Minggu, 24 Mei 2020

SAJAK-SAJAK RELIGIUS BAHRUM RANGKUTI

Maman S. Mahayana *

Konon, puisi adalah ragam karya sastra yang dianggap paling mewakili ekspresi perasaan penyair. Bentuk ekspresi itu, mungkin saja berupa kerinduan, kegelisahan, atau pengagungan kepada kekasih, kepada alam, atau kepada Sang Khalik. Oleh karena itu, bahasa dalam puisi terasa sangat ekspresif, lebih padat, kental, dan langsung.

Jika penyair hendak mengagungkan alam, maka bahasa sebagai sarana ekspresi-nya cenderung memanfaatkan imaji-imaji atau majas dan diksi yang hendak menggambar-kan panorama keindahan alam. Sementara jika ekspresinya merupakan kegelisahan dan kerinduan kepada Sang Khalik, ia cenderung bersifat kontemplatif (perenungan) atau penyadaran akan eksistensinya dan hakikat keberadaan dirinya sebagai makhluk Tuhan. Inilah yang terjadi dalam sejumlah puisi Bahrum Rangkuti.

Bahrum Rangkuti memulai dunia kesastrawanannya lewat sebuah cerpen “Dito-long Arwah” yang dimuat majalah Pandji Poestaka (1936). Sedangkan kepenyairannya dimulai dari majalah Poedjangga Baroe (1941). Barangkali karena itulah, Linus Suryadi dalam Tonggak 1 (Gramedia, 1987) memasukkan Bahrum Rangkuti sebagai salah seorang pengarang dari periode Pujangga Baru.

Puisi awal yang ditulis Bahrum, “Rindoe” yang dimuat Poedjangga Baroe, No. 7, VIII, Januari 1941 –E.U. Kratz dan Anita K. Rustapa menyebut karya ini sebagai cerpen– mempelihatkan kerinduan aku lirik kepada sang kekasih yang berada di seberang lautan; kegelisahannya sebatas terpisahnya dua anak manusia yang sedang dirundung asmara. Puisi kedua “Basa Indonesia” yang juga dimuat Poedjangga Baroe, No. 9, VIII, Maret 1941 –yang oleh Kratz dan Rustapa disebut cerpen– mengungkapkan pengagungan aku liris pada bahasa Indonesia sebagai bahasa kepulauan Nusantara. Dalam hal ini, nada religius mulai kelihatan, meskipun masih dalam bentuk pernyataan: “Engkau lagukan alam dengan dendangmu, engkau pujikan Tuhan dengan tasbihmu!

Dalam puisi ketiga, “Tuhan” kegelisahan aku liris diejawantahkan dalam bentuk kerinduannya kepada Sang Khalik. Nada religius yang hendak diangkat terasa kental: “Hanyut aku Tuhanku/Dalam lautan kasih Mu// atau hasratnya untuk menyatu dengan Tuhan: “Tuhan, bawalah aku/Meninggi ke langit rohani …” Di sini, ada pergeseran ekspresi yang dilakukan Bahrum. Jika dalam puisi pertama, Bahrum masih menekankan hubungan antara manusia, maka dalam puisi kedua, hubungan itu antara masyarakat dan bahasa yang mempersatukannya. Jadi, ada pesan nasionalistik di sana. Dan dalam puisi ketiga, hubungan itu benar-benar masuk dalam kualitas rohani yang pengagungannya kepada Tuhan dinyatakan dengan: “Ta’ dapat kusifatkan/Suka hatiku Kasih//.

Meskipun demikian, kegelisahan dan kerinduan Bahrum pada Sang Khalik, bukanlah ekspresi seorang pencari atau seorang yang mabuk dan ingin menyatu dengan Tuhan, sebagaimana yang dirasakan Amir Hamzah. Bahrum sudah menemukan apa yang diyakininya. Akibatnya kemudian, ekspresi kerinduan atau kegelisahan itu memantul kembali dalam kehidupan. Inilah religiusitas Bahrum yang tidak dapat melepaskan dirinya dari realitas kehidupan.

Puisi “Doa Makam” adalah gambaran yang mencitrakan suasana ketika seseorang sedang berdoa di hadapan sebuah pusara orang yang dicintainya. Penekanan pada citra suasana itulah yang justru menjadikan pesan religiusnya terasa lebih kontemplatif; perlahan hilang warna hijau/dunia dan langit mengudus sunyi/kenang melayang ke alam rohani//

Dalam puisi “Insyaf” religiusitasnya justru muncul lantaran si aku liris kembali melanjutkan perjalanannya mencari kebenaran hakiki yang bermuara ada Iqbal: Insan kaca Ilahi. Jika di akhir puisi itu si aku liris menyatakan: Aku ini pengembara padang pasir/berjalan dari mata air ke mata air!// tidak pula itu berarti ia masih terus mencari. Ia sudah menemukan pada Iqbal, tetapi ia masih perlu untuk melengkapinya dengan pemikir lain dengan wawasan keislaman.

Suasana yang seperti itu justru tidak tampak pada puisi “Kembali” yang menggambarkan penyesalan si aku liris. Keluh-kesah dan penyesalan di hadapan Tuhan, seolah-olah menjadi pengakuan dosa, lantaran tidak ada perenungan di sana. “Rabbi, bawa daku ke jalan lurus/aku sudah letih dari cinta dunia, menghamba rasa …” Bagi si aku liris, tidak ada jalan lain untuk kembali, kecuali dengan pertolongan-Nya.

Kontemplasi religius yang diejawantahkan dalam realitas kehidupan, digambarkan secara baik dalam dua puisi panjang “Haiyya ‘Alash Shalaah Haiyya ‘Alal Falah” dan “Miraj”. Dalam puisi yang disebut pertama, makna salat untuk menuju kemenangan, justru mestinya diwujudkan juga dalam perilaku kehidupan sosial. Doa harusnya diikuti pula dengan perbuatan, dan itu tidak terjadi pada kaum muslimin Indonesia: “Mana Mujahidin Indonesia membanting tulang/dari subuh ke isya tengah malam/ melenyap-kan dosa dan aniaya…” Dalam “Miraj” perenungan kontemplatif itu cenderung berupa abstraksi-abstraksi yang malah kurang memantulkan aspek religiusitasnya.

Sejumlah puisi Bahrum Rangkuti yang kemudian yang dimuat dalam Horison, memerplihatkan perpaduan penghayatan keagamaan dengan kepedulian sosial. Sikap religiusitasnya justru jadi bermuara pada realitas kehidupan sosial. Itulah puisi-puisi yang saya anggap mewakili sikap kepenyairan Bahrum yang religius, sekaligus juga responsif atas kehidupan di sekelilingnya.

Periksalah puisi-puisi “Lebaran di tengah Gelandangan”, “Mercon Malam Takbiran” atau “Anak Anakku”. Dalam “Lebaran di tengah Gelandangan” kontras antara harapan dan kenyataan menjadi sebuah tindakan. “Tuhan inilah persembahan kami/ Tanah, empang, kebun, dan bukit-bukit ini/ bagi mereka yang kehilangan jalan// Sementara itu, dalam “Mercon Malam Takbiran” kontras itu terjadi di malam takbiran. “berminggu minggu di taman Ilahi, nafsu dikekang/rajin mengaji. Doa dan sembah-yang malam hari// Namun, ketika perjuangan itu memperoleh kemenangan di malam takbiran, yang dilakukan bukanlah pengagungan kebesaran Allah lewat takbir, melainkan ledakan mercon!

Yang muncul dalam “Anak Anakku” lain lagi. Pesan Bahrum sesungguhnya merupakan tumpuan harapan bagi generasi bangsa ini: “Tuhan membina kalian jadi tiang tiang padu/rumah kita dirikan/bersama Khatulistiwa/wilayah pantai, pulau dan lautan// Meskipun barangkali pesan ini hendak disampaikan kepada orang-orang terten-tu, kenyataan yang terjadi di negeri ini sekarang, menjadikan puisi ini tidak lekang ditelan waktu; relevan dan kontekstual. “Resapilah ayat ayat Quran/dalam cita cita dan amal berilmu/agar Jibril datang membantu//
***

Pembicaraan ringkas mengenai puisi-puisi Bahrum Rangkuti ini, tentu saja sebatas bentuk luarnya saja. Ada banyak hal yang sesungguhnya menarik, dan pembahas-an mengenai hal-hal yang menarik itu, tidak cukup hanya dikupas sepintas lalu. Meskipun begitu, pembicaraan ini setidak-tidaknya sebagai langkah awal untuk mengupas lebih jauh karya-karya Bahrum rangkuti. Bagaimanapun juga, Bahrum dengan cara dan gayanya sendiri, telah ikut memperkaya peta perpuisian di Tanah Air.

_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2008/10/sajak-sajak-religius-bahrum-rangkuti/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah