F. Rahardi
Kompas, 13 Feb 2000
BAGI masyarakat awam, tonggak-tonggak sastra Indonesia adalah "angkatan" Pujangga Baru, '45, dan '66, sebab itulah yang diajarkan di sekolah. Setelah Angkatan '66, pernah ada yang ingin melansir Angkatan '80. Kemudian ada pula yang sangat bernafsu memproklamirkan Angkatan 2000. Tetapi, kalangan sastra sendiri tidak terlalu memusingkan perihal tersebut. Mereka cenderung melihat tonggak sastra berdasarkan munculnya figur kuat. Misalnya dalam dunia kepenyairan tonggak itu ditandai dengan Amir Hamzah, Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri. Ada juga yang mensyaratkan, tonggak itu harus disertai lahirnya genre baru yang berbeda sama sekali dengan genre sebelumnya untuk menjawab tantangan zamannya.
Anggapan bahwa tonggak sastra identik dengan angkatan berawal dari HB Jassin. Sebagai kritikus, dialah yang menandai tonggak sastra Indonesia dengan sebutan "angkatan" melalui tiga bunga rampai yang disusunnya, Pujangga Baru, Gema Tanah Air, dan Angkatan '66.
Terhadap sebutan angkatan Pujangga Baru dan '45, kalangan sastra Indonesia tidak pernah berkeberatan sebab pada dua angkatan tersebut memang ada figur yang menonjol dan sekaligus juga ada genre penulisan yang berbeda dengan genre sebelumnya. Tetapi, ketika Jassin melansir lahirnya Angkatan '66 dengan tokoh antara lain Rendra, Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail, maka kalangan sastra ada yang berkeberatan. Salah satu yang paling berkeberatan Ajip Rosidi yang kemudian menyusun bunga rampai Laut Biru Langit Biru.
Keberatan pertama terhadap Angkatan '66 adalah karena sebutan ini terlalu kentara membonceng bidang politik. Selain itu, tokoh Angkatan '66 masih menggunakan pola penulisan yang jejaknya mudah dirunut ke genre Angkatan '45 maupun Pujangga Baru. Ketika Dukamu Abadi terbit misalnya, Goenawan Mohamad segera mengulas kumpulan sajak pertama Sapardi Djoko Damono ini di Majalah Horison dengan judul Dukamu Abadi, Nyanyi Sunyi Kedua.
Nyanyi Sunyi adalah kumpulan sajak Amir Hamzah, salah seorang tokoh Pujangga Baru. Ini merupakan semacam pengakuan dari Goenawan bahwa betapa kuat pun penyair ini, sebenarnya masih merupakan kelanjutan dari Amir Hamzah. Para tokoh Angkatan '66 yang cukup kuat seperti Rendra, Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail memang merupakan penyair papan atas. Tetapi, mereka dianggap belum melakukan pembaruan dalam sastra Indonesia.
***
PEMBARUAN dalam sastra Indonesia baru tampak ketika Iwan Simatupang menulis novel triloginya: Merahnya Merah, Kering dan Ziarah. Dalam penulisan lakon, pembaruan dilakukan Arifin C Noer melalui Sumur Tanpa Dasar, Kapai-kapai, Orkes Madun dan lain-lain. Pembaruan penulisan puisi dilakukan Sutardji Calzoum Bachri dengan Kredo Puisinya. Di dunia teater mencuat Rendra melalui Bengkel Teaternya yang mementaskan Bib Bop, Rambate Rata dan mencapai masterpiece-nya pada Oedipus Sang Raja serta Oedipus Berpulang. Tonggak cerpenis Indonesia adalah Danarto dengan Rintrik, Armagedon dan lain-lain.
Bila mau adil, itulah tonggak-tonggak pembaruan dalam sastra Indonesia setelah Angkatan '45. Memang, lahirnya genre dalam cabang seni apa pun, tidak pernah berlangsung tunggal. Selalu ada saling keterkaitan antara satu figur dengan figur lainnya, antara tonggak besar dengan tonggak kecil-kecil.
Remy Silado misalnya, adalah pemicu pembaruan dalam perpuisian Indonesia. Melalui rubrik Puisi Mbeling-nya di majalah Aktuil Bandung, diberontaknyalah genre perpuisian Sapardi/Goenawan yang merupakan standar baku para penyair muda pada kurun waktu itu. Tetapi, puncak pembaruan justru dicapai Sutardji dalam penulisan cerpen, "kejutan" yang dibuat Danarto segera disusul oleh Budi Darma, Kuntowijoyo dan penulis-penulis yang lebih muda.
Sayangnya, Danarto sendiri tidak terlalu konsisten dengan pembaruan yang telah dibuatnya. Cerpen-cerpen selanjutnya, bahkan juga novel pertamanya Asmaraloka, tidak semengejutkan Rintrik dan Armagedon. Sementara variasi pembaruan yang dilakukan cerpenis-cerpenis muda masih belum mendapatkan kiblat jelas.
Sejak kehadiran Iwan Simatupang, sampai sekarang belum ada novelis Indonesia yang mampu melanjutkan rintisan pembaruan tersebut. Ayu Utami dengan Saman-nya masih perlu ditunggu kelanjutannya. Sementara Putu Wijaya yang sangat produktif sebagai novelis masih berada di bawah standar kebaruan yang telah dibuat Iwan Simatupang.
Dibanding penulisan puisi dan cerpen, penulisan novel di Indonesia memang ketinggalan. Figur yang paling menonjol seperti Pramudya Ananta Toer misalnya, sebenarnya tidak bisa disebut sebagai tonggak dalam arti melahirkan sebuah genre baru. Bahwa dia produktif dan menarik perhatian internasional, tidak serta-merta menjamin karyanya menjadi tonggak pembaruan dalam penulisan novel di Indonesia, apalagi dunia. Bahkan banyak kalangan menganggap novel-novel sejarah Pram, baik trilogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Rumah Kaca; maupun Arus Balik serta Arok Dedes, masih berada di bawah standar Keluarga Gerilya yang pernah ditulisnya pada tahun 1950-an.
Akan tetapi, tonggak-tonggak dalam sejarah sastra tidak harus berpedoman pada lahirnya sebuah genre. Pramudya, meskipun tidak melakukan pembaruan apa-apa, tetapi ia sebuah tonggak raksasa dalam sastra Indonesia. Kebesaran Pram sangat terkait dengan aktivitasnya di bidang politik yang mengakibatkan penahanan dan pelarangan atas karya-karyanya. Dalam sisi berbeda, hal ini juga terjadi pada Mochtar Lubis dan Goenawan Mohamad.
Sayang sekali, materi yang digarap Pram dalam novel-novelnya bukanlah sesuatu yang dialami atau yang menjadi obsesi besarnya. Endapan pengalaman selama dalam tahanan di pulau Buru, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, memang sebuah masterpiece, tetapi itu bukan novel. Berbeda misalnya dengan Gulag, Archipelago-nya Solzhesitsyin, yang bisa menjadi berarti karena merupakan luapan penderitaan yang diserapnya ketika menjalani tahanan Pemerintah Uni Soviet. Green Hills of Africa dan The Old Man and The Sea adalah cerita tentang berburu binatang buas dan memancing yang benar-benar merupakan dunia Hemingway.
Barangkali itulah titik lemah sastra Indonesia di pentas internasional. Dunia kepenyairan di Indonesia jauh lebih diminati calon sastrawan dibanding penulisan novel. Padahal standar sastra dunia cenderung berpatokan pada novel. Salah satu penyebab kelemahan novelis Indonesia adalah sastrawan yang merupakan pembaharu biasanya bernapas pendek atau tidak produktif. Sementara mereka yang produktif dan bernapas panjang kebetulan tidak melahirkan pembaruan melalui karya mereka.
Sutan Takdir Alisyahbana misalnya, termasuk figur yang sangat produktif dan bernapas panjang, juga berumur panjang. Tetapi, dia tidak melakukan pembaruan melalui karyanya. Pembaruan yang dilakukannya justru dalam konsep berpikir melalui esei-eseinya. Iwan Simatupang yang melakukan pembaruan tidak produktif dan keburu meninggal dalam usia muda. Sementara Pramudya yang sangat menjulang di pentas internasional tidak meneriakkan perjuangannya secara langsung dalam novel-novelnya.
***
SELAIN ditentukan oleh kritikus yang kuat, tonggak-tonggak sastra juga ditentukan oleh media cetak. Genre Pujangga Baru ditopang penerbit Balai Pustaka dan majalah Pujangga Baru. Tetapi, penerbit yang kuat belum tentu mampu mendukung lahirnya sebuah pembaruan. Bisa jadi yang dilahirkannya hanyalah mazab atau aliran. Koran Pelopor di Yogyakarta dengan lembar budayanya Sabana dan Persada Study Club yang diasuh Umbu Landu Paranggi, hanyalah melahirkan mazab penulis Yogya. Majalah Horison pada periode tahun 1960 dan 1970-an bisa melahirkan pembaruan sebab diasuh figur-figur kuat yang relatif beragam dan penuh toleransi.
Yang agak lain adalah cerpen-cerpen Kompas pada tahun 1990-an. Harian ini menampilkan cerpenis-cerpenis papan atas Indonesia, termasuk para pembarunya seperti Danarto, Budi Darma, Kuntowijoyo dan lain-lain. Tetapi, sifat koran berbeda dengan majalah sastra. Setinggi apa pun idealisme seorang redaktur budaya, koran tetap merupakan sebuah barang dagangan hingga cerpen-cerpen yang ditampilkan koran lalu menciptakan mazab tersendiri. Cerpenis-cerpenis kuat tadi tampak berusaha tunduk pada kemauan pasar hingga meskipun jejak pembaruannya masih sangat nyata, tetapi yang dihasilkannya sudah lebih merupakan barang pesanan yang dikemas sesuai dengan kriteria pembaca Kompas. Seberapa jauh sastra koran demikian akan melahirkan sebuah genre yang akan menjadi tonggak sejarah, masih perlu ditunggu lebih lanjut.
Pembaruan, biasanya dilahirkan melalui benturan konsep berpikir. Pujangga Baru adalah generasi sastrawan yang mulai tidak setuju dengan hal-hal yang bersifat tradisional. Novel-novel Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, Siti Nurbaya dan lain-lain adalah gambaran benturan antara pola pikir modern (Barat) dan adat kebiasaan lokal (Timur). Secara konseptual hal ini tertuang dalam esei-esei Takdir yang dikumpulkan dalam Polemik Kebudayaan. Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin yang menerbitkan Tiga Menguak Takdir sebenarnya merupakan "tangan panjang" dari Sutan Takdir yang "dikuaknya". Bila Takdir lebih memberontak melalui esei, Chairil melalui sajaknya.
Mereka yang menulis pada tahun 1960 dan 1970-an dipicu benturan pikiran antara dua kelompok besar dengan konsep berpikir yang berbeda. Para sastrawan Lekra cenderung memanfaatkan seni untuk propaganda politik sementara para penandatangan Manifes Kebudayaan mengacu ke kaidah-kaidah berkesenian yang lebih universal. Pertarungan "ideologi" ini mulai mengendur pada tahun 1980-an ketika masyarakat Indonesia terseret ke arus urbanisasi dan globalisasi secara total. Pada kurun waktu tersebut tidak banyak lahir karya-karya hebat yang bisa menjadi tonggak sejarah karena nyaris tidak ada pertentangan konsep berpikir yang mencuat ke permukaan. Cengkeraman politik dan daya pukau sektor ekonomi pada tahun-tahun itu demikian kuatnya hingga figur-figur yang secara alamiah potensial melakukan pembaruan, terseret untuk menjadi alat politik (birokrat), pengusaha, wartawan, praktisi hukum, dan lain-lain.
***
YANG menjadi tanda tanya besar adalah mengapa pada tahun 1990-an, tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Baru yang penuh pergolakan, tidak lahir karya-karya hebat?
Mungkin memang tidak akan pernah. Penyebabnya, gejolak sosial, politik dan ekonomi sekarang-sekarang ini tidak disertai perbedaan konsep berpikir yang jelas. Masalah Barat-Timur sudah tidak menjadi persoalan. Semua juga setuju demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) perlu ditegakkan bersama. Memperjuangkannya pun akan lebih efektif melalui jalur gerakan massa atau jaringan kerja LSM, bukan dengan sastra. Dikotomi tradisi dan modern juga sudah bukan menjadi persoalan serius. Yang justru dominan adalah isu-isu rasial dan sektarian. Ini bukan hanya monopoli Indonesia. Di Amerika pun hal ini masih menjadi isu yang sangat peka.
Isu dominan tersebut bisa saja menjebak karena tidak pernah ada agama modern yang mengajarkan kekerasan dan kekejaman. Jadi gejolak sosial yang terjadi hanyalah bersifat fisik material. Tidak ada perbedaan ideologi yang prinsipil. Ras atau etnis yang tertutup juga tidak bisa hidup makmur karena pasti dikucilkan dunia internasional.
Bagi Indonesia, mungkin perlu ada redifinisi mengenai nasionalisme. Konsep keagamaan berikut aplikasinya pun perlu dipertanyakan ulang. Mengapa ajaran menuju kebaikan moral ini justru mudah sekali dimanfaatkan untuk legitimasi tindak kekerasan dan kekejaman? Di sinilah para sastrawan berpeluang saling berbenturan pikiran guna mengasah kecerdasan.
***
*) Floribertus Rahardi atau F. Rahardi, lahir di Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah 10 Juni 1950, seorang penyair, petani, wartawan, penulis artikel, kolom, kritik sastra, cerpen, novel, dll. Pendidikan drop out kelas II SMA tahun 1967, dan lulus ujian persamaan SPG (1969). Pernah menjadi guru SD, dan kepala sekolah di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Tahun 1974 ke Jakarta, lalu alih profesi menjadi wartawan, editor serta penulis artikel/kolom di berbagai media. Pertama menulis puisi akhir tahun 1960-an, dimuat di Majalah Semangat, Basis (Yogyakarta), dan Horison (Jakarta).
https://frahardi.wordpress.com/artikel/tonggak-tonggak-sastra-indonesia/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar