Agusri
Junaidi
Mereka
sedang bersantai menikmati kerlip lampu kota jauh di bawah sana, begitu jauh
dan redup, namun di sanalah kehidupan sebenarnya, orang-orang menyabung
nasibnya.
Di
sini mereka sebaliknya ingin menjauh dari kehidupan ramai itu, melepaskan diri
dari rencana aksi dijalanan yang seiring waktu terus makin memanas.
Tahun
1997 mendekati tahun, api terjadinya reformasi di tanah air. Beberapa hari lalu
demonstran kembali bentrok dengan aparat, mereka menamainya tragedi Maret
berdarah.
Gunung
Betung tak terlalu tinggi hanya 1200 mdpl, tapi lebih dekat dengan kota,
sehingga beramai pendaki atau kebetulan orang-orang mencari kesenangan di sini.
Selain ketinggian ada juga objek wisata air terjun di sini, tepatnya di Register
19, Gunung Rejo Pesawaran, Lampung.
***
Haris
duduk menepi sendiri membawa cangkir kopinya menjauh dari rekan-rekannya. Gunung
ini menyimpan banyak kisah baginya, dan sebenarnya sudah cukup lama ia tak
pernah ke sini.
Karena
Puan dan Yusi memintanya ikut mengantarkan mereka ke sini, ia bersama Martha,
Pras, Erfin, dan Nunuk akhirnya bersama malam ini.
Duduk
berkelompok mereka main kartu dengan Erfin memetik gitar, dan menyanyikan
lagu-lagu Dewa 19.
Matanya
menerawang jauh menatap pada batu besar di pinggir sungai yang di bawahnya
jurang tinggi dan cadas membentuk air terjun. Di sini dia merasakan, bahwa
hidup dan kematian hanya setipis kulit ari bedanya.
Ini
beberapa tahun lalu sebelum ia masuk kuliah, ia bersama teman-teman bimbelnya
mendaki ke sini pada waktu week end. Ia bersama Nara, dan Hans teman SMA juga
Bobi, Rama, dan dua orang wanita yang bekerja sebagai tenaga administrasi di
bimbel itu.
Harusnya
hari minggu itu mereka sudah pulang, tapi dia, Nara, dan Hans memutuskan untuk
memperpanjang waktu semalam lagi. Selain mereka ada kelompok lain, dan juga
beberapa siswa dari salah satu SMA di basecamp.
Suasana
menjelang maghrib begitu dingin dan sepi, ia tiba-tiba merasa gelisah. Hatinya
terasa resah tanpa sebab. Nara dan Han sedang menghidupkan api sambil menjerang
air.
Mentari
meredup, dan cahaya hampir lumat dalam gelap. Jangkrik bernyanyi kesedihan.
***
"Hai
kak, ngapain lu sendiri di sini," ia tak menyadari, ternyata Puan dan Yusi
memperhatikan dirinya sejak tadi.
Terkaget
dari ingatannya yang seolah disentakkan tiba-tiba, Haris tergeragap dan
menghilangkan gugupnya dengan menyalakan Zippo pada ujung rokoknya.
"Ah
gak apa-apa kok, lagi pengen aja," ujarnya tersenyum kecil.
Hanya
sebuah refleksi, apa yang pernah kulalui dulu. Tambahnya lagi.
Lalu
ia bercerita pada mereka soal insiden itu, ketika dia dengan Hendra Dayak
berlari menyusuri tebing turun ke bawah.
Anak
yang jatuh itu, membentur cadas kepalanya, mata kiri dan kanan, serta bagian
kepalanya cedera parah.
"Aku
yang pertama tiba di sana, hanya aku dan dia yang mungkin saja sedang sakaratul
maut, di depan mataku," Ujar Haris mengingat kenangan sore itu.
Korban
langsung dievakuasi, kami memakaikan tandu dan bergantian turun melalui jalan
setapak. Mayatnya berat terasa menekan punggung, kami tak punya pilihan selain
bergantian hingga tiba di kampung teratas. Orang mulai ramai bergerombol, kami
menepi.
"Kami
pulang, dan aku membawa peristiwa itu dalam ingatan, perlu waktu untuk
diendapkan. Kengerian, berhadapan dengan kematian, bukankah itu sebuah
pelajaran dari yang kuasa?
***
Gunung
Betung di Lampung memang masih menyimpan mitos yang kuat. Sudah turun temurun
cerita tentang seorang anggota pleton tentara Belanda tersesat di gunung Betung
hilang tanpa jejak.
Tentara
Belanda ini memburu tujuh penyebar agama Islam yang masuk ke kawasan ini. Dan
kini ada 7 makam para aulia di atasnya. Di sisi lain Gunung Betung ini punya
hutan larangan, yang jika dimasuki akan berputar lagi ke tempat yang sama.
Percaya
atau tidak, banyak juga pendaki gunung ini yang bercerita kembali ke tempat
yang sama sampai lebih dari 5 kali putaran.
Masih ada sebutan SD Markas untuk menyebut SDN 2
Sungailangka. Karena lokasi sekolah ini, dulunya bekas markas tentara Belanda.
Kalau malam jumat, warga sekitar sering mendengar suara bising di bagian
sekolah, namun saat menoleh tak nampak apapun lagi.
Esoknya
mereka mendaki ke puncak suasananya sungguh indah, medan tak terlalu berat,
pohon Bambu Betung tampak menyembul dari lereng, begitu hijau, dan subur.
Di
puncak yang cukup landai, terlihat beberapa kuburan orang dewasa dan anak-anak.
Entah apa sebenarnya cerita dibalik itu. Mereka mengambil photo, dan memasukkan
kenangan ke dalam camera.
Mereka
tak lama langsung turun, cukup sudah menyesap gunung betung.
Bagi
Haris sendiri, ini menjadi saat yang tepat untuk menghilangkan segala ketakutan,
dan kengeriannya sejak peristiwa itu. Ia berdamai dengan kenyataan, dan
menganggap peristiwa itu adalah bagian hidup dari tuhannya.
*)
Sequel dari Novel PEREMPUAN PULAU PENYENGAT.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/rahasia-gunung-betung/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar