Djoko Saryono *
Lama sudah, Chairil meninggalkan kita semua kendati karya, nama, dan sejarahnya malah kian lekat pada ingat kita. Dalam usia begitu muda, 27 tahun, sang penyair berperawakan kerempeng, beroman kusut masai, dan berkehidupan bohemian ini berpulang akibat penyakit kronis yang diidapnya sejak lama tak mau lagi berkompromi. Pada tanggal 28 April 1949, 4 tahun sesudah kita merdeka, dalam keranda hitam dia diusung menuju kuburan Karet. Saat inilah ramalan dan kata-katanya sendiri yang tertuang dalam sebuah sajaknya seolah menagih janji. Dia menjadi Yang Terampas dan Yang Putus sebagaimana bunyi sajaknya.
kelam dan angin lalu mempesiang diriku
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin
alam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau kadang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang tergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, ceria dan peristiwa berlalu beku
Yang ditinggalkannya kepada kita adalah sekelumit kisah hidupnya dan yang utama adalah sajak-sajak dan sejumput kisah-berita hidupnya. Dalam masa kepenyairannya yang demikian singkat, cuma sekitar 7 tahun bila ditinjau dari urutan dan rentang waktu kemunculan sajak-sajaknya ke khalayak sastra, dia meninggalkan se-jumlah sajak baik karya asli maupun terjemahan dan saduran. Sajak-sajaknya ini dikumpulkan (terkumpul) dalam Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, Deru Campur Debu, Tiga Menguak Takdir, dan Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 atau yang dikumpulkan oleh Pamusuk Eneste menjadi satu kumpulan dalam Aku Ini Binatang Jalang pada tahun 1986 dan diterbitkan Penerbit PT Gramedia.
Hingga kini, sajak-sajaknya yang ditinggalkan sudah diulas atau dibicarakan oleh beratus-ratus ahli sastra, kritikus sastra, peminat sastra, penggiat sastra, dan lain-lain. Ini berarti, sudah berarti beratus-ratus, bahkan mungkin lebih, tulisan yang berisi ulasan sajak-sajaknya; baik berupa buku maupun artikel atau makalah; baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Asing; baik ulasan ahli dan kritikus terkenal maupun pengulas amatiran; baik ulasan ahli dan kritikus mancanegara maupun domestik;dan sebagainya. Dari sekian banyak ulasan itu secara dikotomis isinya pro dan kontra. Yang pro tentu saja mengemukakan betapa hebat kepenya-iran dan betapa cemerlang karya-karya Chairil. Tergolong ke dalam hal ini antara lain H.B. Yassin, sejawat bincangnya, dan A. Teeuw, pemerhati teguh sastra Indonesia. Yang kontra tentu saja berusaha menjatuhkan diri dan kepenyairan Chairil dari peta perjalanan dan perspektif perpuisian Indonesia, lukisan sejarah sastra Indonesia. Yang terakhir ini, misalnya, LEKRA. Itu sebabnya, di tangan pengulas diri Chairil dan kepenyairannya terasa dikagumi sekaligus diejek; dijengkeli sekaligus dimaafi; dijatuhkan sekaligus dibangunkan; ditenggelamkan sekaligus ditimbulkan seperti bunyi sajaknya 1943:
..........
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh.
Menentang. Menyerang.
....................
Kenyataannya Chairil tetap tegar bertahan di tengah badai pro dan kontra yang tak bergiliran datang. Sajaknya tetap saja mampu berbicara //Lantang/Mengaum/Mengguruh/Menentang/Menyerang// dan bahkan //Biar peluruh menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang//. Tak heran, dalih dan argumentasi yang digunakan oleh pihak kontra tak mempan dan me-nemui sasarannya. Penolakan tanggal 28 April sebagai Hari Sastra oleh pihak kontra, oleh pihak pro dijawab dengan diadakannya Malam Chairil Anwar pada setiap tanggal 28 April. Bahkan sekarang makin mapan dan mantap diperangati oleh khalayak sastra di Indonesia. Tuduhan sebagai penjiplak dan pengekor Angkatan 80 Belanda, terutama Marsman, dijawab oleh Jassin (sebagai pihak pro) secara diplomatis dan persuasif dalam Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45 dan Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esei II. Dikatakan oleh Jassin, Chairil bukan penjiplak, melainkan penyadur dan penerjemahnya saja, yang sangat piawai sehingga sajak saduran itu mengalami proses “peng-Chairil-an”. Bahwa Chairil dipengaruhi oleh orang lain adalah suatu hal wajar karena siapa pun tak dapat terhindar dari pengaruh, dan pengaruh dalam diri Chairil sebenarnya sudah disenyawakan dengan konsepsi dan sikap berkeseniannya sendiri. Karena itu, sajak-sajaknya tetap punya ciri, watak, dan khas Chairil. Sajak-sajak Chairil telah membentuk warna “Chairil-isme”.
Begitulah, pihak kontra yang menyerang bertubi-tubi tak berhasil merobohkan keberadaan Chairil. Dia tetap bertahan dalam posisinya. Bahkan dia menjelma jadi semacam monumen yang ampuh di tengah badai kritik dan serangan yang hendak menumbangkannya dari pohon sejarah perjalanan sastra Indonesia, menghilangkannya dari lukisan sejarah puisi Indonesia. Tak heran, Chairil tetap perkasa, jalang menerjang, dan hidup dalam pekik yang membahana seperti dalam Aku atau Semangat:
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih dan peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Mungkin, memang, sajak-sajak Chairil dan kehebatan kepenyairannya akan mampu hidup seribu tahun lagi karena sudah menjadi tonggak atau tiang pancang arsitektur perpuisian Indonesia. Boleh jadi akan dikenal dan dikenang seperti halnya drama-drama Sopochles, sajak-sajak Tu Fu dan Li Tao Po, kakawin-kakawin Jawa Kuno, dan sebagainya.
Kenapa Chairil bisa bertahan, bahkan jadi monumen?. Tentulah ada sebabnya. Sebabnya yang utama adalah sikap berkesenian dan kesenimanannya yang begitu jujur, tulus, serius, setia, dan tak setengah hati. Dia masuki dunia kesenian dan kesenimanan seratus persen, penuh totalitas, dan tak main-main, bahkan membenci sikap main-main. Katanya sendiri dalam surat untuk Jassin bertanggal 8 Maret 1944: Jassin, dalam kalangan kita sipat setengah-setengah bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku masuki kesenian dengan sepenuh hati. Tapi dari lahir aku hanya bisa mencampuri dunia kesenian setengah-setengah pula. Tapi untunglah batin seluruh hasrat dan minatku sendiri umur 15 tahun tertuju titik satu saja, kesenian. Itu sebabnya, yang dihasilkannya bukan pengungkapan dari greget yang kering, garing, dan dangkal, melainkan sebuah pemenungan, pencenungan, dan pemuliaan pikiran dan gagasan yang sungguh-sungguh murni yang dilandasi oleh jiwa, nalar, dan rasa yang begitu murni.
Sebab lain yang penting juga adalah wawasan intelektualnya yang luas dan dalam baik bidang kesenian maupun bidang kebudayaan pada umumnya. Ini ditunjang oleh kemampuan dan kemahiran berbahasanya yang baik dan cermat. Wawasan demikian ini terbentuk karena dia sangat rajin membaca dan mengumpulkan informasi kendati pendidikan formalnya rendah, tak tamat MULO. Suratnya kepada Jassin menunjukkan hal ini : Jassin, tadi datang. Rumah kosong. Ada menunggu kira-kira sejam. Sementara itu 'tak dapat melepaskan tangan dari lemari buku. Kubawa 1) H.R. Holst, De Nieu-we Getroste, 2) H.R. Holst, Keur uit de Gedichten, 3) Huizinga, In de Schaw wan Morgen, 4) Huizinga, Cultuur Historsche Verkenningen (Surat bertanggal 13 Maret 1943; jadi umur 21 tahun). Tak mengherankan, kawan-kawan atau pendukungnya ada yang menyebutnya otodidak dan cendekiawan yang bersinar cemerlang. Ini agaknya menjadikan tulisan dan sajaknya terasa matang dan padat berisi.
Sebab lain lagi yang memantapkan dan mengungkapkan keberadaan dan kemonumenannya adalah pergaulan dan pengalamannya yang banyak dan luas. Dia tak hanya bergaul dengan sesama penyair, tapi juga pelukis, dramawan, kritikus, bahkan orang-orang di luar kesenian. Dia menonjol dan disegani dalam lingkungan pergaulannya karena konsepsi dan aspirasinya seolah-olah mewakili gairah kehidupan seniman dan kesenimanan secara keseluruhan. Pribadinya kemudian menjadi lambang seniman dan kesenimanan. Tak heran, pada kemudian hari, dia diikuti dan didukung oleh seniman-seniman terkenal seperti Asrul Sani, Rivai Apin, Henk Ngantung, Basuki Resobowo, dan M. Akbar Djuhana. Konsepsi dan aspirasinya pula yang kemudian hari menyangga kokoh Surat Kepercayaan Gelanggang.
Sebab terakhir, yang menurut saya memonumenkan Chairil, adalah memasyarakat dan mendarah dagingnya nama dan sajak Chairil pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Dapat sampai demikian karena pakar sastra sekaligus pihak yang pro kepadanya sejak dasawarsa 1950-an terus-menerus berusaha menempatkan Chairil pada kedudukan penting dan di dalam segenap sektor kebudayaan dan pendidikan. Hasilnya memang mengagumkan. Nama Chairil, kendati tak pernah terlibat dalam politik praktis, selalu disebut-sebut karena sajaknya seperti Diponegoro, Semangat, Persetujuan dengan Bung Karno, dan Krawang Bekasi dimaknai secara politis, misalnya membakar semangat kebangsaan dan menyuarakan sema-ngat hidup bangsa yang tinggi. Bahkan, lebih lanjut, Chairil dipatungkan di sudut-sudut jalan yang penting, misalnya di Jakarta dan Malang. Di bidang pendidikan, khususnya pengajaran bahasa dan sastra Indonesia, nama Chairil sudah merasuk sekali, melekat muskil terhapus. Nyaris semua tingkatan sekolah, mulai SD hingga PT, mengenal, mendengar, bahkan membacakan sajak-sajaknya meskipun kemudian juga segera dilupakan. Pendeknya, kalangan terpelajar atau terdidik di Indonesia pasti mengenalnya karena dia telah dipatok rapat dan kuat dalam materi pelajaran. Kini malah masyarakat umum yang tinggal di kampung-kampung pun mengenalnya karena dalam setiap lomba atau peringatan tertentu sajak-sajaknya selalu dibacakan atau dijadikan bacaan wajib.
Itu sebabnya, sekarang, setelah lama tak menemui pihak kontra, kemonumenannya sulit diubah lagi. Dia dan sajak-sajaknya bersenyawa dan menjadi napas hi-dup manusia Indonesia walaupun mungkin tak secara langsung. Seperti kata Sapardi Djoko Damono, ini dapat dibuktikan dengan adanya dan terejawantahnya larik-larik sajak Chairil menjadi semacam pepatah baru manusia Indonesia atau kata-kata mutiara modern, misalnya Aku ingin hidup seribu tahun lagi, Sekali berarti sudah itu mati, dan hidup hanya untuk menunda kekalahan. Inilah pula sebabnya sajak-sajak Chairil tetap menunjukkan kehebatannya dan ke-Chairil-annya kendati dianalisis dan dikritik dengan berbagai macam pendekatan kritik sastra, teori sastra, dan keilmuan lain. Pendeknya, di tengah "pedang tajam" formalisme, kritik sastra baru, kritik Gestalt atau fenomenologi, strukturalisme, semiotika, estetika resepsi, sosiologi sastra, dan lain-lain, sajak-sajak Chairil tetap mengemilaukan keandalan dan kemenjulangannya karena memang sajak-sajaknya telah merasuk ke dalam infrastruktur kehidupan dan sistem "kenangan atau ingatan kolektif" masyarakat Indonesia. Sajak Chairil sudah terpatri lekat dalam memori kolektif budaya Indonesia.
***
____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar