Jordaidan Rizsyah *
Seperti dulu, ketika ada seorang yang kurang waras ditabrak orang. Kejadiannya persis di depan rumah saya. Seketika warga berkerumun. Sementara si korban--orang yang kurang waras ini, tergeletak sambil gerak-gerak brigidig seperti kucing siap menjemput sakaratul maut, warga tak menyentuhnya. Saya membayangkan kematian sudah di depan mata. Rupanya tidak. Korban masih bernapas. Dia menggeram seperti mobil tua tak kuat nanjak, dilanjutkan batuk-batuk. Kerumunan warga terkesima melihatnya. Salah satu dari mereka mendekati dan menyentuhnya. Hebat. Orang ini mengajak ngobrol korban yang siap mati. Saya jadi membayangkang malaikat akan segera menarik nyawanya. Jelas, tak ada jawaban dari korban yang hidung dan pelipisnya sudah berdarah-darah.
Korban tabrakan yang kurang waras ini akhirnya digotong ke pinggir jalan. Orang yang tadi pertama menghampirinya tetap mengajaknya ngobrol. Tetap juga tak ada jawaban. Sementara darah mengental dan membasahi hampir seluruh wajahnya, warga yang hadir tetap tak ada inisiatif mengobati lukanya. Beberapa orang sibuk menonton dengan tatapan iba sekaligus mengagumi. Seperti sedang menonton adegan kapal titanic siap tenggelam. Beberapa orang lagi berbisik-bisik ingin tahu apa yang terjadi. Alias mencari info valid penghapus penasaran. Beberapa lagi, acuh tak acuh, sekalipun matanya melihat tragedi ini, perasaannya mungkin tidak peduli. Dan, beberapa lagi sibuk introgasi pelaku yang diketahui tinggal di kampung tetangga--anak seorang hansip. Kemudian pelaku disuruh tanggung jawab.
Pelakunya masih remaja, ketika diintrogasi dia ling-lung dengan mata berkaca-kaca. Mungkin juga dia takut. Karena, biasanya kecelakaan di kampung selalu berakhir dengan kepalan tangan. Semua orang tahu, ini hukum kampung sekaligus hukum jalanan. Pelaku akan bonyok ditawur warga. Sekarang tidak! Si pelaku minta izin memanggil orangtuanya. Warga setuju. Malah diantarkan juga. Motornya ditinggal sebagai jaminan.
Saya, mengawasi mereka semua. Ada beberapa yang menginginkan info, tapi tidak saya jawab. Saya sibuk memikirkan apa yang harus dilakukan. Sebenarnya saya berharap korban segera dibawa ke rumah sakit. Namun, saya tidak bisa mengusulkan itu. Saya takut malah saya sendiri yang repot. Apalagi harus menanggung biaya pengobatan, saya tidak punya uang.
Tiba-tiba ojeg datang. Entah siapa yang memesan. Mereka mengangkat korban naik ke motor. Akhirnya mereka punya inisiatif membawanya ke klinik atau puskesmas, atau rumah sakit, pikir saya. Namun, setelah korban duduk di jok motor, si pengemudi tidak juga menancap gas. Ia bingung. Di antara warga ini siapa nanti yang akan membayar jasanya, pikirnya mungkin. Kemudian ada salah seorang yang langsung peka, dia mengatakan, "nanti dia yang tanggung jawab, Mang. Bawa saja!" Tukang ojeg pun membawanya. Tapi tidak jauh, hanya berkisar sepuluh meter dari tempatnya semula. Kemudian berhenti lagi dan diam seperti orang tolol. Warga bingung sekaligus acuh. Semua menatapnya tapi tidak juga menghampiri. Tak ada yang datang bertanya "kenapa berhenti" kepada si tukang ojeg itu.
Orangtua pelaku datang. Tubuhnya tegap berisi. Ia hanya mengenakan singlet. Mungkin dia sudah siap tidur namun ada hal mendesak yang memaksanya cepat-cepat datang sampai-sampai tak sempat lagi mengenakan baju. Dia langsung menghampiri korban. Ditatapnya sebentar. Kemudian dia geleng-geleng sambil berkata, "sia deui sia deui. Puas sia? Hah? Karasaan, kan? Nyeuri?"
Orang tua pelaku berpaling membalikan badan. "Aingah ges teu nyaho deui. Iyeu mah emang jelemana resep lempang di tengah jalan."
"Iya, Pak. Kasian kepalanya berdarah. Harus dibawa ke rumah sakit dulu." Kata salah seorang warga yang sebelumnya memberanikan diri menyentuh korban pertama kali.
"Dia mah orangnya begitu. Hobi banget ditabrak. Kemaren baru ge ketabrak di depan sana." Orangtua si pelaku memegang kepalanya. Dia pusing. Entah memikirkan apa. Mungkin utang.
Dia mengaku kenal dengan korban. Kemudian keputusan bijaksana keluar darinya. "Geus, Mang, bawa ka rumah sakit. Urang nu tanggung jawab." Katanya kepada si tukang ojeg.
Seketika motor tukang ojeg dinyalakan siap ngegas. Orangtua si pelaku yang berpropesi hansip itu mengambil motor anaknya. Tapi aneh, dia tidak jalan searah dengan tukang ojeg. Melihat itu warga menghentikannya. Orangtua si pelaku menegaskan kalau dia mau pulang dulu. "Iya, saya tanggung jawab. Tapi saya mau pake baju dulu, mau ambil duit dulu. Masa ke rumah sakit penampilan gini. Bawa saja si gila itu, nanti saya nyusul."
Semua warga percaya.
Tapi, ada satu orang yang tidak percaya. Yaitu si tukang ojeg. Dia menurunkan penumpangnya--yang korban tabrakan itu, yang kondisi mentalnya ber-salto dari kondisi normalnya, kemudian kabur. Korban tergeletak begitu saja. Warga tak menghampirinya lagi. Mereka seolah tak peduli tapi ingin melihat pemandangan mengagumkan yang mubazir dilewatkan. Semua kepala tertuju pada seonggok tubuh yang lemah uget-ugetan menahan sakit seperti cacing kepanasan itu. Saya tidak tega melihatnya. Kemudian saya memberanikan diri menghampirinya dengan perasaan was-was sekaligus takut. Kemudian saya membawanya ke halaman rumah.
Beberapa orang menghampiri. Termasuk orang pertama yang menghampiri korban tadi. Dia bertanya dengan nada iba sekaligus antusias, "parah yaa, Bang?"
Saya kira mereka mau ikut membantu, ternyata mereka ingin tahu dan ingin merekam saja. Bukan buruk sangka, kenyataannya begitu. Ketika saya meminta tolong mencarikan perban dan betadine, mereka beralasan "sudah malam. Sudah pada tutup."
"Lagian, jangan dikasih betadine, malah tambah parah nanti. Bawa aja atuh ke rumah sakit." Kata si orang pertama tadi yang menghampiri korban.
"Abang mau bawa dia ke rumah sakit?" Tanya saya.
Dia kikuk. Kemudian mengajak ngobrol korban lagi. Dia bertanya, "mau ke rumah sakit?"
Korban tidak menjawab. Dia cuma senyum.
"Tuh, Bang, dia gak mau dibawa ke rumah sakit."
Mereka pergi.
"Bodo amat, yaa jingan!" Saya dalam hati.
Akhirnya saya terpaksa mengurusi korban sendirian. Kena juga saya direpotkan olehnya. Pertama-tama saya bersihkan wajahnya dengan air hangat. Mengusap wajah tua seorang kurang waras dengan perasaan yang entah wujudnya--iba sekaligus was-was sekaligus takut. Luka di jidatnya sangat parah, menciptakan huruf V terbalik dan mengeluarkan darah kental. Darah itu delapan puluh persen menutupi wajahnya.
Ketika sedikit-sedikit mulai bersih, barulah terlihat luka-luka di bagian lain. Di dekat pelipis, di hidung, di bawah hidung, di ujung bibir, dan di atas telinga, tergaris guratan merah padma yang bebas menggambarkan rasa sakit. Setiap kali saya usap kain basah ke wajahnya, dia merintih dan brigidig. Sakit. Seketika itu juga kain yang warnanya putih berubah merah. Saya lakukan berkali-kali sampai air di baskom yang tadinya bening berubah jadi merah kental. Banyak sekali darah terkuras dari tubuh yang hidupnya terbiasa bingung menuntukan arah.
"Sakit, Pak?" Tanya saya sambil mengusapnya pelan-pelan.
Dia tidak menjawab. Dia tersenyum dan brigidig.
"Goblog! Tak perlu ditanya, jelas sakit." Saya jawab sendiri dalam hati.
Hebatnya, korban dalam kesakitan itu bisa sempat-sempatnya meminta rokok. Saya cengo mendapati isyarat jari telunjuk buka-tutup. Baru sadar, dia kurang waras.
Saya kasih dia sebatang. Saya biarkan kain mengkompres jidatnya yang luka. Biar istirahat dulu. Bairkan dia tenang dengan rokoknya.
Tak lama kemudian, orangtua si pelaku datang lagi bersama temannya. Dia menanyakan kondisi korban. Saya menyilakan dia melihat sendiri.
Kompresan dibuka. Jidat yang harusnya rata dan mengkilap itu menyembulkan guratan merah berbentuk V terbalik. Orangtua korban brigidig. Cepat-cepat dia tutup lagi. "Kudu dijait eta mah. Bawa ge ka rumah sakit." Katanya kepada temannya.
"Dia mah, Bang, orangnya emang gitu. Hobi banget ditabrak orang. Aneh saya juga."
"Iya, Pak. Tapi ini kasian." Jawab saya sekenanya.
"Ini teh kakaknya teman saya, Bang. Orangnya emang rada gak waras. Udah sekarang mah saya bawa aja ke rumah sakit. Nunggu adenya dateng dulu. Tadi udah saya telepon." Katanya menjelaskan.
Kemudian datang tiga orang dua motor ke rumah saya. Dialah adik-adik si korban ini. Setelah mendengar sedikit penjelasan dari orangtua pelaku, mereka langsung memarahi korban. Kemudian mereka membawanya.
Orangtua si pelaku mengajak membawanya ke rumah sakit, tapi ditolak ketiga orang itu. Katanya, nanti biar diperban saja dirumah. "Pake betadin aja sembuh dia mah." Kata salah satunya.
"Engke mun aya nanaon kontek ge nyah." Kata orangtua si korban. Tampak di wajahnya rasa bersalah.
Beberapa kali mereka memarahi korban dengan kata-kata makian yang mampu membuat perasaan tertegun sekaligus tersayat-sayat. Mereka menyalahkan korban yang kalau jalan kaki suka di tengah jalan.
***
"Ternyata dalam diri korban yang kurang waras tidak mengetuk jiwa rasa kasihan. Kesakitan yang tampak di tubuhnya tidak menggugah jiwa kemanusiaan siapa-siapa."
Bogor, 06 April 2020
*) Jordaidan Rizsyah, lelaki kelahiran Marisi, Angkola Timur, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara 17 September 1994. Awal menyukai dunia tulis, sejak secara tak sengaja menemukan selembar sajak di gudang kios bibinya, dan beberapa waktu kemudian diketahui kalau penulis sajak yang disukainya tersebut adalah karya guru bahasa di sekolahnya. Rizsyah kini bermukim di Bogor.
http://sastra-indonesia.com/2020/06/kurang-waras-yang-ditabrak/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar