Kamis, 28 Mei 2020

Tonggak-tonggak Sastra Indonesia

F. Rahardi
Kompas, 13 Feb 2000

BAGI masyarakat awam, tonggak-tonggak sastra Indonesia adalah "angkatan" Pujangga Baru, '45, dan '66, sebab itulah yang diajarkan di sekolah. Setelah Angkatan '66, pernah ada yang ingin melansir Angkatan '80. Kemudian ada pula yang sangat bernafsu memproklamirkan Angkatan 2000. Tetapi, kalangan sastra sendiri tidak terlalu memusingkan perihal tersebut. Mereka cenderung melihat tonggak sastra berdasarkan munculnya figur kuat. Misalnya dalam dunia kepenyairan tonggak itu ditandai dengan Amir Hamzah, Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri. Ada juga yang mensyaratkan, tonggak itu harus disertai lahirnya genre baru yang berbeda sama sekali dengan genre sebelumnya untuk menjawab tantangan zamannya.

Anggapan bahwa tonggak sastra identik dengan angkatan berawal dari HB Jassin. Sebagai kritikus, dialah yang menandai tonggak sastra Indonesia dengan sebutan "angkatan" melalui tiga bunga rampai yang disusunnya, Pujangga Baru, Gema Tanah Air, dan Angkatan '66.

Terhadap sebutan angkatan Pujangga Baru dan '45, kalangan sastra Indonesia tidak pernah berkeberatan sebab pada dua angkatan tersebut memang ada figur yang menonjol dan sekaligus juga ada genre penulisan yang berbeda dengan genre sebelumnya. Tetapi, ketika Jassin melansir lahirnya Angkatan '66 dengan tokoh antara lain Rendra, Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail, maka kalangan sastra ada yang berkeberatan. Salah satu yang paling berkeberatan Ajip Rosidi yang kemudian menyusun bunga rampai Laut Biru Langit Biru.

Keberatan pertama terhadap Angkatan '66 adalah karena sebutan ini terlalu kentara membonceng bidang politik. Selain itu, tokoh Angkatan '66 masih menggunakan pola penulisan yang jejaknya mudah dirunut ke genre Angkatan '45 maupun Pujangga Baru. Ketika Dukamu Abadi terbit misalnya, Goenawan Mohamad segera mengulas kumpulan sajak pertama Sapardi Djoko Damono ini di Majalah Horison dengan judul Dukamu Abadi, Nyanyi Sunyi Kedua.

Nyanyi Sunyi adalah kumpulan sajak Amir Hamzah, salah seorang tokoh Pujangga Baru. Ini merupakan semacam pengakuan dari Goenawan bahwa betapa kuat pun penyair ini, sebenarnya masih merupakan kelanjutan dari Amir Hamzah. Para tokoh Angkatan '66 yang cukup kuat seperti Rendra, Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail memang merupakan penyair papan atas. Tetapi, mereka dianggap belum melakukan pembaruan dalam sastra Indonesia.
***

PEMBARUAN dalam sastra Indonesia baru tampak ketika Iwan Simatupang menulis novel triloginya: Merahnya Merah, Kering dan Ziarah. Dalam penulisan lakon, pembaruan dilakukan Arifin C Noer melalui Sumur Tanpa Dasar, Kapai-kapai, Orkes Madun dan lain-lain. Pembaruan penulisan puisi dilakukan Sutardji Calzoum Bachri dengan Kredo Puisinya. Di dunia teater mencuat Rendra melalui Bengkel Teaternya yang mementaskan Bib Bop, Rambate Rata dan mencapai masterpiece-nya pada Oedipus Sang Raja serta Oedipus Berpulang. Tonggak cerpenis Indonesia adalah Danarto dengan Rintrik, Armagedon dan lain-lain.

Bila mau adil, itulah tonggak-tonggak pembaruan dalam sastra Indonesia setelah Angkatan '45. Memang, lahirnya genre dalam cabang seni apa pun, tidak pernah berlangsung tunggal. Selalu ada saling keterkaitan antara satu figur dengan figur lainnya, antara tonggak besar dengan tonggak kecil-kecil.

Remy Silado misalnya, adalah pemicu pembaruan dalam perpuisian Indonesia. Melalui rubrik Puisi Mbeling-nya di majalah Aktuil Bandung, diberontaknyalah genre perpuisian Sapardi/Goenawan yang merupakan standar baku para penyair muda pada kurun waktu itu. Tetapi, puncak pembaruan justru dicapai Sutardji dalam penulisan cerpen, "kejutan" yang dibuat Danarto segera disusul oleh Budi Darma, Kuntowijoyo dan penulis-penulis yang lebih muda.

Sayangnya, Danarto sendiri tidak terlalu konsisten dengan pembaruan yang telah dibuatnya. Cerpen-cerpen selanjutnya, bahkan juga novel pertamanya Asmaraloka, tidak semengejutkan Rintrik dan Armagedon. Sementara variasi pembaruan yang dilakukan cerpenis-cerpenis muda masih belum mendapatkan kiblat jelas.

Sejak kehadiran Iwan Simatupang, sampai sekarang belum ada novelis Indonesia yang mampu melanjutkan rintisan pembaruan tersebut. Ayu Utami dengan Saman-nya masih perlu ditunggu kelanjutannya. Sementara Putu Wijaya yang sangat produktif sebagai novelis masih berada di bawah standar kebaruan yang telah dibuat Iwan Simatupang.

Dibanding penulisan puisi dan cerpen, penulisan novel di Indonesia memang ketinggalan. Figur yang paling menonjol seperti Pramudya Ananta Toer misalnya, sebenarnya tidak bisa disebut sebagai tonggak dalam arti melahirkan sebuah genre baru. Bahwa dia produktif dan menarik perhatian internasional, tidak serta-merta menjamin karyanya menjadi tonggak pembaruan dalam penulisan novel di Indonesia, apalagi dunia. Bahkan banyak kalangan menganggap novel-novel sejarah Pram, baik trilogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Rumah Kaca; maupun Arus Balik serta Arok Dedes, masih berada di bawah standar Keluarga Gerilya yang pernah ditulisnya pada tahun 1950-an.

Akan tetapi, tonggak-tonggak dalam sejarah sastra tidak harus berpedoman pada lahirnya sebuah genre. Pramudya, meskipun tidak melakukan pembaruan apa-apa, tetapi ia sebuah tonggak raksasa dalam sastra Indonesia. Kebesaran Pram sangat terkait dengan aktivitasnya di bidang politik yang mengakibatkan penahanan dan pelarangan atas karya-karyanya. Dalam sisi berbeda, hal ini juga terjadi pada Mochtar Lubis dan Goenawan Mohamad.

Sayang sekali, materi yang digarap Pram dalam novel-novelnya bukanlah sesuatu yang dialami atau yang menjadi obsesi besarnya. Endapan pengalaman selama dalam tahanan di pulau Buru, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, memang sebuah masterpiece, tetapi itu bukan novel. Berbeda misalnya dengan Gulag, Archipelago-nya Solzhesitsyin, yang bisa menjadi berarti karena merupakan luapan penderitaan yang diserapnya ketika menjalani tahanan Pemerintah Uni Soviet. Green Hills of Africa dan The Old Man and The Sea adalah cerita tentang berburu binatang buas dan memancing yang benar-benar merupakan dunia Hemingway.

Barangkali itulah titik lemah sastra Indonesia di pentas internasional. Dunia kepenyairan di Indonesia jauh lebih diminati calon sastrawan dibanding penulisan novel. Padahal standar sastra dunia cenderung berpatokan pada novel. Salah satu penyebab kelemahan novelis Indonesia adalah sastrawan yang merupakan pembaharu biasanya bernapas pendek atau tidak produktif. Sementara mereka yang produktif dan bernapas panjang kebetulan tidak melahirkan pembaruan melalui karya mereka.

Sutan Takdir Alisyahbana misalnya, termasuk figur yang sangat produktif dan bernapas panjang, juga berumur panjang. Tetapi, dia tidak melakukan pembaruan melalui karyanya. Pembaruan yang dilakukannya justru dalam konsep berpikir melalui esei-eseinya. Iwan Simatupang yang melakukan pembaruan tidak produktif dan keburu meninggal dalam usia muda. Sementara Pramudya yang sangat menjulang di pentas internasional tidak meneriakkan perjuangannya secara langsung dalam novel-novelnya.
***

SELAIN ditentukan oleh kritikus yang kuat, tonggak-tonggak sastra juga ditentukan oleh media cetak. Genre Pujangga Baru ditopang penerbit Balai Pustaka dan majalah Pujangga Baru. Tetapi, penerbit yang kuat belum tentu mampu mendukung lahirnya sebuah pembaruan. Bisa jadi yang dilahirkannya hanyalah mazab atau aliran. Koran Pelopor di Yogyakarta dengan lembar budayanya Sabana dan Persada Study Club yang diasuh Umbu Landu Paranggi, hanyalah melahirkan mazab penulis Yogya. Majalah Horison pada periode tahun 1960 dan 1970-an bisa melahirkan pembaruan sebab diasuh figur-figur kuat yang relatif beragam dan penuh toleransi.

Yang agak lain adalah cerpen-cerpen Kompas pada tahun 1990-an. Harian ini menampilkan cerpenis-cerpenis papan atas Indonesia, termasuk para pembarunya seperti Danarto, Budi Darma, Kuntowijoyo dan lain-lain. Tetapi, sifat koran berbeda dengan majalah sastra. Setinggi apa pun idealisme seorang redaktur budaya, koran tetap merupakan sebuah barang dagangan hingga cerpen-cerpen yang ditampilkan koran lalu menciptakan mazab tersendiri. Cerpenis-cerpenis kuat tadi tampak berusaha tunduk pada kemauan pasar hingga meskipun jejak pembaruannya masih sangat nyata, tetapi yang dihasilkannya sudah lebih merupakan barang pesanan yang dikemas sesuai dengan kriteria pembaca Kompas. Seberapa jauh sastra koran demikian akan melahirkan sebuah genre yang akan menjadi tonggak sejarah, masih perlu ditunggu lebih lanjut.

Pembaruan, biasanya dilahirkan melalui benturan konsep berpikir. Pujangga Baru adalah generasi sastrawan yang mulai tidak setuju dengan hal-hal yang bersifat tradisional. Novel-novel Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, Siti Nurbaya dan lain-lain adalah gambaran benturan antara pola pikir modern (Barat) dan adat kebiasaan lokal (Timur). Secara konseptual hal ini tertuang dalam esei-esei Takdir yang dikumpulkan dalam Polemik Kebudayaan. Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin yang menerbitkan Tiga Menguak Takdir sebenarnya merupakan "tangan panjang" dari Sutan Takdir yang "dikuaknya". Bila Takdir lebih memberontak melalui esei, Chairil melalui sajaknya.

Mereka yang menulis pada tahun 1960 dan 1970-an dipicu benturan pikiran antara dua kelompok besar dengan konsep berpikir yang berbeda. Para sastrawan Lekra cenderung memanfaatkan seni untuk propaganda politik sementara para penandatangan Manifes Kebudayaan mengacu ke kaidah-kaidah berkesenian yang lebih universal. Pertarungan "ideologi" ini mulai mengendur pada tahun 1980-an ketika masyarakat Indonesia terseret ke arus urbanisasi dan globalisasi secara total. Pada kurun waktu tersebut tidak banyak lahir karya-karya hebat yang bisa menjadi tonggak sejarah karena nyaris tidak ada pertentangan konsep berpikir yang mencuat ke permukaan. Cengkeraman politik dan daya pukau sektor ekonomi pada tahun-tahun itu demikian kuatnya hingga figur-figur yang secara alamiah potensial melakukan pembaruan, terseret untuk menjadi alat politik (birokrat), pengusaha, wartawan, praktisi hukum, dan lain-lain.
***

YANG menjadi tanda tanya besar adalah mengapa pada tahun 1990-an, tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Baru yang penuh pergolakan, tidak lahir karya-karya hebat?

Mungkin memang tidak akan pernah. Penyebabnya, gejolak sosial, politik dan ekonomi sekarang-sekarang ini tidak disertai perbedaan konsep berpikir yang jelas. Masalah Barat-Timur sudah tidak menjadi persoalan. Semua juga setuju demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) perlu ditegakkan bersama. Memperjuangkannya pun akan lebih efektif melalui jalur gerakan massa atau jaringan kerja LSM, bukan dengan sastra. Dikotomi tradisi dan modern juga sudah bukan menjadi persoalan serius. Yang justru dominan adalah isu-isu rasial dan sektarian. Ini bukan hanya monopoli Indonesia. Di Amerika pun hal ini masih menjadi isu yang sangat peka.

Isu dominan tersebut bisa saja menjebak karena tidak pernah ada agama modern yang mengajarkan kekerasan dan kekejaman. Jadi gejolak sosial yang terjadi hanyalah bersifat fisik material. Tidak ada perbedaan ideologi yang prinsipil. Ras atau etnis yang tertutup juga tidak bisa hidup makmur karena pasti dikucilkan dunia internasional.

Bagi Indonesia, mungkin perlu ada redifinisi mengenai nasionalisme. Konsep keagamaan berikut aplikasinya pun perlu dipertanyakan ulang. Mengapa ajaran menuju kebaikan moral ini justru mudah sekali dimanfaatkan untuk legitimasi tindak kekerasan dan kekejaman? Di sinilah para sastrawan berpeluang saling berbenturan pikiran guna mengasah kecerdasan.
***

*) Floribertus Rahardi atau F. Rahardi, lahir di Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah 10 Juni 1950, seorang penyair, petani, wartawan, penulis artikel, kolom, kritik sastra, cerpen, novel, dll. Pendidikan drop out kelas II SMA tahun 1967, dan lulus ujian persamaan SPG (1969). Pernah menjadi guru SD, dan kepala sekolah di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Tahun 1974 ke Jakarta, lalu alih profesi menjadi wartawan, editor serta penulis artikel/kolom di berbagai media. Pertama menulis puisi akhir tahun 1960-an, dimuat di Majalah Semangat, Basis (Yogyakarta), dan Horison (Jakarta).
https://frahardi.wordpress.com/artikel/tonggak-tonggak-sastra-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah