Penyair Besar, PenyairKecil. Budi Darma
tampak menaruh kritik pada obsesi penggubah puisi. Tenar dan serbuan pujian
memicu Penyair Kecil tekun marah, sedih, dan sangat berharap. Alkisah, Penyair
Besar diundang berceramah di suatu kota.
Panitia ingin meladeni
dengan kehormatan, meski berlebihan. Sikap itu ditentang Penyair Kecil, mengaku
sebagai teman lama dari Penyair Besar. Iri melanda dan mengarah ke ejekan
mengandung marah kepada panitia: “Mereka berusaha untuk menyambut kau
besar-besaran, diinapkan di hotel segala, itu perlunya untuk korupsi.
Itulah kalau orang tidak
tahu apa itu sastra sebenarnya dan tidak tahu apresiasi sastra yang
sebenarnya.” Di jagat perpuisian, orang-orang sering terobsesi jadi pujangga
tenar, tapi gagal menggubah puisi-puisi apik. Penyair Kecil gegabah mengumbar
marah dan iri ke sembarang orang. Dia menggubah puisi-puisi bermodal plagiat,
dan meniru secara ceroboh.
Pada Penyair Besar, dia
ingin minta nasihat, tapi berlagak paling mengerti puisi dan menebar hujatan kepada
para tokoh sastra. Marah tak pernah padam. Pengakuan mangkel: “Sajakku ini
sangat indah. Ketika kukirimkan ke Horison, ditolak. Semua orang Horison
rupanya goblok.” Penyair Besar berusaha sabar tapi gagal.
Ulah dan kata Penyair
Kecil justru mengabarkan penjungkir balikan kemuliaan berpuisi dan keinsafan
untuk mempersembahkan puisi-puisi bergelimang makna. Cerpen mengesankan suguhan
Budi Darma berjudul Kritikus Adinan. Para pembaca mungkin lekas ingat novel
Proses dari Franz Kafka saat membaca awal-awal cerita.
Kritikus Adinan mendapat
surat panggilan ke pengadilan tanpa tahu kesalahan dan tuduhan. Dia dipaksa
datang ke pengadilan dalam bingung dan ketiadaan informasi gamblang. Di
pengadilan, dia sering terkena marah akibat gerak raga atau bahasa. Di
pengadilan, dia perlahan mengerti ada keapesan sebutan diri sebagai kritikus.
Sekian pihak mencurigai
kebiasaan menulis kritik dan pengakuan pada pemberian sebutan Kritikus Adinan.
Budi Darma seperti sedang mengusik tata politik dan sastra pada masa Orde Baru.
Kritik adalah gangguan dan momok.
Di pengadilan, Kritikus
Adinan mendapat serangan keras: “Mengapa kau tidak sanggup memberi tahu kepada
semua orang mengenai kritik yang kau tulis, sehingga semua orang tahu bahwa kau
kritikus? Mengapa kau tidak sanggup melarang semua orang yang tidak tahu kau
menulis kritik, tapi menamakan kau kritikus?” Perkembangan sastra Indonesia
masa 1970-an sampai 1990-an mencatat otoritas para kritikus sastra mendapat
gugatan.
Ketokohan HB Jassin ingin
dikoreksi dengan kemunculan para kritikus baru, meski masih timpang dalam
pembuktian publikasi tulisan-tulisan kritik sastra dan pengaruh. Di mata para
pengarang, kritikus sastra gampang diremehkan dan ditolak, berdalih tak pernah
mengerti atau mengalami pergulatan sebagai pengarang.
Kritikus Adinan
dihadapkan pada jungkir balik kebermaknaan menulis kritik, pengakuan publik,
dan penolakan atas nama pengadilan. Situasi tak keruan juga dialami tokoh di
cerpen berjudul Pengarang Rasman . Di suatu kota, jajaran birokrasi dan publik
ingin menghormati Pengarang Rasman. Penghormatan itu sulit diterima dengan
seribu argumentasi.
Pengarang Rasman telanjur
dianggap pengarang besar, meski orang-orang enggan membaca buku-buku hasil
bersastra dari Pengarang Rasman. Orang-orang cuma ingin mengecap bahwa
Pengarang Rasman itu tenar dan besar tanpa apresiasi ke teks-teks sastra.
Pengarang Rasman memilih menghindari pesta pujian. Dikota, posisi Pengarang
Rasman sering salah dan berisiko dilematis.
Para pejabat dan wartawan
sering memaksa Pengarang Rasman terlibat dalam pelbagai perkara dengan urun
pemikiran atau solusi. Pengarang Rasman kalem menjawab berulang tanpa bosan:
“Maaf, saya tidak punya pendapat.” Jawaban itu malah sering dipelintir dan
dimanipulasi dalam pemberitaan di koran atau obrolan dalam acara-acara publik.
Pengarang Rasman dipaksa
dijadikan tokoh panutan dan sumber pemikiran bijak. Pembaca agak mengerti bahwa
ketokohan dalam cerita itu mengacu ke tuntutan publik di Indonesia agar
pengarang selalu mengerti pelbagai hal dan mau berpendapat.
Pengarang “dipaksa”
berpredikat penggerak perubahan, bukan melulu penggubah cerita di
lembaran-lembaran kertas. Budi Darma telah mengingatkan bahwa pengarang rentan
terjungkir balikkan oleh serbuan tuntutan publik. Begitu.
*) Bandung Mawardi,
Kuncen Bilik Literasi (Solo).
http://koran-sindo.com/page/news/2017-09-03/0/15/Sastra_Jungkir_Balik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar