Ahmad Farid Yahya
Penampilan Fisik
Covernya menarik dan seperti ada filosofi yang terkandung di dalam ilustrasi pada cover tersebut. Setidaknya begitulah kesimpulan pertama orang yang melihat covernya. Ada spot UV pada gambar pohon yang mirip bentuk jantung tersebut. Permukaan cover yang doff dengan spot UV pada gambar fokus membuat cover ini terkesan wah. Untuk ukuran cukup tebal viii+380 halaman. Ukuran buku ini 20,5cm pada tingginya, tetapi pada bagian lebar tak terlalu lebar. Berkisar 13 atau 14cm.
Mengenai desain cover ini, orang jadi penasaran dengan isinya. Digambarkan ada dua pohon di sisi kanan dan kiri. Pada sisi kanan ada seorang pria yang duduk merenung. Begitu juga dengan sisi kiri ada perempuan berjilbab yang duduk merenung. Ada satu pohon yang mati pada bagian tengah. Tapi semua pohon tersebut bermuara pada akar yang saling mengikat di bawahnya.
Ilustrasi perempuan berjilbab tersebut bisa membuat orang menebak background novel ini pasti bernuansa islam. Apalagi yang sudah mendengar desas-desus tentang novel ini. Orang akan berpikir bahwa mereka adalah pasangan yang terpisahkan, padahal aslinya mereka berasal dari akar yang sama. Barangkali begitulah spekulasi orang-orang mengenai isi novel ini, dari melihat cover.
Sinopsis
Dibuka dengan perempuan yang menunggu kekasihnya di terminal bus, untuk kabur dari rumah karena cinta mereka tidak direstui. Lalu alur menjadi flashback ke awal masalah itu bermula. Pertama ke pertemuan mereka berdua; Mif dan Fauzia. Mif adalah anak dari orang yang dianggap tua atau dihormati oleh orang-orang utara. Maksudnya adalah kawasan desa bagian utara yang notabene orang Muhammadiyah. Sedangkan Fauzia adalah anak dari kiai yang paling disegani di selatan. Istilah untuk kawasan yang mayoritas Nahdatul Ulama.
Mereka berdua bertemu di sebuah bus. Mif mengenali Fauzia dan mengajaknya bicara. Dari saling tukar alamat email dan bukannya nomor telepon, mereka terus akrab. Sampai Mif mengirimkan tulisannya kepada Fauzia mengenai NU dan Muhammadiyah untuk meminta pendapatnya. Mif lulus kuliah di Yogyakarta dan kerja di sebuah penerbitan buku sejarah. Sedang Fauzia masih kuliah di Surabaya. Tulisan tersebut tak mendapat balasan dari Fauzia karena Fauzia sendiri merasa tak bisa berkomentar banyak. Sedangkan Mif mengirim tulisan itu ke Fauzia karena ia beranggapan bahwa Fauzia adalah anak dari kiai NU. Akhirnya Fauzia menanyakan pada Mif apakah ia melihat koran Jawa Pos hari itu? Karena sepertinya tulisan Mif dimuat di sana. Ternyata Fauzia mengirimkannya ke koran.
Hubungan mereka semakin dekat dan akhirnya mereka memutuskan untuk lebih serius. Tapi pertentangan terjadi. Pada saat Mif dan Fauzia mencoba berbincang dengan orang tua mereka, Mahfud Ikhwan menyajikan flashback dari masa lalu kedua orang tua mereka. Ternyata orang tua Mif dan Fauzia dulu semasa kecil adalah teman dekat, bahkan sangat dekat. Bapak dari Mif, yang memiliki nama panggilan semasa kecil "Is" dan nama panggilan semasa kecil dari bapaknya Fauzia adalah "Mad" tetapi Is sering memanggilnya "Moek" panggilan akrabnya.
Judul Kambing dan Hujan diambil dari si Is ini. Yang oleh Moek diibaratkan Is itu seperti Kambing dan Hujan. Susah ditemukan hubungannya, kedekatannya, kenyambungannya. Istilah Kambing dan Hujan ini pun butuh perenungan lebih untuk memahaminya. Penulis memiliki kedekatan emosional dengan Kambing sehingga memunculkan istilah yang dipakai judul novel tersebut. Akan tetapi hubungan antara kambing dengan hujan tak terlalu jelas di dalam novel ini. Hanya sekali disebutkan sebagai pengibaratan seorang Is yang seperti kambing dan hujan. Sedikit membingungkan, dan barangkali filosofis.
Masa kecil Is adalah seorang penggembala kambing milik orang. Ia tak terlalu mampu untuk memiliki kambing sendiri. Sedangkan Moek adalah anak orang yang lumayan kaya. Mereka berteman akrab sekali sejak kecil. Tapi kemudian keadaan berubah ketika Moek melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren di Jombang. Is tinggal di desa dan tak mampu melanjutkan sekolah.
Setting waktu saat Moek dan Is kecil adalah sekitar tahun '60-an. Tapi tak ada gonjang-ganjing mengenai PKI di desa yang hampir seluruh penduduknya Islam tersebut. Desa Tegal Centong.
Ketika Moek nyantri di Jombang, di desa Is belajar ngaji kepada Cak Ali. Di sini konflik di desa mulai terjadi. Cak Ali mengajarkan dan melakukan ritual-ritual keagamaan yang agak berbeda dengan yang biasa dilakukan di desa Tegal Centong. Seperti subuh tanpa qunut, salat id di lapangan, dan sebagainya. Kita tahu itu dengan nama Muhammadiyah. Namun saat itu belum berdiri Muhammadiyah di desa itu.
Orang-orang yang ngaji dengan Cak Ali dan beberapa rekan mereka membesarkan kelompok pengajian itu. Akhirnya banyak konflik terjadi antara warga desa dengan kelompok Cak Ali, yang salah satunya adalah Is. Ayah dari Miftahul Abrar. Tokoh utama laki-laki pada novel ini.
Moek yang mondok di Jombang, dijemput orang tuanya untuk pulang sebelum ia lulus. Demi menghadapi kelompok Cak Ali itu. Sebelumnya, telah berdiri kepengurusan ranting Nahdatul Ulama' di desa Tegal Centong. Yang kemudian disusul juga dengan berdirinya kepengurusan ranting Muhammadiyah di Tegal Centong. Moek diajak pulang karena dinilai ia adalah orang yang paling tepat untuk bisa menandingi kemampuan agama Cak Ali dan kawan-kawannya. Selain untuk tujuan lain yaitu dinikahkan. Dengan seorang gadis yang masih familinya, yang disukai oleh Is sahabatnya. Namun masalah pernikahan ini tak terlalu serius karena Is juga tak ambil pusing dengan hal itu.
Pada intinya persahabatan antara Moek dan Is ini hancur sehingga mengakibatkan permusuhan diam-diam dari dua tokoh agama di desa Tegal Centong tersebut. Is tak menegaskan penolakan terhadap Fauzia. Begitu juga Moek ayah Fauzia tak menegaskan penolakan terhadap Mif. Hanya saja hubungan kedua keluarga ini sudah sangat canggung. Apalagi ditambah dendam kakak Fauzia terhadap Mifta. Yang ternyata Mif adalah salah satu dari gerombolan anak utara yang dulu pernah membikin kepla kakak Fauzia ini bocor.
Tapi semua persoalan itu akhirnya selesai ketika terjadi keributan di balai desa. Mif berkelahi dengan kakak Fauzia karena Mif dituduh komunis. Pada waktu itu kakak dari Fauzia membawa buku yang diedit oleh Mif di penerbitannya. Buku sejarah yang berbau kiri yang diberikan kepada Fauzia itu digunakan untuk mempermalukan Mif di depan umum dlam sebuah rapat karang taruna. Setelah perkelahian hebat itu, Moek dan Is atau Pak Fauzan dan Pak Iskandar didudukkan di rumah Pakde Anwar yang merupakan sanak famili dari kedua keluarga bersangkutan. Konflik akhirnya selesai di sini.
Endingnya, Moek dan Is duduk di Gumuk Genjik, sebuah tempat yang sering mereka datangi semasa kecil. Kali ini dalam umur yang begitu tua. Mencoba mengurai semua masalah. Memaafkan semuanya. Novel selesai dengan pernikahan antara Mifta dan Fauzia. Meski kakak Fauzia kurang setuju, tapi bisa dibujuk oleh Pak Fauzan dengan syarat: kolega partai dari kakak Fauzia tersebut diundang juga.
Ulasan, Kelebihan, dan Kekurangan
Mahfud Ikhwan adalah pria kelahiran Lembor, Kec. Brondong, Kab. Lamongan, Jawa Timur, yang menamatkan kuliahnya di jurusan Sastra Indonesia UGM, Yogyakarta. Novel pertamanya berjudul "Ulid" terbit tahun 2009. Kambing dan Hujan adalah novelnya yang memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014. Kambing dan Hujan adalah sebuah novel yang membuat pembaca seperti melepaskan buku tersebut hanya untuk menghela napas, makan, ibadah, buang hajat, dan tidur. Dan bisa jadi saat buang hajat pun novel tersebut masih dibawa ke WC.
Dari awal novel ini langsung mengusung konflik. Wajar saja. Karena novel ini awalnya dilombakan. Agar bisa memenangkan lomba tentunya novel harus sudah menarik dari awal. Pada novel ini konflik bukan hanya pada cerita. Akan tetapi konflik di dunia nyata yang memang ada. Itulah yang membuat novel ini menarik untuk diperbincangkan. Masalah yang diusung sangat sentimentil. Bahkan baru sampai halaman 20 saja konflik sudah kuat. Ketika gagasan sudah diutarakan, maka konflik dalam novel ini langsung terasa karena memang ada di dunia nyata dan dekat dengan kita. Jenis konflik nyata seperti ini sering diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer.
Novel Kambing dan Hujan memiliki ciri dialogis. Banyak dialog bertebaran di dalam buku yang lebih dari 380 halaman ini. Apalagi ditambah dengan seringnya penggunaan metode flashback.
Gaya penulisannya mirip dengan Andrea Hirata, di mana sub-bab-nya pendek-pendek dan tidak saling berhubungan dan atau ceritanya melompat-lompat lalu pada bagian akhir diketemukan dengan begitu eksentrik.
Cerita pada novel ini menarik. Karena tidak hanya berkisah tentang Mifta dan Fauzia--dua orang yang saling jatuh cinta, si tokoh utama. Tetapi juga bercerita tentang cerita-cerita yang berhubungan dengan mereka. Seperti masa lalu kedua orang tuanya. Hal ini membuat pembaca menunggu penyambungan kisah-kisah yang saling lompat plot dan sudut pandang ini pada bagian akhir di mana kisah Mif dan Fauzia ini bertemu dan didudukkan bersama dengan kisah-kisah orang tua mereka.
Entah Mahfud Ikhwan ini seorang NU atau Muhammadiyah (setahuku Muhammadiyah), yang perlu diacungi jempol di sini adalah penulis mampu mencapai dua sudut pandang ormas islam terbesar di Indonesia itu, dan bahkan bisa berada di titik tengah antara keduanya.
Ada sesuatu yang sedikit janggal pada novel ini. Tokoh Pak Fauzan/Moek/Bapaknya Fauzia diceritakan mondok di Jombang. Sedang latar desa pada novel ini adalah di pesisir Lamongan (Brondong) yang pada novel tersebut disebut sebagai Tegal Centong. Lamongan dengan Jombang jaraknya tak dekat. Apalagi dengan latar waktu tahun 60-an. Mengapa Pak Fauzan ini mondoknya di Jombang, bukan di Langitan-Widang-Tuban? Padahal Langitan lebih dekat dengan tempat tinggalnya, dan tak kalah terkenal. Jika ini fiksi, kupikir akan lebih masuk akal kalau mondoknya di Langitan. Kecuali ada alasan tertentu sebagai penekanan, tapi alasan spesifik tersebut tak dijelaskan. Mungkin hanya agar tokoh Pak Fauzan ini lebih kuat latar ke-NU-annya.
Sebenarnya permainan konfliknya bagus. Tapi bahkan konflik biasa/yang diusung sebagai background novel ini (NU dengan Muhammadiyah) sudah selesai pada tokoh Pakdhe Anwar. Salah satu tokoh dari Muhammadiyah yang menikah dengan gadis NU. Pakdhe Anwar ini sanak dari kedua keluarga yang berseteru. Kalau konflik cuma terbatas pada NU vs Muhammadiyah semestinya konflik ini sudah selesai. Sehingga kita lihat penulis meramu konflik yang lebih spesifik antara Is vs Moek, atau Pak Iskandar vs Pak Fauzan. Sahabat kecil yang ketika sudah dewasa menjadi bermusuhan. Tapi ini rancu ketika konflik berlanjut pada generasi selanjutnya, yaitu Mif dan Fauzia anak mereka. Otomatis konflik pada era selanjutnya ini akan kembali kepada konflik NU-Muhammadiyah, bukan konflik Pak Iskandar-Pak Fauzan. Sehingga, semestinya konflik Mif dan Fauzia pun selesai. Seperti banyaknya konflik-konflik serupa yang selesai di desa-desa lainnya. Penggambaran tentang sumber konflik utama juga kurang kuat alasannya. Lebih lagi ketika kakak dari Mif (sewaktu kecil) meninggal dunia sehingga membuat Pak Iskandar dan Pak Fauzan hubungannya sangat renggang bahkan sampai lahirnya Mifta dan besar kemudian mau menikah.
Tetapi, semua permasalah, kerancuan, dan kekurangjelasan konflik di atas dirasa beres jika ini diambil dari kisah nyata. Di halaman pembuka buku ini pun Mahfud Ikhwan juga menyatakan permintaan maafnya kepada orang-orang tua yang ceritanya dicuri dan dikacaukan.
Judul Buku: Kambing dan Hujan
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Penerbit Bentang
ISBN: 978-602-291-470-9
Edisi kedua, cetakan 1: April 2018
Tebal: viii + 380 halaman; 20,5 cm.
*) Ahmad Farid Yahya, lahir di Desa Kebalankulon, Sekaran, Lamongan (LA) 9 Agustus 1996. Riwayat pendidikannya, MI Ma’arif NU Kebalankulon, SMP Negeri 3 Babat, MAN 2 LA, melanjutkan kuliah di UNISDA LA jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (angkatan 2016). Penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) tahun 2018/2019, dan 2019/2020. Anggota BEM UNISDA periode 2019. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, esai, dan tulisan lain dimuat di berbagai media; Amanah, Suara KPK, Gelanggang FKIP, Radar Bojonegoro. Di buku antologi; Jejak yang Tertinggal (2017), Manunggaling Kawula Muda (2018), Memoar Purnama di Kampung Halaman (2019), Coretan Tinta Kecil (2019), Apa Kabar Lamongan? (2020). Dan buku tunggalnya; Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian (2020). instagram @ahmad.faridyahya.
https://sastrakelir.blogspot.com/2020/04/resensi-novel-kambing-dan-hujan.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar