Selasa, 26 Mei 2020

MONUMEN DI TENGAH BADAI: MENGENANG CHAIRIL ANWAR

Djoko Saryono *

Lama sudah, Chairil meninggalkan kita semua kendati karya, nama, dan sejarahnya malah kian lekat pada ingat kita. Dalam usia begitu muda, 27 tahun, sang penyair berperawakan kerempeng, beroman kusut masai, dan berkehidupan bohemian ini berpulang akibat penyakit kronis yang diidapnya sejak lama tak mau lagi berkompromi. Pada tanggal 28 April 1949, 4 tahun sesudah kita merdeka, dalam keranda hitam dia diusung menuju kuburan Karet. Saat inilah ramalan dan kata-katanya sendiri yang tertuang dalam sebuah sajaknya seolah menagih janji. Dia menjadi Yang Terampas dan Yang Putus sebagaimana bunyi sajaknya.

kelam dan angin lalu mempesiang diriku
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin
alam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau kadang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang tergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, ceria dan peristiwa berlalu beku

Yang ditinggalkannya kepada kita adalah sekelumit kisah hidupnya dan yang utama adalah sajak-sajak dan sejumput kisah-berita hidupnya. Dalam masa kepenyairannya yang demikian singkat, cuma sekitar 7 tahun bila ditinjau dari urutan dan rentang waktu kemunculan sajak-sajaknya ke khalayak sastra, dia meninggalkan se-jumlah sajak baik karya asli maupun terjemahan dan saduran. Sajak-sajaknya ini dikumpulkan (terkumpul) dalam Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, Deru Campur Debu, Tiga Menguak Takdir, dan Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 atau yang dikumpulkan oleh Pamusuk Eneste menjadi satu kumpulan dalam Aku Ini Binatang Jalang pada tahun 1986 dan diterbitkan Penerbit PT Gramedia.

Hingga kini, sajak-sajaknya yang ditinggalkan sudah diulas atau dibicarakan oleh beratus-ratus ahli sastra, kritikus sastra, peminat sastra, penggiat sastra, dan lain-lain. Ini berarti, sudah berarti beratus-ratus, bahkan mungkin lebih, tulisan yang berisi ulasan sajak-sajaknya; baik berupa buku maupun artikel atau makalah; baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Asing; baik ulasan ahli dan kritikus terkenal maupun pengulas amatiran; baik ulasan ahli dan kritikus mancanegara maupun domestik;dan sebagainya. Dari sekian banyak ulasan itu secara dikotomis isinya pro dan kontra. Yang pro tentu saja mengemukakan betapa hebat kepenya-iran dan betapa cemerlang karya-karya Chairil. Tergolong ke dalam hal ini antara lain H.B. Yassin, sejawat bincangnya, dan A. Teeuw, pemerhati teguh sastra Indonesia. Yang kontra tentu saja berusaha menjatuhkan diri dan kepenyairan Chairil dari peta perjalanan dan perspektif perpuisian Indonesia, lukisan sejarah sastra Indonesia. Yang terakhir ini, misalnya, LEKRA. Itu sebabnya, di tangan pengulas diri Chairil dan kepenyairannya terasa dikagumi sekaligus diejek; dijengkeli sekaligus dimaafi; dijatuhkan sekaligus dibangunkan; ditenggelamkan sekaligus ditimbulkan seperti bunyi sajaknya 1943:

..........
Tumbang

Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh.
Menentang. Menyerang.
....................

Kenyataannya Chairil tetap tegar bertahan di tengah badai pro dan kontra yang tak bergiliran datang. Sajaknya tetap saja mampu berbicara //Lantang/Mengaum/Mengguruh/Menentang/Menyerang// dan bahkan //Biar peluruh menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang//. Tak heran, dalih dan argumentasi yang digunakan oleh pihak kontra tak mempan dan me-nemui sasarannya. Penolakan tanggal 28 April sebagai Hari Sastra oleh pihak kontra, oleh pihak pro dijawab dengan diadakannya Malam Chairil Anwar pada setiap tanggal 28 April. Bahkan sekarang makin mapan dan mantap diperangati oleh khalayak sastra di Indonesia. Tuduhan sebagai penjiplak dan pengekor Angkatan 80 Belanda, terutama Marsman, dijawab oleh Jassin (sebagai pihak pro) secara diplomatis dan persuasif dalam Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45 dan Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esei II. Dikatakan oleh Jassin, Chairil bukan penjiplak, melainkan penyadur dan penerjemahnya saja, yang sangat piawai sehingga sajak saduran itu mengalami proses “peng-Chairil-an”. Bahwa Chairil dipengaruhi oleh orang lain adalah suatu hal wajar karena siapa pun tak dapat terhindar dari pengaruh, dan pengaruh dalam diri Chairil sebenarnya sudah disenyawakan dengan konsepsi dan sikap berkeseniannya sendiri. Karena itu, sajak-sajaknya tetap punya ciri, watak, dan khas Chairil. Sajak-sajak Chairil telah membentuk warna “Chairil-isme”.

Begitulah, pihak kontra yang menyerang bertubi-tubi tak berhasil merobohkan keberadaan Chairil. Dia tetap bertahan dalam posisinya. Bahkan dia menjelma jadi semacam monumen yang ampuh di tengah badai kritik dan serangan yang hendak menumbangkannya dari pohon sejarah perjalanan sastra Indonesia, menghilangkannya dari lukisan sejarah puisi Indonesia. Tak heran, Chairil tetap perkasa, jalang menerjang, dan hidup dalam pekik yang membahana seperti dalam Aku atau Semangat:

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih dan peri

Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Mungkin, memang, sajak-sajak Chairil dan kehebatan kepenyairannya akan mampu hidup seribu tahun lagi karena sudah menjadi tonggak atau tiang pancang arsitektur perpuisian Indonesia. Boleh jadi akan dikenal dan dikenang seperti halnya drama-drama Sopochles, sajak-sajak Tu Fu dan Li Tao Po, kakawin-kakawin Jawa Kuno, dan sebagainya.

Kenapa Chairil bisa bertahan, bahkan jadi monumen?. Tentulah ada sebabnya. Sebabnya yang utama adalah sikap berkesenian dan kesenimanannya yang begitu jujur, tulus, serius, setia, dan tak setengah hati. Dia masuki dunia kesenian dan kesenimanan seratus persen, penuh totalitas, dan tak main-main, bahkan membenci sikap main-main. Katanya sendiri dalam surat untuk Jassin bertanggal 8 Maret 1944: Jassin, dalam kalangan kita sipat setengah-setengah bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku masuki kesenian dengan sepenuh hati. Tapi dari lahir aku hanya bisa mencampuri dunia kesenian setengah-setengah pula. Tapi untunglah batin seluruh hasrat dan minatku sendiri umur 15 tahun tertuju titik satu saja, kesenian. Itu sebabnya, yang dihasilkannya bukan pengungkapan dari greget yang kering, garing, dan dangkal, melainkan sebuah pemenungan, pencenungan, dan pemuliaan pikiran dan gagasan yang sungguh-sungguh murni yang dilandasi oleh jiwa, nalar, dan rasa yang begitu murni.

Sebab lain yang penting juga adalah wawasan intelektualnya yang luas dan dalam baik bidang kesenian maupun bidang kebudayaan pada umumnya. Ini ditunjang oleh kemampuan dan kemahiran berbahasanya yang baik dan cermat. Wawasan demikian ini terbentuk karena dia sangat rajin membaca dan mengumpulkan informasi kendati pendidikan formalnya rendah, tak tamat MULO. Suratnya kepada Jassin menunjukkan hal ini : Jassin, tadi datang. Rumah kosong. Ada menunggu kira-kira sejam. Sementara itu 'tak dapat melepaskan tangan dari lemari buku. Kubawa 1) H.R. Holst, De Nieu-we Getroste, 2) H.R. Holst, Keur uit de Gedichten, 3) Huizinga, In de Schaw wan Morgen, 4) Huizinga, Cultuur Historsche Verkenningen (Surat bertanggal 13 Maret 1943; jadi umur 21 tahun). Tak mengherankan, kawan-kawan atau pendukungnya ada yang menyebutnya otodidak dan cendekiawan yang bersinar cemerlang. Ini agaknya menjadikan tulisan dan sajaknya terasa matang dan padat berisi.

Sebab lain lagi yang memantapkan dan mengungkapkan keberadaan dan kemonumenannya adalah pergaulan dan pengalamannya yang banyak dan luas. Dia tak hanya bergaul dengan sesama penyair, tapi juga pelukis, dramawan, kritikus, bahkan orang-orang di luar kesenian. Dia menonjol dan disegani dalam lingkungan pergaulannya karena konsepsi dan aspirasinya seolah-olah mewakili gairah kehidupan seniman dan kesenimanan secara keseluruhan. Pribadinya kemudian menjadi lambang seniman dan kesenimanan. Tak heran, pada kemudian hari, dia diikuti dan didukung oleh seniman-seniman terkenal seperti Asrul Sani, Rivai Apin, Henk Ngantung, Basuki Resobowo, dan M. Akbar Djuhana. Konsepsi dan aspirasinya pula yang kemudian hari menyangga kokoh Surat Kepercayaan Gelanggang.

Sebab terakhir, yang menurut saya memonumenkan Chairil, adalah memasyarakat dan mendarah dagingnya nama dan sajak Chairil pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Dapat sampai demikian karena pakar sastra sekaligus pihak yang pro kepadanya sejak dasawarsa 1950-an terus-menerus berusaha menempatkan Chairil pada kedudukan penting dan di dalam segenap sektor kebudayaan dan pendidikan. Hasilnya memang mengagumkan. Nama Chairil, kendati tak pernah terlibat dalam politik praktis, selalu disebut-sebut karena sajaknya seperti Diponegoro, Semangat, Persetujuan dengan Bung Karno, dan Krawang Bekasi dimaknai secara politis, misalnya membakar semangat kebangsaan dan menyuarakan sema-ngat hidup bangsa yang tinggi. Bahkan, lebih lanjut, Chairil dipatungkan di sudut-sudut jalan yang penting, misalnya di Jakarta dan Malang. Di bidang pendidikan, khususnya pengajaran bahasa dan sastra Indonesia, nama Chairil sudah merasuk sekali, melekat muskil terhapus. Nyaris semua tingkatan sekolah, mulai SD hingga PT, mengenal, mendengar, bahkan membacakan sajak-sajaknya meskipun kemudian juga segera dilupakan. Pendeknya, kalangan terpelajar atau terdidik di Indonesia pasti mengenalnya karena dia telah dipatok rapat dan kuat dalam materi pelajaran. Kini malah masyarakat umum yang tinggal di kampung-kampung pun mengenalnya karena dalam setiap lomba atau peringatan tertentu sajak-sajaknya selalu dibacakan atau dijadikan bacaan wajib.

Itu sebabnya, sekarang, setelah lama tak menemui pihak kontra, kemonumenannya sulit diubah lagi. Dia dan sajak-sajaknya bersenyawa dan menjadi napas hi-dup manusia Indonesia walaupun mungkin tak secara langsung. Seperti kata Sapardi Djoko Damono, ini dapat dibuktikan dengan adanya dan terejawantahnya larik-larik sajak Chairil menjadi semacam pepatah baru manusia Indonesia atau kata-kata mutiara modern, misalnya Aku ingin hidup seribu tahun lagi, Sekali berarti sudah itu mati, dan hidup hanya untuk menunda kekalahan. Inilah pula sebabnya sajak-sajak Chairil tetap menunjukkan kehebatannya dan ke-Chairil-annya kendati dianalisis dan dikritik dengan berbagai macam pendekatan kritik sastra, teori sastra, dan keilmuan lain. Pendeknya, di tengah "pedang tajam" formalisme, kritik sastra baru, kritik Gestalt atau fenomenologi, strukturalisme, semiotika, estetika resepsi, sosiologi sastra, dan lain-lain, sajak-sajak Chairil tetap mengemilaukan keandalan dan kemenjulangannya karena memang sajak-sajaknya telah merasuk ke dalam infrastruktur kehidupan dan sistem "kenangan atau ingatan kolektif" masyarakat Indonesia. Sajak Chairil sudah terpatri lekat dalam memori kolektif budaya Indonesia.
***

____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah