(Halaman Rumah Izzat Ramsi, Foto Cimenk Ilalang)
Taufiq Wr. Hidayat *
Sahdan. Tersebutlah kisah di negeri dongeng. Seekor tikus kecil dengan gagah berani menghadap seekor singa si raja rimbaraya. Tikus kecil yang keras kepala itu dengan penuh kemantapan dan keyakinan, mengatakan bahwa dirinya punya cara yang sangat mudah membunuh singa. “Aku hanya membutuhkan waktu 15 hari saja untuk membuatmu tewas, wahai singa yang congkak!” ujar tikus kecil.
Mendengar ucapan si tikus kecil, singa tertawa terbahak-bahak. Mana mungkin seekor tikus mungil dapat membunuhnya. Itu mustahil!
“Baiklah! Buktikan ancamanmu!” jawab singa menerima tantangan si tikus kecil.
“Tunggu sampai 15 hari dari sekarang. Rasakan hidupmu yang tinggal 15 hari lagi! Selamat tinggal,” kata tikus kecil menuding singa. Tikus mungil berlalu meninggalkan singa sendirian.
Dalam hari-harinya, singa merasa geli mengingat ancaman sang tikus yang nekat akan menghabisi nyawanya dalam waktu 15 hari. Menit ke menit dan jam demi jam, singa memikirkan ancaman si tikus kecil. Lama-lama ia cemas. Jangan-jangan ancaman tikus kecil benar. Siasat apa yang akan dilakukannya? Apa yang direncanakan tikus kecil sial itu dalam 15 hari ke depan? Singa merasa takut dengan dugaan-dugaannya sendiri. Ia gelisah. Dan mulai panik. Menjadi serba salah. Detik, menit, dan jam dilaluinya dengan gelisah. Kegelisahan telah membuat singa berpikir keras dengan sejuta perasaan waswas dan dugaan-dugaan. Ia lupa makan. Pelan-pelan ia lemas. Tapi kecemasan dan kegelisahan terus mencekam waktunya tiap detik. Tepat 15 hari, singa mati kelaparan. Ia telah dibunuh ketakutan dan kepanikannya sendiri. Sedangkan si tikus kecil berlari jauh melupakan singa, ia memang tak pernah berbuat apa-apa untuk membuktikan ancamannya.
Alangkah kelamnya ketakutan. Di situ tak ada optimisme. Kegelisahan, kecemasan, ketakutan membunuh daya hidup. Begitu pun batas moral, agama, dan kesehatan. Batas-batas itu menjadi teror dan ancaman. Melahirkan kepanikan. Apa yang sesungguhnya ditakutkan, diduga, dan dicemaskan selalu tak pasti. Ia boleh saja berbeda jauh dari kenyataan yang tengah atau akan terjadi. Lantaran ketakutan tak menyimpan akal sehat. Bukan ancaman dosa dan penyakit yang dapat secara ampuh membunuh atau merusak daya hidup manusia, melainkan kepanikan yang cenderung membesar-besarkan persoalan yang dapat membunuh manusia dengan segala ketidakpastian yang dipelihara dalam dirinya sendiri.
Bagi Lombroso, kejahatan tumbuh dari ketakmatangan emosi. Banyak faktor, baik sosial maupun kegagalan interaksi seseorang dengan ibunya. Di samping itu, kejahatan diakibatkan sebab misterius yang tak terpecahkan. Salah satu yang pasti adalah ketakutan. Rasa cemas dan gelisah yang tak lazim tersimpan dalam-dalam, kewaspadaan yang melampaui batas waras, dan kepanikan yang tak terkendali. Kejahatan terjadi. Kekacauan tercipta di tengah hidup yang sebenarnya aman-aman saja. Kecemasan, kegelisahan, ketakutan pun diselenggarakan. Dipropagandakan sedemikian rupa oleh informasi melalui alat yang bernama kekuasaan. Tujuannya tak lain, menciptakan kepanikan bersama. Tatkala kepanikan tercipta, kekuasaan dan para kaki tangannya dengan sangat mudah melakukan penindasan, mengeruk keuntungan, membodohi, dan menertibkan orang banyak. Dalam kepanikan terhadap ancaman suatu wabah umpama, orang memilih kehilangan harta benda daripada terjangkit penyakit. Padahal kesehatan dan kesejahteraan ekonomi adalah dua hal penting yang tak bisa dipilih salah satunya, melainkan keduanya haruslah utuh tak terpisahkan.
Baiklah.
Sahdan tersebutlah seorang pelukis istana bernama Yoshihide dalam cerita “Lukisan Neraka” karya Akutagawa (1892-1927) yang mashur, “Jigokuhen” (Hell Screen). Pelukis berwajah jelek dan berperangai buruk itu mengabdi kepada seorang pangeran agung di Horikawa. Pelukis yang memiliki watak buruk dan menjengkelkan tersebut sedang menggarap sebuah lukisan yang akan ia persembahkan pada pangeran agung sebagai lukisan agung dan paling menggetarkan. Ia seorang pelukis ekspresionis yang harus melukiskan obyek secara tepat. Dan untuk itu, ia wajib melihat dan merasakan atau mengalami secara nyata obyek lukisannya. Ia sedang melukis neraka! Demi merampungkan dan menyempurnakan lukisannya, ia harus melihat pedih derita dan kenistaan yang diandaikan sebagai neraka jahanam. Ia menyiksa murid-muridnya demi menemukan ekspresi penderitaan paling keji buat bahan lukisannya. Tinggal satu obyek besar yang belum ia saksikan dan rasakan untuk menjadi tema utama lukisannya. Ia meminta kepada pangeran agung agar menyediakan sebuah kereta dengan seorang perempuan dari kalangan bangsawan. Kemudian Yoshihide memohon agar kereta dibakar bersama perempuan bangsawan di dalamnya. Ia ingin menyaksikan kereta terbakar api, perempuan muda dari kalangan bangsawan menjerit ketakutan dan kesakitan di dalam kereta tersebut, kulit dan dagingnya meleleh dilalap api, bau daging manusia yang terbakar dapat dihirup di udara, tubuh yang menggelepar, dan rambut sang perempuan menjadi bunga api yang melesat jauh ke angkasa. Permohonan gila dan tak waras itu dikabulkan oleh sang pangeran agung. Sebuah kereta dibakar di antara pepohonan pada malam hari. Seorang perempuan muda terbakar pula dalam kereta itu, menggelepar-gelepar dengan jeritan panjang yang mengerikan. Pangeran agung mengatakan, perempuan itu adalah istri pendosa.
Takjub!
Selesailah lukisan neraka Yoshihide dengan cepat. Dengan penuh kebanggaan, ia persembahkan lukisan neraka karyanya buat pangeran agung sebagai koleksi istana. Sebulan berselang, ia baru mengetahui bahwa perempuan yang terbakar menggelepar dalam kereta yang telah ia saksikan dari kejauhan adalah anak perempuannya sendiri. Anak perempuan yang sangat ia sayangi. Yoshihide terpukul. Ia tak mengira, pangeran agung yang pernah ia tolak untuk menjadikan anak perempuannya selir istana, membakar anak perempuannya itu. Yoshihide tak sanggup menahankan rasa berdosa. Ia pun bunuh diri, menggantung lehernya pada palang pintu.
Selesai.
Akutagawa mengajak orang terjebak dalam sebuah ambiguitas yang kelam. Siapa sesungguhnya yang telah kejam dan keji menciptakan neraka? Sang pelukis neraka atau sang pangeran agung?
Ketakutan dan kekejian seolah dua bersaudara kandung. Lantaran ketakutan, kekejian ditempuh. Orang melakukan ketegaan hanya demi menjaga dirinya sendiri dari ancaman yang menakutinya. Ketakutan dan kepanikan bagai awan hitam menggantung pada malam kelam tanpa rembulan. Ketakutan bak gerombolan kelelawar kegelapan. Sejatinya ia tidak nyata. Ia tak lain konstruksi pikiran yang muncul dari kecemasan dan dugaan tak beralasan, sebagai pertanda pandangan yang picik dan keruntuhan akal sehat. Dan kekuasaan gemar memelihara ketakutan, menyelenggarakan kepanikan demi mengokohkan kepentingan praktis: penguasaan.
Mungkinkan tercipta kebahagiaan tatkala ia tak berhikmat pada penderitaan? Mungkinkah kebahagiaan dan kesejahteraan yang didamba-dambakan umat manusia melalui agama dan kebudayaan dapat tercipta, jika rasa takut menghantui kehidupan nyaris setiap detiknya? Segala upaya menakuti dan mengancam guna menciptakan kepanikan, terus-menerus dikemukakan oleh layar informasi dengan sejuta dugaan, dan diyakinkan oleh sejuta pakar. Orang ragu. Mau tidak percaya, yang bicara pakar. Mau percaya, alangkah absurdnya. Lalu di mana kemanusiaan jika ia hanya menyelamatkan dirinya sendiri dan menindas sesamanya dengan memelihara kepanikan-kepanikan masal?
Dalam sebuah cerita singkat, Akutagawa kembali mempertanyakan apa sesungguhnya kebahagiaan dan keselamatan itu dalam cerita “Jeruk”. Sebermula kisah. Seseorang melakukan perjalanan dari Yokosuka menuju Tokyo dengan kereta api. Di dalam kereta, bertemulah ia dengan seorang perempuan remaja berwajah berantakan, berpakaian lusuh menunjukkan kemelaratan, keterlantaran, dan keterasingan yang tak lazim. Perempuan itu duduk di hadapan sang aku. Sang aku membuat percakapan atau dugaan tak nyaman dalam dirinya. Beberapa saat dalam perjalanan kereta api, kereta melewati sebuah perkampungan kumuh dan tak terurus. Perempuan ganjil dengan wajah berantakan itu membuka jendela kereta. Tampaklah oleh sang perempuan ganjil dari balik jendela kereta, tiga orang anak kampung kumuh di luar sana, melambaikan tangan padanya. Dengan sigap, perempuan compang-camping tersebut melemparkan buah jeruk pada tiga orang anak di perkampungan kumuh dari balik jendela kereta. Peristiwa yang mengherankan. Ada kebahagiaan aneh yang tercipta pada suatu keadaan yang absurd. Betapa sejatinya kebahagiaan tak dapat diraih seseorang dengan dirinya sendiri, melainkan tercipta dari kesadaran untuk berbagi, merasakan derita yang lain meski sesungguhnya ia sendiri juga berada dalam penderitaan.
Seseorang membuat pengandaian. Seandainya kelak di surga terdapat sebuah jendela lebar, di luar jendela surga itu adalah neraka. Penduduk surga dapat secara mudah menengok jendela surga, menyaksikan neraka di luar jendela surga tersebut. Lantas apa yang terdetik dalam pikiran para penghuni surga tatkala menyaksikan orang-orang yang mengerang tersiksa di neraka? Apakah para penghuni surga tak menaruh rasa iba dan pengampunan menyaksikan dengan matanya sendiri penderitaan mengerikan dalam neraka dari balik jendela surga itu? Jika tak ada rasa iba dan pengampunan, menangisi siksa pedih neraka, pantaskah mereka disebut ahli surga? Bukankah seorang ahli surga sesungguhnya hamba yang penyayang, pengasih, dan penuh pengampunan sehingga layak menerima ampunan Tuhan? Apakah para penghuni surga itu justru puas melihat penderitaan orang-orang neraka, dan sudah sepantasnyalah siksaan neraka itu ditimpakan pada orang-orang jahat dan pendosa yang dahulu membuat kerusakan di dunia? Jika iya, pantaskah surga menjadi tempat tinggal orang-orang yang menyimpan dendam di dalam jiwanya?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu jawaban. Lantaran setiap jawab tak pernah memastikan diri pada harap. Sedang menghadapi kepanikan saja, kebanyakan orang menutup pintu rumahnya dengan ketakutan dan tak membukakan jendela rumahnya guna melihat kenyataan yang terjadi di luar sana. Tiap harap hanyalah ratap. Sedang pada keadaan lain, orang yang kuat dan berkuasa memelihara ketakutan demi menyuburkan kepanikan untuk menertibkan dan menindas yang kecil dan tak berdaya. Menciptakan kegalauan ekonomi demi menegakkan kejayaan etnis dan kekuasaan yang membodohkan, mengusai, dan menghisap yang lemah dan dianggap tak berguna. Kemudian kekuasaan itu memantau dengan sangat cermat detak jantung, aliran darah, dan denyut nadi setiap orang sebagai kewajiban setiap orang terhadap kekuasaan demi menjaga kesehatan dan mencegah penularan penyakit lewat alat komunikasi yang canggih. Kalau tidak, kriminal! Manusia pun diintai. Dimata-matai dengan dalih keamanan jiwa dan raga masyarakat. Pada titik ini, apakah Tuhan masih layak dikumandangkan dalam kehidupan dunia?
Seorang kawan tiba-tiba membuyarkan pertanyaan tadi dengan secangkir kopi. Bukankah hidup ini terlalu sayang disayang, jika hanya cerita ketakutan dan kepanikan? Katanya. Ia orang Jawa yang bersabda: “nek wani ojo wedhi-wedhi. Nek wedhi, ojo wani-wani”. Kalau berani, beranilah. Jangan takut. Tapi kalau takut, takutlah. Jangan sok berani. Pungkasnya. Asap rokoknya mengepul tebal dari bibirnya yang hitam. Dan senja pun tiba.
Tembokrejo,
Muncar, 2020
_______________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2020/04/neraka-di-balik-jendela-surga/
Taufiq Wr. Hidayat *
Sahdan. Tersebutlah kisah di negeri dongeng. Seekor tikus kecil dengan gagah berani menghadap seekor singa si raja rimbaraya. Tikus kecil yang keras kepala itu dengan penuh kemantapan dan keyakinan, mengatakan bahwa dirinya punya cara yang sangat mudah membunuh singa. “Aku hanya membutuhkan waktu 15 hari saja untuk membuatmu tewas, wahai singa yang congkak!” ujar tikus kecil.
Mendengar ucapan si tikus kecil, singa tertawa terbahak-bahak. Mana mungkin seekor tikus mungil dapat membunuhnya. Itu mustahil!
“Baiklah! Buktikan ancamanmu!” jawab singa menerima tantangan si tikus kecil.
“Tunggu sampai 15 hari dari sekarang. Rasakan hidupmu yang tinggal 15 hari lagi! Selamat tinggal,” kata tikus kecil menuding singa. Tikus mungil berlalu meninggalkan singa sendirian.
Dalam hari-harinya, singa merasa geli mengingat ancaman sang tikus yang nekat akan menghabisi nyawanya dalam waktu 15 hari. Menit ke menit dan jam demi jam, singa memikirkan ancaman si tikus kecil. Lama-lama ia cemas. Jangan-jangan ancaman tikus kecil benar. Siasat apa yang akan dilakukannya? Apa yang direncanakan tikus kecil sial itu dalam 15 hari ke depan? Singa merasa takut dengan dugaan-dugaannya sendiri. Ia gelisah. Dan mulai panik. Menjadi serba salah. Detik, menit, dan jam dilaluinya dengan gelisah. Kegelisahan telah membuat singa berpikir keras dengan sejuta perasaan waswas dan dugaan-dugaan. Ia lupa makan. Pelan-pelan ia lemas. Tapi kecemasan dan kegelisahan terus mencekam waktunya tiap detik. Tepat 15 hari, singa mati kelaparan. Ia telah dibunuh ketakutan dan kepanikannya sendiri. Sedangkan si tikus kecil berlari jauh melupakan singa, ia memang tak pernah berbuat apa-apa untuk membuktikan ancamannya.
Alangkah kelamnya ketakutan. Di situ tak ada optimisme. Kegelisahan, kecemasan, ketakutan membunuh daya hidup. Begitu pun batas moral, agama, dan kesehatan. Batas-batas itu menjadi teror dan ancaman. Melahirkan kepanikan. Apa yang sesungguhnya ditakutkan, diduga, dan dicemaskan selalu tak pasti. Ia boleh saja berbeda jauh dari kenyataan yang tengah atau akan terjadi. Lantaran ketakutan tak menyimpan akal sehat. Bukan ancaman dosa dan penyakit yang dapat secara ampuh membunuh atau merusak daya hidup manusia, melainkan kepanikan yang cenderung membesar-besarkan persoalan yang dapat membunuh manusia dengan segala ketidakpastian yang dipelihara dalam dirinya sendiri.
Bagi Lombroso, kejahatan tumbuh dari ketakmatangan emosi. Banyak faktor, baik sosial maupun kegagalan interaksi seseorang dengan ibunya. Di samping itu, kejahatan diakibatkan sebab misterius yang tak terpecahkan. Salah satu yang pasti adalah ketakutan. Rasa cemas dan gelisah yang tak lazim tersimpan dalam-dalam, kewaspadaan yang melampaui batas waras, dan kepanikan yang tak terkendali. Kejahatan terjadi. Kekacauan tercipta di tengah hidup yang sebenarnya aman-aman saja. Kecemasan, kegelisahan, ketakutan pun diselenggarakan. Dipropagandakan sedemikian rupa oleh informasi melalui alat yang bernama kekuasaan. Tujuannya tak lain, menciptakan kepanikan bersama. Tatkala kepanikan tercipta, kekuasaan dan para kaki tangannya dengan sangat mudah melakukan penindasan, mengeruk keuntungan, membodohi, dan menertibkan orang banyak. Dalam kepanikan terhadap ancaman suatu wabah umpama, orang memilih kehilangan harta benda daripada terjangkit penyakit. Padahal kesehatan dan kesejahteraan ekonomi adalah dua hal penting yang tak bisa dipilih salah satunya, melainkan keduanya haruslah utuh tak terpisahkan.
Baiklah.
Sahdan tersebutlah seorang pelukis istana bernama Yoshihide dalam cerita “Lukisan Neraka” karya Akutagawa (1892-1927) yang mashur, “Jigokuhen” (Hell Screen). Pelukis berwajah jelek dan berperangai buruk itu mengabdi kepada seorang pangeran agung di Horikawa. Pelukis yang memiliki watak buruk dan menjengkelkan tersebut sedang menggarap sebuah lukisan yang akan ia persembahkan pada pangeran agung sebagai lukisan agung dan paling menggetarkan. Ia seorang pelukis ekspresionis yang harus melukiskan obyek secara tepat. Dan untuk itu, ia wajib melihat dan merasakan atau mengalami secara nyata obyek lukisannya. Ia sedang melukis neraka! Demi merampungkan dan menyempurnakan lukisannya, ia harus melihat pedih derita dan kenistaan yang diandaikan sebagai neraka jahanam. Ia menyiksa murid-muridnya demi menemukan ekspresi penderitaan paling keji buat bahan lukisannya. Tinggal satu obyek besar yang belum ia saksikan dan rasakan untuk menjadi tema utama lukisannya. Ia meminta kepada pangeran agung agar menyediakan sebuah kereta dengan seorang perempuan dari kalangan bangsawan. Kemudian Yoshihide memohon agar kereta dibakar bersama perempuan bangsawan di dalamnya. Ia ingin menyaksikan kereta terbakar api, perempuan muda dari kalangan bangsawan menjerit ketakutan dan kesakitan di dalam kereta tersebut, kulit dan dagingnya meleleh dilalap api, bau daging manusia yang terbakar dapat dihirup di udara, tubuh yang menggelepar, dan rambut sang perempuan menjadi bunga api yang melesat jauh ke angkasa. Permohonan gila dan tak waras itu dikabulkan oleh sang pangeran agung. Sebuah kereta dibakar di antara pepohonan pada malam hari. Seorang perempuan muda terbakar pula dalam kereta itu, menggelepar-gelepar dengan jeritan panjang yang mengerikan. Pangeran agung mengatakan, perempuan itu adalah istri pendosa.
Takjub!
Selesailah lukisan neraka Yoshihide dengan cepat. Dengan penuh kebanggaan, ia persembahkan lukisan neraka karyanya buat pangeran agung sebagai koleksi istana. Sebulan berselang, ia baru mengetahui bahwa perempuan yang terbakar menggelepar dalam kereta yang telah ia saksikan dari kejauhan adalah anak perempuannya sendiri. Anak perempuan yang sangat ia sayangi. Yoshihide terpukul. Ia tak mengira, pangeran agung yang pernah ia tolak untuk menjadikan anak perempuannya selir istana, membakar anak perempuannya itu. Yoshihide tak sanggup menahankan rasa berdosa. Ia pun bunuh diri, menggantung lehernya pada palang pintu.
Selesai.
Akutagawa mengajak orang terjebak dalam sebuah ambiguitas yang kelam. Siapa sesungguhnya yang telah kejam dan keji menciptakan neraka? Sang pelukis neraka atau sang pangeran agung?
Ketakutan dan kekejian seolah dua bersaudara kandung. Lantaran ketakutan, kekejian ditempuh. Orang melakukan ketegaan hanya demi menjaga dirinya sendiri dari ancaman yang menakutinya. Ketakutan dan kepanikan bagai awan hitam menggantung pada malam kelam tanpa rembulan. Ketakutan bak gerombolan kelelawar kegelapan. Sejatinya ia tidak nyata. Ia tak lain konstruksi pikiran yang muncul dari kecemasan dan dugaan tak beralasan, sebagai pertanda pandangan yang picik dan keruntuhan akal sehat. Dan kekuasaan gemar memelihara ketakutan, menyelenggarakan kepanikan demi mengokohkan kepentingan praktis: penguasaan.
Mungkinkan tercipta kebahagiaan tatkala ia tak berhikmat pada penderitaan? Mungkinkah kebahagiaan dan kesejahteraan yang didamba-dambakan umat manusia melalui agama dan kebudayaan dapat tercipta, jika rasa takut menghantui kehidupan nyaris setiap detiknya? Segala upaya menakuti dan mengancam guna menciptakan kepanikan, terus-menerus dikemukakan oleh layar informasi dengan sejuta dugaan, dan diyakinkan oleh sejuta pakar. Orang ragu. Mau tidak percaya, yang bicara pakar. Mau percaya, alangkah absurdnya. Lalu di mana kemanusiaan jika ia hanya menyelamatkan dirinya sendiri dan menindas sesamanya dengan memelihara kepanikan-kepanikan masal?
Dalam sebuah cerita singkat, Akutagawa kembali mempertanyakan apa sesungguhnya kebahagiaan dan keselamatan itu dalam cerita “Jeruk”. Sebermula kisah. Seseorang melakukan perjalanan dari Yokosuka menuju Tokyo dengan kereta api. Di dalam kereta, bertemulah ia dengan seorang perempuan remaja berwajah berantakan, berpakaian lusuh menunjukkan kemelaratan, keterlantaran, dan keterasingan yang tak lazim. Perempuan itu duduk di hadapan sang aku. Sang aku membuat percakapan atau dugaan tak nyaman dalam dirinya. Beberapa saat dalam perjalanan kereta api, kereta melewati sebuah perkampungan kumuh dan tak terurus. Perempuan ganjil dengan wajah berantakan itu membuka jendela kereta. Tampaklah oleh sang perempuan ganjil dari balik jendela kereta, tiga orang anak kampung kumuh di luar sana, melambaikan tangan padanya. Dengan sigap, perempuan compang-camping tersebut melemparkan buah jeruk pada tiga orang anak di perkampungan kumuh dari balik jendela kereta. Peristiwa yang mengherankan. Ada kebahagiaan aneh yang tercipta pada suatu keadaan yang absurd. Betapa sejatinya kebahagiaan tak dapat diraih seseorang dengan dirinya sendiri, melainkan tercipta dari kesadaran untuk berbagi, merasakan derita yang lain meski sesungguhnya ia sendiri juga berada dalam penderitaan.
Seseorang membuat pengandaian. Seandainya kelak di surga terdapat sebuah jendela lebar, di luar jendela surga itu adalah neraka. Penduduk surga dapat secara mudah menengok jendela surga, menyaksikan neraka di luar jendela surga tersebut. Lantas apa yang terdetik dalam pikiran para penghuni surga tatkala menyaksikan orang-orang yang mengerang tersiksa di neraka? Apakah para penghuni surga tak menaruh rasa iba dan pengampunan menyaksikan dengan matanya sendiri penderitaan mengerikan dalam neraka dari balik jendela surga itu? Jika tak ada rasa iba dan pengampunan, menangisi siksa pedih neraka, pantaskah mereka disebut ahli surga? Bukankah seorang ahli surga sesungguhnya hamba yang penyayang, pengasih, dan penuh pengampunan sehingga layak menerima ampunan Tuhan? Apakah para penghuni surga itu justru puas melihat penderitaan orang-orang neraka, dan sudah sepantasnyalah siksaan neraka itu ditimpakan pada orang-orang jahat dan pendosa yang dahulu membuat kerusakan di dunia? Jika iya, pantaskah surga menjadi tempat tinggal orang-orang yang menyimpan dendam di dalam jiwanya?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu jawaban. Lantaran setiap jawab tak pernah memastikan diri pada harap. Sedang menghadapi kepanikan saja, kebanyakan orang menutup pintu rumahnya dengan ketakutan dan tak membukakan jendela rumahnya guna melihat kenyataan yang terjadi di luar sana. Tiap harap hanyalah ratap. Sedang pada keadaan lain, orang yang kuat dan berkuasa memelihara ketakutan demi menyuburkan kepanikan untuk menertibkan dan menindas yang kecil dan tak berdaya. Menciptakan kegalauan ekonomi demi menegakkan kejayaan etnis dan kekuasaan yang membodohkan, mengusai, dan menghisap yang lemah dan dianggap tak berguna. Kemudian kekuasaan itu memantau dengan sangat cermat detak jantung, aliran darah, dan denyut nadi setiap orang sebagai kewajiban setiap orang terhadap kekuasaan demi menjaga kesehatan dan mencegah penularan penyakit lewat alat komunikasi yang canggih. Kalau tidak, kriminal! Manusia pun diintai. Dimata-matai dengan dalih keamanan jiwa dan raga masyarakat. Pada titik ini, apakah Tuhan masih layak dikumandangkan dalam kehidupan dunia?
Seorang kawan tiba-tiba membuyarkan pertanyaan tadi dengan secangkir kopi. Bukankah hidup ini terlalu sayang disayang, jika hanya cerita ketakutan dan kepanikan? Katanya. Ia orang Jawa yang bersabda: “nek wani ojo wedhi-wedhi. Nek wedhi, ojo wani-wani”. Kalau berani, beranilah. Jangan takut. Tapi kalau takut, takutlah. Jangan sok berani. Pungkasnya. Asap rokoknya mengepul tebal dari bibirnya yang hitam. Dan senja pun tiba.
Tembokrejo,
Muncar, 2020
_______________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2020/04/neraka-di-balik-jendela-surga/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar